Integrasi Teori Norma Hukum Hans Kelsen-Hans-Nawiasky Dalam Pembentuntukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Add caption

Ditulis Oleh Muhammad Hadidi, MH
     Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:[1] Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm); Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz); Undang-undang formal (formell gesetz); dan Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung). Penjabarannya adalah sebagai berikut:
1. Norma Fundamental Negara (Staatsfundamental Norm)
Norma fundamental negaraadalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staats Verfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.[2]
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai Staats Grund Norm melainkan Staats Fundamental Norm, atau norma fundamental negara. Grund Norm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.[3]
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah: Staatsfundamental Norm di Indonesia adalah Pancasila dan (Pembukaan UUD 1945). Staatsgrund Gesetz di Indonesia adalah  Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan; Formell Gesetz di Indonesia adalah  Undang-Undang; Sedangkan  Verordnung en Autonome Satzung di Indonesia adalah secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati/Walikota.
Penempatan Pancasila sebagai Staats Fundamental Norm di Indonesia pertama kali disampaikan oleh Notonagoro[4]. Yang mengatakan bahwa Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) atau merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staats Fundamental Norm  maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari pandangan dan nilai-nilai filosofi Pancasila.[5]
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats Fundamental Norm berarti menempatkan Pancasila di atas Undang-Undang Dasar 1945. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan norma antara Pancasila dan UUD 1945.
Sebagaimana Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama yang akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis.
Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid[6] Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.
Lebih lanjut Hans Kelsen-Hans Nawiaski mengemukakan Semua norma hukum adalah miliki satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.[7]
Kalimat terakhir di atas jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.[8]
Namun logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, dan mempertnyakan manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm). Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Hans Nawiasky dengan membedakan antara Staats Fundamental Norm dengan Staat Sgrund Gesetz atau Grund Norm dengan alasan bahwa Grund Norm pada dasarnya tidak berubah sedangkan Staats Fundamental Norm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.[9]
Pendapat Hans Nawiasky tersebut sangat sejalan dan bisa di integrasikan dengan pandangan gurunya Hans Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa.[10] Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif.
Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama.[11]
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat di integrasikan pada titik  Staats Fundamental Norm yang dikemukakan oleh Nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang telah lebih dulu dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan Staats Grund Gesetz-nya Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen.
Namun untuk hierarki norma hukum di Indonesia apakah Pancasila merupakan Staats Fundamental Norm atau merupakan bagian dari konstitusi. Mengingat Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945.
Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia.[12] Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima sila.[13]
Sedangkan konstitusi (UUD 1945) struktur ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami perubahan mendasar. Pasalnya kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi. MPR sebagai badan perwakilan (legislatif) kedudukannya sejajar dengan lembaga negara (tinggi) lainnya. MPR sejajar dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Presiden dan Wakil Presiden, MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), bahkan kedudukan MPR sejajar dengan KY (Komisi Yudisial) sebagai Lembaga Negara.[14]
Lebih lanjut, pasca reformasi 1998 dan diiringi dengan amandemen Itulah salah satu perubahan mendasar dari struktur ketatanegaraan. Perubahan lainnya yang berpengaruh terhadap format ketatanegaraan adalah tentang tata tata urutan peraturan perundang-undangan. Dimana Ketetapan MPR tidak lagi menjadi bagian dari hierarki perundang-undangan karena jenisnya yang bukan bersifat mengatur.
Hierarki atau tata urutan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 7 (1), yaitu: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (Perda). Yang menjadi inspirasi hierarki tata urutan perundang-undangan di atas adalah seorang pemikir yang bernama Hans Kelsen. Hans Kelsen dilahirkan dari pasangan kelas menengah Yahudi berbahasa Jerman di Prague pada tanggal 11 Oktober 1881. Saat berusia tiga tahun, Kelsen dan keluarganya pindah ke Wina dan menyelesaikan masa pendidikannya.
Kelsen adalah seorang agnostis, namun pada tahun 1905 Kelsen pindah agama menjadi Katolik demi menghindari masalah integrasi dan kelancaran karir akademiknya. Namun identitas Kelsen sebagai keturunan Yahudi tetap saja mendatangkan banyak masalah dalam hidupnya. Kelsen pada awalnya adalah pengacara publik yang berpandangan sekuler terhadap hukum sebagai instrument mewujudkan kedamaian. Pandangan ini diinspirasikan oleh kebijakan toleransi yang dikembangkan oleh rezim Dual Monarchy di Habsburg.[15]

Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut The Pure Theory of Law, mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang berbeda antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.
Hierarki tata urutan perundang-undangan adalah kumpulan norma-norma. Norma atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif atau negatif sehingga mencakup norma anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu.
Apabila ditinjau dari segi etimologinya, kata norma itu sendiri berasal dari bahasa Latin, sedangkan kaidah atau kaedah berasal dari bahasa Arab. Norma berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Karya Plato yang berjudul Nomoi biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah The Law.[16]Sedangkan kaidah dalam bahasa Arab, qo’idah berarti ukuran atau nilai pengukur.
Jika pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau norma yang dimaksud dapat berisi: kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibahah, mubah (permittere); anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut sunnah; anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut “makruh”; perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere); dan perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau yang dalam bahasa Arab disebut “haram” atau larangan (prohibere).[17]
Berlakunya suatu norma senantiasa dapat dikembalikan  kepada berlakunya norm yang lebih tinggi, demikian selanjutnya, sehingga akhirnya sampai pada grundnorm.[18] Kaidah hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms) dan yang bersifat konkret dan individual (concrete and individual norms). Kaidah umum selalu bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subjek yang terkait tanpa menunjuk atau mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak, atau individu tertentu. Kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak inilah yang biasanya menjadi materi peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang dikenai perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.
Sementara itu, kaidah hukum individuil selalu bersifat konkret. Kaidah konkret ini ditujukan kepada orang tertentu, pihak, atau subjek-subjek hukum tertentu, atau peristiwa dan keadaan-keadaan tertentu. Sebagai contoh dapat dikemukakan, misalnya, pertama kaidah hukum yang ditentukan oleh pengadilan dalam bentuk putusan (vonnis) selalu berisi hal-hal dan subjek hukum yang bersifat individuil dan konkret, misalnya si A dipidana 10 tahun; Kedua, kaidah hukum yang ditentukan oleh pejabat pemerintahan (bestuur), misalnya, si B diberi izin untuk mengimpor mobil bekas, atau si X diangkat menjadi Direktur Jenderal suatu departemen;  Ketiga, kaidah hukum yang dilakukan oleh kepolisian, misalnya, si A ditangkap dan ditahan untuk tujuan penyidikan; atau  Keempat kaidah hukum yang ditentukan dalam perjanjian perdata, misalnya, si X berjanji akan membayar sewa rumah yang ditempatinya kepada pemilik rumah.
Keempat contoh di atas jelas menggambarkan sifat kaidah hukum yang bersifat konkret dan individuil (concrete and individual norms) yang sangat berbeda dari sifat kaidah hukum yang umum dan abstrak (general and abstract norms)[19] Kelsen mengemukakan “Pure Theory of Law”  yang terjemahannya teori murni tentang hukum (yang murni bukan hukumnya tetapi teorinya), ajarannya yaitu: dalam membuat teori hukum haruslah bersih/murni dari pengaruh unsur-unsur lain.
Murni di sini dimaksudkan tidak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu lain, unsur atau ajaran–ajaran lain misalnya agama filsafat, sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi dan sebagainya. Untuk mendukung teori murni tentang hukumnya, Kelsen mengemukakan teori Stufenbau yaitu mengenai keberlakuan kaidah hukum. Keberadaan kaidah yang lebih rendah ditentukan oleh kaidah lebih tinggi dengan demikian kaidah konkrit berlaku berdasarkan kaidah abstrak, sedangkan kaidah abstrak berlaku berdasarkan kaidah dasar atau grundnorm[20]
Pengaturan norma hukum khususnya tentang hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia pada prinsipnya banyak diinisiasi dari teori Stufenbau yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen. Teori Stufenbau pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen yang kemudian mendapat engembangan lebih lanjut oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky.[21]
Teori yang dalam bahasa lengkapnya disebut sebagai ”Stufenbau das Recht” atau ”The hierarchy of law” menjelaskan bahwa norma hukum merupakan suatu susunan berjenjang yang mana setiap norma hukum yang lebih rendah memperoleh kekuatan hukum dari norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya.[22]
Norma yang menentukan pembentukan norma lainnya adalah norma yang lebih tinggi derajatnya, demikian juga sebaliknya bahwa norma yang dibentuk berdasarkan norma yang lebih tinggi memiliki derajat yang lebih rendah. Dalam hal ini, maka hubungan antara norma yang lebih tinggi dengan norma di bawahnya merupakan hubungan hierarki norma. Sebagai konsekuensinya, maka norma yang tingkatan derajatnya lebih rendah tidak diperbolehkan bertentangan dengan norma ditingkat atasnya. [23]
Lebih lanjut, Hans Kelsen menjelaskan bahwa hukum adalah suatu hierarki mengenai hubungan normatif, bukan suatu hubungan sebab akibat[24] yang esensinya mengandung kenyataan normatif atau apa yang seyogianya dilakukan (das sollen) dan bukan pada kenyataan alamiah atau peristiswa konkrit (das sein)[25] Dalam hukum, yang menjadi bagian terpenting adalah bukan terletak pada persoalan apa yang terjadi, melainkan mengarah pada apa yang seharusnya terjadi.
Sudikno Mertokusumo[26] menjelaskan bahwa kaedah hukum sifatnya pasif, agar kaedah hukum itu kemudian berubah menjadi aktif dan hidup, maka dibutuhkan ”rangsangan” dan yang dimaksud dengan ”rangsangan” dalam hal ini adalah peristiwa konkrit. Dengan adanya peristiwa konkrit, maka akan berdampak pada aktifnya kaedah hukum. Dengan demikian, maka menjadi terlihat dengan jelas bagaimana peran peristiwa konkrit dalam membentuk kaedah hukum yang aktif dan benar-benar hidup.
Dari pandangan Hans Kelsen serta pengembangan yang dilakukan oleh para ahli hukum itu, setidaknya terdapat 3 (tiga) point penting yang dapat digali. Pertama, bahwa teori Stufenbau menunjukkan kaedah hukum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan seluruh peraturan tingkat bawahnya. Jenjang hierarkis yang dijelaskan dalam teori Hans Kelsen menjadi pengikat dan mengharuskan seluruh norma hukum mulai dari tingkatan yang lebih tinggi sampai ke tingkatan yang lebih rendah berada dalam satu susunan yang berjenjang hierarkis.
Kedua, teori Hans Kelsen juga memberikan amanat bahwa dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada aturan yang lebih tinggi, yang mana puncak dari piramida teori ini berakhir pada norma dasar atau Groundnorm. Norma dasar berperan sebagai sumber utama dalam pembentukan norma hukum serta peraturan-peraturan lain sampai ke tingkat bawahnya. Jadi, jenjang hierarkis dimaksud bukan hanya sebatas pada susunan belaka, namun juga terkait dengan seluruh substansi yang hendak diatur dalam setiap jenjang peraturan harus mengacu pada ketentuan yang lebih tinggi.
Ketiga, bahwa kaedah hukum membutuhkan peristiwa konkrit yang dapat memacu dan mengaktifkan kaedah hukum. Karena bila kaedah hukum didiamkan dalam kondisi pasif, maka tentunya akan berdampak pada kesulitan hukum dalam menjangkau dan memberikan keadilan yang sesungguhnya.
Jika terjadi suatu kasus pelanggaran terhadap suatu norma hukum yang mana kemudian organ yang berwenang untuk itu tidak mampu memberikan sanksi, maka norma hukum yang demikian dapat diklasifikasikan dalam norma hukum yang tidak efektif.  Di sinilah efektifitas norma hukum diuji, khususnya dalam rangka penerapan norma.[27] Gagasan Hans Kelsen melalui teori Stufenbau-nya ternyata sedikit banyak sudah memberikan makna yang cukup dalam terkait dengan tertib hukum di berbagai Negara.
Sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen di atas bahwa tatanan hukum itu merupakan system norma yang hierarkis atau bertingkat. Hans Kelsen lebih lanjut menjelaskan bahwa di atas konstitusi sebagai hukum dasar, terdapat kaedah dasar hipotesis yang lebih tinggi yang bukan merupakan kaedah positif yang dikenal dengan istilah Groundnorm. Dari hierarkis tatanan hukum, maka kaedah-kaedah hukum dari tingkatan yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari kaedah hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Dari uraian itu, cukup terlihat dengan jelas bagaimana urgensinya hierarki peraturan perundangundangan dalam suatu negara.
Jadi teori murni tentang hukumnya, Kelsen mengemukakan teori Stufenbau yaitu mengenai keberlakuan norma hukum. Keberadaan norma yang lebih rendah ditentukan olehnorma lebih tinggi, dengan demikian norma konkrit berlaku berdasarkan norma abstrak, sedangkan norma abstrak berlaku berdasarkan norma dasar atau grundnorm.[28]
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannnya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahsa latin, atau kaidah dalam bahasa arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan, atau aturan dalam bahasa Indonesia.
Suatu norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya mengatur tatacara bertingkah laku  seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang yang membentuknya, sedangkan norma moral. adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.[29]
Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah: Staats Fundamental Norm di Indonesia adalah Pancasila (Pembukaan UUD 1945); Staatsgrund Gesetz berupa Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan; Formell gesetz ialah Undang-Undang; sedangkan Verordnung en Autonome Satzung Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Hierarki atau tata urutan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 7 (1), yaitu: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (Perda).


Tabel 02 : Hubungan Hierarki Norma Hukum Hans Kelsen dan Hans Nawiasky Dalam Pembentukan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Hierarki Norma Hukum Hans Kelsen
Hierarki Norma Hukum Hans Nawiasky


Hierark Norma
Hukum Menurut
UUP3 No 12 Th.2011

Hierarki Norma Hukum Menurut
UUPA No 11 Tahun 2006
Grund Norm
Staat Fundamental Norm
UUD 1945
UUD 1945
s                                       Norma
Staat Grudgezet
(Aturan Dasar)
Ketetapan MPR
UU/Perpu
Norma
Formell Gesetzt
(UU Formal)
Praturan Presiden
Qanun Prov.
Norma
Verordnung & Outonome Satzung (Aturan Pelaksana/ Otonomi
UU/Perpu
Qanun Kot/Kab
Norma

Perpres
Qanun Gampung/Desa
norma

Perda Prov.
Kab/Kota





[1] A. Hamid A. Attamimi,(1990) Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV,Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta,  hal. 287.
[2] Ibid, hal 287
[3] Ibid., hal. 359.
[4] Notonagoro,n (tanpa tahun) ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Cetakan keempat, hal 32.
[5] Attamimi, Op Cit., hal. 309.
[6] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Loc.Cit., hal 115.
[7] Hans Kelsen, General Theory of Law and StateIbid., hal 115
[8] Hans Kelsen , General Theory of Law and StateIbid., hal 116
[9] Attamimi, Op Cit., hal. 359
[10] Hans Kelsen, General Theory, Op Cit., hal 124 – 125.
[11] Hans kelsen, General Theory, Op Cit., hal 117.
[12] Saafroedin Bahar, dkk (2004). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945,(Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81.
[13] RM. A.B. Kusuma, (2004). Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal. 117, 121, 128 – 129.
[14] Sri Soemantri Martosoewignjo, (2008). Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan menurut UUD 1945, dalam Siti Sundari Rangkuti “Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan HukumLingkungan, Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti, Surabaya: Airlangga Press, hal. 197
[15] Agustin E. Ferraro, “Book Review-Kelsen’s Highest Moral Ideal,” German Law Journal No. 10 (01 Oktober 2002). Yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Mochamad Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum,  Mahkamah Konstitusi RI, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, hal. 1
[16] Plato, The Laws, translated by: Trevor J. Saunders, (New York: Penguin Books, 2005). Dalam Jimly, Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press, hal. 1

[17] Jimly Asshiddiqie (2010) , Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press, hal. 1-2
[18] Kelsen, Hans, dalam Astim Riyanto (2000).Teori Konstitusi, Bandung, Yapemdo, hal. 56.
[19] Jimly, Asshiddiqie, Op.Cit., hal. 5-6
[20] Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, (1990). Disiplin Hukum. Cetakan keempat, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 58 -71
[21] Abdul Rasyid Thalib, (2006). Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 367.
[22] Hans Kelsen, (1973). General Theory of Law and State, Russel, New York, hal. 123
[23] Zainal Arifin Hoesein, (2009). Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang undangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 22
[24] Ibid, hal 22
[25] Sudikno Mertokusumo,( 2009). Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cetakan Keenam, Yogyakarta : Liberty, hal. 16
[26] Algra & K.Van Duyvendijk, (1981). Rechtsaanvang. hal. 189, sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, ibid, hal. 16-17
[27] Zainal Arifin Hoesein, op.cit, hal. 23
[28] A. Hamid S. Attamimi, Op.Cit, Antara hal. 290 – 291.
[29] Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali (1990), Disiplin Hukum, Op.cit. Cetakan keempat, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990, hal. 58 – 71