2.4 Mekanisme Pengawasan dan Pengujian Perundang Undangan di Indonesia

Ditulis Oleh: Muhammad Hadidi, SH
Dalam  sistem  peraturan  perundang-undangan  di Indonesia,  peraturan  yang  lebih  rendah  tidak  boleh bertentangan  dengan  peraturan  yang  lebih  tinggi  atau yang  sederajat dengannya. Hal tersebut dikarenakan Indonesia menganut sistem hirarki peraturan perundang-undangan. Dengan adanya sistem tersebut, semua peraturan perundang-undangan Indonesia tersusun dengan rapi dan sistematis serta terhindar dari perbenturan antar peraturan perundangan-undangan.
               Hal tersebut  dijelaskan  dalam Pasal 7 Undang Undang  Nomor  12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan  tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 
1.   UUD 1945
2.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3.   Undang-Undang/Peraturan  Pemerintah  Pengganti Undang-Undang (Perpu)
4.   Peraturan Pemerintah
5.   Peraturan Presiden
6.   Peraturan Daerah Propinsi
7.   Peraturan Daerah Kabupaten /Kota.[1]
               Dalam undang undang tersebut ditegaskan pula, bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hirarkinya.  Setiap peraturan perundangundangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya atau setara dengannya.  Apabila ada yang dianggap bertentangan maka diuji kelayakannya. Maka dari itulah muncul yang namanya hak menguji peraturan perundangan undangan yaitu judicial review, legislative review dan eksekutive review.[2]
2.4.1   Pengawasan Legislatif (Legislative Review)
   Legislative  review  adalah  upaya  ke  lembaga legislatif  atau  lembaga  lain  yang  memiliki  kewenangan legislasi  untuk  mengubah  suatu  peraturan  perundang- undangan.  Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk mengubah undang-undang tertentu.[3]
   Dalam  legislative  review,  setiap  orang  dapat meminta  agar  lembaga  legislasi  melakukan  revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya  peraturan  perundang-undangan  itu  sudah tidak  sesuai  lagi  dengan  perkembangan  zaman, bertentangan  dengan  peraturan  perundang-undangan yang  lebih  tinggi  atau  sederajat  dengannya.[4] Dengan demikian, produk  hukum  yang  lama  tidak  berlaku  lagi apabila  telah  dikeluarkannya  produk  hukum  yang  baru melalui revisi yang dilakukan oleh lembaga legislatif.
Contoh lainnya, mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).  Apabila dalam jangka satu tahun, suatu Perpu tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perpu itu harus dicabut oleh Presiden.  Sebelum  Perpu  dijadikan  sebagai  undangundang,  terlebih  dahulu  harus  diuji  kelayakannya  oleh Dewan  Perwakilan  Rakyat  (DPR),  apakah  layak  Perpu tersebut  dijadikan  sebagai  undang-undang  atau  tidak sesuai dengan  ketentuan  yang  berlaku. 
Apabila Perpu telah melewati proses  legislative  review  yang  dilakukan oleh  DPR,  maka  Perpu  akan  naik  tingkatannya  menjadi undang-undang,  tapi  apabila  Perpu  tersebut  tidak memenuhi  syarat  untuk  dijadikan  undang-undang melalui  proses  legislative  review,  maka  perpu  tersebut tidak  dapat  diberlakukan  menjadi  undang-undang  dan ditolak secara keseluruhan.  Bentuk pengujian seperti ini merupakan bentuk pengujian lembaga legislatif terhadap produk hukum yang dibentuk lembaga eksekutif (executive acts).
2.4.2   Pengawasan Eksekutif (Executive Review)
     Selain  itu,  pengujian  terhadap  peraturan perundang-undangan  dapat  juga  dilakukan  oleh lembaga  eksekutif  (pemerintah)  dikenal  dengan  istilah  Executive  Review  adalah  segala  bentuk  produk hukum pihak  executive  diuji oleh baik kelembagaan dan kewenangan  yang  bersifat  hirarkis.  Dalam konteks ini yang diperkenalkan istilah “control internal” yang dilakukan oleh pihak itu sendiri terhadap produk hukum yang dikeluarkan baik yang berbentuk regeling maupun beschikking.[5]
     Sasaran  objek  “executive  review”  adalah  peraturan yang  bersifat  regeling  melalui  proses  pencabutan  atau pembatalan. Pengujian yang disebut “executive review” ini dilakukan  untuk  menjaga  peraturan  yang  diciptakan oleh pemerintah (eksekutif)  tetap sinkron atau searah, dan juga  konsisten  serta  adanya kepastian  hukum  untuk keadilan bagi masyarakat.[6]
     Pemberlakuan  executive  review  ini  telah  diatur dalam  Pasal  251  ayat  (7)  dan ayat (8) Undang-Undang  Nomor  23 Tahun  2014  tentang  Pemerintahan  Daerah  Proses executive  review  Peraturan  Daerah  dilakukan  dalam bentuk  pengawasan  oleh  pemerintah  pusat  melalui Kementerian Dalam Negeri.
     Executive  review  dilakukan  oleh pemerintah  pusat melalui Kementerian  Dalam  Negeri  terhadap  peraturan daerah  ditingkat  provinsi  dan  tingkat  Kabupaten. Pemerintah pusat berhak membatalkan peraturan (Perda) di daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah atau kabupaten untuk disahkan apabila dinilai bertentangan dengan peraturan di atasnya atau sederajat dengannya. Pembatalan  peraturan  di daerah  yang dilakukan  oleh  pemerintah  Pusat  sering  terjadi belakangan ini  karena  dinilai  banyak Perda yang dibuat oleh Pemerintah Daerah bertentangan  dengan peraturan diatasnya (hierarki tata perundanga-undangan di Indonesia).
     Contohnya di provinsi Aceh, sejak tahun 2000 sampai 2015 lebih dari 65 Qanun dibatalkan oleh Kementerian Dalam  Negeri  (lihat dokumen koran Serambi Indonesia,  selasa  21  Mei  2013).  Alasan Kemendagri membatalkan  qanun  tersebut  karena  terindikasi bertentangan  dengan  peraturan  yang  lebih  tinggi, bertentangan  dengan  peraturan  yang  sederajat, bertentangan dengan kepentingan umum dan tidak jelas parameter  HAM-nya. 
     Atas dasar itulah qanun-qanun tersebut batal demi hukum untuk diberlakukan atau disahkan. Adanya ketiga hak menguji peraturan perundangundangan di  Indonesia  yang  telah  diuraikan  di  atas bertujuan agar setiap peraturan perundangan-undangan selalu  dipantau  dan  diawasi  oleh  pemerintah  baik  dari lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif sehingga tidak  terjadi  perbenturan  antara  peraturan  yang  satu dengan peraturan yang lain.

2.4.3   Pengujian Yudisial (Judicial Review)
     Pengajian Yudisial (Judicial review)  merupakan  kewenangan  hakim untuk  menilai  apakah legislative acts, executive acts, dan administrative action  bertentangan  atau  tidak  dengan UUD  (tidak  hanya  menilai  peraturan  perundangundangan).[7] Definisi judicial review di sini digunakan oleh negara yang menganut common law system seperti Amerika Serikat dan Inggris.[8]
     Sedangkan definisi judicial review menurut negara yang  menganut  civil  law system,  seperti  yang dikemukakan  oleh  Jimly  Asshiddiqie  yaitu  upaya pengujian oleh lembaga  judicial  terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif,  ataupun  yudikatif  dalam  rangka  penerapan prinsip checks and balances  berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan  negara  (separation  of  power).[9]
     Negara yang menganut civil law system system seperti, Perancis dan Jerman.[10] Di  Indonesia,  definisi  judicial  review  sama  seperti yang  dianut  oleh  negara  Prancis  dan  Jerman  karena sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system).[11]
     Praktek Judicial  review  bertujuan  agar  peraturan perundang-undangan  tidak  saling  bertentang  antara yang satu dengan yang lain, antara peraturan yang lebih rendah  dengan  peraturan  yg  di  atasnya  (peraturan  yg lebih  tinggi  darinya)  atau  yang  sederajat  dengannya. Kewenangan judicial review ini dimiliki oleh dua lembaga tinggi Indonesia yakni Mahkamah Konstitusi dan mahkamah Agung.
    
     Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 24a dan 24c UUD 1945 Pasal 24c ayat  (1)  UUD  1945  (setelah  amandemen ke-IV) menyatakan bahwa:“Mahkamah  Konstitusi  berwenang  mengadili  pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa  kewenangan lembaga  negara  yang  kewenangannya  diberikan  oleh Undang-Undang  Dasar,  memutus  pembubaran  partai politik,  dan  memutus  perselisihan  tentang  hasil pemilihan umum”
     Mahkamah Konstitusi (MK) berkewenangan  menguji undang-undang  terhadap  UUD,  sedangkan  Mahkamah Agung  berkewenangan  menguji  Peraturan  perundangundangan  dibawah  undang-undang  (PP,  Perpres,  Perda provinsi/qanun  provinsi, perda Kabupaten/perda kabupaten) apabila  terindikasi  bertentangan  dengan peraturan  diatasnya.  Dengan demikian, peraturan perundang-undangan di Indonesia tersusun dengan sistematis dan tidak saling tumpah tindih.



[1] Pasal 7 Nomor  12  Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan  Perundang-undangan 
[2]Riki Yuniagara, (2013). Buku Saku Study Perundang-Undangan: Hak menguji Peraturan Perundang-undangan di Indonesia (TAP  MPR  dari  Masa  Ke Masa). Diakses 13 Agustus 2016 websiterikiyuniagara.wordpress.com.
[3] Hukumonline.com (2012)Praktik  Legislative  Review  dan  Judicial Review  di  Indonesia . Diakses  Pada  tanggal  17  Juli 2016  dari situs:http://www.hukumonline.com/ praktik-legislative-review-dan-judicial-review-di-indonesia.
[4] Ibid, hal. 12
[5] Paulus  Effendi  Lotulung, (2013). Laporan  Akhir  Dan  Evaluasi  Hukum tentang Wewenang Mahkamah Agung dalam Melaksanakan Hak uji Materil (judicial  review),  (Jakarta:  Badan  Pembinaan  Hukum  Departemen  hukum Perundang-undangan Ri tahun 1999/2000), hal 229.
[6] Zainal Arifin Hoesein, (2009)Judicial  Review  Di  Mahkamah  Agung Tiga  Dekade  Pengujian  Peraturan  Perundang-Undang, Jakarta:  PT  Raja Grafindo Persada, hal. 63.
[7] Fatmawati (2005). “Hak  Menguji  (toetsingsrecht)  yang  dimiliki  Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia,  Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,hal. 8.
[8] Ibid, hal 38
[9] Jimly Asshiddiqie. Menelaah Putusan Mahkamah Agung tentang Judicial Review atas PP No.  19  Tahun  2000  yang  bertentangan  dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, (tanpa tempat, tanpa tahun), hal. 1
[10] Fatmawati, (1998).  Hak  Menguji  (toetsingsrecht)  yang  dimiliki  Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, hal. 38.
[11] Ibid, hal.92