Pada dasarnya setiap individu
adalah sesuatu yang unik. Ada beberapa sisi yang mempunyai kesamaan dan ada
beberapa sisi yang membuat kita berbeda dengan yang lain. Perbedaan ini adalah
sesuatu yang wajar karena masing masing individu lahir, tumbuh dan berkembang
situasi kondisi yang berbeda. Perbedaan ini yang terkadang memicu timbulnya
sebuah permasalahan.
Tidak dapat dipungkiri pula kita adalah makhluk sosial
dimana hampir setiap hari kita selalu bertemu dengan teman, sahabat, saudara,
keluarga. Ketika berinteraksi dengan individu-individu tersebut selalu ada peluang
untuk terjadi sebuah konflik. Sehingga dalam lingkup apapun manusia selama
masih hidup tidak akan terlepas dari sebuah konflik.
Konflik interpersonal adalah
pertentangan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau
kelompok dengan kelompok dimana pada umumnya dipicu dengan adanya beberapa
perbedaan, antara lain:
Kebutuhan
(Need)
Kebutuhan adalah sesuatu yang
sangat penting atau urgent dalam menjaga kelangsungan hidup sehari–hari.
Kebutuhan dibagi menjadi dua; kebutuhan fisik dan kebutuhan psikis. Kebutuhan
fisik meliputi air, udara, makanan, dan lainnya. Sedangkan kebutuhan psikis
meliputi kasih sayang, penghargaan, perhatian, keamanan, dan lainnya.
Perlu diingat bahwa kebutuhan
dan keinginan adalah dua hal yang berbeda. Contohnya: Makan adalah sebuah
kebutuhan, sesuatu yang layak untuk dimakan (halal, sehat, mengenyangkan dan
memenuhi nutrisi tubuh). Sedangkan keinginan adalah terkait dengan ragam
makanan meliputi tempat, merek, dan lainnya. Seperti McD, Pizza Hut, dan
lainnya.
Perhatikan
gambar di samping! Gambar apa yang ada disamping? Ada yang melihat seorang
gadis atau sebagian melihat sebagai seorang nenek, atau sudah bisa melihat
keduanya. Setiap orang mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu.
Misalnya, bangun pagi untuk seorang takmir masjid adalah sebuah hal yang
kewajiban untuk menjawab seruan Allah. Bagi seekor ayam terbangun ketika pagi
adalah insting seekor binatang untuk segera
mencari Rezeki Allah.
Sedangkan bagi sebagian orang bangun pagi bisa jadi sebuah hal yang sangat
berat untuk dilakukan.
Sesungguhnya perbedaan cara
pandang yang pada akhirnya membuat perbedaan pendapat dan perilaku adalah
sesuatu yang wajar. Bisa kita bayangkan apabila segala sesuatu yang ada di bumi ini seragam.
Tentu kita akan bosan melihat matahari yang terbit atau matahari yang
tenggelam. Perbedaan tidak selalu menjadi sesuatu yang buruk, karena dengan
cara menyikapi yang tepat kita justru dapat menjadi orang yang lebih baik
dengan cara mengambil pelajaran dari sesuatu yang berbeda.
Nilai nilai atau norma
Nilai
atau norma adalah sebuah keyakinan yang dijadikan sebagai sebuah tuntunan atau
pedoaman dalam menjalani kehidupan. Hal ini meliputi agama, kultur atau budaya,
sopan santun, dll. Tuntunan dalam Islam adalah
Al Qur’an and Al-Hadist. Masing-masing daerah memiliki nilai atau norma yang tidak sama. Orang
dari Timur (NTT, Sulawesi, Maluku, dsb) terbiasa dengan nada atau intonasi yang
tinggi, berbeda dengan masyarakat yang ada di Jawa yang lebih “kalem”.
Bagi orang Timur, intonasi seperti itu merupakan hal yang biasa, namun bagi
masyarakat di Jawa intonasi tersebut terkesan kasar. Hal ini apabila tidak
disadari secara dewasa maka akan menimbulkan sebuah konflik, sehingga perlu
difahami bersama perbedaan nilai dan norma masing-masing daerah. Perbedaan dan pemaksaan
norma dapat menimbulkan konflik.
Kekuatan
Bagaimana individu mengartikan
atau menggunakan kekuatan akan mempengaruhi banyaknya dan tipe-tipe dari
konflik yang terjadi. Hal ini juga akan mempengaruhi bagaimana konflik
dikelola. Konflik akan meningkat ketika seseorang mencoba untuk membuat orang
lain mengubah tindakan mereka atau untuk memperoleh keuntungan dengan cara yang
tidak fair.
Sesuai perkembangan makna, kata konflik tidak hanya pada
perbedaan pendapat, akan tetapi dapat bermakna lain. Contohnya konflik mendunia
seperti peperangan yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik tapi juga
pikiran.
Perasaan dan Emosi
Ada
sebagian orang membiarkan perasaan dan emosi menjadi faktor utama dalam
mengatasi konflik mereka. Misalnya atas nama rasa sayang, sebagian remaja lebih
mementingkan permintaan dari teman dekatnya dibandingkan himbauan dari
orangtuanya. Namun konflik juga bisa terjadi karena individu mengabaikan
keadaan perasaan dirinya sendiri atau orang lain. Misalnya, seorang anak yang kuliah di luar kota selalu diminta
untuk menghubungi orangtuanya setiap malam namun si anak lebih sering menghubungi ketika membutuhkan kiriman bulanan, contoh kasus
ini adalah salah satu bentuk mengabaikan kekhawatiran dari orangtua.
Paradigma Menghadapi Konflik
Paradigma
adalah sesuatu cara berfikir yang diyakini kebenarannya. Terkadang dari cara
berfikir yang sudah kita yakini kebenarannya akan terinternalisasi menjadi
sebuah mental. Pada akhirnya ini membuat kita tidak mengkritisi kelemahan dari
“cara berfikir” tersebut. Kita bisa melihat salah satu paradigma yang selalu didengung –
dengungkan: “sekolah atau kuliah yang tinggi dan rajin, dapat nilai bagus
sehingga mudah untuk dapat kerja dan dapat penghasilan yang tinggi.” Tidak
ada yang salah, namun secara tidak langsung kita akan memberikan label pada
diri kita untuk selalu mencari lapangan pekerjaan dan bukan menciptakan
lapangan pekerjaan, serta selalu menjadi seorang karyawan.
Salah satu paradigma yang fenomenal dicetuskan oleh
Darwin tentang teori evolusi manusia yang berasal dari kera. Padahal dalam
keyakinan Islam manusia pertama adalah Nabi Adam, as.
Paradigma kita ketika berbicara
tentang konflik atau mendengar kata konflik maka pada umumnya gambaran yang
muncul selalu mengerutkan dahi, berbicara lantang dan diakhiri dengan menarik
otot. Namun pada dasarnya paradigma konflik tidak selalu mengerutkan dahi,
berbicara lantang atau menarik otot. Secara teori terdapat empat paradigma
tentang konflik, antara lain :
Menang – Menang
Paradigma
ini adalah cara berfikir untuk selalu mencari kemenangan, solusi terbaik dan
saling memberikan dampak positif. Pada paradigma ini dibutuhkan mental yang
tenang, toleransi, komunikatif serta memiliki inisiatif meluangkan waktu untuk
melakukan diskusi/Negosiasi. Paradigma ini menghindari adanya pihak yang dirugikan dari keputusan yang telah
diambil. Menang-menang adalah kepercayaan
adanya alternatif ketiga. Untuk memegang paradigma ini, orang harus matang,
tenggang rasa, dan berani. Karakter seperti inilah yang ditemukan pada orang
yang sukses dan bahagia dalam hidupnya. Berikut ini sebuah kisah tauladan tertang menangani
konflik yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW pada saat Renovasi
Ka’bah sebagai berikut.
Tatkala pembangunan sudah sampai di bagian Hajar Aswad,
mereka saling berselisih tentang siapa yang berhak mendapat kehormatan meletakkan
Hajar Aswad itu di tempatnya semula. Perselisihan ini terus berlanjut selama
empat atau lima hari, tanpa ada keputusan. Abu Umayyah bin Al-Mughirah
Al-Makhzumy tampil dan menawarkan jalan keluar dari perselisihan di antara
mereka, dengan menyerahkan urusan ini kepada siapa pun yang pertama kali masuk
lewat pintu masjid, mereka menerima ini. Allah menghendaki orang yang berhak
tersebut adalah Rasulullah SAW.
Setelah mereka semua berkumpul di
sekitar beliau dan mengabarkan apa yang harus beliau lakukan, maka beliau
meminta sehelai selendang, lalu beliau meletakkan Hajar Aswad tepat di
tengah-tengah selendang, lalu meminta pemuka-pemuka kabilah yang saling
berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang dan secara bersama-sama
mengangkatnya. Setelah mendekati
tempatnya, beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkan di tempat semula. Ini
merupakan cara pemecahan yang sangat jitu dan diridhai semua orang.
Kalah –
Kalah
Paradigma ini menggambarkan bahwa sosok yang mau menang
sendiri. Apabila ternyata dia kalah maka sebisa mungkin dia membuat lawannya
tidak bisa menikmati kemenangannya. Biasanya ia awalnya akan memakai paradigma
Menang-Kalah, “Aku harus menang”.
Namun jika paradigma ini gagal, ia akan merubah paradigmanya menjadi
Kalah-Kalah. “lebih baik tak seorangpun mendapatkan”. Hal yang paling
simpel dan sebagian besar dari kita pernah mengalami. Ketika kita masih kecil
berebut remote tv untuk melihat acara favorit kita, saat adik kita berhasil
mempertahankan acara favoritnya. Maka yang kita lakukan adalah mematikan tv dan
mencabut kabel, sehingga bila aku tidak melihat acara tv favoritku maka dia
juga tidak melihat tv.
Menang – Kalah
Paradigma ini dianut oleh sebagian besar orang. Mungkin kita adalah salah
satunya. Ketika menemui sebuah masalah maka cara pandang yang muncul adalah
saya harus berhasil, saya harus menang dan kamu kalah. Paradigma ini identik dengan
berbicara lantang, mengernyitkan dahi dan berakhir dengan adu otot.
Apakah paradigma ini buruk atau salah? Belum tentu. Kita
harus melihat konteks permasalahan, apabila dalam konteks pertandingan sepak
bola, maka kita harus menunjukkan kemampuan maksimal dan permainan fair play untuk menjadi yang terbaik. Paradigma
ini juga bisa digunakan dalam menegakkan sebuah kebenaran dalam sebuah pengadilan.
Kalah – Menang
Paradigma ini adalah menggambarkan sosok yang lebih
mengutamakan hubungan relasi dengan mengorbankan tujuannya. Hal ini bisa
disebabkan oleh, kurang percaya diri, rasa takut akan kesendirian, pesimis.
Dalam fase ini mereka lebih cenderung represif serta kurang mengekspresikan apa
yang dirasakan. Umumnya mereka menggunakan jubah kesabaran untuk menutupi rasa
takutnya. Misalnya karena takut diputus seorang remaja mengikuti kemauan dari
pacarnya. Tentu dalam kondisi seperti strategi ini pada dasarnya kurang tepat
untuk diterapkan.
SUMBER REFERENSI
Borba,
Michele. (2008). Membangun Kecerdasan Moral. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta.
Goleman,
Daniel. (2007). Social Intelligence: Ilmu baru tentang Hubungan Antar
Manusia. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Tri
Dayakisni & Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial. UMM Press: Malang
Eilen
Rachman & Sylvina Savitri. (2009), Dalam Asah Empati dari http://www.experd.com/news-articles/articles/55.
Frieda
Mangunsong. (2010), dalam Menanam Empati Menumbuhkan Kecerdasan dari http://www.carisuster.com/artikel/7-inspired-kids/51-menanam-empati-tumbuhkan-kecerdasan.