Ditulis Oleh: Muhammad Hadidi, MH |
Qanun
Aceh adalah Peraturan Perundangan undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang
mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.[1]Qanun Aceh di buat
berdasarkan peraturan perundangan perundangan yang berlaku yang disusun oleh
pihak eksekutif dan legislatif Aceh.
Untuk
penyusunan sebuah Qanun di Aceh, pemerintahan Aceh mengikuti peraturan
perundangan-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Namun demikian untuk peraturan di
Aceh, Pemerintah Aceh berpatokan pada Qanun No. 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara
Pembentukan Qanun, hal ini menjadi simpang siur antara kewenangan yang di
berikan kepada pemerintahan Aceh. Tidak ada perbedaan secara formalitas dalam
proses pembuatan Qanun di Aceh yaitu sama dengan daerah lain secara keseluruhan
di Indonesia.
Dalam
materi pembuatan Qanun yang di muat dalam Qanun No. 3 Tahun 2007 Tentang Tata
Cara Pembentukan Qanun terdapat beberapa perbedaan dengan materi muatan
perundangan-undangan yang di atur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang
Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Qanun No. 3 Tahun
2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun disebutkan bahwasanya materi
muatanQanun mengandung asas:
1.
Keislaman;
2.
Kebenaran;
3.
Kemanfaatan;
4.
Pengayoman;
5.
Kemanusiaan;
6.
Kebangsaan;
7.
Kekeluargaan;
8.
Karakteristik Aceh;
9.
Keanekaragaman;
10. Keadilan;
11. Nondiskriminasi;
12. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
13. Ketertiban dan kepastian hukun; dan/atau
14. Keseimbangan, keserasian, kesetaraan, dan
keselarasan.
Sedangkan
dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan di sebutkan bahwasanya materi muatan Perundang-undangan
mencermikan asas:
1.
Pengayoman;
2.
Kemanusiaan;
3.
Kebangsaan;
4.
Kekeluargaan;
5.
Kenusantaraan;
6.
Bhinneka Tunggal Ika;
7.
Keadilan;
8.
Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9.
Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
10. Kesimbangan, keserasian, dan keselarasan
Pada
ayat (2) dalam Pasal ini disebutkan bahwasanya selain mencermikan asas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundangan-perundangan tertentu
dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundangan-undangan yang bersangkutan.
Dari
dua materi muatan perundang-undangan dari kedua peraturan perundangan-undangan
tersebut terdapat perbedaan. Untuk Qanun Aceh di berikan beberapa tambahan,
salah satunya adalah asas Keislaman yang merupakan wujud dari keistimewaan
Aceh. Dengan adanya asas-asas diatas maka terbentuknya beberapa Qanun yang
berlandaskan Al-Qur’an dan Al Hadist.
Sementara
itu jika merujuk pada Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Tata Cara
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak terdapatnya asas Keislaman yang
sifatnya sangat Religiusitas dan Spesifik, sekalipun pada ayat (2) Pasal
tersebut menyatakan selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan
bidang hukum Peraturan Perundangan-undangan yang bersangkutan.
Dari
penjelasan pada Pasal dua ini disebutkan bahwasanya yang dimaksud dengan asas
lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan
antara lain:
a.
Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas
tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah;
b.
Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian,
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikat baik.
Asas
Keislaman yang menjadi persoalan penting dalam pebuatan Qanun di Aceh
menyebabkan banyak muncul pro dan kontra terhadap produk legislatif di Aceh.
Terutama pada landasan yuridis sebuah Qanun yang menjadikan Al-Qur’an sebagai
bagian dari landasan yurudisnya.[2]
Namun
yang menjadi persoalan penting dalam pembentukan Qanun Aceh tidak mencantumkan
atau tidak menjadikan pancasila sebagai dasar filosofis. Seharusnya kedudukan
Pancasila sebagai harmonisasi dan penyeimbang terhadap isi dari Qanun tersebut.
Pada kenyataannya dapat dilihat, ada beberapa Qanun di Aceh yang mengatur
tentang pelaksanaan Syari‘at Islam yang tidak mencantumkan Pancasila sebagai
landasan filosofinya.
Hal
ini bisa dilihat pada beberapa Qanun di Aceh, yaitu Qanun No. 5 Tahun 2000
Tentang Pelaksanaan Syari‘at Islam di Aceh, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam No. 12 Tahun 2003 tentang minun Khamar dan sejenisnya, Qanun No. 13
Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang
Khawat (Mesum).
[1] Ayat
1 Pasal I Bab I Ketentuan Umum Qanun Aceh No. 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara
Pembuatan Qanun
[2] Terhadap
beberapa Qanun Aceh, yang mengatur tentang pelaksanaan Syari‟at
Islam,Khamar,Maisir dan Khamar, yang mana Qanun-Qanun tersebut menggunakan
Al-Qur‟an dan Al-Hadits sebagai landasan yuridis nya.