Sosiolog
yang hanya lebih mengutamakan mempelajari fenomena yang disebut ‘masyarakat
luas’ (Great Society) seperti
mobilitas sosial, stratifikasi sosial, dan pranata sosial, tanpa mwnghubungkan
studinya dengan penyelidikan yang cermat terhadap proses sosial yang mendasar
ini kemungkinan besar belum dapat menampilkan suatu analisa setepatnya
bagaimana mestinya.
Kontak Primer Daan Kontak
Sekunder
Kita mesti membedakan dua jenis kontak sosial.
Pertama, kontak primer, yakni kontak yang dikembangkan secara intim dan
mendalam berupa pergaulan tatap muka di mana hubungan secara visual dan
perasaan-perasaan yang berhubungan dengan pendengaran senantiasa digunakan.
Kedua, kontak sekunder, yakni kontak yang ditandai oleh pengaruh keadaan luar
dan jarak yang lebih besar. Orang yang secara mental terbentuk oleh kontak
primer, dan oleh ide-ide primer, mengembangkan ciri-ciri yang berbeda daripada
mereka yang di bentuk oleh kontak sekunder. Sekedar contoh, dapat dibandingkan
antara seorang wanita yang fungsi utamanya sebagai nyonya rumah tangga dan
sebagai seorang ibu dengan seorang manajer pabrik atau dengan seorang politisi.
Sudah tentu terdapat hubungan antara ciri-ciri kepcribadian yang dikembangkan
melaui kontak primer dan kontak sekunder. Keinginan untuk menghargai publik
selalu terjadi sebagai pemindahan faktor psikologis, sekurang-kurangnya
sebagian, sebagai pengganti keterbatasan keintiman dari tanggapan yang dialami
ditengah-tengah kehidupan keluarga.
Jelas kiranya bahwa kawasan tempat berlangsungnya kontak
sekunder yang sebenarnya adalah dalam kehidupan kekotaan. Revolusi industri
yang melahirkan kota-kota dan yang memecah kehidupan sosial seperti kehidupan
masyarakat desa menjadi unit-unit kecil, merupakan faktor yang sangat penting
dalam menciptakan sebagian besar antar hubungan yang bersifat abstrak dan impersonal.
Kontak sekunder, dengan demikian mendorong terciptanya sikap-sikap yang abstrak.
Kontak sekunder ini juga memungkinkan kita untuk
membandingkan kepentingan jangka panjang dan yang penuh perhitungan, karena
kecenderungan-kecenderungan dapat diperkirakan dan disusun, demikian pula
sistem kontrol yang baru terhadap publik dapat diperbuat dan dipergunakan
dengan menekankan kepada segi-segi perbedaan peranan yang dimainkan mereka
seperti membedakan mereka selaku pembayaran pajak atau selaku buruh atau majikan.
Situasi hubungan tatap muka, yang menandai kontak primer, dewasa inipun telah
mengalami perubahan.
Kontak Berdasarkan Simpati Dan
Berdasarkan Kategoris
Klasifikasi lain dari kontak sosial, dapat pula dibuat atas
dasar sudut pandangan psikologis dan sosiologis. Orang yang tidak termasuk ke
dalam kelompok kita sendiri, tidak termasuk ke dalam bidang kontak primer kita.
Kita tidak menganggap mereka sebagai anggota kelompok kita yang sesungguhnya
tetapi kita membuat penggolongan atau kategori terhadap mereka. Ini berarti
bahwa kita mengklasifikasikan mereka dalam pengertian perbedaan derajat simpati
atau antipati terhadap mereka. Di sini kita berhadapan dengan dasar atau asal
mula dari prasangka. Perasaan simpati berhubungan dengan perbedaan kategori dan
kelompok-kelompok menciptakan apa yang dapat kita klasifikasikan misalnya
sebagai: ‘orang negro’, ‘orang Jerma’, ‘orang Yahudi’, ‘orang asing’, ‘orang
luar’, ‘mereka’, dan sebagainya.
Fase
permulaan proses kategori ini terdapat pada jenis primitif dari penyesuaian
diri. Kita mulai dengan menunjukkan atau menentukan kelompok kita sendiri
dengan tanda-tanda yang baik, disebabkan karena kita tidak mampu menghadapi
setiap obyek yang kontak dengan kita, maka kita membedakan dan
memisah-misahkannya.
Selanjutnya
jika kita pertama kali bertemu dengan seorang manusia yang belum kita kenal,
biasanya kita merasakan suatu perasaan simpati atau antipati secara tiba-tiba.
Ini jelas adalah suatu interpretasi dari sikap-demikian pula lazimnya dalam
dunia binatang-dimana simpati dan antipati adalah sejenis alat untuk menseleksi
pengalaman-pengalaman yang tepat. Pengertian kita, dalam sebagian besar kasus
adalah ditentukan oleh gagasan dan prasangka yang kita miliki.
Dasar alamiah
dari prasangka adalah suatu kecenderungan untuk mencocokkan
pengalaman-pengalaman baru ke dalam kategori yang lama dengan mempergunakan
generalisasi yang mula-mula untuk menanggulangi pengalaman baru itu. Setiap
pengalaman yang nyata, didasarkan atas kontak yang dekat dan langsung atau primer.
Pengertian
atau pemahaman, adalah suatu pertarungan antara penyesuaian diri segera
terhadap versi baru dari pengalaman dan kecenderungan terhadap prasangka. Orang
yang selalu bergerak secara sosial dan secara geografis (mobilitas vertikal dan
horizontal), lebih kritis dan lebih tidak memihak dalam menilai orang lain, dan
dengan demikian kurang berprasangka karena pengalamannya itu di pergunakannya
untuk berhubungan dengan bermaca-macam orang lain. Seperti kita ketahui, orang
yang berurat berakar di satu tempat tertentu saja, lebih tinggi derajat
prasangkanya dibandingkan dengan orang yang banyak bergerak tersebut diatas.
Orang yang
banyak bergerak (mobile) dapat lebih mudah beralih dari pengalaman-pengalaman
kategori kepada pengalaman-pengalaman spesifik. Kesan atau impresi penting
pertama yang kita peroleh dari kehidupan kota besar itu bereaksi terhadap
kesadaran diri sendiri dan terhadap penilaian diri sendiri. Kesadaran diri
sendiri penduduk kota besar tidak stabil dan tidak kaku. Sedangkan dalam
kehidupan masyarakat desa, prestise atau gengsi didasarkan atas siapa orang tua
kita, dari keluarga mana kita berasal, daan dimana posisi kita dalam komunitas
desa itu. Dalam kehidupan kota besar, prestise sebagian besar didasarkan atas
hasil usaha (achievement) personal. Sebagai akibatnya penduduk kota besar
selalu lebih mengisolasi dirinya dan penilaian terhadap dirinya sendiri
di-internalisasikan.
Akibat dari
kenyataan serupa ialah fleksibelitas, tetapi juga ketidak-stabilan,
ketidak-sungguhan, dan skeptisme yang terdapat dalam watak penduduk kota besar.
Selanjutnya individu yang relatif anonim sifatnya dalam kehidupan kota besar,
memperluas lingkungan kehidupan sehingga memungkinka kita untuk memindahkan
sebagian tanggungjawab kita kepada orang lain atau kepada institusi lain.
Sebagai akibatnya, orang kian lama kian menjadi penonton saja terhadap situasi
yang ada.
Dalam
hubungan persahabatan sejati, unsur penggolong-golongan yang terdapat dalam
kontal personal, tidak muncul. Persahabatan sejati ini didasarkan atas hubungan
simpati yang berarti suatu keinginan untuk mengidentifikasikan kepentingan.
Ungkapan ‘kita’ secara tak langsung menyatakan adanya saling
mengidentifikasikan diri masing-masing dan difusi kepribadian. Ungkapan
‘tetangga kita’ dalam pengertian tertentu, pada dasarnya berarti kita sendiri.
Semakin
individualis seseorang, semakin sukar baginya untuk berusaha
mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Malahan, perasaan yang mendua
atau bercabang biasanya muncul ditengah-tengah pengidentifikasian diri, dan
masing-masing cabang perasaan itu besar perbedaannya. Persahabatan dan
perkawinan, adalah dua jenis antara hubungan yang sedikit banyak berhasil
menyalurkan atau menyatukan perasaan yang bercabang itu.
Tempat
pengalaman yang paling awal dari kesatuan sosial dan identifikasi, terdapat
pada kelompok primer atau kelompok tatap muka seperti keluarga, kelompok teman
sepermainan, hubungan tetangga, klub, masyarakat faternal atau sekolah.
Perasaan cinta, kepahlawanan dan keberanian, begitu juga mabisi, kesombongan
dan dendam kesumat, kesemuanya dibentuk di dalam kelompok primer. Menurut C.H.
Cooley, perasaan cinta kemerdekaan dan keadilan yang merupakan cita-cita
primer yang mendasari ajaran Kristen demokrasi dan sosialisme, ketiganya
didasarkan atas ide-ide dari kelompok primer.
Kontak di
dalam dan di luar kehidupan kelompok, telah dianalisa oleh sosiolog seperti
Sumner, Cooley, dan Burgess. Menurut mereka, hubungan simpati internal yang
egotisme kelompok menghasilkan dua standar perasaan yang berbeda. Di satu
pihak, kemauan baik, kerjasama, dan saling percaya di antara sesama Anggota
kelompok sendiri. Di lain pihak, perasaan bermusuhan dan kecurigaan
terhadapanggota kelompok lain. Hubungan persaudaraan di kalangan anggota
kelompok sendiri dan perasaan bermusuhan terhadap anggota kelompok lain atau
terhadap ‘out-group’ adalah dua hal yang saling berhubungan. Perlawanan dan
permusuhan yang gawat terhadap orang asing atau terhadap kelompok lain,
memperkuat solidaritas di kalangan sesama anggota kelompok sendiri sehingga
perselisihan yang terjadi di kalangan internal kelompok sendiri, tidak dapat
melemahkan permusuhan itu.
Etnosentrisme
adalah istilah teknis yang dipakai untuk mengungkap sikap serupa itu. Bagi
anggotanya, kelompok sendiri adalah segala-galanya. Setiap kelompok
etnosentrisme memelihara dan mempertahankan rasa harga diri, kesetiaan,
kesombongan, dan perasaan superioritas yang dimilikinya sendiri,
mengagung-agungkan Tuhan-nya sendiri serta memandang dengan perasaan jijikdan
mencela terhadap segala sesuatu yang dimiliki kelompok lain. Kejijikan itu
diekspresikan dengan memakai kata-kata yang menghina, dengan menyebut dan
menandai kelompok lain itu sebagai ‘pemakan babi’, ‘tak bersunat’, pemakan
lembu’, daan sebagainya. Apa yang mendasari penilaian demikian itu, mungkin
dapat kita sebut dengan istilah ‘moralitas kafir’. Atas dasar mengkafirkan
kelompok lain nasionalisme, juga didasarkan atas sikap prasangka dan moralitas
kafir demikian itu.
Terjadinya Jarak Sosial
Dalam setiap kontak sosial, secara tak langsung menyatakan
suatu jarak sosial. Jarak sosial itu mungkin berati jarak eksternal atau jarak
internal atau jarak mental. Seluruh jenis dan aneka ragam kehidupan sosial dan
kultural tidak dapat dijelaskan dengan memadai tanpa mengkategorikan jarak
sosial. Tanpa jarak sosial, takkan ada obyek dan takkan ada kehidupan sosial
itu sendiri. Pengambilan jarak, pada waktu bersamaan adalah salah satu dari
pada perilaku yang penting untuk mempertahankan dan untuk melanjutkan otoritas
peradaban manusia.
Demokrasi mengurangi jarak sosial. Prestise-prestise
komandan ketentaraan misalnya sebagian besar adalah persoalan jarak sosial.
Secara harfiah jarak sosial berarti mengubah barang sesuatu menjadi terpencil,
memindahkan suatu obyek yang dekat kepada suatu posisi yang jauh dari titik
semula. Perkataan ‘jarak’ berasal dari pengalaman langsung kita terhadap ruang.
Anehnya ialah bahwa pengalaman mngenai ruang juga menyediakan pola bagi
pengalaman mental. Behawa seseorang berada pada jarak 5 meter dari saya
misalnya, adalah suatu pengalaman tentang ruang; tetapi jika saya mengatakan
bahwa seseorang mempunyai jarak sosial dari saya, maka ini berarti bahwa saya
mempunyai status sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah dari orang
yang bersangkutan.
Ada persamaan
tertentu antara kedua jenis jarak ini meskipun keduanya tidaklah identik. Ahli
sosiologi berbicara tentang penciptaan jarak buatan. Lalu apa gerangan yang
dimaksudkannya? Jarak mengenai ruang, yang dapat diukur dengan mudah dalam arti
pisik adalah dapat diubah melalui suatu tindakan dengan sengaja oleh manusia,
menjadi barang sesuatu yang dapat disebut jarak mental. Pengurangan
identifikasi termasuk ke dalam penciptaan jarak mental ini. Bergerak dari
tindakan-tindakan yang intim dan simpatik menuju pengasingan diri tanpa perlu
menerapkan tingkah laku yang menggolong-golongkan atau yang bersifat menyerang.
Baiklah saya berikan contoh di sini di lapangan
yang murni pengalaman yang berhubungan dengan panca-indera tentang bagaimana
proses yang fundamental dari pengambilan jarak itu dapat di selidiki. Seorang
pelaut dalam pelayarannya menuju pelabuhan, mungkin pertama kali menyenagi pemandangan
yang jelas terhadap Kota pelabuhan yang terletak di depannya di kejauhan.
Tiba-tiba keseluruhan penglihatannya berubah menjadi jauh disebabkan karena
adanya kabut. Sebenarnya Kota pelabuhan itu tidaak lebih jauh dari pada jarak
sebelumnya tetapi kabut telah menciptakan suatu kepalsuan ilusi, seakan-akan Kota
pelabuhan itu sedemikian jauhnya dalam penglihatan pelaut itu.
Dalam contoh ini, jarak bukanlah di ciptakan oleh subyek,
melainkan oleh halimum atau kabut. Keseluruhan jarak mental yang kita bicarakan
berikut ini berasal dari spontanitas subyek; yang dalam kenyataannya kesemuanya
diciptakan oleh subyek.
Evolusi jarak mental dari jarak ruang dapat ditunjukkan
dengan jelas dalam kasus ketakutan. Kenyataan, jarak yang disebabkan karena
rasa takut adalah jarak yang paling sederhana. Jika saya tetap mempertahankan
jarak ruang antara saya dengan orang lain yang lebih kuat dari saya, maka dalam
jarak ruang antara kami ini, berisi jarak mental dari rasa takut itu. Binatang
yang dikurung, dalam situasi tertentu masing-masing memelihara jarak ruang
terhadap yang relatif lebig kuat secara proporsional. Makin pengecut binatang
itu, makin jauh jarak ruang yang diambilnya terhadap binatang yang ditakutinya.
Schjelderup Ebbe yang melakukan penyelidikan yang
cermat, menyatakan adanya suatu hierarki yang teratur di kalangan kehidupan
sosial binatang seperti di kalangan ayang betina, ayam jantan, dan anak ayam.
Ebbe meneliti kehidupan ayam itu dalam kelompok yang terdiri atas 2-25 ekor dan
kemudian terhadap kelompok yang terdiri atas 25-100 ekor. Menurutnya hal
pertama yang dikemukakannya ialah bahwa selama mencari makan, selama
memakan/makanan di pot makanan atau pergi bertengger untuk beristirahat atau
pergi kesarang, ayam jantan melihatkan untuk bertelur, ayam jantan
memperlihatkan suatu keteraturan yang pasti.
Ayam yang terkuat atau paling jagoan, selalu yang mula-mula
sekali datang ke tempat-tempat tersebut baru kemudian disusul oleh ayam yang
lain menurut urutan tingkat keberaniannya terhaadap sesamanya. Seluruh tempat
tersebut selalu diambil oleh ayam yang terkuat itu lebih dulu. Persoalan yang
timbul ialah: bagaimana aturan itu dibentuk.
Penelitian menunjukkan bahwa aturan itu dibentuk melaui
pertarungan antara sesamanya. Jika dua anak ayam bertemu maka pertama kali yang
dilakukannya adalah membuat tingkatan sosial diantara mereka melalui
pertarungan. Anak ayam yang lari pertama kali, menjadi takluk untuk
selama-lamanya. Dengan demikian, suatu urutan lengkap dapat disusun menurut
hasil pertarungan itu dan terlihat pula bahwa hierarki ini dipertahankan dengan
keras oleh ayam itu.
Penelitian ini juga menemukan bahwa tingkatan yang teratur
ini tidak mengikuti dengan keras perbedaan dalam segi kekuatan fisik tetapi
mengikuti apa yang disebut superioritas psikolgi, di mana aspek keberanian
sangat besar peranannya. Tetapi adalah suatu kenyataan pula bahwa ketakutan
selalu memainkan peranan pula.
Penyelidikan berikutnya mempelajari tingkahlaku khas dari
ayam-ayam yang paling jagoan dan ayam yang ditaklukkannya. Terlihat adanya
aturan umum bahwa ayam yang berada di puncak hierarki, dalam arti yang terkuat,
lebih penuh dengan kebajikan debandingkan dengan ayam yang yang berada di
tingkat menengah. Terlihat bahwa sekali jagoan itu mencapai tingkat jagoan
dalam arti mengalahkan semua ayam lainnya, maka ia tak perlu lagi berkelahi
untuk mempertahankan posisi jagoan itu. Dia menjadi jagoan untuk selamanya.
Jarak psikologis telah terbentuk dan berlangsung secara
stabil. Tetapi ayam berada di tingkat menengah hierarki, sangat agresif karena
mereka khawatir dalam mepertahankan posisinya yang secara permanen terancam
dari dua fron. Percobaan selanjutnya ialah untuk mengetahui bagaimana cara ayam
tersebut bertingkah laku dalam mengubah kondisi.
Jika kita mengambil seekor ayam jantan yang menjadi
pemimpin dari satu kelompok lain dimana ia menjadi salah seekor yang
berkedudukan sebagai anggota kelas mengengah, maka ternyata ia mengubah pola
tingkahlakunya. Dari semula penuh kebajikan, kemudian berubah menjadi lebih
agresif. Jelas ini disebabkan karena kekhawatiran dalam mempertahankan
posisinya.
Sebaliknya jika ayam yang paling jagoan dari satu kelompok
besar kemudian digabungkan kedalam dan menjadi jagoan kelompok kecil, maka
tingkahlakunya lebih penuh kebajikan dibandingkan dengan tingkahlakunya ketika
berada pada posisi sebagai jagoan kelompok besar. Ujung dari penelitian ini melihat
kemungkinan besar bahwa tingkahlaku ayam itu lebih banyak tergabung kepada
posisi sosialnya dibandingkan dengan karakter bawaannya.
Ebbe kemudian mencoba pula meneliti keteraturan jarak
sosial dan tingkahlaku sosial di kalangan anak sekolah. Peneliti menemukan
bahwa dalam suatu hierarki tertentu yang kesemuanya tak serupa dengan penilaian
gurunya tetapi merupakan hasil ciptaan kehidupan kelompo anak sekolah itu.
Jika pimpinan dari satu kelompok dimasukkan ke dalam
kelompok lain dimana ia menjadi anggota kelas menengah disana, maka
tingkahlakunya berubah. Dengan demikian di antara anak sekolah itu juga supaya
tingkah lakunya tergantung kepada sosialnya secara individual dan juga kepada
apa yang disebut: karakter, yang untuk sebagian besar merupakan hasil dari
berbagai situasi sosial.
Adalah jelas sekali trdapat tendensi umum tertentu yang
melekat dalam kehidupan kelompok anak sekolah seperti itu yang berperan menurut
aturan yang sama, wlaupun mereka di ubah oleh perlengkapan mental dari
komposisi kehidupan kelompok. Salah satu perbedaan utama antara tingkah laku
binatang dan tingkah laku manusia dalam kehidupan kelompok, terlihat dari
kenyataan bahwa binatang tidak mampu mengatur tindakan yang menjurus ke arah
perubahan secara revolusioner.
Hanya ada pemberontakan secara individual yang ada dalam
kehidupan kelompok binatang. Ayam yang ditaklukkan selalu berusaha meningkatkan
posisinya melalui pertarungan baru terutama dalam kasus di mana ayam yang
ditaklukkan itu tak harus inferior secara badaniah tetapi disebabkan karena
ketakutan psikologis yang timbul. Dengan mengamati pertarungannya orang dapat
melihat bahwa binatang yang ditaklukkan itu adalah sangat gelisah, ia berupaya
untuk menciptakan kebiasaan dan membangun sikap takluk, menciptakan jarak ketakutan.
Revesz, seorang peneliti di bidang sosiologi binatanng
lainnya meneliti tingkah laku kera yang dikandangkan. Dikandang yang diamatinya
itu terdapat seekor kera yang unggul, empat ekor yang lemah, dan seekor anak
kera. Ketika makanan yang dibawa ke kandangnya, yang terjadi mula-mula ialah
perebutan makanan menurut dorongan hati (impulse) masing-masing kera itu.
Tetapi tingkah laku demikian segera membuka jalan bagi
situasi di mana kera yang terkuat mampu memuaskan dirinya sendiri tanpa
rintangan, sebagai kera utama. Kera lain yang rebut makanan yang ada ditepi
tiba-tiba rupanya menyadari dan mengingat hasil pertarungan dan gigitan kera
yang terkuat yang terjadi sebelumnya, sehingga kemudian mereka menghindar ke
arah yang berlawanan dan mengakhiri perebutan makanan itu.
Segera setelah hal ini terjadi, anak kera maju ke depan dan
menempatkan dirinya berdekatan dengan kera yang terkuat, mulai memakan pisang
yang tersedia dengan tenang tanpa digigit oleh sang jagoan. Sepanjang anak kera
ini tidak mencampuri persaingan kera yang lain itu, maka ia menjadi seekor kera
yang mendapat bagian dalam kompetisi, maka ia segera ditaklukkan dan akan sama
nasibnya dengan kera lain yang berkompetisi. Jelas kiranya bahwa dalam setiap
situasi yang khas, suatu jarak tertentu terus-menerus tercipta dengan
sendirinya di kalangan kehidupan binatang itu. Di sini jarak ruang
pada waktu bersamaan mengandung jarak ketakutan dan rasa hormat. Jarak obyektif
cenderung dihubungkan dengan kualitas jarak mental.
Ungkapan bahasa Jerman ‘drei Schritt von Leib’
(tiga langkah dari manusia) digunakan untuk menandai sikap pemeliharaan jarak
dari seseorang menggambarkan dengan sempurna keadaan masyarakat dimana jarak
ruang pada waktu bersamaan mengungkapkan ketakutan dan rasa hormat.langkah pertama
ialah jarak normal antara anggota dari suatu masyarakat. Jarak dari tiga
langkah selanjutnya, merupakan pemaksaan terhadap orang yang berada di luar
kelompok dominan sebagai tanda dari status yang disubordinasikan di dalam
hirarki masyarakat yang ketat. Jarak yang berlebih ini, yang dapat
dipertentangkan dengan keadaan berkurangnya jarak menggambarkan keintiman.
Keintiman yang berhubungan erta dengan keakraban dan kontak pisik yang terjadi
antara individu dalam kelompok, sekali lagi menunjukkan kenyataan bahwa jarak
obyektif cenderung berhubungan erat dengan kualitas jarak mental.
Selama berlangsungnya proses diferensiasi, tipe-tipe jarak
yang lebih kompleks muncul dari jarak ketakutan; sebagai contohnya adalah jarak
kekuasaan. Jarak konvensional yang telah berkembang dengan cepat dalam suatu
masyarakat sebagai tanggapan terhadap keperluan keamanan pribadi telah
berkembang dengan cepat dalam suatu masyarakat senagai tanggapan terhadap
keperluan keamanan pribadi telah berkembng dalam berbagai masyarakat menjadi
suatu simbol antar hungan kekuasaan dan berpengaruh nyata terhadaap hiraarki
sosial.
Kita dapat membedakan tiga jenis jarak. Pertama,
jarak yang menjamin terpeliharanya tata sosial dan hirarki sosial tertentu.
Kedua, jarak eksistensial. Ketiga, jarak diri sendiri, yakni jarak yang
diciptakan di dalam diri seseorang individu tertentu.
Pemeliharaan Hirarki Sosial
Struktur hirarkis tata sosial, adanya kelas-kelas
dantingkatan dalam kehidupan, dalam sebagian besar kasus ditunjang oleh sejenis
jarak tertentu. Jarak yang jelas kelihatan di dalam pergaulan sosial dan di
dalam penyelesaian obyek kultural yang dimiliki masyarakat, memelihara suatu
stratifikasi sosial melalui peralatan mental yang cenderung menggantikan
kedudukan kekuasaan. Sistem berpakaian yang sangat canggih dan tatakrama, gaya
berbicara, sikap dan adat kebiasaan, dapat dipergunakan untuk memelihara jarak
antara kelompok penguasa dan oraang yang dikuasainya. Tugas tersembunyi sistem
tersebut ialah untuk menciptakan jarak dan dengan demikian untuk mengawetkan
kekuasaan minoritas penguasa.
Jarak digambarkan dengan sendirinya oleh bentuk
pergaulan sosial dan oleh jarak obyek tertentu dalam lingkungan kebudayaan
masyarakat tertentu. Pergaulan sosial, dapat terbentuk dalam dua cara. Pertama, dengan membatasi atau
meniadakan kerjasama antara dua kelompok penguasa dan yang dikuasai. Misalnya
dengan melarang perkawinan campuran antara aanggota Kedua, kelompok atau dengan memantangkan makan bersama pada satu
meja atau dengan memantangkan makan suatu sistem kebiasaan yang canggih, yang
menonjolkan jarak antara strata masyarakat yang berbeda.
Melalui penyatuan mayoritas orang yang tertindas secara
mendadak, maka setiap kelompok penguasa dapat digulingkan. Karena itu prinsip
memecah-belah dan kemudian menguasai-devide and rule-selalu diikuti oleh
kelompok penguasa dan bila pelaksanaan prinsip ini berhasil baik maka
stabilitas sistem sosial yang ada dapat terjamin.
Namun demikian bukan hanya pergaulan sosial dimana
masing-masing strata sosial dan antara strata sosial yang berbeda saja yang
dikendalikan oleh jarak sosial itu. Obyek-obyek sosial dan lingkungan kultural
pun dijaga jaraknya dengan cara yang sama. Jika kita mengamati masyarakat yang
berbeda dan bertanya kepada diri sendiri: apakah yang dapat membuatnya
mempunyai jarak, maka kita a menemukan bahwa di keduanya terdapat baik
manusianya seperti pemimpin dan raja maupun obyek-obyeknya seperti barang
peninggalannya.
Dalam masyarakat primitif mislanya, sifat ke-Tuhanan dari
para pemimpinnya atau rajanya sebagian besar dipelihara melalui upacara
seremonial yang rumit yang dapat melindungi pemimpin atau raja itu dan
memisahkan mereka dari rakyat yang diperintahnya. Tokoh ‘orang suci’ sebaliknya
menjadi orang yang dikeramatkan terutama karena ia meningkatkan jarak dan
dengan demikian mengisolasikan dirinya dari pengikutnya.
Selanjutnya
pepatah-petitih dan peribahasa dapat sipisahkan dari pemakaian sehari-hari
menjadi mantera-mantera, seperti kalimat yang dipetik dari kitab suci oleh
seorang pendeta. Orang juga dapat memisahkan institusi dan organisasi atau
bidang kehidupan dan aktifitas seperti kesenian atau hari libur.
Ada kesamaan antara jarak sosial dan jarak obyek dari
lingkungan kultural. Peningkatan nilai tertentu secara palsu dan menjaga jarak
dalam kebiasaan sehari-hari ditopang oleh sistem yang sama. Ide kekesatriaan
seperti kepahlawanan dan sopan santun, meningkatkan dan memisahkan pola
perilaku tertentu dan meningkatkan kebutuhan yang tak dapat dipenuhi oleh orang
kebanyakan. Jadi ide tersebut mempunyai fungsi sosial yang sama dengan jarak
yang berperan dalam pergaulan sosial.
Evolusi demokrasi ditandai oleh kecenderungan baik
dengan mengurangi jarak atau dengan mengubah metode pengambilan jarak.
Sementara dalam masyarakat pra-demokrasi peraturan-peraturan keras menentukan
cara-cara berpakaian yang boleh dikenakan oleh tingkat sosial yang berbeda,
maka masyarakat demokrasi mengganti sistem yang usang itu dengan ‘mode’.
Bertingkahlaku dan bergaul menjadi lebih bebas. Suatu proses penyamarataan ke atas
dan ke bawah dikembangkan dan kebebasan menonjolkan diri untuk sebagian besar menggantikan
peraturan seremonial tradisional. Hambatan terhadap kebebasan menonjolkan diri,
juga dapat dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan jarak sosial. Dengan
demikian, orang yang berada pada kedudukan yang lebih tinggi dapat membatasi
diri mereka sendiri untuk mengawetkan jenis tingkah laku martabat tertentu.
Jarak Eksistensial
Jarak
sosial jenis ini dapat diamati jika kita mengenyampingkan seluruh tindakan
pengambilan jarak yang berasal dari pergaulan sosial. Dengan demikian terdapat
suatu bentuk jarak tertentu yang lain dari jenis jarak sosial yang dapat
ditunjukkan melalui contoh berikut. Jika seorang wanita dari kalangan yang
sederhana mengunjungi seorang pendeta demi untuk maksud pengakuan dosa, maka
baginya pendeta itu bukanlah sebagai seorang yang khas tetapi merupakan suatu
kepribadian yang mencerminkan kemampuan untuk meningkatkan status sosial.
Namun pada waktu bersamaan, wanita
itu mungkin pula dipengaruhi oleh rasa keakrabannya terhadap si pendeta atau
oleh perasaannya sendiri yang merasa sedemikian renggangnya dengan pendeta itu.
Perasaan terakhir inilah yang kita sebut sebagai jarak eksistensial itu. Tetapi
kedua topeng individual biasanyaa berpengaruh secara serentak. Proses
demokratisasi lazimnya cenderung mengurangi jarak sosial dan membuka hubungan
eksistensial yaang murni antara manusia.
Perbedaan-perbedaan eksistensial
merupakan suatu antara hubungan antara individual yang lahir secara eksklusif
dari kualitas kejiwaan manusia. Perbedaan eksistensial ini terlihat ketika
seseorang sekonyong-konyong menyadari keintiman dirinya dengan orang lain, dan
ia mengadakan kontak yang erat dengan batinnya yang paling dalam. Jarak
eksistensial ini dalam sebagian besar masyarakat sejak lama dikacaukan dengan
jarak sosial, mislanya dalam masyarakat berkasta. Kelahiran individualisme
akhirnya merobek topeng sosial dari manusia.
Penciptaan Jarak Dalam
Kepribadian Tunggal
Seorang individu dapat berada sedemikian dekatnya atau jauh
dari kepribadian sebenarnya yang dimilikinya, sama seperti ia juga dapat merasa
dekat atau jauh dari kepribadian orang lain. Kita dapat mengamati dari dalam
diri seseorang individu fenomena yang menunjukkan jauh-dekatnya seseorang dari
kepribadiannya sendiri, yang dengan tiba-tiba kepribadiannya itu menjadi asing
bagi dirinya sendiri. Abad demokrasi telah merusak jarak sosial, namun dengan
demikian penonjolan jarak eksistensial menjadi lebih besar. Pengasingan diri
sendiri yang terdapat dalam situasi kultural tertentu merintangi penonjolan
diri sendiri secara individual.
Pengambilan
jarak adalah suatu faktor yang amat penting dalam mengubah struktur kekuasaan
menjadi pola mental dan kultural. Sejaraah telah menunjukkan bahwa perubahan
dalam gaya kultural berhubungan erat dengan perubahan dalaam struktur
kekuasaan. Sosiologi kultural membahas masalah ini secara terperinci dan telah
menemukan bagaimana organisasi kekuasaan dalam berbagai jenis perkembangan
sejarah berpengaruh terhadap berbagai bentuk jarak mental.
SUMBER PUSTAKA
Siti Irene Astuti D., dkk. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.
Yogyakarta: UNY Press.
Herminanto & Winarno. 2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta:
Bumi Aksara.
Elly M. Setiadi, dkk.
2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ahmadi, H. Abu. (1997). Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Reneka Cipta.
Anh, To Ti. (1974). Nilai Budaya Timur dan Barat. Jakarta: Gramedia
Danandjaja, Andreas A (1986).Sistem Nilai Manajer Indonesia. Jakarta: PPM.
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mardjono, Ignas dan FX. Djoko Pranowo. (2000). Ilmu Budaya Dasar.
Jakarta: PT. Pamator..
Mintargo, Bambang S. (2000).
Tinjauan Manusia dan Nilai Budaya. Jakarta: Universitas Trisakti..
Mitchell, Charles. (2000). Budaya Bisnis Internasional. Jakarta: PPM.
Setiadi, Elly M. dkk. (2007) Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta:
Kencana. S
Soedarno, P. (1993) Ilmu Sosial Dasar: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta:
Aptik-PT. Gramedia.
Soekanto, Soerjono. (1998) Sosiologi: suatu pengantar. Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
Soemarwoto, Otto (1996). Dampak Ekologi Terhadap Manusia.
Sumaatmadja, Nursid. (2002). Pendidikan Pemanusiaan, Manusia.
Manusiawi Bandung: Alfabeta.
------------------. (2000).
Manusia dalam konteks sosial budaya dan lingkungan hidup. Bandung: Alfabeta.
------------------. (2002). Memanusiawikan Manusia. Bandung: Alfabeta.
Veeger, K.J. (1995). Ilmu Budaya Dasar: buku panduan mahasiswa.
Jakarta: Apatik dan PT. Gramedia.