Ditulis Oleh: Muhammad Hadidi, MH |
Gagasan
tentang asas hukum sebagai kaidah penilaian fundamental di dalam suatu sistem
hukum kita temukan kembali dari banyak teoritisi hukum. Paul Scholten misalnya menguraikan asas
hukum sebagai "pikiran-pikiran dasar,
yang terdapat di
dalam dan di belakang
sistem hukum masing-masing, dirumuskan
di dalam aturan-aturan
perundangundangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya
ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya”[1]
Sementara Satjipto
Rahardjo menyatakan bahwa asas hukum merupakan "jantungnya" peraturan
hukum. Karena menurut
Satjipto, asas hukum
adalah landasan yang paling
luas bagi lahirnya
suatu peraturan hukum.
Ini berarti, bahwa peraturanperaturan hukum itu pada akhirnya bisa
dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan,
asas hukum layak
disebut sebagai alasan
bagi lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis
dari peraturan hukum. Asas hukum tidak habis kekuatannya dengan
melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan
melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya."[2]
Oleh karena
itu Paton menyebutnya
sebagai suatu sarana
membuat hukum itu hidup,
tumbuh dan berkembang
dan ia menunjukkan,
bahwa hukum itu
bukan sekadar kumpulan dari
peraturan-peraturan belaka. Kalau dikatakan, bahwa dengan adanya asas hukum,
hukum itu bukan merupakan sekadar kumpulan peraturan-peraturan maka hal itu
disebabkan oleh karena asas
itu mengandung nilai-nilai
dan tuntutan-tuntutan etis apabila
kita membaca suatu
peraturan hukum, mungkin
kita tidak menemukan pertimbangan etis
disitu. Tetapi asas hukum menunjukkan
adanya tuntutan etis yang demikian itu, atau setidak-tidaknya kita bisa
merasakan adanya petunjuk kearah itu.[3]
Dari definisi
yang diberikan oleh
Scholten tersebut di atas,
Bruggink menyatakan bahwa peranan
dari asas hukum
sebagai meta-kaidah berkenaan
dengan kaidah hukum dalam
bentuk kaidah perilaku.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah asas hukum itu harus
dipandang sebagai bentuk yang kuat atau yang lemah dari meta-kaidah.[4]
Pertama (bentuk yang kuat), asas hukum itu dapat dipandang sebagai
suatu tipe kaidah
berkenaan dengan kaidah perilaku,
dan dengan demikian
secara prinsipil dapat dibedakan
dari jenis kaidah
ini. Mereka yang menganut
pandangan ini, misalnya menunjuk
asas hukum sebagai
kaidah argumentasi berkenaan
dengan penerapan kaidah perilaku. Asas-asas hukum hanya memberikan
argumen-argumen bagi pedoman perilaku yang harus diterapkan dan asas-asas itu
sendiri tidak memberikan pedoman (bagi pelaku).
Kedua
(bentuk yang lemah),
asas-asas hukum itu
tampaknya dapat dianggap termasuk
dalam tipe kaidah
yang berkenaan dengan
kaidah perilaku, namun memiliki juga fungsi sejenis seperti
kaidah perilaku. Jadi hanya terdapat suatu perbedaan gradual saja antara asas
hukum dan kaidah perilaku. Di dalam pandangan ini, maka asas hukum adalah
kaidah yang berpengaruh terhadap kaidah
perilaku, karena asas hukum ini memainkan
peranan pada interpretasi
terhadap aturan hukum
dan dengan itu menentukan wilayah
penerapan kaidah hukum. Berdasarkan dua analogi di atas maka
asas dapat dinyatakan termasuk
tipe meta kaidah.
Asas hukum itu
juga sekaligus merupakan perpanjangan dari kaidah perilaku,
karena asas hukum juga memberikan arah
pada perilaku yang dikehendaki.[5]
Para ahli juga memberikan uraian tentang
beberapa perbedaan antara asas hukum dengan kaidah perilaku (aturan hukum).
Pendapat yang banyak dianut oleh banyak
teoritisi adalah bahwa
asas hukum bersifat
umum sedangkan kaidah
perilaku (aturan hukum) bersifat
khusus. Dengan
"umum" dimaksudkan bahwa
asas hukum memiliki wilayah penerapan
yang lebih luas
ketimbang kaidah perilaku.
Makin besar wilayahnya,
makin lebih umum
kaidah hukumnya, makin
lebih abstrak aturan
hukum yang dirumuskannya.
Dalam suatu
sistem hukum, maka
asas hukum sebagai
kaidah penilaian fundamental
adalah kaidah hukum yang paling umum. Bahwa suatu kaidah hukum adalah
"umum", berarti bahwa dalam penerapannya harus dikhususkan dengan
mengarahkannya pada situasi faktual. Ini sesungguhnya berarti bahwa kaidah
hukum itu tidak cukup jelas mengharuskan, bagaimana orang seharusnya berprilaku
dalam situasi faktual itu. Dalam hal kaidah perilaku yang terjadi justeru yang
sebaliknya.
Kaidah hukum
yang khusus ini,
yang timbul dari
aturan hukum yang
dirumuskan lebih konkrit, memberikan pedoman
yang lebih jelas
bagi perbuatan. Asas hukum sebagai kaidah hukum yang umum
hanya memberikan suatu ukuran nilai. Ukuran nilai itu baru di dalam kaidah
perilaku sebagai kaidah hukum yang khusus memperoleh bentuk yang sedemikian
rupa, sehingga memunculkan pedoman yang jelas bagi perbuatan, misalnya dengan
jalan memberikan suatu hak atau meletakkan (membebankan) suatu kewajiban.[6]
Perbedaan kedua
antara asas hukum
dan kaidah perilaku
(aturan hukum) antara lain
diajukan oleh Paul Scholten dan berada dalam garis pikiran dari perbedaan
pertama. Scholten berpendapat bahwa
aturan hukum memiliki
isi yang jauh
lebih konkrit, yang menyebabkan aturan
itu dalam penemuan
hukum dapat diterapkan
secara langsung. Berlawanan
dengan itu asas hukum dalam penemuan hukum memiliki daya kerja secara tidak
langsung, yakni menjalankan pengaruh pada interpretasi terhadap aturan hukum.
Aturan hukum terbentuk
karena pembentuk undang-undang
dalam pembentukan aturannya atau
hakim dalam pengambilan
putusan hukumnya menimbang-nimbang berbagai asas hukum yang
satu terhadap yang lain.[7]
P.W. Brouwer
menyatakan bahwa perbedaan
antara asas hukum
dan aturan hukum terdapat
dalam kekuatan inferensial.
Selanjutnya ia menunjukkan
bahwa perbedaan ini tidak
dapat dijabarkan dari perumusan dari
ukuran, melainkan dari
cara bagaimana orang menggunakan
aturan tersebut. Sebagai contoh ia mengajukan ukuran
"tiada hukum tanpa kesalahan".
Kita menggunakan ukuran ini sebagai aturan, jika
kita menerima bahwa ketidakberadaan kesalahan
secara logis niscaya
dengan sendirinya membawa pada
kesimpulan bahwa tiada hukuman boleh dijatuhkan. Kita menggunakan ukuran ini
sebagai asas, jika kita menganggap ketidakberadaan kesalahan sebagai alasan
untuk eventual (dalam hal tertentu) tidak menjatuhkan hukuman, tetapi alasan
ini tidak perlu selalu harus diikuti.
1.
Asas Peraturan Perundang-Undangan Menurut Montesquieu
Dalam
perspektif pembentukan peraturan,
Montesquieu di dalam
karyanya L'esperit des
Lois mengemukakan sejumlah
persyaratan yang harus
dipenuhi di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,
yakni;
1)
Gaya penuturannya hendaknya padat dan sederhana. Ini
mengandung arti bahwa pengutaraan dengan
menggunakan ungkapan kebesaran
dan retorik hanya merupakan tambahan yang menyesatkan dan
mubazir;
2)
Istilah-istilah
yang dipilih hendaknya
bersifat mutlak dan
relatif, sehingga dengan demikian memperkecil kemungkinan
munculnya perbedaan pendapat yang individual;
3)
Hukum
hendaknya membatasi diri pada hal-hal
yang riil dan
aktual dengan menghindari hal-hal
yang bersifat metaforis dan hipotetis;
4)
Hukum
hendaknya tidak dirumuskan
dalam bahasa yang
tinggi, oleh karena
ia ditujukan kepada rakyat
yang memiliki tingkat
kecerdasan ratarata, bahasa
hukum tidak untuk latihan
penggunaan logika melainkan
hanya penalaran sederhana
yang bisa dipahami oleh orang rata-rata;
5)
Hukum
hendaknya tidak merancukan
pokok masalah dengan
pengecualian, pembatasan atau pengubahan, gunakan semua itu jika
benar-benar diperlukan;
6)
Hukum
hendaknya tidak bersifat
debatable (argumentatif) adalah
bahaya merinci alasan-alasan
karena hal itu akan menimbulkan konflik;
7)
Lebih dari itu
semua, pembentukan hukum
hendaknya mempertimbangkan masakmasak
dan mempunyai manfaat
praktis dan hendaknya
tidak menggoyahkan sendisendi
pertimbangan dasar keadilan
dan hakekat permasalahan,
sebab hukum yang lemah tidak perlu dan tidak adil akan
membawa seluruh sistem perundang -undangan mendapat citra buruk dan
menggoyahkan legitimasi negara.[8]
1.
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut
Lon L.Fuller
Principle of Legality yang disebutkan
oleh Lon L. Fuller dalam bukunya Morality
of Law, mengemukakan ada 8 (delapan) Asas yaitu:
1)
Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang
dimaksud disini adalah, bahwa
ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan bersifat
ad hoc.
2)
Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus
diumumkan.
3)
Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh
karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa
dipakai untuk menjadi pedoman tingkahlaku.
Membolehkan pengaturan berlaku surut berarti merusak integritas peraturan
yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.
4)
Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang
bisa dimengerti. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain.
5)
Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan
yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
6)
Tidak
boleh ada kebiasaan
untuk sering mengubah-ubah
peraturan sehingga menyebabkan
seorang akan kehilangan orientasi.
7)
Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan
dengan pelaksanaannya sehari-hari.[9]
2. Asas pembentukan peraturan
perundang-undangan menurut Van der Vlies
Vlies membagi asas di dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan kedalam asas yang formil dan material. Adapun Asas
yang Formil meliputi:
1)
Asas
tujuan yang jelas,
yang mencakup tiga
hal yakni mengenai
ketepatan letak peraturan perundang-undangan dalam
kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan
yang akan dibentuk dan tujuan dari bagian -bagian yang akan dibentuk tersebut.
2)
Asas
organ/lembaga yang tepat,
hal ini untuk
menegaskan kejelasan organ
yang menetapkan peraturan perundang-undangan tersebut;
3)
Asas perlunya pengaturan. Merupakan prinsip yang
menjelaskan berbagai alternatif maupun relevansi
dibentuknya peraturan untuk
menyelesaikan problema pemerintahan;
4)
Asas dapatnya dilaksanakan yaitu peraturan yang dibuat
seharusnya dapat ditegakkan secara efektif;
5)
Asas konsensus, yaitu kesepakatan rakyat untuk
melaksanakan kewajiban yang ditimbulkan oleh suatu peraturan secara konsekuen.
Sedangkan
Asas-Asas Materiil meliputi:
1)
Asas tentang
terminologi dan sistematika
yang benar, artinya setiap
peraturan hendaknya dapat dipahami oleh rakyat;
2)
Asas perlakuan
yang sama dalam
hukum, hal demikian
untuk mencegah praktik ketidakadilan dalam memperoleh pelayanan
hukum;
3)
Asas
kepastian hukum (asas
legalitas), artinya peraturan
yang dibuat mengandung aspek konsistensi walaupun
diimplementasikan dalam waktu dan ruang yang berbeda.
4)
Asas
pelaksanaan hukum sesuai
dengan keadaan individual,
asas ini bermaksud memberikan penyelesaian
yang khusus bagi
hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu yang menyangkut kepentingan
individual.[10]
3.
Asas Pembentukan Peraturan Perundang Undangan Menurut
A Hamid S. Attamimi[11]
Ia
berpendapat bahwa asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik yaitu:
cita hukum Indonesia, asas
negara berdasar atas
hukum dan asas
pemerintahan berdasar sistem konstitusi dan asas-asas lainnya.
Berkenaan dengan
asas-asas pembentukan hukum
peraturan perundang--undangan di Indonesia, secara konkrit Attamimi menbagi menjadi 3 (tiga) macam
Asas yang secara berurutan disusun, sebagai berikut :
1)
Asas Cita Hukum Indonesia, yaitu Pancasila disamping
sebagai rechtsidee juga merupakan
Norma Fundamental Negara;
2)
Asas Bernegara berdasarkan Atas Hukum dan Asas
Pemerintahan berdasarkan Sistem Konstitusi. Berdasarkan prinsip ini
undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas ditempatkan dalam
keutamaan hukum dan
juga sebagai dasar
dan batas penyelenggaraan pemerintahan
Asas
lainnya yang meliputi asas formal dan asas material. Sebagaiman pendapat A.
Hamid S. Attamimi yang dikutip
Maria Farida[12] menyebutkan
jika dihubungkan pembagian
mengenai adanya asas-asas yang formal
dan asas-asas yang
material, maka pembagiannya
adalah sebagai berikut:
a. Asas-asas formal, dengan perincian:
1)
Asas tujuan yang jelas;
2)
Asas perlunya pengaturan;
3)
Asas organ/lembaga yang tepat;
4)
Asas materi muatan yang tepat;
5)
Asas dapat dilaksanakan; dan
6)
Asas dapat dikenali.
b. Asas-asas materiil, dengan perincian:
1)
Asas
sesuai dengan cita
hukum Indonesia dan norma fundamental negara;
2)
Asas sesuai dengan hukum dasar negara;
3)
Asas
sesuai dengan prinsip
negara berdasarkan hukum; dan
4)
Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan
berdasarkan konstitusi. [13]
4.
Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Menurut
UUP3 Nomor 12
Tahun 2011
Asas pembentukan
peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dirumuskan
dalam Pasal 5 dan Pasal
6 yang berbunyi sebagai berikut:
a)
Menurut Pasal 5 UUP3 No 12 Tahun 2011 Dalam yang baik,
meliputi:
1)
Kejelasan tujuan;
2)
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3)
Kesesuaian
antara jenis dan materi muatan;
4)
Dapat dilaksanakan;
5)
Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6)
Kejelasan rumusan; dan
7)
Keterbukaan.
b). Menurut Pasal 6 UUP3 No 12 Tahun 2011,
yaitu:
1)
Materi
muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
2)
Pengayoman;
3)
Kemanusiaan;
4)
Kebangsaan;
5)
Kekeluargaan;
6)
Kenusantaraan;
7)
Bhineka tunggal ika;
8)
Keadilan;
9)
Kesamaan
kedudukan dalam hukum
dan pemerintahan;
10) Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
11) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain
asas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu
dapat berisi asas lain sesuai
dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan