MEBENTUK KEPEMIMPINAN PROFETIK
Kepemimpinan
adalah seni mempengaruhi dan mengarahkan orang lain dengan cara kepatuhan,
kepercayaan, hormat dan kerjasama yang bersemangat dalam mencapai tujuan
bersama. Kepemimpinan adalah proses memberi semangat dan membantu orang lain
dalam mencapai tujuan.
Kepemimpinan
mencakup aspek interaksi atau saling mempengaruhi di antara anggota-anggota
dalam kelompok dan adanya pemimpin, yaitu orang yang memiliki pengaruh yang
lebih besar dari orang lain dalam kelompok yang berfungsi sebagai pengantar
perubahan (agent of change) dengan melakukan modifikasi terhadap motivasi dan
kompetensi dari anggota lain dalam kelompok. Inti dari kepemimpinan adalah
proses mempengaruhi ornag atau sekelompok orang lain untuk mencapai suatu
tujuan tertentu.
Banyak
orang yang takut untuk menjadi pemimpin atau merasa dirinya tidak mampu untuk
menjadi seorang pemimpin. Sebaliknya ada banyak orang yang merasa dirinya
adalah pemimpin namun sejatinya ia tidak pernah melakukan kepemimpinan itu
dengan sukses. Sejarah mencatat bagaimana banyak pemimpin dunia yang kemudian
malah jatuh ke ujung kenistaan, dihancurkan rakyatnya. Mulai dari Napoleon,
Hitler, hingga banyak pemimpim negeri ini ang kemudian jatuh dan ternistakan,
entah dikenang sebagai koruptor ataupun diktator.
Rasulullah Contoh Pemimpin Terbesar
Banyak
orang yang takut untuk menjadi pemimpin atau merasa dirinya tidak mampu untuk
menjadi seorang pemimpin. Sebaliknya ada banyak orang yang merasa dirinya
adalah pemimpin namun sejatinya ia tidak pernah melakukan kepemimpinan itu
dengan sukses. Sejarah mencatat bagaimana banyak pemimpin dunia yang kemudian
malah jatuh ke ujung kenistaan, dihancurkan rakyatnya. Mulai dari Napoleon,
Hitler, hingga banyak pemimpim negeri ini ang kemudian jatuh dan ternistakan,
entah dikenang sebagai koruptor ataupun diktator.
Islam
sendiri menegaskan bahwa setiap manusia adalah pemimpin, minimal untuk diri dan
keluarganya sendiri. Dan juga telah menuliskannya dengan contoh dan bukti
nyata, Nabi Muhammad SWT.
لَّقَدۡ
كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ
ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS.
Al-Ahzab: 21)
Michael
H. Hart (1987), di dalam bukunya The 100, a Ranking of the Most Influential
Persons in History, memilih dan menetapkan bahwa Nabi Muhammad SAW
merupakan seorang pemimpin yang paling berhasil dan mempengaruhi di sepanjang
sejarah. Suatu ketetapan yang sangat obyektif dan sekaligus mengejutkan banyak
orang. Tetapi Hart mempunyai alasan mengapa dia meletakkan Rasulullah SAW
sebagai pemimpin yang paikng sukses mengatakan.
“My
choice of Muhammad to lead the list od the world’s most influential persons may
surprice some readers and may bequestioned by others, but he was only man in
history who was supremely succesful on both the religious and secular levels.
Of humble origins, Muhammad founded and promulgated one of the world’s gread
religions, and became an immensely effective political leader. Today, thirteen
centuries after his death, his influence is still powerfull and pervasive”.
“...It
is unparalleled combination of secular and religious influence which I feel
antitles Muhammad to be considered the most influential single figure in humas
history”.
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan keberhasilan kepemimpinan Rasulullah SAW yang
sesungguhnya juga menjadi dasar dari karakter kepemimpinan dalam berbagai
teori, antara lain adalah:
Akidah
(iman) yang Kuat
Dalam
Islam akidah atau iman (faith) yang kuat merupakan karakteristik yang
paling pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sebab akidah yang kuat
ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kepemimpinannya. Dari
akidah yang kuat inilah akan muncul sifat amanah, jujur, bertanggungjawab,
adil, beakhlak mulia, suka memaafkan, tawadlu’ (low profile),
suka bermusyawarah, tidak gampang berputus asa, berdisiplin dan lain
sebagainya.
عَنْ
عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
الْإِيْمَانُ مَعْرِفَةٌ بِاْلقَلْبِ وَقَوْلُ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ
بِالْأَرْكَانِ (رواه ابن ماجه)
Dari Ali
bin Abi Thalib berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Iman adalah pengakuan
(pembenaran) dengan hati, pengucapan dengan lisan (lidah) dan (dibuktikan
dengan) tindakan anggota tubuh”. (Hadits Riwayat Ibnu Majah).
Dr. Yusuf Al-Qardlawi mengatakan bahwa hakikat iman
adalah kepercayaan yang tertanam dalam libuk hati dengan penuh keyakinan, tanpa
bercampur dengan keraguan, dan memberikan pengaruh terhadap pandangan hidup,
perilaku dan amal perbuatan sehari-hari. dengan begitu, iman itu bukan sekedar
pernyataan lidah, bukan sekedar tingkah laku dan bukan pula sekesar pengetahuan
tentang rukun Iman.
Amanah
Amanah (trust)
berarti kepercayaan. Kalau seseorang diberikan amanah berupa jabatan, maka
berarti dia dipercaya untuk menduduki jabatan tersebut. Apa akibatnya apabila
amanah itu diabaikan? Jawabannya ada dalam sabda Rasulullah SAW.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرُ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ
إِضَاعَتُهَا يَارَسُوْلَ اللهِ قَالَ إِذَا أسْنِدَ اْلأمْرُ إِلَى غَيْرِ
أَهْلِهِ فَانْتَظِرُ السَّاعَةَ
Dari Abi Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah
s.a.w. “Apabila amanah sudah diabaikan, maka tunggulah masa kehancurannya”. (Abu
Hurairah r.a) bertanya: “Apa yang dimaksud dengan pengabaiannya wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apabila urusan diserahkan kepada orang yang
bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya”.
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَاخَطَبَنَا نَبِيُّ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِلَّا
قَالَ لَا إِيْمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ
لَهُ
Dari Anas bin Malik berkata Nabi s.a.w. tidak berbicara
kepada kami melainkan “Tidak beriman bagi siapa yang tidak (memegang) amanah
dan tidak beragama bagi siapa yang tidak menempati janjinya”. (Hadits
Riwayat Imam Ahmad)
Allah
s.w.t. juga berfirman:
إِنَّ
ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, ..... (QS. An-Nisa’: 58).
Ibnu
Katsir, ketika menafsirkan ayat di atas, antara lain mengatakan bahwa “amanah”
dalam ayat di atas mempunyai arti secara umum, meliputi semua kewajiban dan
tugas yang dipercayakan kepada manusia, baik itu berupa ibadah seperti shalat,
puasa, zakat, nazar, dan lain sebagainya, maupun tugas-tugas kemanusiaan
lainnya yang dipercayakan untuk dilaksanakan seperti kepemimpinan.
Karena
sifatnya yang manah inilah yang menyebabkan
Rasulullah s.a.w. mendapat julukan Al-Amin. Al-Amin, yang berarti
yang dipercaya, merupakan gelar yang diberikan oleh para Pembesar Quraisy
kepada Rasulullah s.a.w. Ketika itu terjadi pertikaian antara para pembesar
Quraisy tentang siapa yang akan meletakkan hajar aswad ke Ka’bah. Atas
usulan salah seorang tua di antara mereka diputuskanlah bahwa siapa yang lebih
dahulu masuk masjid Al-Haram pada pagi harinya, maka dialah yang berhak
meletakkannya.
Ternyata
yang masuk pertama adalah beliau. Kemudian beliau mengambil sehelai kain dan
dibentangkan untuk diletakkan hajar aswad di atasnya. Setelah itu, para
pembesar Quraisy tadi diminta beluau untuk memegang masing-masing sudut kain
dan mengangkatnya bersama-sama ke dekat Ka’bah. Kemudian beliau mengamil hajar
aswad itu dan diletakkannya di Ka’bah. Selesailah pertikaian itu disebabkan
karena beliau dapat menyelesaikan dengan cara yang bijaksana. Mulai saat itulah
beliau mendapat gelar Al-Amin (yang dipercaya).
Sebagai
ilustrasi ada baiknya kalau dikemukakan tantang cerita seorang pengembala
dengan Umar bin Al-Khaththab:
Suatu
hari Abdullah bin Dinar berjalan dengan Khalifah Umar bin Al-Khaththab r.a. dari Madinah menuju
Mekah. Di tengah perjalanan tersebut mereka berjumpa dengan seorang anak
pengembala yang sedang turun dari tempat pengembalaan dengan kambingnya yang
banyak. Khalifah Umar ingin menguji sampai di mana sifat amanah di anak gembala
tersebut. Terjadilah dialog di antar Khalifah Umar dengan si anak gembala ini.
Khalifah : Wahai gembala, jual sajalah kepadaku seekor
anak kambing yang kamu gembalakan.
Gembala :
Aku ini hanya seorang budak (yang ditugasi oleh tianku untuk mengembalakan
kambing-kambing ini).
Khalifah :
Ah, katakan sajalah kepada tuanmu bahwa anak kambing itu telah dimakan serigala (toh tuanmu tidak akan mengetahuinya).
Gembala :
Jawabnya ) فَأ يْنَ اللَّهKalau begitu dimana Allah).
Jawabannya
singkat dari sang penggembala ini sangat mengejutkan dan mengharukan khalifah
Umar. Lantaran sangat terharunya beliau mencucurkan air mata “Seolah-olah si
anak gembala itu mengatakan: “Mungkin saja tuan saya yang memiliki kambing itu
dapat saya tipu, sebab dia tidak melihat dan tidak mengetahui apa yang saya
lakukan di sini, tetapi bagaimana mungkin saya akan dapat menipu Allah!
Bukankah Allah melihat dan mengetahui apa yang saya perbuat?”
Setelah
itu khalifah Umat mengajak si anak gembala itu menemui majikannya untuk menebus
kemerdekaannya dengan mengatakan:
إعتقتك
فى الدنيا هذه الكلمة وأرجوا أن تعتقك فى الأخرة
(Kata
“fa ainallah” inilah yang telah memerdekakan kamu di dunia ini. Semoga
kata itu pula yang akan memerdekakakn kamu di akhirat nanti).
Tanggungjawab
Antara
tanggungjawab dengan amanah mempunyai kaitan yang sangat erat. Di mana ada
amanah, di sana ada pertanggungjawaban. Prof. Dr. Widi Agoes Pratikto, M.Sc,
Pg.D pada saat Kolokium kajian spiritual tentang Proses Pengambilan Keputusan
yang diselenggarakan di Universitas Negeri Malang pada tanggal 5 Februari 2005,
antara lain mengatakan:
“Amanah
sangat bertalian dengan mekanisme pertanggungjawaban kepemimpinan. Artinya,
kepemimpinan bukan semata-mata dilihat dari pencapaian prestasi terukur seorang
pemimpin, tetapi juga berkelit-kelitan dengan tata cara bagaimana prestasi itu
dapat diraih. Kemudian akan ditimbang kadar kejujuran pencapaiannya dalam
pertanggungjawaban vertikal yang melibatkan “mata” Tuhan yang tembus pandang
dan “intervensi” Tuhan yang tak mungkin diajak kompromi”.
Dalam
haditsnya yang sangat populer, Rasulullah s.a.w. bersabda:
عَنْ
عَبْدُ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنّهُ سَمِعَ رَسُوْلِ اللهِ
صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَاعِيَتِهِ
وَالرِّجَالُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَاعِيَتِهِ وَاْلمَرْأَةُ فِي
بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَاعِيَتِهَا وَالْخَادِمُ
فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَمَسْئُولٌ عَنْ رَاعِيَتِهِ
Dari Ibnu Umar r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w.
bersabda: “Setiap kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya, Imam adalah pemimpin dan akan
mintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya, suami adalah pemimpin
dalam keluargannya dan akan mintai pertanggungjawaban terhadap yang
dipimpinnya, isteri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan mintai
pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya dan pembantu terhadap harta
majikannya adalah pemimpin dan akan mintai pertanggungjawaban terhadap yang
dipimpinnya (HR. Bukhari).
Di dalam
Al-Qur’an Allah berfirman:
ثُمَّ لَتُسَۡٔلُنَّ يَوۡمَئِذٍ عَنِ
ٱلنَّعِيمِ ٨
kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu
tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS.
At-Takaatsur: 8)
Adil
Dr. M.
Quraish Shihab mencatat ada beberapa makna adil dalam Al-Qur’an, antara lain,
seimbang, perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada
setiap pemimiknya.
Allah
berfirman di dalam Al-Qur’an:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ
ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن
تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ
كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا ٥٨
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat (QS. An-Nisa’: 58).
Dr. M. Quraish Shihab mengatakan:
“Amanah
dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, di antaranya adalah perlakuan adil.
Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum
Muslimin saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk”. Dengan
demikian masalah keadilan ini termasuk amanah yang wajib dilaksanakan oleh
setiap orang, lebih-lebih seorang pemimpin. Perlakuan seorang pemimpin terhadap
orang lain, terutama bawahannya, harus berprinsip pada keadilan, bukan atas
dasar like or dislike (suka atau tidak suka). Allah dengan sangat tegas
menyatakan:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا
يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ
أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا
تَعۡمَلُونَ ٨
Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS.
Al-Maidah: 8).
وَلَا
تَكُن لِّلۡخَآئِنِينَ خَصِيمٗا ١٠٥
...dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat. (QS. An-Nisa’: 105).
Istiqomah
(strightness)
Istiqomah
berarti pendirian yang teguh. Seorang pemimpin harus mempunyai pendirian yang
teguh. Tidak gampang dibisiki atau dipengaruhi oleh isu-isu yang akan
mempengaruhi pendiriannya.
وَٱسۡتَقِمۡ
كَمَآ أُمِرۡتَۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡۖ
...dan
tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu
mereka (QS. Asy-Syuro: 15)
Karena
isu-isu yang diterima mungkin saja benar atau mungkin saja menyesatkan, lebih-lebih
kalau isu-isu itu berasal dari para provokator atau orang-orang yang tidak bisa
dipercaya, maka, sebagai pemimpin, dia harus menelitinya dengan cermat (check
and recheck), sehingga dia tidak menetapkan atau memutuskan sesuatu
berdasarkan isu-isu sepihak yang akan merugikan orang lain.
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن
تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ
٦
Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6).
Kendati
demikian, bukan berarti dia harus mempertahankan pendiriannya yang salah jika
memang terbukti salah atau menolak pendapat yang benar yang datang dari orang
lain, termasuk dari para stafnya. Orang yang baik itu bukan orang yang tidak
pernah berbuat salah, melainkan orang yang pernah berbuat salah dan mau
memperbaiki kesalahannya itu.
قَالَ
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُلُّ بَنِي آدم خَطَّاءٌ وَخَيْرُ
اْلخَطَّائِيْنَ التّوَّابُونَ (رواه ابن ماجه والترمذي وأحمد والدارمى)
Rasulullah
s.a.w. bersabda: “Setiap anak Adam (manusia) mempunyai dosa (kesalahan) dan
sebaik-baik orang-orang yang bersalah (berdosa) adalah bertaubat. (HR. Ibnu
Majah, At-Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi).
Akhlak
Mulia
Berakhlak
mulia (be have ethically) merupakan keharusan bagi seorang pemimpin, sebab hal
ini bukan saja akan menaikkan martabat, kewibawaan dan prestisennya, tetapi
juga akan ikut mewarnai cara dia bersikap dan memperlakikan stafnya dan orang
lain. Tidak berlebihan apa yang dikatakan oleh Jack Calareso, yang sekaligus
merupakan judul tulisannya: “Good leaders put morality above all else”.
(Para pemimpin yang baik itu akan meletakkan moral di atas segalanya).
Karena
sangat pentingnya akhlak mulia ini bagi kehidupan manusia, sampai-sampai
Rasulullah s.a.w. bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّمَا بُعِثْتُ
لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
Dari Abi Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah
s.a.w.: Saya diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik (mulia). (HR. Imam Ahmad).
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung (QS. Al-Qalam: 4).
Sehubung dengan hal ini, Aisyah r.a. pernah ditanya
tentang akhlak Rasulullah s.a.w.:
عَنْ
سَعْدِ بْنِ هِشَامِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَة فَقَلَتْ أَخْبَرِيْنِي عَنْ خُلْق
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ كَانَ خُلْقُهُ اْلقُرْأَن
Dari Sa’d bin Hisyam
berkata: Saya pernah bertanya kepada Aisyah: “Kataku ceritakan kepadaku tentang
akhlak Rasulullah s.a.w.?” (Aisyah)
menjawab: “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an”. (HR. Imam Ahmad).
Sebagai orang yang beriman, maka panutan kita dalam
masalah akhlak mulia ini adalah Rasulullah s.a.w. yang merupakan uswatun hasanah bagi umatnya.
Rasulullah s.a.w.
juga menyatakan:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ مِنْ أَكْمَل
الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفُهُم بِأَهْلِهِ
Dari Aisyah r.a. berkata:
Bersabda Rasulullah s.a.w.: Sesungguhnya di antara orang-orang beriman yang
paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya (HR. Tirmidzi).
Dengan demikian betapa eratnya kaitan iman
seseorang dengan akhlaknya. Keindahan akhlak dan budinya sebagai pertanda
imannya yang kuat.
Pemaaf dan Lemah Lembut
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ
وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ
عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ
فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ ١٥٩
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran:
159).
Sebagai pemimpin, seseorang harus berhati lapang
dan mudah memberikan maaf serta rendah hati (low
profile/tawadlu’) terhadap
bawahannya. Sebaliknya, kalau posisinya sebagai bawahan (staf), maka dia harus
tahu diri ketika pemimpinnya bermurah hati dan lemah lembut padanya, jangan
lantas hal itu dimaknai bahwa dia boleh berbuat “semau
gue”, melainkan perlakuan pimpinan yang semacam itu
semestinya akan membuat dirinya bertambah sungkan dan hormat.
وَإِذَا
حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٖ فَحَيُّواْ بِأَحۡسَنَ مِنۡهَآ أَوۡ رُدُّوهَآۗ
Apabila
kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa). (QS. An-Nisa’: 86).
Bersikap lemah lembut bukan berarti tidak boleh
marah. Marah itu boleh bahkan harus dalam situasi tertentu. Misalnya marah
kepada staf yang sudah sering diingatkan yang tidak segera mengerjakan tugas
yang diberikan tanpa alasan yang logis atau juga marah karena harga dirinya
dilecehkan.
Musyawarah (consultation)
Mengutip apa yang dikatakan di dalam Tafsir Ibnu
Katsir bahwa salah satu hal yang sering dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan
kemudian diteruskan oleh para sahabat beliau adalah musyawarah untuk
membicarakan bermacam-macam masalah. Misalnya, Rasulullah s.a.w. pernah melakukan
musyawarah untuk memecahkan maslaah tentang tawanan perang Badar dengan para
sahabat. Beliau meminta pendapat kepada Abu Bakar dan Umar bin Khattab tentang
masalah tersebut.
Musyawarah merupakan sesuatu yang perlu dilakukan
oleh seorang pemimpin, terutama apabila ada masalah-masalah yang pelik yang
harus dipecahkan. Pendapat orang banyak jauh lebih baik dari pendapat individu.
Karena musyawarah ini sangat penting artinya untuk memecahkan permasalahan,
maka Allah memerintahkan untuk melakukannya.
Allah berfirman:
وَشَاوِرۡهُمۡ
فِي ٱلۡأَمۡرِۖ
...dan
bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Al-Imran: 159).
وَأَمۡرُهُمۡ
شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ
...sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka... (QS. Asy-Syuro: 38).
Demikian kepemimpinan profetik Rasulullah s.a.w.
untuk dijadikan sebagai pedoman dan pattern (pola dan tauladan), terutama bagi
para calon pemimpin.
9.
Proaktif
Karakter dasar lain dari seorang pemimpin, yang
juga dimiliki Rasulullah s.a.w. adalah sikap proaktif. Melihat kondisi
masyarakat quraish yang jahiliah, Rasul tidaklah kemudian hanya diam atau ikut-ikutan
berperilaku sama. Sebaliknya ia resah dan kemudian berusaha mengubah perilaku
umatnya tersebut ke arah yang lebih mulia, yaitu dengan dakwah. Tidak kepalang
beratnya perjuangan beliau dalam hal ini.
Hal yang sama berlaku pula pada seorang pemimpin.
Ia punya prinsip dan aktif untuk mengubah kelompoknya (anggota-anggotanya) ke
arah yang lebih baik. Proaktif merupakan lawan dari reaktif. Proaktif tidak menunggu
dan tidak terpancing dengan situasi lingkungan. Ia bergerak sesuai prinsipnya,
yaitu merubah diri dan lingkungan (kelompok) menjadi lebih baik. Sebaik apapun
karakter seseorang, namun jika ia hanya diam ataupun malah berperilaku sesuai
lingkungan yang kurang baik, maka ia tidak akan pernah mentransformasikan diri
menjadi pemimpin.
SUMBER PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Al-Qardlawi, Yusuf. (1986). Iman, Refolusi dan Reformasi Kehidupan. Alih
bahasa Anwar Wahdi Hasi dan H.M. Mochtar Zoerni. Bina Ilmi: Surabaya.
At-Tirmidzi, Abu Isa. (1292 H). Sunan At-Tirmidzi
Al-Amiriyah.
Calareso, Jack. (2004). Good
Leaders Put Morality Above All Else. Published:
Saturday, 4 April 17, 2004. Editorial & Comment 08A. The Columbus Dispactch Editorial. http://www.ohiodominican
Daud, Abu, Sulaiman bin al0Asya’ats as-Sajastani
al-Azdi. Sunan Abu Daud. Maktabah al-Ashriah: Beirut.
Hanbal, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad. (1949). Musnad Ahmad. Daaru al-Ma’arif:
Mesir.
Hart, Michael H. (1987). The 100, a Ranking of the Most Influential
Persons in History. Hart Publishing
Company: Inc.
Jabbar, Umar Abdul (t.th.): Khulasatu Nurul Yaqin di Siratil Mursalin. Maktabah Salim Nabhan: Surabaya.
Katsir, Al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida’ Ismail.
(1994). Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Maktabah Daar al-Faiha’: Damaskus.
Majah, Ibnu (t.th.). Sunan
Ibnu Majah. Daaru Ihya’u
At-turats Al-Arabi.
Muslim, Abu Al-Husain Muslim bin al-Hajjaj. (1954).
Sahih Muslim. Daaru Ihya
at-Turats al-Arabi.
Pratikto, Widi Agoes, Prof. Dr. M.Sc, Ph.D. (2005).
Pemimpin dan Kepemimpinan. Makalah yang dipresentasikan dalam kolokium
kajian spiritual tentang Proses Pengambilan Keputusan yang diselenggarakan di
Universitas Negeri Malang pada tanggal 5 Februari 2005.
Razak, Nasruddin. (1985). Dienul Islam. Al-Ma’arif:
Bandung
Shihab, M. Quraish, Dr. (2003). Wawasan Al-Qur’an. Mizan: University
of Malang
Yazid, Syamsurizal. (2005). The Characteristics of the Muslim Leader Based
on the Holy Qur’an and Sunnah (artikel) dalam
Reform No. 28 Th. 2005. Language Center Muhammadiyah University of Malang.
Yazid, Syamsurizal. (2005). Memahami Makna Musibah dan Bencana. Teks khutbah Iedul Adha yang disampaikan di
stadion Sengkaling Mutyoagung pada hari Jum’at, 21 Januari 2005.


