Civil Society Power


     
Oleh : Muhammad Hadidi,. S.Sy,. M.H.
Ibrahim
 menyatakan bahwa gagasan  menguat pada dua dasawarsa terakhir, terutama sejak berhembusnya angin perubahan dan menguatnya gelombang demokratisasi dari daratan Amerika Latin dan Eropa Timur, yang menyapu berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Civil society, pada dasarnya memiliki motivasi dasar untuk merestriksi absolutisme kekuasaan, meningkatkan kapasitas komunitas, mengurangi derajat negatif ekonomi pasar, dan menuntut akuntabilitas politik serta menaikkan mutu dan sifat inklusif dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Oleh karena itu, intisari civil society menurut Hikam (2000) adalah visi etik terhadap tatanan kehidupan sosial yang bertolak dari dua perspektif.
      Perspektif pertama, terbangun dari tradisi berpikir marxist, yang menekankan basis ide civil society berdasar pada ketegangan (tensions) antara perkembangan masyarakat dengan kenyataan yang diperhadapkan oleh negara. Tradisi ini berpandangan masyarakat sebagai sebuah entitas yang mampu mengatur dirinya sendiri dan memiliki hak serta kebebasan. Keadaan ini membutuhkan perlindungan dari represi negara. Perspektif kedua, memandang civil society sebagai sebuah tipe ideal yang organisasi sosial itu berdiri sendiri dan merupakan institusi sukarela (voluntary association) serta bebas dari intervensi negara. 

Keberadaan civil society merupakan entitas yang berhadapan dengan negara dan sektor swasta. Kedua pandangan tersebut sejatinya memiliki muara yang sama, yaitu civil society dapat mengembangkan masyarakat yang lebih demokratis, menjunjung tinggi kemanusiaan (humanity) dan merealisasikan keadilan sosial (social justice). Dengan demikian, pentingnya civil society merupakan agenda masyarakat dunia sejak perang dingin (cold war) berakhir. Bahkan, terpatri keyakinan bahwa negara akan lebih demokratis jika civil society berkembang.
    Tidak ada definisi yang tunggal mengenai civil society, Hikam19 secara eklektik mendefinisikan civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaan, keswasembadaan, dan keswadayaan20. Kemandirian yang tinggi menghadapi negara dan keterikatan dengan norma atau nilai hukum yang dianut oleh warganya. 
    Sebagai ruang politik, civil society merupakan arena yang dapat menjamin terselenggaranya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, yang tidak terkungkung oleh kondisi material dan juga tidak terserap ke dalam jaringan kelembagaan politik resmi. Berpegang pada penilaian seperti ini, civil society melebur ke dalam berbagai organisasi/asosiasi yang dibentuk oleh masyarakat di luar pengaruh negara. Oleh karena itu, organisasi nonpemerintah (Ornop), organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban dan juga kelompok kepentingan merupakan penjelmaan kelembagaan civil society.
      Lebih lanjut, Hikam menyatakan bahwa gerakan ornop, atau lebih populer dengan LSM di Indonesia, pada dasarnya juga terbentuk sebagai pengimbang dominasi negara dalam proses rancang bangun pembangunan. Trend demikian sudah sering terjadi di berbagai belahan dunia, baik di utara (negara-negara maju) maupun di selatan (negara-negara berkembang). Namun, di negara maju LSM sudah memainkan agensinya dalam menetapkan kebijakan publik karena budaya demokrasi sudah maju, sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, dan kemampuan finansial yang tersedia. 
   Sementara itu, di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, LSM masih berjuang sebagai mitra pemerintah dalam proses pembangunan. Sejarah keterlibatan LSM di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1950-an. Namun, peran dan aktivitas yang dijalankan secara umum masih berkutat pada upaya-upaya karitatif, terutama menanggulangi kelaparan. Jadi, keberadaannya lebih sebagai “sinterklas”. Periode ini berlangsung hingga tahun 1960-an. Dalam hal ini, meskipun masa sudah berubah, dewasa ini kita masih menemukan LSM yang lebih berfungsi sebagai sinterklas.
    Menurut Suryana Daniel21 tahun 1966 hingga 1970-an adalah formative years pertumbuhan LSM yang berjuang untuk keluar dari formasi sinterklas. LSM masa ini mulai mengembangkan sikap kritis terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan. Terdapat tiga argumen yang mendasari perkembangan ini.
Pertama, munculnya inisiatif kalangan non-pemerintah untuk mendirikan organisasi-organisasi non-pemerintah berbasis komunitas. Beberapa organisasi non-pemerintah seperti Lembaga Pelatihan, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) didirikan atas prakarsa tokohtokoh muda dari kalangan sipil. Kedua, pada fase ini mulai terjalin kontak yang intensif antara LSM lokal dan internasional sekaligus menandai dimulainya kerjasama dan pengembangan jaringan (networking) dengan mitra-mitra kerja di luar negeri. Ketiga, pemerintah mulai menyediakan perangkat hukum sebagai aturan main lembaga-lembaga non-pemerintah tersebut. Namun, fase ini ditandai
dengan local resources yang terbatas .
      Kalangan LSM lebih banyak bergantung pada sumber-sumber pendanaan internasional, misalmya,
the ford foundation, the asia foundation, toyota foundation, dan lain sebagainya. LSM juga menerima bantuan dana dari lembaga keuangan  
internasional seperti: Bank Dunia dan Asian Development Bank. Selain berbentuk hibah (grant), dana yang diterima dari sumber terakhir ini sebagian bersifat hutang negara.
   Menurut Richard23 sejak tahun 1970-an kalangan LSM benar-benar menikmati aliran dana tersebut dengan mudah (easy money). Karenanya, mereka sering dituding menjadi perpanjangan tangan donor asing. Bahkan, ada asumsi bahwa LSM- LSM tersebut bekerja untuk mendukung agenda donor asing ketimbang menunaikan kepentingan domestik. LSM menjual kemiskinan, menjual negara, agenagen kapitalis adalah di antara aneka tuduhan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak yang merasa gerah dengan agenda LSM. Situasi ini tidak jarang merepotkan para aktivis LSM, terutama dalam menegosiasikan agenda-agenda sosial politik yang diperjuangkannya. 
     Kesulitannya adalah bagaimana LSM meyakinkan pihak dalam
negeri bahwa agenda mereka bebas dari campur tangan pihak asing. Di sini tidak ingin dikembangkan suatu perspektif bahwa kerjasama dengan pihak asing merupakan barang haram. Karena dalam dunia yang bersifat global hubungan dan kerjasama dengan negara-negara sahabat di Barat sungguh tak terelakkan. 
       Apalagi bila hubungan tersebut berlandaskan komitmen untuk menata dunia yang lebih adil, damai dan sejahtera. Ini juga mengingat sumberdana domestik tidak mencukupi untuk membiayai agenda-agenda pembangunan. 
     Memperoleh dana pemerintah dalam jumlah besar sulit terwujud karena anggaran pemerintah yang terbatas. Selain itu, dana seperti ini beresiko mengkooptasi kemandirian LSM dalam mengadvokasi
kebijakan publik. 
     Sementara itu menurut Zaim24 bahwa penggalangan dana dari perusahaan dalam negeri, atau lebih dikenal dengan istilah corporate social responsibility (CSR), juga problematik mengingat sebagian besar sektor swasta di Indonesia menyumbang kontribusi besar dalam mencipta problematika sosial serta merusak lingkungan alam
       Pada masa orde baru, kalangan swasta, terutama perusahaan besar, seringkali bersekongkol dengan penguasa untuk menguras kekayaan alam serta memanfaatkan akses-akses ekonomi politik secara privilage demi kepentingan bisnis mereka. Salah satu ulah perusahaan besar adalah mengeksploitasi sumberdaya alam dan ekonomi secara illegal dan membabi buta sehingga menyebabkan Indonesia terjebak dalam krisis sosial dan kerusakan alam yang sangat parah. Demikianlah beberapa alasan mengapa organisasi non-pemerintah tidak tertarik menggalang dana dari sektor swasta.
     Pada dekade 1970-an hingga 1990-an, minyak bumi andalan Indonesia mengalami kerugian dan membumbungnya utang luar negeri yang sangat memprihatinkan tanah air. Bersamaan dengan itu, rezim orde baru yang otoriter membuat isue-isue dunia seperti lingkungan hidup, demokratisasi, gender dan hak azasi manusia (HAM) kuat berkumandang ke berbagai sudut-sudut kehidupan. Dalam konteks ini, terjadi mushrooming LSM yang karakternya bertujuan melakukan transformasi sosial. Fase ini juga masih mengandalkan bantuan donor asing, yang mengakibatkan LSM menuai tudingan yang tidak sedap seperti telah disinggung di depan. 
       Salah satu problem yang menghinggapi LSM dewasa ini adalah keberlanjutan finansial (financial sustainability). Tidak saja berbagai LSM kecil yang menghayati kesulitan ekonomi, bahkan beberapa di antaranya berguguran, tetapi juga beberapa LSM besar yang diterpa kesulitan finansial mengalami kesulitan meneruskan agendanya. Misalnya, kita pernah dikejutkan dengan berita akan tutupnya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) akibat kekurangan finansial. 
   Kondisi itu tercipta setelah beberapa lembaga donor menghentikan aliran dananya. Mayoritas responden mengandalkan bantuan luar negeri yang mencapai 65 persen, dan sumber dalam negeri 35 persen. Sementara itu, beberapa tahun terakhir ada kecenderungan berkurangnya dana hibah akibat situasi dunia yang berubah sehingga ikut mengubah   prioritas dan kebijakan lembaga donor. Beberapa lembaga donor besar, seperti Ford Foundation mulai mengalihkan perhatiannya dari Indonesia secara perlahan dan mendorong penggalangan local resources
    Akibatnya, berbagai upaya untuk sintas (survive) sedang dan telah dilakukan oleh LSM dengan menggali local resources yang tersedia, baik dengan menggalang dana secara masif dari masyarakat maupun melalui unit-unit usaha yang digiatkan LSMSejak akhir tahun 2000 terbit fenomena filantropi (kedermawanan) yang luar biasa di kalangan masyarakat. Pada saat negara mengalami kegagalan mensejahterakan warganya, ketika bencana alam datang bertalu-talu, animo masyarakat untuk berfilantropi atau berderma sangat kuat. Sayangnya, filantropi untuk tujuan-tujuan publik atau juga kepada LSM sangat terbatas. Bahkan, beberapa Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang banyak meraup dana publik enggan untuk bermitra dengan LSM dalam menyalurkan filantropi untuk keadilan sosial 

SUMBER PUSTAKA
Ibrahim ,(2008), Masyarakat Madani dan civil society, CV. Raja Grafindo, Jakarta
Suryana. Daniel. (2008). Indonesia Dalam transisi Politik, Cet I. Bandung Pustaka Sastra.Richard, (2001), Pemilihan Umum Dan Pendidikan Politik, Jakarta, Pustaka Sinar harapan hal: 17-18 
Zaim, (2003). Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit is Transformating The
Public Sector. Massachusetts: Addison Wesley Company. 
Hasil penelitian Rustam (2006) dan mengambil sampel 25 organisasi, meskipun tidak semua sampel
itu tergolong LSM, namun hal ini menjustifikasi fenomena itu.

Adi Chandra Utama, (2006). Lembaga Non Goverment dan Problemnya, Yayasan Obor Indonesia, Hal. 5-21