Add caption |
Ditulis Oleh Muhammad Hadidi, MH |
Teori
Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan
rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori
tersebut adalah murid Hans Kelsen, Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung.
Susunan norma menurut teori tersebut adalah:[1] Norma
fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz); Undang-undang
formal (formell gesetz); dan Peraturan
pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung
en autonome satzung).
Penjabarannya adalah sebagai berikut:
1. Norma Fundamental Negara (Staatsfundamental Norm)
Norma
fundamental negaraadalah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staats Verfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm
adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm
ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.[2]
Menurut Nawiasky, norma
tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai Staats Grund
Norm
melainkan Staats Fundamental Norm,
atau norma fundamental negara. Grund Norm pada dasarnya tidak
berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta
atau revolusi.[3]
Berdasarkan teori Nawiaky
tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya
pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki
tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori
tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah: Staatsfundamental Norm di Indonesia adalah
Pancasila dan (Pembukaan UUD 1945). Staatsgrund Gesetz di Indonesia adalah Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan; Formell Gesetz di Indonesia
adalah Undang-Undang; Sedangkan Verordnung en Autonome Satzung di Indonesia
adalah secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan
Bupati/Walikota.
Penempatan Pancasila sebagai
Staats Fundamental Norm di Indonesia pertama kali disampaikan oleh Notonagoro[4]. Yang mengatakan bahwa Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) atau
merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan
hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat
digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staats Fundamental Norm maka pembentukan hukum, penerapan, dan
pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari pandangan dan nilai-nilai filosofi Pancasila.[5]
Namun, dengan penempatan
Pancasila sebagai Staats Fundamental Norm berarti menempatkan
Pancasila di atas Undang-Undang Dasar 1945. Jika demikian, Pancasila
tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi.
Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi
norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky,
serta melihat hubungan norma
antara Pancasila dan UUD 1945.
Sebagaimana
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan
menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi
negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada
konstitusi lama yang akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi
pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis.
Validitas konstitusi
pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas
semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud
konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya
dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid[6] Presuposisi inilah yang
disebut dengan istilah trancendental-logical
pressuposition.
Lebih
lanjut Hans Kelsen-Hans Nawiaski mengemukakan Semua norma hukum adalah miliki satu tata aturan hukum yang
sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak,
kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang
mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut
adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.[7]
Kalimat terakhir di atas jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah
presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam
prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat
dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan
dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia
dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.[8]
Namun
logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan
antara presuposisi validitas dan konstitusi, dan mempertnyakan manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm). Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Hans Nawiasky dengan membedakan antara Staats Fundamental
Norm dengan Staat Sgrund Gesetz atau Grund Norm dengan alasan bahwa Grund Norm
pada dasarnya tidak berubah sedangkan Staats Fundamental Norm
dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.[9]
Pendapat Hans Nawiasky tersebut sangat sejalan dan bisa di integrasikan dengan
pandangan gurunya Hans Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat
sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum
biasa.[10] Selain itu, Kelsen juga
menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan
jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif.
Kudeta atau revolusi
adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum
itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas
konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang
berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan
tata hukum lama.[11]
Berdasarkan uraian
antara pandangan Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat di integrasikan pada titik Staats Fundamental Norm
yang dikemukakan oleh Nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi pertama
yang telah lebih dulu dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan Staats Grund Gesetz-nya Nawiasky adalah
konstitusi dalam pandangan Kelsen.
Namun
untuk hierarki norma hukum di Indonesia apakah
Pancasila merupakan Staats Fundamental Norm atau merupakan
bagian dari konstitusi. Mengingat
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara,
khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945.
Soekarno menyebut dasar
negara sebagai Philosofische grondslag
sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan
didirikan bangunan negara Indonesia.[12] Soekarno juga menyebutnya
dengan istilah Weltanschauung atau
pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima sila.[13]
Sedangkan
konstitusi (UUD 1945) struktur ketatanegaraan Republik Indonesia
mengalami perubahan mendasar. Pasalnya kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi. MPR sebagai badan perwakilan
(legislatif) kedudukannya sejajar dengan lembaga negara (tinggi) lainnya. MPR
sejajar dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah),
Presiden dan Wakil Presiden, MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan), bahkan kedudukan MPR sejajar dengan KY (Komisi
Yudisial) sebagai Lembaga Negara.[14]
Lebih
lanjut, pasca reformasi 1998 dan
diiringi dengan amandemen Itulah salah satu perubahan mendasar dari struktur
ketatanegaraan. Perubahan lainnya yang berpengaruh terhadap format
ketatanegaraan adalah tentang tata tata urutan peraturan perundang-undangan.
Dimana Ketetapan MPR tidak lagi menjadi bagian dari hierarki perundang-undangan
karena jenisnya yang bukan bersifat mengatur.
Hierarki atau tata
urutan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 7 (1), yaitu:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),
Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu),
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah
(Perda). Yang menjadi inspirasi hierarki tata urutan
perundang-undangan di atas adalah seorang pemikir yang bernama Hans Kelsen. Hans
Kelsen dilahirkan dari pasangan kelas menengah Yahudi berbahasa Jerman di
Prague pada tanggal 11 Oktober 1881. Saat berusia tiga tahun, Kelsen dan
keluarganya pindah ke Wina dan menyelesaikan masa pendidikannya.
Kelsen adalah seorang
agnostis, namun pada tahun 1905 Kelsen pindah agama menjadi Katolik demi
menghindari masalah integrasi dan kelancaran karir akademiknya. Namun identitas
Kelsen sebagai keturunan Yahudi tetap saja mendatangkan banyak masalah dalam
hidupnya. Kelsen pada awalnya adalah pengacara publik yang berpandangan sekuler
terhadap hukum sebagai instrument mewujudkan kedamaian. Pandangan ini
diinspirasikan oleh kebijakan toleransi yang dikembangkan oleh rezim Dual
Monarchy di Habsburg.[15]
Pendekatan yang
dilakukan oleh Kelsen disebut The Pure
Theory of Law,
mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub
pendekatan yang berbeda antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris.
Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran
hukum yang telah ada sebelumnya.
Hierarki tata urutan
perundang-undangan adalah kumpulan norma-norma. Norma atau kaidah (kaedah)
merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang
berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat
berisi kaidah yang bersifat positif atau negatif sehingga mencakup norma
anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan
norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu.
Apabila ditinjau dari
segi etimologinya, kata norma itu sendiri berasal dari bahasa Latin, sedangkan
kaidah atau kaedah berasal dari bahasa Arab. Norma berasal dari kata nomos yang
berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Karya
Plato yang berjudul Nomoi biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan
istilah The Law.[16]Sedangkan
kaidah dalam bahasa Arab, qo’idah berarti ukuran atau nilai pengukur.
Jika pengertian norma
atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau norma yang
dimaksud dapat berisi: kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibahah,
mubah (permittere); anjuran positif
untuk mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut sunnah; anjuran
negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut “makruh”;
perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere); dan perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu
atau yang dalam bahasa Arab disebut “haram” atau larangan (prohibere).[17]
Berlakunya suatu norma
senantiasa dapat dikembalikan kepada
berlakunya norm yang lebih tinggi, demikian selanjutnya, sehingga akhirnya
sampai pada grundnorm.[18] Kaidah hukum dapat pula
dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms) dan yang bersifat konkret dan
individual (concrete and individual
norms). Kaidah umum selalu bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua
subjek yang terkait tanpa menunjuk atau mengaitkannya dengan subjek konkret,
pihak, atau individu tertentu. Kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak
inilah yang biasanya menjadi materi peraturan hukum yang berlaku bagi setiap
orang atau siapa saja yang dikenai perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan yang terkait.
Sementara itu, kaidah
hukum individuil selalu bersifat konkret. Kaidah konkret ini ditujukan kepada
orang tertentu, pihak, atau subjek-subjek hukum tertentu, atau peristiwa dan
keadaan-keadaan tertentu. Sebagai contoh dapat
dikemukakan, misalnya, pertama kaidah
hukum yang ditentukan oleh pengadilan dalam bentuk putusan (vonnis) selalu
berisi hal-hal dan subjek hukum yang bersifat individuil dan konkret, misalnya
si A dipidana 10 tahun; Kedua, kaidah
hukum yang ditentukan oleh pejabat pemerintahan (bestuur), misalnya, si B
diberi izin untuk mengimpor mobil bekas, atau si X diangkat menjadi Direktur
Jenderal suatu departemen; Ketiga, kaidah
hukum yang dilakukan oleh kepolisian, misalnya, si A ditangkap dan ditahan
untuk tujuan penyidikan; atau Keempat kaidah
hukum yang ditentukan dalam perjanjian perdata, misalnya, si X berjanji akan
membayar sewa rumah yang ditempatinya kepada pemilik rumah.
Keempat contoh di atas
jelas menggambarkan sifat kaidah hukum yang bersifat konkret dan individuil (concrete and individual norms) yang
sangat berbeda dari sifat kaidah hukum yang umum dan abstrak (general and abstract norms)[19] Kelsen
mengemukakan “Pure Theory of Law” yang terjemahannya teori murni tentang hukum
(yang murni bukan hukumnya tetapi teorinya), ajarannya yaitu: dalam membuat
teori hukum haruslah bersih/murni dari pengaruh unsur-unsur lain.
Murni di sini
dimaksudkan tidak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu lain, unsur atau ajaran–ajaran
lain misalnya agama filsafat, sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi dan
sebagainya. Untuk mendukung teori murni tentang hukumnya, Kelsen mengemukakan
teori Stufenbau yaitu mengenai keberlakuan kaidah hukum. Keberadaan kaidah yang
lebih rendah ditentukan oleh kaidah lebih tinggi dengan demikian kaidah konkrit
berlaku berdasarkan kaidah abstrak, sedangkan kaidah abstrak berlaku
berdasarkan kaidah dasar atau grundnorm[20]
Pengaturan norma hukum khususnya tentang hierarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia pada prinsipnya banyak diinisiasi
dari teori Stufenbau yang
diperkenalkan oleh Hans Kelsen. Teori Stufenbau
pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen yang kemudian mendapat engembangan
lebih lanjut oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky.[21]
Teori yang dalam bahasa
lengkapnya disebut sebagai ”Stufenbau das
Recht” atau ”The hierarchy of law”
menjelaskan bahwa norma hukum merupakan suatu susunan berjenjang yang mana
setiap norma hukum yang lebih rendah memperoleh kekuatan hukum dari norma hukum
yang lebih tinggi tingkatannya.[22]
Norma yang menentukan
pembentukan norma lainnya adalah norma yang lebih tinggi derajatnya, demikian
juga sebaliknya bahwa norma yang dibentuk berdasarkan norma yang lebih tinggi
memiliki derajat yang lebih rendah. Dalam hal ini, maka hubungan antara norma yang lebih tinggi dengan norma
di bawahnya merupakan hubungan hierarki norma. Sebagai konsekuensinya, maka
norma yang tingkatan derajatnya lebih rendah tidak diperbolehkan bertentangan
dengan norma ditingkat atasnya. [23]
Lebih lanjut, Hans
Kelsen menjelaskan bahwa hukum adalah suatu hierarki mengenai hubungan
normatif, bukan suatu hubungan sebab akibat[24] yang esensinya mengandung kenyataan normatif atau apa yang
seyogianya dilakukan (das sollen) dan
bukan pada kenyataan alamiah atau peristiswa konkrit (das sein)[25] Dalam hukum, yang menjadi bagian terpenting adalah bukan terletak
pada persoalan apa yang terjadi, melainkan mengarah pada apa yang seharusnya
terjadi.
Sudikno Mertokusumo[26] menjelaskan bahwa kaedah hukum sifatnya pasif, agar kaedah hukum
itu kemudian berubah menjadi aktif dan hidup, maka dibutuhkan ”rangsangan” dan
yang dimaksud dengan ”rangsangan” dalam hal ini adalah peristiwa konkrit. Dengan adanya peristiwa konkrit, maka akan
berdampak pada aktifnya kaedah hukum. Dengan demikian, maka menjadi terlihat
dengan jelas bagaimana peran peristiwa konkrit dalam membentuk kaedah hukum
yang aktif dan benar-benar hidup.
Dari
pandangan Hans Kelsen serta pengembangan yang dilakukan oleh para ahli hukum
itu, setidaknya terdapat 3 (tiga) point penting yang dapat digali. Pertama, bahwa teori Stufenbau
menunjukkan kaedah hukum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan seluruh
peraturan tingkat bawahnya. Jenjang hierarkis yang dijelaskan dalam teori Hans
Kelsen menjadi pengikat dan mengharuskan seluruh norma hukum mulai dari
tingkatan yang lebih tinggi sampai ke tingkatan yang lebih rendah berada dalam
satu susunan yang berjenjang hierarkis.
Kedua, teori Hans Kelsen juga memberikan amanat bahwa dalam
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada aturan
yang lebih tinggi, yang mana puncak dari piramida teori ini berakhir pada norma
dasar atau Groundnorm. Norma dasar berperan sebagai sumber utama dalam
pembentukan norma hukum serta peraturan-peraturan lain sampai ke tingkat
bawahnya. Jadi, jenjang hierarkis dimaksud bukan hanya sebatas pada susunan
belaka, namun juga terkait dengan seluruh substansi yang hendak diatur dalam setiap
jenjang peraturan harus mengacu pada ketentuan yang lebih tinggi.
Ketiga, bahwa kaedah hukum
membutuhkan peristiwa konkrit yang dapat memacu dan mengaktifkan kaedah hukum.
Karena bila kaedah hukum didiamkan dalam kondisi pasif, maka tentunya akan
berdampak pada kesulitan hukum dalam menjangkau dan memberikan keadilan yang
sesungguhnya.
Jika terjadi suatu
kasus pelanggaran terhadap suatu norma hukum yang mana kemudian organ yang
berwenang untuk itu tidak mampu memberikan sanksi, maka norma hukum yang demikian
dapat diklasifikasikan dalam norma hukum yang tidak efektif. Di sinilah efektifitas norma hukum diuji, khususnya dalam rangka
penerapan norma.[27]
Gagasan Hans Kelsen melalui teori Stufenbau-nya ternyata sedikit banyak sudah
memberikan makna yang cukup dalam terkait dengan tertib hukum di berbagai
Negara.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Hans Kelsen di atas bahwa tatanan hukum itu merupakan system
norma yang hierarkis atau bertingkat. Hans Kelsen lebih lanjut menjelaskan
bahwa di atas konstitusi sebagai hukum dasar, terdapat kaedah dasar hipotesis
yang lebih tinggi yang bukan merupakan kaedah positif yang dikenal dengan
istilah Groundnorm. Dari hierarkis tatanan hukum, maka kaedah-kaedah hukum dari
tingkatan yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari kaedah hukum yang lebih
tinggi tingkatannya. Dari uraian itu, cukup terlihat dengan jelas bagaimana
urgensinya hierarki peraturan perundangundangan dalam suatu negara.
Jadi
teori murni tentang hukumnya, Kelsen mengemukakan teori Stufenbau
yaitu mengenai keberlakuan norma hukum. Keberadaan norma yang lebih rendah
ditentukan olehnorma lebih tinggi, dengan demikian norma konkrit berlaku
berdasarkan norma abstrak, sedangkan norma abstrak berlaku berdasarkan norma
dasar atau grundnorm.[28]
Norma adalah suatu
ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannnya dengan sesamanya
atau dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahsa latin, atau kaidah
dalam bahasa arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan, atau aturan dalam
bahasa Indonesia.
Suatu norma itu baru
ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya
mengatur tatacara bertingkah laku
seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Norma hukum
itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga
yang berwenang yang membentuknya, sedangkan norma moral. adat, agama, dan
lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari
kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.[29]
Berdasarkan teori
tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah: Staats Fundamental Norm di Indonesia adalah Pancasila (Pembukaan UUD 1945); Staatsgrund Gesetz berupa
Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan; Formell gesetz
ialah Undang-Undang; sedangkan
Verordnung
en Autonome Satzung Secara hierarkis mulai
dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Hierarki atau tata
urutan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 7 (1), yaitu: Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Undang-Undang (UU)/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP),
Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (Perda).
Tabel 02 : Hubungan Hierarki Norma Hukum Hans Kelsen dan Hans Nawiasky Dalam Pembentukan Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia
Hierarki Norma
Hukum Hans Kelsen
|
Hierarki Norma
Hukum Hans Nawiasky
|
Hierark Norma
Hukum Menurut
UUP3 No 12 Th.2011
|
Hierarki Norma
Hukum Menurut
UUPA No 11
Tahun 2006
|
Grund Norm
|
Staat Fundamental Norm
|
UUD 1945
|
UUD 1945
|
s Norma
|
Staat Grudgezet
(Aturan Dasar)
|
Ketetapan MPR
|
UU/Perpu
|
Norma
|
Formell Gesetzt
(UU Formal)
|
Praturan Presiden
|
Qanun Prov.
|
Norma
|
Verordnung & Outonome Satzung (Aturan Pelaksana/
Otonomi
|
UU/Perpu
|
Qanun Kot/Kab
|
Norma
|
|
Perpres
|
Qanun Gampung/Desa
|
norma
|
|
Perda Prov.
Kab/Kota
|
|
[1] A. Hamid A. Attamimi,(1990) Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan
Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV,Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta, hal. 287.
[4] Notonagoro,n (tanpa tahun) ”Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar
Falsafah Negara. Jakarta: Cetakan keempat, hal 32.
[12] Saafroedin Bahar, dkk
(2004). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22
Agustus 1945,(Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81.
[13] RM. A.B. Kusuma,
(2004). Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal. 117, 121, 128 – 129.
[14] Sri Soemantri
Martosoewignjo, (2008). Lembaga Negara dan State
Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan menurut UUD 1945, dalam Siti
Sundari Rangkuti “Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan HukumLingkungan,
Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti,
Surabaya: Airlangga Press, hal.
197
[15] Agustin E. Ferraro, “Book
Review-Kelsen’s Highest Moral Ideal,” German Law Journal No. 10 (01 Oktober
2002). Yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Mochamad Ali Safa’at, Teori Hans
Kelsen tentang Hukum, Mahkamah
Konstitusi RI, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, hal. 1
[16] Plato, The Laws,
translated by: Trevor J. Saunders, (New York: Penguin Books, 2005). Dalam
Jimly, Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press, hal. 1
[20] Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, (1990). Disiplin
Hukum. Cetakan keempat, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 58 -71
[21] Abdul Rasyid Thalib, (2006). Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 367.
[23] Zainal Arifin Hoesein, (2009). Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga Dekade
Pengujian Peraturan Perundang undangan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, hal. 22
[25] Sudikno
Mertokusumo,( 2009). Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Cetakan Keenam, Yogyakarta : Liberty, hal. 16
[26] Algra & K.Van
Duyvendijk, (1981). Rechtsaanvang. hal.
189, sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, ibid, hal.
16-17
[29] Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali (1990), Disiplin
Hukum, Op.cit. Cetakan keempat, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990, hal. 58 – 71