Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Ditulis Oleh: Muhammad Hadidi, MH
Pembentukan  peraturan  perundang-undangan Indonesia  tentang jenis dan susunan (hirarki) peraturan  perundang-undangan  mengalami  pasang surut  sesuai  dengan  perubahan  dan  perkembangan kostitusi  serta  peraturan  perundang-undangan  yang berlaku  di  Indonesia. 
     Mengingat  perlu  adanya pembaharuan  produk  hukum  agar  sesuai  dengan kebutuhan  masyarakat  sehingga  hukum  bukan  hanya sebagai  pelengkap  administrasi  negara  saja  akan  tetapi juga  mempunyai  peranan  yang  sangat  penting  dalam memajukan  ketatanegaraan  Indonesia  serta  meningkatpembangunan  terhadap  Oleh  karena  itu  Paton  menyebutnya  sebagai  suatu  sarana  membuat  hukum  itu hidup,  tumbuh  dan  berkembang  dan  ia  menunjukkan,  bahwa  hukum  itu  bukan  sekadar kumpulan dari peraturan-peraturan belaka.
                 Kalau dikatakan, bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan merupakan sekadar kumpulan peraturan-peraturan maka hal itu disebabkan  oleh  karena  asas  itu  mengandung  nilai-nilai  dan  tuntutan-tuntutan  etis. apabila  kita  membaca  suatu  peraturan  hukum,  mungkin  kita  tidak  menemukan pertimbangan  etis  disitu.  Tetapi  asas  hukum  menunjukkan  adanya  tuntutan  etis  yang demikian itu, atau setidak-tidaknya kita bisa merasakan adanya petunjuk kearah itu.[1]
     Dari definisi yang  diberikan  oleh  Scholten tersebut  di  atas,  Bruggink  menyatakan bahwa  peranan  dari  asas  hukum  sebagai  meta-kaidah  berkenaan  dengan  kaidah  hukum dalam  bentuk  kaidah  perilaku.  Namun  yang  menjadi  pertanyaan  adalah  apakah  asas hukum itu harus dipandang sebagai bentuk yang kuat atau yang lemah dari meta-kaidah.[2]
                 Di dalam hal pertama (bentuk yang kuat), asas hukum itu dapat dipandang sebagai suatu  tipe  kaidah  berkenaan  dengan  kaidah  perilaku,  dan  dengan  demikian  secara prinsipil  dapat  dibedakan  dari  jenis  kaidah  ini.  Mereka  yang  menganut  pandangan  ini, misalnya  menunjuk  asas  hukum  sebagai  kaidah  argumentasi  berkenaan  dengan penerapan kaidah perilaku.
                  Asas-asas hukum hanya  akan memberikan argumen-argumen bagi pedoman perilaku yang harus diterapkan dan asas-asas itu sendiri tidak memberikan pedoman (bagi pelaku). Di  dalam  hal  kedua  (bentuk  yang  lemah),  asas-asas  hukum  itu  tampaknya  dapat  dianggap  termasuk  dalam  tipe  kaidah  yang  berkenaan  dengan  kaidah  perilaku,  namunmasyarakat  agar  menjadi  lebih berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.[3]
1.3.1 Hierarki Perundang-Undangan Berdasarkan Surat Presiden No. 3639/Hk/59 Tanggal 26 November 1959
                    Pada  masa  berlakunya  Undang-Undang  Dasar 1945 dalam kurun waktu 5 juli 1959 sampai dengan 1966 atau masa orde lama, Presiden Soekarno dalam suratnya kepada ketua DPR No. 2262/HK/59 Tanggal 20 Agustus 1959  yang  selanjutnya  dijelaskan dengan  surat  Presiden No.3639/HK/59  Tanggal 26  November  1959, menyebutkan  bentuk-bentuk  peraturan  negara setelah Undang-Udang  Dasar adalah:
        Undang-Undang, Peraturan  pemerintah,  Peraturan pemerintah pengganti undang-undang  (Perpu), Penetapan  Presiden,  Peraturan presiden,  Peraturan  pemerintah  untuk  melaksanakan peraturan  presiden,  Keputusan  presiden, Peraturan/keputusan  Menteri.[4] Dari  sini tidak dicantumkan  Ketetapan  Majelis  Permusyawaratan Rakyat  sebagai  bentuk  peraturan  perundang-undangan karena  menganggap  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan  Rakyat  merupakan  perwujudan  dari Undang-Undang Dasar.

1.3.2    Hierarki Peraturan Perundang Undangan Berdasarkan TAP MPRS/No. XX/MPRS/Tahun 1966
     Pada  saat  berakhirnya  masa  pemerintahan  Orde lama dan memasuki masa Orde Baru, Presiden Soekarno menyurati  Dewan  Perwakilan Rakyat  Gotong Royong (DPR-GR) untuk perubahan tata  urutan  peraturan perundang undangan.
     Kemudian, dikembangkan oleh DPR-GR dan hasilnya di awal Orde Baru dengan dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia disingkat TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.
     Dalam lampiran II (pokok Pikiran IIA) TAP MPRS tersebut disebutkan Bentuk dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945:
1.    Undang-undang Dasar 1945
2.    Ketetapan MPR
3.    Undang-undang/  Peraturan  Pemerintah Pengganti Undangundang
4.    Peraturan Pemerintah
5.    Keputusan Presiden
6.    Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti: Peraturan Menteri Instruksi Menteri, dan lain-lain-nya.[5]
     Menurut Ass Tambunan  dalam  bukunya  yang berjudul  MPR  perkembangan  dan  pertumbuhannya suatu pengamatan  dan  analisis,  mengatakan  bahwa  bentuk atau jenis  peraturan  perundang-undangan  yang  dimuat dalam  TAP  MPRS  No. XX/MPRS/1966  diilhami  oleh tulisan  Mohammad  Yamin  dalam  bukunya  yang berjudul Naskah  Persiapan  Undang-undang  Dasar, Mohammad Yamin mengatakan bahwa bentuk bentuk peraturan Negara adalah sebagai berikut:
1.     UUD 1945
2.    Dekrit Presiden 5 Juli 1959
3.    Putusan MPR
4.    Penetapan  Presiden  untuk  melaksanakan  Dekrit 5 Juli 1959
5.    Peraturan  Presiden,  peraturan  tertulis  untuk mengatur kekuasaan  presiden berdasarkan pasal 4 ayat (1) UUD 1945
6.    Keputusan  Presiden,  peraturan  tertulis  untuk menjalankan  Peraturan  Presiden  atau  Undang Undang  di  bidang  Pengangkatan /pemberhentian personalia Surat  keputusan  presiden,  penentuan  tugas pegawai
7.    Undang-Undang
8.    Peraturan  pemerintah  untuk  melaksanakan Penetapan Presiden
9.    Peraturan pemerintah untuk pengganti Undang Undang
10.                        Peraturan  pemerintah  untuk  menjalankan Undang-Undang
11.                         Peraturan dan keputusan penguasa Perang
12.                        Peraturan dan keputusan Pemerintah Daerah
13.                        Peraturan tata tertib Dewan dan peraturan/keputusan dewan.  Yang di maksud dengan Dewan  misalnya  MPR,  DPR,  Dewan  Menteri, DPA, dan Dewan Perancang Nasional
14.  Peraturan dan keputusan Menteri, yang di terbitkan atas tanggungan seorang atau bersama Menteri.[6]
     Dari hal tersebut di atas, seperti yang disebutkan oleh Muhammad Yamin, menempatkan Putusan Majelis Permusyawaratan  Rakyat  (Ketetapan  MPR) berada diurutan ketiga setelah UUD 1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli  1959. Dari  inilah  awal  mulanya  TAP MPRS  dimasukkan  kedalam peraturan  perundang undangan  di  Indonesia  yang kemudian  dicantumkan  kedalam  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan Rakyat  Sementara No. XX/MPRS/1966.
2.3.3   Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan TAP MPR No.III Tahun 2000
     TAP MPR No. III/MPR/Th 2000  yang  menyebutkan tata urutan  peraturan perundang undangan menempatkan kedudukan Ketetapan  Majelis Permusyawaratan  Rakyat berada diurutan  kedua  setelah  UUD  1945. Ketetapan tersebut merupakan perubahan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XX/MPRS/1966.
2.3.4 Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
            Hierarki perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah
1.    Undang-undangan Dasar RI Tahun 1945
2.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
3.    Peraturan Pemerintah
4.    Peraturan Daerah (Perda provinsi,kabupaten/kota, dan desa)
     Namun dalam  Undang-Undang  Nomor  10  Tahun  2004 tentang  Pembentukan  Peraturan  Perundang-undangan tersebut  tidak  lagi  menempatkan  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam  jenis  dan  hierarki Peraturan  Perundang-Undangan.
     Memang betul pada Pasal 7 dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan  Perundang-undangan  selain  sebagaimana  dimaksud  ayat  (1)  diakui keberadaannya dan  mempunyai  kekuatan  hukum mengikat  sepanjang  diperintahkan  oleh  peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga  dijelaskan  lagi  dalam  Penjelasan  Pasal  7  ayat  (4), tetapi  harus  dikatakan  bahwa  status  hukum  tetaplah  tidak jelas.
                 Adanya ketidakpastian terhadap eksistensi ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku tersebut keberadaannya tidak lagi diakui pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat  cenderung  mengabaikan  ketetapan Majelis  Permusyawaratan  Rakyat  yang  masih  berlaku tersebut  baik  dalam  proses  pembentukan  undang-undang  maupun  dalam  perumusan  kebijakan  negara.
     Undang Undang  Nomor  10  Tahun  2004  telah mengandung  kesalahan  yang  sangat  mendasar.  Akibat kesalahan ini maka Ketetapan MPR RI No I MPR Tahun 2003 menjadi tidak jelas statusnya. Di masa  dulu,  pelanggaran  terhadap  ketetapan Majelis  Permusyawaratan  Rakyat  bisa  mengakibatkan jatuhnya  memorandum  DPR  yang  berujung  pada impeachment, tetapi pasca amandemen UUD 1945 langkah politik  semacam  itu  tidak  bisa  lagi  digunakan. 
     Sebab, Pasal  7A  UUD  1945  menyatakan  bahwa  impeachment terhadap  Presiden  dan/atau  Wakil  Presiden  hanya  bisa dilakukan  apabila  Presiden  dan/atau  Wakil  Presiden melakukan  pelanggaran  hukum  berupa  pengkhianatan berat  lainnya,  atau  melakukan  perbuatan  tercela,  dan atau apabila terbukti tidak lagi  memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.terhadap  Negara,  korupsi,  penyuapan,  tindak  pidana berat  lainnya,  atau  melakukan  perbuatan  tercela,  dan atau apabila terbukti tidak lagi  memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
     Padahal ada sebelas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang sangat penting dan krusial jika diabaikan, apalagi dilanggar. Disana ada TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, TAP MPR No. XI/MPR/1998  tentang  Penyelenggaraan Otonomi  Daerah,  Pengaturan,  Pembagian,  dan Pemamfaatan  Sumber  Daya  Nasional  yang  Berkeadilan.
     Serta  Perimbangan  Keungan  Pusat  dan  Daerah  dalam kerangka  NKRI,  TAP  MPR  No  VII/MPR/Th 2001  tentang Visi Indonesia Masa Depan, TAP MPR No IX/MPR/Th 2001 tentang  Pembaruan  Agraria  dan  Pengelolaan  Sumber Daya  Alam.  TAP MPR No.VI/MPR/Th 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dan TAP-TAP MPR lainnya yang sangat penting dan strategis. Tapi semuanya tidak ada sanksi dan konsekuensi apapun baik secara hukum, politik, maupun manakala dilanggar.
     Seperti halnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang  tidak  jadi  dibentuk  sehingga  pelanggaran  HAM seperti  Kasus tahun 1965,  Tanjung  Priok,  Lampung,  Kasus Orang  Hilang,  dan  sebagainya  kehilangan  modus  dan instrumennya  untuk  menyelesaikannya. Sebab,  modus dan  instrument  yang  sangat  bijak seperti  yang diamanatkan  oleh  TAP  MPR  No. V/MPR/Th.2000 diabaikan.[7]
     Pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang  Pembentukan Peraturan  Perundangundangan,  keberadaan  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan  Rakyat  menjadi  tidak  jelas.  Karena dalam  undang-undang  ini  posisi  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan  Rakyat  dikeluarkan  dari  hirarki peraturan  perundang-undangan  di  Indonesia.
     Nasib Ketetapan  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat  yang berjumlah  139  buah  menjadi  tidak  jelas  status hukumnya. Namun, kondisi  ini  berakhir  setelah  DPR  dan Pemerintah  telah  sepakat  memasukkan  kembali Ketetapan  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat  ke  dalam hirarki  peraturan  perundang-undangan.
     Hal ini terungkap dalam Rapat Panitia  Khusus  revisi  Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 Sehingga  dari  rapat  tersebut,  Undang-Undang Nomor  10  Tahun  2004  dibahas  kembali  dalam  sidang DPR sehingga direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang  Pembentukan  Peraturan Perundang-undangan.  Dalam undang-undang terbaru hasil revisi ini Ketetapan MPR (S) kembali dicantumkan dalam tata urut peraturan perundangan Indonesia.
2.3.4   Hierarki Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan No 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-Undangan
     Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3 No.10/2004). Pasal 7 ayat (1) UU 10/2004 menyebutkan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3.    Peraturan Pemerintah;
4.    Peraturan Presiden;
5.     Peraturan Daerah.[8]
     Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan dan disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Materi muatan UUD 1945 meliputi jaminan hak asasi manusia bagi setiap warga negara, prinsip-prinsip dan dasar negara, tujuan negara dan sebagainya.
     Undang-Undang (UU) dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Presiden. Materi muatan UU berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 meliputi: (1) Hak-hak asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga negara; (3) pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; (4) wilayah negara dan pembagian daerah; (5) Kewargangeraaan dan kependudukan; (6) keuangan negara. Selain itu, materi muatan UU yang lain adalah hal-hal yang diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU.
     Sementara, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) ditetapkan oleh Presiden ketika negara dalam keadaaan kegentingan yang memaksa. Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Jika tidak mendapat persetujuan, maka Perppu ini harus dicabut. Materi muatan Perppu sama dengan materi muatan UU.
     Peraturan Pemerintah (PP) ditetapkan oleh Presiden. Materi muatan PP berisi materi untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden (Perpres) juga ditetapkan oleh Presiden. Materi muatan Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
     Sedangkan, Peraturan Daerah (Perda) terdiri dari tiga kategori. Yakni, (1) Perda Provinsi yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di tingkat Provinsi bersama dengan gubernur; (2) Perda Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama dengan bupati/walikota; dan (3) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
     Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan, materi muatan Perdes atau yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.[9]
2.3.5    Hierarki Perundang-Undangan Berdasarkan UUP3 Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-Undangan
     Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011tentang Peraturan pembentukan Perundang-Undangan (UUP3) memuat tentang  ketentuan baru, yakni masuknya kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hierarki dalam peraturan perundang-undangan Dalam  pasal  7  ayat  (1)  disebutkan  bahwa  hirarki peraturan perundang-undangan terdiri dari:
1.     UUD 1945
2.    Ketetapan MPR
3.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-Undang (Perpu)
4.    Peraturan pemerintah
5.    Peraturan Presiden
6.    Peraturan Daerah Propinsi dan
7.    Peraturan Daerah Kabupaten.
               Dari pasal  di  atas,  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan  Rakyat  menduduki  posisinya  yang benar  dalam  sistem  hukum  di  Indonesia  dan  kembali menjadi  sumber hukum  formal  dan  material. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat harus kembali menjadi rujukan atau salah satu rujukan selain UUD 1945 bukan hanya dalam pembentukan perundang-undangan di Indonesia, melainkan juga dalam pembentukan kebijakan-kebijakan publik lainnya.
               DPR dan Pemerintah (Presiden) mutlak harus memperhatikan ketetapan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku, bahkan merujuk kepadanya dalam pembentukan undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.[10]
               Sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum hirarki. Jadi, peraturan perundang-undangan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang berada di atasnya. Sehingga   segala bentuk peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sebagai peraturan perundangundangan yang paling tinggi.



[1] Ibid, Satjibto Raharjo, hal.58
[2] J.J.H.  Bruggink,  (1996)Refleksi  Tentang  Hukum,  Bandung;  Citra  Aditya  Bakti,  hal  150-152
[3] Riki Yudiagara, (2013) Buku Saku: Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang Undangan   Indonesia (TAP MPR dari Masa Ke Masa), diterbitkan melalui website: www. rikiyuniagara.Wordpress.com, hal 3
[4] Jimly Asshiddiqie, (2012). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca  Reformasi,  hal.  212-213.  Dalam Delvi  Suganda, (2012). Mekanisme Judicial Review terhadap Qanun Aceh, hal. 22.
[5] Natabaya, (2006). Sistem Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hal.112
[6] Ibid., hal. 113.
[7] Hajriyanto Y. Thohari, (2014). Eksistensi Ketetapan MPR Pasca UU No 12  Tahun  2011,  diakses  pada  tanggal  29 Juli  2016  melalui  situs www.mpr.go.id, hal. 3.
[8] Pasal 7 UU No 10 Tahun 2014 tentang Peraturan pembentukan Perundang-Undangan (UUP3)
[9] Hierarki Peraturan perundang-Undangan Republik Indonesia Menurut UU No 10 Tahun 2004 Diakses di http://www. hukumonline. com pada Sabtu 29 Oktober 2016
[10] Hajriyanto Y. Thohari.Ibid, hal. 4.