Ditulis Oleh: Muhammad Hadidi, SH |
Dalam
sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia,
peraturan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih
tinggi atau yang sederajat dengannya. Hal tersebut dikarenakan
Indonesia menganut sistem hirarki peraturan perundang-undangan. Dengan adanya
sistem tersebut, semua peraturan perundang-undangan Indonesia tersusun dengan
rapi dan sistematis serta terhindar dari perbenturan antar peraturan
perundangan-undangan.
Hal
tersebut dijelaskan dalam Pasal 7 Undang Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan
sebagai berikut:
1.
UUD 1945
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu)
4.
Peraturan Pemerintah
5.
Peraturan Presiden
6.
Peraturan Daerah Propinsi
7.
Peraturan Daerah Kabupaten /Kota.[1]
Dalam
undang undang tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan
perundang-undangan sesuai dengan hirarkinya.
Setiap peraturan perundangundangan tidak boleh bertentangan dengan
peraturan di atasnya atau setara dengannya.
Apabila ada yang dianggap bertentangan maka diuji kelayakannya. Maka
dari itulah muncul yang namanya hak menguji peraturan perundangan undangan
yaitu judicial review, legislative review
dan eksekutive review.[2]
2.4.1 Pengawasan Legislatif
(Legislative Review)
Legislative
review adalah
upaya ke lembaga legislatif atau
lembaga lain yang
memiliki kewenangan legislasi untuk
mengubah suatu peraturan
perundang- undangan. Misalnya,
pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk mengubah undang-undang tertentu.[3]
Dalam legislative review, setiap
orang dapat meminta agar
lembaga legislasi melakukan
revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya peraturan
perundang-undangan itu sudah tidak
sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi
atau sederajat dengannya.[4] Dengan demikian,
produk hukum yang
lama tidak berlaku
lagi apabila telah dikeluarkannya produk
hukum yang baru melalui revisi yang dilakukan oleh
lembaga legislatif.
Contoh lainnya, mengenai Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Apabila dalam jangka satu tahun, suatu Perpu tidak mendapat persetujuan
DPR, maka Perpu itu harus dicabut oleh Presiden. Sebelum
Perpu dijadikan sebagai
undangundang, terlebih dahulu
harus diuji kelayakannya
oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), apakah layak
Perpu tersebut dijadikan sebagai
undang-undang atau tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Apabila Perpu telah melewati proses legislative review
yang dilakukan oleh DPR,
maka Perpu akan
naik tingkatannya menjadi undang-undang, tapi
apabila Perpu tersebut
tidak memenuhi syarat untuk
dijadikan undang-undang
melalui proses legislative review,
maka perpu tersebut tidak dapat
diberlakukan menjadi undang-undang
dan ditolak secara keseluruhan.
Bentuk pengujian seperti ini merupakan bentuk pengujian lembaga
legislatif terhadap produk hukum yang dibentuk lembaga eksekutif (executive acts).
2.4.2 Pengawasan
Eksekutif (Executive Review)
Selain
itu, pengujian terhadap
peraturan perundang-undangan
dapat juga dilakukan
oleh lembaga eksekutif (pemerintah)
dikenal dengan istilah Executive
Review adalah segala
bentuk produk hukum pihak executive diuji oleh baik kelembagaan dan
kewenangan yang bersifat
hirarkis. Dalam konteks ini yang
diperkenalkan istilah “control internal”
yang dilakukan oleh pihak itu sendiri terhadap produk hukum yang dikeluarkan
baik yang berbentuk regeling maupun beschikking.[5]
Sasaran
objek “executive review” adalah
peraturan yang bersifat regeling
melalui proses pencabutan
atau pembatalan. Pengujian yang disebut “executive review” ini dilakukan
untuk menjaga peraturan
yang diciptakan oleh pemerintah
(eksekutif) tetap sinkron atau searah,
dan juga konsisten serta
adanya kepastian hukum untuk keadilan bagi masyarakat.[6]
Pemberlakuan executive review
ini telah diatur dalam
Pasal 251 ayat
(7) dan ayat (8)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan
Daerah Proses executive review Peraturan
Daerah dilakukan dalam bentuk
pengawasan oleh pemerintah
pusat melalui Kementerian Dalam
Negeri.
Executive review
dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri terhadap
peraturan daerah ditingkat provinsi
dan tingkat Kabupaten. Pemerintah pusat berhak
membatalkan peraturan (Perda) di daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah
atau kabupaten untuk disahkan apabila dinilai bertentangan dengan peraturan di
atasnya atau sederajat dengannya. Pembatalan
peraturan di daerah yang dilakukan oleh
pemerintah Pusat sering
terjadi belakangan ini
karena dinilai banyak Perda yang dibuat oleh Pemerintah
Daerah bertentangan dengan peraturan
diatasnya (hierarki tata perundanga-undangan di Indonesia).
Contohnya di provinsi Aceh, sejak tahun
2000 sampai 2015 lebih dari 65 Qanun dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri
(lihat dokumen koran Serambi Indonesia,
selasa 21 Mei
2013). Alasan Kemendagri
membatalkan qanun tersebut
karena terindikasi
bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi, bertentangan dengan
peraturan yang sederajat, bertentangan dengan kepentingan
umum dan tidak jelas parameter
HAM-nya.
Atas dasar itulah qanun-qanun tersebut
batal demi hukum untuk diberlakukan atau disahkan. Adanya ketiga hak menguji
peraturan perundangundangan di
Indonesia yang telah
diuraikan di atas bertujuan agar setiap peraturan
perundangan-undangan selalu
dipantau dan diawasi
oleh pemerintah baik
dari lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif sehingga tidak terjadi
perbenturan antara peraturan
yang satu dengan peraturan yang
lain.
2.4.3 Pengujian
Yudisial (Judicial Review)
Pengajian Yudisial (Judicial review)
merupakan kewenangan hakim untuk
menilai apakah legislative acts, executive acts, dan administrative
action bertentangan atau
tidak dengan UUD (tidak
hanya menilai peraturan
perundangundangan).[7] Definisi judicial review
di sini digunakan oleh negara yang menganut common
law system seperti Amerika Serikat dan Inggris.[8]
Sedangkan definisi judicial review menurut negara yang
menganut civil law system, seperti
yang dikemukakan oleh Jimly
Asshiddiqie yaitu upaya pengujian oleh lembaga judicial
terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan negara
legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif
dalam rangka penerapan prinsip checks and balances
berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan
negara (separation of power).[9]
Negara yang menganut civil law system system seperti, Perancis dan Jerman.[10] Di Indonesia,
definisi judicial review sama
seperti yang dianut oleh
negara Prancis dan
Jerman karena sistem hukum
Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system).[11]
Praktek Judicial review
bertujuan agar peraturan perundang-undangan tidak
saling bertentang antara yang satu dengan yang lain, antara
peraturan yang lebih rendah dengan peraturan
yg di atasnya
(peraturan yg lebih tinggi
darinya) atau yang
sederajat dengannya. Kewenangan judicial review ini dimiliki oleh dua
lembaga tinggi Indonesia yakni Mahkamah Konstitusi dan mahkamah Agung.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 24a dan
24c UUD 1945 Pasal 24c ayat (1) UUD
1945 (setelah amandemen ke-IV) menyatakan bahwa:“Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum”
Mahkamah Konstitusi (MK) berkewenangan menguji undang-undang terhadap
UUD, sedangkan Mahkamah Agung berkewenangan
menguji Peraturan perundangundangan dibawah
undang-undang (PP, Perpres,
Perda provinsi/qanun provinsi,
perda Kabupaten/perda kabupaten) apabila
terindikasi bertentangan dengan peraturan diatasnya.
Dengan demikian, peraturan perundang-undangan di Indonesia tersusun
dengan sistematis dan tidak saling tumpah tindih.
[2]Riki
Yuniagara, (2013). Buku Saku Study Perundang-Undangan: Hak menguji
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia (TAP
MPR dari Masa
Ke Masa). Diakses 13 Agustus 2016 websiterikiyuniagara.wordpress.com.
[3] Hukumonline.com (2012). Praktik Legislative
Review dan Judicial Review di
Indonesia . Diakses Pada tanggal
17 Juli 2016 dari situs:http://www.hukumonline.com/
praktik-legislative-review-dan-judicial-review-di-indonesia.
[5] Paulus Effendi
Lotulung, (2013). Laporan Akhir
Dan Evaluasi Hukum tentang Wewenang Mahkamah Agung dalam
Melaksanakan Hak uji Materil (judicial
review), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Departemen
hukum Perundang-undangan Ri tahun 1999/2000), hal 229.
[6] Zainal Arifin
Hoesein, (2009). Judicial
Review Di Mahkamah
Agung Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-Undang,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 63.
[7] Fatmawati
(2005).
“Hak Menguji (toetsingsrecht) yang
dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum
Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada,hal. 8.
[9] Jimly Asshiddiqie. Menelaah
Putusan Mahkamah Agung tentang Judicial Review atas PP No. 19
Tahun 2000 yang
bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999,
(tanpa tempat, tanpa tahun), hal. 1
[10] Fatmawati, (1998). Hak Menguji
(toetsingsrecht) yang dimiliki
Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, hal. 38.