Teori Hukum Era Aufklarung

Telah dikatakan sebelumnya bahwa kosmologi era Aufklarung diwarnai `kekuasaan' akal atau rasio manusia. Suatu fenomena budaya yang bermula saat menjelang akhir abad ke-17. Manusia era ini adalah individu-individu yang rasional, bebas, dan otonom. Mereka mampu menentukan jalan yang dianggap baik bagi dirinya, termasuk dalam membentuk institusi hidup bersama. Negara bukan lembaga alamiah. la merupakan `mahluk buatan' dari manusia-manusia yang bebas dan rasional itu. Jalannya negara, berikut tatanan yang ada di dalamnya, ditentukan secara rasional dan obyektif.

Meski hidup dalam negara, masing-masing individu memiliki hak untuk mengembangkan dirinya dalam tuntunan rasio yang dimiliki masing-masing individu. Maka di sini muncul teori tentang hukum sebagai tatanan perlindungan hak-hak dasar manusia. Teori tersebut merupakan jawaban strategis mengenai `tertib hidup' manusia zaman itu di tengah sistem situasi khas era itu. Pemikir-pemikir utama era in-1, antara lain Locke, Montesquieu, Rousseau, dan Kant.

Hukum itu Pelindung Hak Kodrat Menurut Teori John Locke

Teori John Locke

Sebagai penganut hukum alam abad ke-18 , Locke berpegang pada prinsip hukum alam zaman itu, yakni kebebasan individu dan keutamaan rasio . la juga mengajarkan tentang kontrak sosial. Dan teorinya tentang hukum beranjak dari dua hal itu. Teorinya, tentu saja berbeda dengan Hobbes yang hidup di era abad ke-17 (era nation-state yang mengagungkan kekuasaan sentral). Jika kontrak sosial Hobbes mengandaikan adanya penyerahan seluruh hak individu secara total pada penguasa, maka Locke tidak demikian.

Orang-orang yang melakukan kontrak sosial, bukanlah orang-orang yang ketakutan dan pasrah seperti dibayangkan Hobbes. Mereka, kata Locke, adalah orang-orang yang tertib yang elan dan menghargai kebebasan, hak hidup, dan kepemilikan harta sebagai hak bawaan sebagai manusia . Semua itu sudah dilestarikan sejak awal masyarakat manusia. Maka Hobbes salah besar, jika mengira masyarakat awal itu kacau. Mereka hidup tertib, kata Locke. Di situ pun ada perdamaian dan hidup mereka dituntun rasio . Bahkan menurut Locke, itulah masyarakat ideal, karena hak-hak dasar manusia tidak dilanggar.

Menurut Locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak sosial dilakukan. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial, dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Kalau begitu, adanya kekuasaan tersebut justru untuk melindungi hak-hak kodrat dimaksud dari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam, baik yang datang dari dalam maupun dari luar . Begitulah, hukum yang dibuat dalam negara pun bertugas melindungi hak-hak dasar tersebut.

Bagaimana memastikan hukum yang dibuat itu memang diarahkan pada perlindungan hak-hak dasar tersebut? Rakyat sendirilah yang harus menjadi pembuat hukum, begitu kata Locke. Lewat lembaga legislatif, rakyat berhak menentukan warna dan isi sebuah aturan. Hak rakyat menyusun undang-undang bersifat primer, asli dan tidak bisa dicabut. Karena itu, Locke menempatkan kekuasaan legislasi sebagai inti dalam kehidupan politik. Ia berada di atas kekuasaan-kekuasaan lain. Kekuasaan pengadilan maupun hukum kebiasaan-yang dalam tradisi Inggris menempati posisi sentral dan utama, menurut Locke harus juga berada di bawah kekuasaan legislasi.

Hanya satu, ya, satu-satunya kekuasaan yang harus dihormati oleh badan legislasi adalah hukum alam dan nalar. Mengapa? Karena hukum alam dan nalar itu merupakan landasan cita hukum untuk membuat aturan hukum positif. Cita hukum dimaksud adalah pelestarian masyarakat dan pelestarian tiap anggota masyarakat, melarang menghancurkan hidupnya, dan melarang merampas hidup dan kekayaan orang lain.

Untuk diketahui, gagasan tentang keutamaan legislatif (parlemen), sudah muncul di Yunani sejak abad ke-4 Seb. Masehi. Dalam tradisi Yunani Antik itu, parlemen memang diposisikan sebagai poros republik. la merupakan satu-satunya lembaga utama dalam negara. Bahkan dalam refleksinya atas konsepsi Yunani tersebut, Jean Bodin berujar demikian: "di mana tidak ada kekuasaan legislatif, di situ tidak ada republica, yang berarti tidak ada pemerintahan yang sah, dan dengan demikian, tidak ada negara .

Alhasil, kekuasaan dan produk UU yang dihasilkan parlemen pun, tidak dapat diganggu-gugat. Yudikatif hanya bertugas menjalankan saja apa yang terumus dalam undang-undang. Asas utama di sini adalah "UU tidak dapat diganggu gugat", atau dalam rumusan kant, la bouche de la lois (hakim merupakan mulut UU). Tugas hakim hanya menerapkan UU yang dibuat oleh lembaga legislatif, bahkan hakim harus menuruti saja secara harfiah apa kata undang-undang (qui les juges suivent la letter de la lois) 
Konsep yang bertahan cukup lama di daratan Eropa Kontinental itu, akhirnya ditinggalkan juga pada sekitar abad ke-l8-berkat inspirasi pemikiran Montesquieu-melalui Trias Politica-nya. Sejak Montesquieu `merevisi' konsep Locke, kekuasaan kehakiman mendapat posisi sentral sebagai pilar negara demokrasi modern. Montesduieu mendudukkan kekuasaan kehakiman dalam areal yang otonom-lepas dari kooptasi kekuasaan eksekutif versi Locke.

Gebrakan Montesquieu itu, tidak hanya melepaskan genggaman eksekutif atas yudikatif, tetapi juga pada perkembangan kemudian menjadi inspirasi untuk mengakhiri superioritas parlemen warisan Yunani Antik (kuno).Lalu muncullah gagasan judicial review of legislation yang dipercayakan pada yudikatif. Negara-negara Eropa Kontinental pasca abad ke-18, akhirnya juga menempatkan lembaga yudikatif menjadi seimbang dengan kedudukan lembaga legislatif dan eksekutif. Bahkan dalam beberapa hal, kedudukan yudikatif lebih superior dari yang lain.

Dalam praktik kenegaraan negara modern dewasa ini, kekuasaan yudikatif menjadi sarana untuk mengontrol lembaga-lembaga yang lain, misalnya: (i). Mengkaji kesesuaian UU hasil legislatif dengan konstitusi (ludiczal review of the constitutionality of legislation), (ii). Mengawasi dan mengontrol kesesuaian kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh badan eksekutif dengan landasan hukumnya, (iii). Pada beberapa negara, lembaga yudikatif bertindak sebagai arbitrasi (penengah) apabila terjadi konflik yuridis antara lembaga-lembaga negara mengenai wewenang fungsional masing-masing.

Jelas kiranya, yudikatif (kekuasaan kehakiman), lalu menjadi cabang kekuasaan dengan otoritas menjaga supremasi hukum atas semua cabang kekuasaan yang lain. Yudikatif lalu menjadi salah satu berbicara tentang negara hukum, maka inklusif berbicara tentang kekuasaan yudikatif yang merdeka. Semua teori negara hukum, baik dari Stahl, Sheltema , Van Wijk, Konijnenbelt, maupun dari Zippelius memberi tempat pada yudikatif sebagai kekuasaan yang vital dalam negara (hukum) modern.

Pemikiran yang lebih eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak asasi dan kebebasan warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia merupakan mahluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagiaan rakyat merupakan tujuan negara dan hukum. Oleh karena itu, hak-hak dasar manusia tidak boleh dilanggar oleh penguasa. Bahkan pelaksanaan hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh negara. Untuk tujuan itu, harus ada pemisahan kekuasaan atas eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Karena perlindungan hak-hak rakyat itu begitu penting, maka seperti halnya tradisi Yunani-yang juga dianut Rousseau, Kant menempatkan lembaga legislasi dan produk-produknya sebagai poros negara republik. Bisa dikatakan, dalam konteks perlindungan hak-hak rakyat, Kant mengambil posisi seorang legalis radikal. Sangat mungkin, Kant memandang perlindungan hak rakyat merupakan suatu imperatif moral. Ya, menggunakan terminologi Kant, suatu Kategorisher Imperativ.

Memang, isu kebebasan dan hak-hak dasar manusia menjadi ikon kosmologi abad ke-18. Kosmologi itulah yang mengilhami pemikir zaman itu, termasuk Kant, Locke, dan Montequieu. Selama periode ini, terjadi pergeseran cara pandang tentang hak-hak dasar. Hak-hak tersebut tidak lagi dilihat hanya sebagai kewajiban yang harus dihormati oleh penguasa, tetapi juga dipandang sebagai hak yang multak dimiliki rakyat. Kredo masa itu adalah: Tiap manusia dikaruniakan hak-hak yang kekal dan tidak dapat dicabut, yang tidak pernah ditinggalkan ketika umat manusia "beralih" untuk memasuki era baru dari kehidupan pramodern ke kehidupan modern, serta tidak pernah berkurang karena tuntutan "hak memerintah penguasa".

Sebagaimana diketahui, pandangan Locke mengenai "hak-hak alamiah" dan "asas pemisahan kekuasaan" semakin diperkuat oleh pemikiran Montesquieu yang menghendaki pemisahan kekuasaan negara secara tegas ke dalam organ legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pemikiran J.J. Rousseau tentang "paham kedaulatan rakyat" juga turut mengokohkan ajaran Locke di atas. Berdirinya negara-negara modern di Eropa Kontinental dan Anglo Saxon pada abad ke-17 sampai abad ke-19, sebenarnya diilhami secara signifikan oleh "asas pemisahan kekuasaan" dari Locke dan Montesquieu, serta "paham kedaulatan rakyat" dari Rousseau, dan dikombinasikan dengan perjuangan politik berdasarkan paham kedaulatan hukum yang digagas oleh Krabe dan Jellinek.

Bagaimana persisnya teori Krabe tentang kedaulatan hukum? Krabe berangkat dari fakta bahwa riilnya negara tunduk pada hukum. Hukum itu sendiri, menurut Krabe, bersumber dari rasa hukum dalam tiap diri individu. Karena merupakan `bakat manusiawi', maka rasa hukum itu merupakan sebuah insting. Ya, insting hukum. Insting hukum inilah yang dalam perkembangannya melahirkan kesadaran hukum. Norma hukum merupakan produk lanjutan dari kehidupan bersama dari orang-orang yang memiliki kesadaran hukum tersebut. Karena norma hukum merupakan realitas obyektif yang berada di atas semua orang, maka norma itulah yang berdaulat.

Jellinek dengan teori Selbstbindung-nya, mendukung Krabe. Negara, kata Jellinek, dengan sukarela mengikatkan diri tunduk kepada hukum sebagai penjelmaan kehendak sendiri. Mengapa negara rela tunduk pada hukum? Kata Jellinek, karena dalam hukum itu terkandung aspek-aspek ideal berupa rasa hukum, kesadaran hukum, dan aspek keadilan (tentu saja di samping kemasyarakatan/manfaatnya).

Tapi Struycken membantah krabe mengenai rasa hukum sebagai titik-tolak norma hukum yang obyektif. Menurut Struycken, rasa hukum individu tidak dapat dijadikan sumber hukum karena ia selalu berubah setiap saat. Rasa hukum juga bisa berbeda dari orang ke orang, dari golongan ke golongan. Jadi jika hukum didasarkan pada rasa hukum individu, maka bukan hukum yang bersifat umum yang dicapai, melainkan anarki norma. Kritik Struycken ini dijawab Kranenburg. Menurut Kranenburg, ada pola yang bersifat tetap dalam reaksi terhadap kesadaran hukum. Setiap orang yang merasa dirugikan, selalu memiliki reaksi yang sama untuk meminta ganti rugi. IM, kata Kranenburg merupakan bukti tentang adanya pola yang tetap menyangkut kesadaran hukum. Boleh saja rasa hukum tiap individu itu tidak sama atau selalu berubah, namun yang pasti ada unsur-unsur yang sama dalam reaksi kesadaran hukum. Kesadaran hukum itu tidak sama dengan rasa hukum. Kesadaran hukum merupakan tingkat yang lebih tinggi dari sekedar rasa hukum. la merupakan semacam sintesa dari rasa hukum yang beragam dari tiap individu. la merupakan produk kolektif dari kehidupan bersama. Sedangkan rasa hukum merupakan insting individual seorang manusia. Begitu argumentasi Kranenburg.

Hukum Itu Produk Akal Praktis Menurut Teori Immanuel Kant

Teori Immanuel Kant

Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, Kant dikenal dengan Imperatif Kategoris-nya. Ada dua norma yang mendasari prinsip ini: (i)Tiap manusia diperlakukan sesuai martabatnya. la harus diperlakukan dalam segala hal sebagai subyek, bukan obyek. (ii) Orang harus bertindak dengan dalil bahwa apa yang menjadi dasar tindakannya memang merupakan prinsip semesta. Prinsip semesta yang dimaksud Kant adalah penghargaan akan manusia yang bebas dan otonom. Manusia yang memiliki hak-hak dasar, seperti hak menikah dan hak berkontrak. Di samping itu, terdapat pula hak-hak jenis lain yang disebut hak-hak lahir, seperti hak memiliki.

Menurut Kant, dalam kebebasan dan otonominya, tiap-tiap individu cenderung memperjuangkan kemerdekaan yang dimilikinya. Ini memang suatu yang wajar. Tapi sangat mungkin, pelaksanaan kemerdekaan seseorang bisa merugikan orang lain. Untuk menghindari kerugian itu, dibutuhkan hukum. Hukum merupakan kebutuhan dari setiap mahluk bebas dan otonom yang mau tidak mau memang harus hidup bersama. Persis di titik ini, seolah ada seruan, `hiduplah berdasarkan hukum jika ingin hidup bersama secara damai dan adil'. Seruan ini bernuansa imperatif etik, dan oleh karena itu, timbul kewajiban untuk menaati hukum .

Kant percaya, untuk membangun tatanan negara yang rasional, diperlukan suatu hukum dan menejerial pemerintahan yang memastikan tiap orang menghormati kebebasan orang lain. Negara tidak perlu mengatur rakyatnya dengan kontrol yang bersifat moral atau pun religius. Sebab, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, maka yang akan terjadi adalah kekacauan dan konflik. Kebijakan moralistis, hanya akan memecah-belah masyarakat modern yang plural dalam kategori-kategori agama, moral, maupun kebudayaan. Dari sinilah Kant mengusulkan perlunya tatanan hukum yang obyektif dan imperatif. Makna hakiki dari hukum yang obyektif dan imperatif itu, adalah hukum menjamin kepentingan semua individu menurut dua prinsip imperatif kategoris di atas, bukan menurut ukuran-ukuran primordial yang parokial (agama, moralitas, dan kultur tertentu).

Karena hukum harus berpedoman pada dua prinsip imperatif kategoris dimaksud, maka Kant memasukan hukum dalam bidang `akal praktis'. Hukum merupakan bidang sollen, bukan bidang sein. Ini ada kaitan dengan kategori Kant mengenai akal manusia. Menurut Kant, manusia memiliki dua jenis akal, yakni `akal murni' (akal teoritis) dan `akal praktis'. Akal murni merupakan media untuk melihat `yang ada' (Sein), yakni alam, fakta, dan semua yang dapat direkam oleh indera. Sedangkan akal praktis merupakan media untuk menangkap bidang `harus' (Sollen), yakni norma-norma. Itulah sebabnya, hukum merupakan bidang `akal praktis'. `Akal praktis' berbicara tentang apa yang seharusnya. la berbicara tentang Maximes, yaitu prinsp-prinsip kelakuan yang dirasa sebagai kewajiban .

Maximes itu sendiri (seperti terkristal dalam imperztif kategoris), memiliki dua sisi, yakni `materi' dan `bentuk'. `Materi' adalah isi dari norma-norma (maximes) tersebut. Sedangkan `bentuk' adalah sifat mewajibkan yang menandai norma-norma itu. Norma-norma ini, menurut Kant, harus otonom, yakni harus memiliki sifat mewajibkan sendiri. Itu hanya mungkin jika norma-norma tersebut dipandang secara formal (`bentuk'-nya), yakni dalam sifat mewajibkan. Norma yang sungguh-sungguh mewajibkan secara mutlak dan umum itu, adalah norma yang ada dalam imperatif kategoris di atas. Karena hukum merupakan bidang `akal praktis', maka pembentukannya haruslah mengikuti keharusan menurut prinsip imperatif kategoris itu. Tidak boleh hukum dibuat atas dasar petimbangan-pertimbangan pragmatis berbasis pengalaman inderawi seperti rasa enak, rasa suka, rasa untung, dan lain sebagainya. Hanya hormat terhadap norma-norma sebagai kewajiban (imperatif kategoris), yang dapat menjadi motif untuk membentuk aturan hukum .

Lalu bagaimana dengan keharusan menaati hukum? Aturan hukum sebagai norma hukum positif, bukanlah bidang keharusan yang otonom. la merupakan bidang keharusan yang heteronom. Dalam keharusan yang heteronom, maka berlakunya norma tidak berasal dari rasa kewajiban yang menyentuh batin manusia, melainkan dari sesuatu yang di luar kewajiban batin. Di sini Kant memperkenalkan istilah legalitat, yakni `sifat hukum' dari suatu perbuatan. Inti sifat hukum dan suatu perbuatan adalah penyesuaian dengan apa yang sudah dibentuk sebagai hukum . Dapat disimpulkan, bagi Kant, prinsip-prinsip aturan hukum merupakan bidang keharusan yang otonom, dan karenanya mewajibkan secara otonom pula. Sedangkan aturan hukum itu sendiri (sebagai aturan hukum positi terbilang bidang keharusan yang heteronom, dan oleh karena itu, dialami sebagai gejala yang tidak bersangkut paut dengan persoalan kewajiban batin. Lepas dari apa pun motifnya (rasa respek atau takut), orang harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh hukum .




Hukum itu Kewajiban Menurut Teori Christian Wolff

Teori Christian Wolff

Teori dari Christian Wolff ini, berangkat dari pengandaian bahwa hukum alam, seperti juga hukum lainnya, berbasis kewajiban. Tiada hukum tanpa kewajiban yang mendahului keberadaannya. Hukum berada dan mengalir dalam kewajiban, begitu kata Wolff Hak bawaan versi Locke, misalnya dianggap ada karena si manusia pemilik hak itu memiliki kewajiban bawaan juga .

Dengan atribut bawaan yang demikian, maka sesungguhnya manusia setara adanya. Tidak ada manusia yang secara alami memiliki hak untuk berkuasa atas milik orang lain. Juga tidak ada manusia yang dari sana-nya punya hak memberi perintah pada orang lain. Itu berarti, semua manusia pada dasarnya bebas. Karena itu, tuntutan dasar dalam kehidupan manusia yang mesti dijamin oleh hukum adalah berlaku adil. Kebaikan hidup hanya terjamin jika setiap orang memiliki sikap yang adil. Mengutip Leibniz, keadilan menurut Wolff adalah cinta kasih seorang bijaksana (iustitia est caritas sapientis). Orang adil adalah orang yang dengan kebaikan hatinya mengejar kebahagiaan dan kesempurnaan. Kebahagiaan dan kesempuranaan itu hanya dapat dicapai melalui cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama manusia .Dengan dasar filsafat itu, Wolff mengajukan tiga eselon norma yang menjadi pedoman norma hukum . Pertama, norma `tingkat rendah' (mengatur hubungan manusia dengan benda). Prinsip dasar dalam norma ini adalah: Jangan merugikan orang lain (neminem laedere). Di sini muncul penghormatan terhadap hak milik (ius propietatis).
Keadilan di sini, adalah keadilan tukar-menukar (iustitia commutativa). Kedua, norma `tingkat menengah' (mengatur hubungan antar-orang). Prinsip utama di sini ialah: Berikanlah setiap orang menurut haknya (unicuique suum tribuere). Di sini berlaku hak untuk hidup bersama secara pantas (ius societatis). Sikap yang diperlukan dalam bidang ini adalah aequitas, yakni cinta kasih dan kesediaan untuk berguna bagi orang lain. Keadilan di sini ialah keadilan distributif (iustitia distributiva). Ketiga, norma `tingkat ringgi' (mengatur hubungan manusia dengan Tuhan). Di sini berlaku hak dan kewajiban orang untuk berbakti pada Tuhan (ius pietatis atau ius internum). Prinsip dasar dalam bidang ini ialah bertingkah-laku secara luhur dan terhormat (honeste vivere). Keadilan yang berlaku adalah keadilan umum (iustitia universalis).






Hukum dan Lingkungan Fisik Menurut Teori Montesquieu

Teori Montesquieu

Montesquieu yang nama lengkapnya: Charles-Louis de Secondat de la Brede et de Montesquieu, adalah pemikir bidang hukum dan politik era Aufklarung di Prancis. Dalam karya monumentalnya L'Esprit des Lois (Roh Hukum), la membahas raison d’etre bagi hukum. la menegaskan, dalam suatu bentuk pemerintahan, suatu sistem hukum harus ditemukan lebih daripada bisa ditemukan. Apa sebab? Karena sejatinya sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia.

Dengan `ilham' metode empiris dari Aristoteles, Montesquieu berusaha menemukan apa sebabnya suatu negara memiliki seperangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu? la bertolak dari sisi watak masyarakat. Menurutnya, ada dua faktor utama yang membentuk watak suatu masyarakat. Pertama, faktor fisik. Faktor fisik yang utama adalah iklim, yang menghasilkan akibat-akibat fisiologis mental tertentu. Selain faktor iklim, keadaan daratan, kepadatan penduduk, dan daerah kekuasaan suatu masyarakat juga turut berpengaruh .

Kedua, adalah faktor moral. Menurut Montesquieu, seorang legislator yang baik, bisa membatasi pengaruh faktor fisik sekecil mungkin dan bahkan bisa membatasi akibat-akibat karena iklim tertentu. Dalam faktor moral ini, terhimpun antara lain: agama, adat-istiadat, kebiasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir, serta suasana yang tercipta di pengadilan .
Dalam tesis Montesquieu, faktor iklim dan lingkungan, tidak saja berpengaruh pada watak manusia/masyarakat, tetapi juga pada sifat dan bentuk kegiatan, cara hidup bermasyarakat, dan lembaga-lembaga sosial. Serentak dengan itu, iklim juga dapat mempengaruhi moral, ekonomi, agama, dan bentuk pemerintahan. Menurutnya, orang-orang yang berada dalam iklim yang dingin, menampilkan sifat yang lebih berani, lebih berorientasi pada industri, menyukai kebebasan, serta mampu menahan sakit. Meski demikian, orang-orang ini memiliki sisi minusnya, yaitu lebih suka melakukan bunuh diri, kurang erotis, dan kurang romantis. Sebaliknya, mereka yang tinggal di iklim panas, cenderung malas, tidak tekun, dan kurang menyukai kebebasan .

Montesquieu juga menghubungkan kondisi daratan dengan bentuk pemerintahan. Daratan yang luas, menurutnya cenderung menghasilkan pemerintahan yang despotik. Benua Eropa yang terdiri dari sungai, gunung-gunung, dan tanah yang subur cenderung pada sentralisasi kekuasaan, yaitu kekuasaan absolut. Sementara itu, penduduk yang berada di daerah kepulauan, lebih menginginkan kebebasan dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di daerah daratan. Montesquieu juga menyinggung soal agama. Menurutnya, agama Katolik cenderung kepada monarki, agama Protestan cenderung berbentuk Republik, sedangkan agama Islam lebih kondusif bagi berkembangnya despotik .

Karena adanya kekhasan iklim dan kondisi daratan, maka apa yang dikerjakan dalam suatu masyarakat tidak perlu dilakukan oleh masyarakat lainnya. Implikasinya, adalah adanya relativisme, termasuk di bidang moral. Tidak ada penilaian moral yang benar-benar independen dan netral yang dapat dibuat dalam masyarakat atau budaya yang berbeda . Setiap penilaian moral berkembang di luar suatu masyarakat atau budaya, tidak bisa diterapkan begitu saja pada masyarakat tersebut. Demikian pula suatu tatanan hukum dari luar, tidak bisa ditransfer dan dipakai begitu saja untuk suatu masyarakat.

Di samping teori yang bersifat sosiologis di atas, Montesquieu juga berbicara tentang hukum alam. Perdamaian, menurut Montesquieu, merupakan hukum kodrat yang pertama. Sedangkan hukum kodrat yang kedua adalah mencari nafkah. Daya tarik yang timbul dari perbedaan jenis kelamin, merupakan hukum kodrat yang ketiga. Meski manusia dan hewan sama-sama memiliki insting sosialitas, namun manusia memiliki kelebihan berupa pengetahuan dan moralitas. Kesadaran akali dan etis untuk hidup bersama, memunculkan hukum kodrat keempat, yakni motif hidup bermasyarakat yang dipagari oleh norma-norma sosial. Perlu pula diingat, dalam konsep Montesquieu, hukum yang memunculkan gagasan tentang Sang Pencipta pada pikiran manusia serta membuat manusia condong kepada-Nya, adalah hukum yang paling penting, kendati bukan yang pertama dalam tatanan hukum alam .

Di bidang politik atau pemerintahan, seperti disinggung sebelumnya, Montesquieu juga membangun teori tersendiri, yaitu klasifikasinya tentang republik, monarki dan despotis. Masing-masing dicirikan oleh dua hal, yakni hakekat dan prinsip. Hakikat pemerintahan adalah isi yang membentuk pemerintahan. Sedangkan prinsip adalah cara bertindaknya. Menurut hakikatnya, dalam suatu pemerintahan republik, kekuasaan tertinggi harus dimiliki oleh sekelompok orang atau keluarga-keluarga tertentu, bisa merupakan demokrasi jika lembaga rakyat memiliki kekuasaan tertinggi, atau aristokrasi jika hanya sebagian masyarakat yang memegang kekuasaan tertinggi. Dalam suatu pemerintahan monarki, kekuasaan tertinggi harus dimiliki penguasa, tetapi dalam pelaksanaannya, kekuasaan harus diatur oleh hukum yang sudah mapan. Sedangkan pemerintahan despotis, penguasa tunggal saja yang harus memerintah menurut kehendaknya serta pikirannya sendiri yang dapat berubah sesuai kebijakan pribadi sang penguasa .

Montesquieu sendiri menganggap republik sebagai bentuk negara terbaik, karena diperintah oleh rakyat banyak. Rakyat yang memegang kedaulatan dan memberikan mandat serta legitimasi kepada orang-orang yang dipercaya untuk memerintah negara. Negara yang berbentuk republik memperlihatkan, rakyat memegang kekuasaan tertinggi, yang diatur oleh mekanisme pemilihan wakil-wakil rakyat atas nama rakyat banyak secara keseluruhan. Bagaimana dengan monarki? Meski diperintah beberapa orang aristokrat (bangsawan), monarki bisa saja tidak buruk asal saja penguasa-penguasa negara bersangkutan mematuhi hukum, menghormati rakyat yang dikuasai dan menghormati hak-hak istimewa kaum bangsawan: Sedangkan despotis merupakan bentuk negara terburuk. Negara despotis adalah negara yang diperintah oleh satu orang yang menentukan serta mengatur segala sesuatu berdasarkan kemauannya dan kehendaknya sendiri. Penguasa berkuasa mutlak dan tidak terbatas. Hukum berada di bawah kekuasaannya, sehingga ia dapat bertindak di luar hukum-hukum yang telah ditetapkan .

Teori lain dari Montesquieu tentang hukum adalah soal jenis-jenis hukum. Menurutnya, semua mahluk termasuk manusia mempunyai hukumnya sendiri-sendiri. Pertama, hukum alam yang jelas tidak dapat diubah dan dipertentangkan. Kedua, hukum agama yang berasal dari Tuhan. Ketiga, hukum moral dari ahli fisafat dimana hukum ini dapat dibuat dan diubah. Keempat, hukum politik dan sipil. Hukum (hak-hak) politik berkaitan dengan struktur konstitusional, hubungan dari yang memerintah dengan yang diperintah, dan gabungan dari kekuatan, keunggulan, dan kekuasaan. Sedangkan hukum (hak) sipil merupakan hubungan keinginan-keinginan individu . Meski dua hukum tersebut merupakan aspek-aspek dari masyarakat yang sama, tapi tiap tipe merupakan produk dari negara dengan arah yang berbeda. `Hukum politik, merupakan produk political state yang bernuansa publik dan politik-konstitusional. Sedangkan `hukum sipil' adalah produk civil state yang bernuansa non-politikas .

Montesquieu juga membangun teorisasi tentang perbedaan antara hukum yang menetapkan kebebasan politik yang berkaitan dengan konstitusi, dan hukum yang menetapkan kebebasan politik yang berhubungan dengan warga negara. Kebebasan politik itu sendiri, menurut Montesquieu, tidak pernah absolut. Kebebasan politik yang terkait dengan konstitusi, adalah hak untuk melakukan apapun yang diperbolehkan oleh hukum. Sedangkan kebebasan politik yang berhubungan dengan warga negara, menunjuk pada ketenangan yang dinikmati warga negara karena keadaan yang aman. Untuk memiliki kebebasan ini, pemerintah harus diberi wewenang sedemikian rupa sehingga dapat memberi jaminan rasa aman pada setiap warga negara.

Tapi wewenang yang dimiliki pemerintah selalu berpeluang disalahgunakan. Untuk mencegah itu, kekuasaan negara tidak boleh tersentralisasi dan dimonopoli oleh seorang penguasa atau lembaga politik tertentu. Kekuasaan negara perlu dibagi-bagi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai gagasan pemisahan kekuasaan negara. Gagasan pemisahan kekuasaan ini, semata-mata demi memperoleh kepastian bahwa kebebasan politik rakyat tidak diciderai. Sesuai dengan kosmologi Aufklarung, soal kebebasan memang merupakan hal penting dalam pemikiran Montesquieu. Gagasan tentang keharusan adanya jaminan kebebasan inilah yang mendorong Montesquieu memperjuangkan perlunya pembatasan kekuasaan lewat konsepnya yang amat terkenal, Trias Politica. Pengertian dasar Trias Politica adalah pengawasan (check and balances) dari suatu cabang pada cabang yang lain. Bagi Montesquieu, Trias Politica merupakan mekanisme yang dapat menjamin terwujudnya kehendak rakyat dalam sebuah masyarakat yang mempunyai pemerintah .

Seperti diketahui, perwujudan dari konsep TriasPoliticaMontesquieu, adalah adanya pembagian kekuasaan negara ke dalam fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Montesquieu berpendapat, kekuasaan negara dipisahkan secara tegas menjadi tiga, kekuasaan perundang-undangan (legislatif), kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif), dan kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang masing-masing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri, maka hal ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan sewenang-wenang dari seorang penguasa . Pendeknya, Trias Politica mempersempit kemungkinan lahirnya pemerintahan yang absolutistis. Montesquieu menganggap pemisahan kekuasaan yang ketat di antara tiga kekuasaan itu, merupakan prasyarat kebebasan politik bagi warga negara. Meski gagasan trias politica sudah ada dalam pemikiran Locke dan Rousseau, namun Montesquieu menyempurnakannya dengan pemikiran-pemikirannya yang didasari atas pengamatannya selama ia hidup pada masa itu dan ketika la menjadi hakim kala itu.
Menurut Montesquieu, dengan adanya lembaga legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik. Dalam gagasan trias politica, rakyat diposisikan sebagai pemegang kekuasaan negara. Meski begitu, tidak berarti, Montesquieu menolak kekuasaan kaum aristokrat. la tetap mengakui hak-hak politik kaum bangsawan. Dengan demikian, tidak hanya rakyat yang memiliki wakil-wakilnya di parlemen, kaum bangsawan pun memiliki kamar sendiri dalam lembaga tersebut. Begitulah, dalam konsep Montesquieu, parlemen memiliki dua kamar, yaitu wakil-wakil rakyat dan kaum bangsawan.


Hukum itu Kehendak Etis Umum Menurut Teori Rousseau

Teori Rousseau

Masih dengan tema `anti kekuasaan absolut', Jean Jacques Rousseau-seperti juga Locke-mengkonstruksi teorinya tentang hukum dalam konteks perlindungan individu . Sesuai semangat Aufklarung, Rousseau melihat keberadaan sejati manusia sebagai oknum yang memiliki otonomi etis. Kebebasan bagi si individu ini adalah dasar ontologi hidupnya. Itulah sebabnya, hukum sebagai tatanan publik hanya bisa dipahami dalam realitas dasar itu.
Rousseau dalam membangun teorinya tentang hukum beranjak dari sebuah pertanyaan dasar, mengapa manusia yang semula hidup dalam keadaan alamiah, bebas, dan merdeka itu, rela menjadi oknum yang `terbelenggu' oleh aturan? Karena hukum itu milik publik dan karena itu obyektif sifatnya, begitu kata Rousseau. Lalu mengapa hukum itu milik publik dan bersifat obyektif? Kata Rousseau, karena hakikat asasi dari hukum adalah wujud volonte generale! la bukan kemauan golongan tertentu (volonte de corps). Bukan pula kemauan dan kepentingan orang-orang yang hidup dalam segerombolan yang tidak teratur (volonte de tou.r). Dan yang pasti bukan kemauan dan kepentingan pribadi orang per orang (volonte particuliere). Hukum adalah wujud kemauan dan kepentingan umum (individu serentak kelompok) yang hidup teratur dalam sistem politik negara . Ya, hukum adalah wujud volonte generale.
Sebagai manifestasi volonte generale, hukum itu berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan bersama sekaligus kepentingan pribadi, termasuk milik pribadi. Dalam hukum yang demikian itu, implisit hak dan kebebasan tiap orang tetap dihormati, sehingga tetap merasa bebas dan merdeka seperti sedia kala. Nah, hidup dalam tertib hukum tersebut dirasa jauh lebih baik ketimbang suasana kehidupan sebelumnya-di mana masing-masing orang berlomba untuk diri sendiri tanpa secara terencana membangun kepentingan bersama (volonte de tous). Pendeknya, hidup dalam tertib hukum niscaya membawa manusia pada keadilan dan kesusilaan . Dalam keadilan dan kesusilaan tersebut, kebebasan masih tetap ada, hanya saja bukan tanpa batas, melainkan dibatasi oleh kemauan umum (volonte generale). Bisa dimengeri jika Rousseau menempatkan hukum sebagai inti dari semua kehidupan sosial yang adil dan bermoral.

Untuk memastikan suatu aturan hukum benar-benar mencerminkan volunte generale, Rousseau mensyaratkan agar perlu adanya badan legislasi-yang merupakan representasi rakyat. Tapi badan itu tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa kontrol karena bagaimanapun bahaya volonte de corps dan volonte particuliere selalu menghantui setiap kekuasaan. Ada semacam kredo yang harus dipatuhi oleh badan legislasi, yakni `setia pada volonte generale'. Ketika suatu rancangan peraturan diajukan, yang menjadi isu utama, bukan badan itu setuju atau tidak setuju, melainkan apakah rancangan itu selaras dengan volonte generale atau tidak. Ini syarat mutlak, karena la akan mengikat individu-individu yang punya otonomi dan bebas.

Menurut Rousseau, suatu norma hukum memiliki nilai kewajiban dan secara absah mengikat, bukan melulu karena diciptakan dengan partisipasi bebas dari manusia yang tunduk padanya. Lebih dari itu, ia juga harus benar-benar mencerminkan kemauan bersama dari orang-orang yang bebas tersebut. Rakyatlah yang berdaulat, bukan badan legislasi itu sendiri. Jelaslah, bagi Rousseau, hukum merupakan suatu "pribadi publik" dan "pribadi moral" yang keberadaannya berasal dari kontrak sosial untuk membela dan melindungi kekuasaan bersama, di samping kekuasaan pribadi dan milik pribadi .






Hukum itu Kaidah Menggapai Simpati Menurut Teori David Hume

Teori David Hume

Seolah menjadi murid setia Hobbes, David Hume memandang manusia sebagai `oknum Barbar'. Bagi Hume, manusia itu tidak memiliki kecendikiaan untuk berbuat adil. Oknum Barbar itu--dari sananya-tidak memiliki kapasitas menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan. Tidak hanya itu, la juga tidak mempunyai kekuatan pikiran yang memadai untuk berpegang teguh pada kepentingan umum dan kepentingan yang lebih luas .

Oleh karena itu, kata Hume, kita butuh hukum. Untuk apa? Untuk apa lagi kalau bukan untuk mendorong pada preferensi akan keadilan. Keadilan model Hume bertumpu pada keterjaminan pemilikan yang wajar. Artinya: (i) Pemilikan barang tidak boleh berlebihan, (ii) Pemilikan tersebut harus diperoleh secara halal, dan (iii) Pemindahannya harus berdasarkan kesepakatan. Unsur terakhir adalah tepati janji. Inilah moral hukum alam versi Hume .

Menurut Hume, tindakan manusia ditentukan oleh hasrat, bukan oleh rasio. Rasio-penilaian tentang yang benar-salah, tidaklah cukup menjadi motif bagi kehendak. la dapat berfungsi jika bersangkut paut dengan hasrat. Bagi Hume, hasrat yang perlu ditumbuhkan pada manusia agar tercipta keadilan adalah hasrat melembagakan kebahagiaan. Hukum harus berfungsi sebagai stimulus untuk menggugah orang pada kehendak membagi kebahagiaan itu. Hukum, demikian Hume, memperoleh sebagian besar nilai kewajibannya, justru dari manfaat yang dapat disumbangkannya bagi keadaban si manusia itu, yakni membagi kebahagiaan .

Sebab, menurut Hume segala sesuatu yang memberi kebahagiaan bagi masyarakat, akan dengan sendirinya disambut dengan aprobasi (penerimaan baik). Sesuatu yang berguna, akan memberi kebahagiaan, karena keadaan yang memberi kegunaan merupakan sumber pujian dan kemauan baik. Ia merupakan sumber tunggal penghargaan tinggi yang diberikan pada keadilan, ketaatan, penghormatan, kesetiaan, dan kesucian . Kebahagiaan tidak bisa dipisahkan dari semua kebajikan sosial, kemanusiaan, kemurahatian, kedarmawanan, kesantunan, toleransi, welas-asih, dan sikap tidak berlebihan.

Pendeknya, memberi kebahagiaan merupakan landasan utama moral yang mengacu pada umat manusia dan kepada sesama mahluk. Kebaikan bersama, kedamaian, keselarasan, dan ketenteraman dalam masyarakat; pendek kata, semua yang hendak diwujudkan dalam aturan hukum dalam menegakkan keadilan, sesungguhnya berporos pada satu hal, yakni memberi dan membagi kebahagiaan pada orang lain. Bisa dimengerti, jika bagi Hume, kaidah manusia yang simpati merupakan pilar dari aturan hukum.

Jadi dapat disimpulkan, hukum bagi Hume merupakan alat pencapaian cita-cita sosial. Hukum harus mampu menggugah si `barbar' untuk termotivasi mengamalkan kebahagiaan, lebih tepat membagi kebahagiaan pada sesamanya. Membagi kebahagiaan itu, bukan dengan cara ala Sinterklas. Toh manusia itu cinta diri. Cara yang dimaksud Hume adalah melalui prinsip-prinsip hukum alam tadi, yakni keterjaminan pemilikan, tidak menguasai barang secara berlebihan, perolehannya harus dilakukan secara halal, pemindahannya harus berdasarkan kesepakatan, dan berusaha setia pada janji. Di sinilah dimungkinkan hadirnya keadilan dalam hidup bersama.


Hukum itu Penyokong Kebahagiaan Menurut Teori Jeremy Bentham

Teori Jeremy Bentham

Teori dari Jeremy Bentham ini adalah individualisme utilitarian. Katanya, alam telah menempatkan umat manusia di bawah pemerintahan dua penguasa, yakni suka dan duka. Untuk dua raja itu, manusia bergumul tentang apa yang sebaiknya dilakukan, dan apa yang mesti dilakukan. Dua raja itu juga menentukan apa yang kita lakukan, apa yang kita katakan, dan apa yang kita pikirkan.
 .
Lalu `siapa' raja suka dan duka itu? Kekayaan, kekuasaan, nama baik, perbuatan baik, persahabatan, pengetahuan, dan persekutuan, itulah profil si `raja suka'. Kebalikan dari itu adalah `raja duka'. Tapi ditekankan oleh Bentham, kemungkinan ultim dari `si raja suka' adalah kebahagiaan. Seluruh tindak tanduk manusia, disadari ataupun tidak, sesungguhnya tertuju untuk meraih kebahagiaan itu . Menurut Bentham, apa yang cocok digunakan, atau cocok untuk kepentingan individu adalah apa yang cenderung untuk memperbanyak kebahagiaan. Demikian juga, apa yang cocok untuk kepentingan masyarakat adalah apa yang cenderung menambah kesenangan individu-individu yang merupakan anggota masyarakat itu. Inilah yang mesti menjadi titik tolak dalam menata hidup manusia, termasuk hukum .

Hukum sebagai tatanan hidup bersama harus diarahkan untuk menyokong si `raja suka', dan serentak mengekang si `raja duka'. Dengan kata lain, hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Tapi bagaimana agar hukum benar-benar fungsional menyokong kebahagiaan itu? Menciptakan kebebasan maksimum bagi individu agar dapat mengejar apa yang baik baginya, begitu kata Bentham. Cara yang paling efektif untuk itu adalah memelihara keamanan individu. Hanya dengan kebebasan dan keamanan yang cukup terjamin, si individu dapat maksimal meraih kebahagiaan .


Doktrin Bentham tentang manusia, sebenarnya sudah kita temukan pada pemikiran Hume sebelumnya bahwa semua tindakan manusia terkait dengan hasrat. Bahkan moral dan hukum sesungguhnya berbasis manfaat. Seperti halnya Hume, Bentham juga yakin, logika yang memandu ilmu hukum adalah logika kehendak. Bagi keduanya, ilmu hukum merupakan ilmu perilaku. Meski demikian, Bentham menolak asumsi Hume tentang kebajikan dan kemanusiaan yang dimotivasi oleh simpati. Menurut Bentham, tiap manusia sibuk dengan suka duka sendiri, atau dengan kepentingannya sendiri.

Lalu, kalau setiap orang sibuk dengan kepentingan sendiri, bagaimana bisa hidup bersama secara adil? Bukankah jebakan hedonisme melekat dalam diri si pemburu kenikmatan? Apalagi dalam banyak hal, yang paling nikmat dan menguntungkan untuk saya, tidak selalu berarti demikian bagi orang lain. Untuk yang lain, barangkali hal yang sama itu justru merugikan dan mencelakakan. Di sini terbuka muncul kekacauan moral dan ketidakadilan. Bentham sadar betul akan segala kemungkinan itu. Karenanya, ia memberi solusi lewat jalan: `ukuran umum kebahagiaan'. Dan itu harus dilakukan lewat hukum. Hukum harus mengusahakan kebahagiaan maksimum bagi tiap-tiap orang. Inilah standar etik dan yuridis dalam kehidupan sosial. Hak-hak individu harus dilindungi dalam kerangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya .

Bentham sadar betul, pengejaran yang tak terkekang akan kebahagiaan masing-masing individu, dapat berujung pada apa yang oleh Hobbes disebut homo homini lopus. Lagi pula, egoisme seseorang yang tak terkekang (dan cuek pada orang lain), akan membenarkan hal yang sama menimpa dirinya, dan dengan demikian akan mengurangi kebahagiaan diri si individu itu sendiri. Karena itu, Bentham mengintroduksi konsep `tahu diri'. Dan sinilah Bentham menghubungkan hak-hak individu (yang tahu diri) dengan kebutuhan-kebutuhan orang lain. Ini memungkinkan terwujudnya kebahagiaan maksimum bagi orang-orang lain, sekaligus (secara tidak langsung) kebahagiaan bagi si individu secara pribadi. Dengan `tau diri', tiap-tiap orang saling toleran akan inisiatif dan kebebasan masing-masing dalam meraih kebahagiaan. Masing-masing individu tau mana titik toleransi yang harus dipertahankan dalam meraih kebahagiaan serta menghindari kesusahan. Titik dimaksud, adalah ini: keuka tiap orang menjaga dirinya sendiri, ketika tiap orang tau hak dan kewajibannya sebagai sesama individu-individu yang butuh kebahagiaan, dan ketika tiap orang sadar bahwa tidak seorang individu pun mau menderita, maka kepentingan umum pun (yang tidak lain adalah individu-individu dalam masyarakat) juga akan terjamin. Oleh karena itu, hukum harus mampu menyokong penghidupan materi yang cukup pada dap individu, mendorong persamaan, memelihara keamanan, dan meraih hak milik .

Harus diingat, kepercayaan Bentham adalah kepercayaan seorang individualis, bukan seorang sosialis. Sebagai seorang warga dari kelas menengah di Inggris yang sedang tumbuh saat itu, la percaya pada inisiatif individu dan semangat `persaingan fair' dalam perekonomian. Prinsip utamanya adalah `setiap orang mempunyai kebebasan yang penuh untuk mengejar kepentingannya, dan serentak memberi kebebasan kepada orang lain untuk mengejar kepentingan dirinya'. Seperti kita ketahui, empat kredo utama yang menopang semangat `persaingan fair' itu, adalah hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak untuk memiliki, dan hak untuk mengejar kebahagiaan. Pertama, setiap orang mempunyai hak untuk hidup dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang diperlukan untuk dapat tetap bertahan hidup (suruive). Kedua, setiap orang mempunyai hak untuk dengan sebebas-bebasnya berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya terbaik untuk survive. Ketiga, setiap orang berhak untuk bekerja keras sesuai dengan nilai-nilai yang dipilihnya sendiri dan memiliki serta menikmati hasil-hasilnya. Keempat, setiap orang berhak untuk hidup bagi kepentingan dirinya sendiri dan berupaya untuk mewujudkan cita-citanya sendiri.

Begitulah, bila setiap orang diberi kebebasan seluas-luasnya untuk melaksanakan prinsip itu, maka seluruh masyarakat akan berkembang semaksimal-maksimalnya (dan itulah kepentingan umum). Setiap orang mempunyai kesempatan untuk memperoleh apa yang diinginkan dan dibutuhkan. la tidak perlu menjadi beban dan parasit bagi orang lain. Egoistis, tidak buruk. Sebaliknya, ia (juga) memiliki nilai kebaikan yang tertinggi. `Tau diri yang ditawarkan Bentham, sebenarnya dalam kerangka kepentingan individu yang demikian itu, yaitu ketika tiap orang saling menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajibannya.

Teori egoistis Bentham, memang mengundang kritik. Orang pertama yang tampil menyerang adalah muridnya sendiri, yakni John Stuart Mill. Menurut Mill, terlalu naif asumsi Bentham yang menganggap seolah tidak ada pertentangan antara kegunaan individu dan kegunaan umum . Juga terlampau dangkal menganggap manusia hanya dikendalikan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis kesenangan diri melulu. Kalau memang begitulah manusia itu, sangat tidak bisa dimengerti sama sekali, mengapa individu mengekang usaha-usahanya mencapai kebahagiaan demi kepentingan orang lain.
Bagi Mill, gagasan Bentham tentang `tau diri’, sebenarnya bermakna setengah menutupi pengakuan bahwa dalam kehidupan sosial terdapat eselon nilai-nilai, yaitu ada nilai-nilai yang lebih tinggi dan nilai-nilai yang lebih rendah. `Tau diri tersebut, di mata Mill, merupakan perwujudan nilai-nilai yang tinggi, yang berwujud rasa adil. Perasaan individu akan keadilan, membuat la mempertimbangkan kepentingan orang lain, bahkan menempatkannya sebagai yang utama. Karena rasa keadilan inilah, maka orang menyesalkan tindakannya yang tidak baik kepada orang lain. Di bawah rasa keadilan, perilaku kita akan sedemikian rupa sehingga semua mahluk berakal dapat menyesuaikan keuntungan dengan kepentingan orang lain .

Ini menunjukan bagaimana Mill menghubungkan keadilan dengan kegunaan umum, dan jelaslah pendekatan murid Bentham ini berbeda dengan pendekatan gurunya. Jika tekanan Bentham terletak pada kepentingan individu yang egois, maka Mill pada kepentingan umum. Maka bisa dipahami, jika Mill terkenal dengan ungkapannya yang semisal: the greatest good for thegreatest number.

Pertentangan antara kepentingan sendiri dengan kepentingan bersama, dilakukan Mill dengan mengadu domba naluri intelektual dan naluri non-intelektual dalam diri manusia. Keperdulian pada kepentingan umum, menunjuk pada naluri intelektual, sedangkan pengagungan kepentingan sendiri menunjuk pada naluri non-intelektual. Institusi sosial dikatakan adil, menurut Mill, jika kegunaan diabdikan untuk memaksimilasi keuntungan sebanyak mungkin orang (rata rata orang).

Utilitarianisme Mill sendiri mendapat kritik tajam dari John Rawls . Teori Mill tentang utilitarianisme "rata-rata" (average utilitarianism), sesungguhnya lebih berbahaya dari yang disangka orang. Menurut Rawls, dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme ala Mill itu, orang-orang akan kehilangan harga diri, dan lagi pula, pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Boleh saja orang diminta berkorban demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan tersebut pertama-tama diminta dari orang-orang yang kurang beruntung dalam masyarakat .

Susunan dasar masyarakat di mana pun, kata Rawls, selalu ditandai oleh ketimpangan. Ada yang lebih diuntungkan, dan ada yang kurang diuntungkan. Situasi ini butuh penanganan yang adil. Dan keadilan itu bukan terletak pada ada tidaknya simpati seperti dikira Bentham, juga bukan dengan memaksimalkan kegunaan bagi sebanyak mungkin orang seperti diduga Mill. Sebaliknya, keadilan justru terletak pada `kepemihakan' yang proporsional terhadap mereka yang paling tidak beruntung. Tapi kepemihakan itu tidak boleh membuat orang lain menderita, dan juga tidak boleh membuat yang bersangkutan menjadi parasit.

Oleh karena itu, hukum sebagai salah satu unsur susunan dasar masyarakat, harus mengatur sedemikian rupa berdasarkan dua prinsip. Pertama, menetapkan kebebasan yang sama bagi tiap orang untuk mendapat akses pada kekayaan, pendapatan, makanan, perlindungan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, hak-hak, dan kebebasan. Kedua, prinsip perbedaan dan prinsip persamaan atas kesempatan (the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity ). Inti the difference principle adalah perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Sedang the principle of fair equality of opportunity menunjuk kesempatan yang sama bagi semua orang (termasuk mereka yang paling kurang beruntung) untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas .

Menurut Rawls, prinsip yang pertama harus berlaku terlebih dahulu sebelum prinsip yang kedua. Demikian juga, persamaan yang adil atas kesempatan secara leksikal harus berlaku lebih dahulu dari pada prinsip perbedaan. Hanya setelah kebebasan disediakan sepenuhnya, kita dapat bebas pula mengarahkan usaha mengejar tuntutan yang terdapat dalam prinsip berikutnya, yaitu persamaan yang adil atas kesempatan dan prinsip perbedaan. Dengan pengelolaan keadilan seperti ini, perkembangan bersama bisa berjalan terus tanpa distorsi, dan orang-orang yang kurang beruntung tidak akan kehilangan harga diri.