Teori Socrates

Pemujaan manusia Dionysian ala filsuf Ionia dan ketakpanggahan kaum Sofis terhadap keutamaan logos, memunculkan reaksi kembar dari Socrates (sebagai tokoh utama barisan filsuf Athena). Terhadap filsuf Ionia, Socrates menampilkan tokoh anti tesis Apollonian yang berwatak rasional, tertib, ramah, dan bermoral. Sedangkan terhadap kaum Sofis, ia memancangkan maskot `pribadi berintegritas' (manusia yang menjunjung satunya kata dan tindakan). Itulah prototipe manusia sesungguhnya. Manusia bukanlah `binatang urakan' model Dionysian. Bukan pula mahluk oportunis ala Protagoras. Manusia, hakikat asasinya adalah wujud logos, dan oleh karena itu, kehidupannya termasuk di bidang hukum mencerminkan keluhuran logos itu.

Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum . Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia), bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri (kontra kaum Sofis). Hukum, sejatinya adalah tatanan obyektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum .

Pemikiran Socrates itu harus dipahami dalam konteks pemikiran etisnya tentang eudaimonia. Tujuan kehidupan manusia menurut Socrates adalah eudaimonia (kebahagiaan). Tentu yang dimaksud Socrates adalah kebahagiaan seperti dipahami orang Yunani, yakni suatu keadaan obyektif yang tidak tergantung pada perasaan subyektif . Bagi bangsa Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan jiwa yang oleh Plato dan Aristoteles diakui sebagai tujuan tertinggi dalam hidup manusia.

Menurut Socrates, untuk mencapai eudaimonia harus melalui arete, biasa diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai virtue (kebajikan). Manusia harus mempunyai arĂȘte sebagai manusia. Arete membuat manusia sebagai manusia yang baik. Seorang yang sudah mempunyai arete (keutamaan) sudah pasti tahu apa yang baik, dan hidup yang baik, tidak berarti lain daripada mempraktikkan pengetahuan tentang yang baik itu.

Prinsip itu menurut catatan Lloyd, dipertahankan Socrates secara konsisten, termasuk ketika ia dihadapkan pada "pengadilan sesat" masa itu . Sebagai warga negara yang mengetahui hukum yang berlaku dan sebagai warga polis, Socrates pantang menolak atau mengelakkan diri dari jeratan hukum atas dirinya. Meski ia tahu peradilan itu sesat, ia merasa wajib tunduk pada proses hukum itu. Sikap tersebut menurutnya, merupakan hal yang benar dan bermoral, karena setiap warga negara secara implisit telah berada dalam kontrak sosial untuk mematuhi hukum yang berlaku dalam negara itu. Seorang yang melanggar hukum, pada dasarnya berarti mencabik landasan hidup bersama.

Kontrak sosial yang melahirkan kewajiban moral menaati hukum dalam polis seperti dilakukan Socrates, bukanlah dalam makna kontrak sosial zaman modern. Kontrak sosial yang dimaksud Socrates adalah kesediaan menjadi warga polis. Polis itu, bukanlah lembaga duniawi belaka. la merupakan lembaga logos, atau lebih tepat sebuah wujud logos. Karena logos merupakan representasi dewa-dewi yang mencerahkan dan sekaligus memberi petunjuk tentang jalan hidup yang baik, maka setiap orang yang menjadi warga polis (sebagai lembaga logos) terbeban secara moral untuk tunduk pada hukum polis. Eudaimonia (kesempurnaan jiwa), menjadi inti filsafat kebijaksanaan Socrates.
 Lewat filsafat ini pula, ia `menyerang' dua barisan filsuf sebelumnya: filsuf Ionia dan kaum Sofis. Bahkan demi mempertahankan filsafatnya, dia bersedia mati dengan meminum hemlock. Dari tiga butir yang menjadi saripati "filsafat kebijaksanaan" Socrates, dua di antaranya relevan diungkapkan di sini. Butir pertama, peningkatan jiwa, kepedulian terhadap kebijaksanaan dan kebenaran, merupakan keutamaan tertinggi (primum et summum bonum) dalam hidup manusia. Butir ini diungkapkan dalam Apology, karya Plato. Bagi Socrates, inti hidup manusia adalah keluhuran jiwa, bukan keutamaan materi sebagaimana diajarkan filsuf Iona. Lebih lanjut dikatakan Socrates, sebelum mengejar kebijaksanaan dan kebenaran janganlah dulu berpikir tentang uang atau kemasyhuran atau prestise jasmani. Ini langsung menohok jantung hedonisme kaum Sofis. Kebajikan tidak muncul dari uang, namun kebajikan mendatangkan uang dan segala hal yang baik bagi manusia, secara umum maupun pribadi. Ini - kata Socrates - adalah inti ajarannya.

Butir kedua filsafat Socrates adalah kebajikan. Kebajikan tidak lain adalah pengetahuan. Menurut prinsip ini untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukan kebaikan. Kejahatan, kekeliruan atau semacamnya muncul karena kurangnya pengetahuan, ketidakacuhan, dan ketiadaan lainnya. Butir kedua ini sebenarnya menyangkut integritas manusia. la menuntut satunya pengetahuan dan tindakan, bukan seperti kaum Sofis yang justru suka mempermainkan pengetahuannya demi materi. Menurut Socrates, hal ini konyol, karena jika Anda benar-benar lebih tahu, jika Anda benar-benar paham mengenai hal yang baik untuk dilakukan, maka Anda pasti akan melakukannya. Jika Anda benar-benar memiliki penilaian yang lebih baik dari yang Anda gunakan, maka Anda pasti akan bertindak berdasar penilaian tersebut, dan bukannya berlawanan.

Bagi Socrates, karena kebajikan adalah pengetahuan, dan untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukannya, maka kekeliruan hanya datang dari kegagalan untuk mengetahui apa yang baik. Dalam kalimat Socrates yang terkenal disebutkan: "Jika mengetahui kebaikan, seseorang tak mungkin bermaksud memilih kejahatan". Orang-orang yang menghabiskan hidupnya demi mengejar kekuasaan, gengsi, atau kekayaan-mereka melakukannya karena berpikir bahwa salah satu dari tindakan itu akan membawa kebahagiaan.
Ini bukti, bahwa sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang baik. Mereka tidak tahu bahwa hal itu tidak baik dan tidak akan membawa kebahagiaan. Kata Socrates, orang harus tahu sifat hakiki manusia, sifat sejati manusia, supaya mengerti apa yang baik bagi manusia dan apa yang akan membawa kebahagiaan, serta supaya mengerti bagaimana hidup dan apa yang harus dikejar untuk diraih. Tanpa memperhatikan ini, kita tidak akan tahu apa yang baik untuk manusia dalam kehidupan-mengejar demi mencapai sesuatu namun tak pernah mendapatkan kebahagiaan.

Ungkapan Socrates, yang terkenal, adalah Gnothi seaton! Kenalilah dirimu. Ini merupakan kata kunci bagi manusia agar jadi bijak dan adil. Kenalilah dirimu, bahwa kamu adalah bagian dari akal Tuhan. kenalilah dirimu, bahwa kamu memiliki tempat tertentu menurut stratifikasi sosial dalam negara (pemimpin atau warga biasa). Kenalilah dirimu, bahwa kamu memiliki tugas ganda: sebagai warga negara sekaligus warga religi. Kenalilah dirimu, bahwa kamu harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai berbagai ilmu dalam encyclopaedie. Kenalilah dirimu, bahwa kamu memiliki hak untuk ikut memerintah. Syarat Polis yang demikianlah yang membedakan mutu kota Yunani kuno dengan kehidupan kota yang kita kenal saat ini.

Teori Socrates menampilkan teori `tertib hidup' yang lain lagi. Sebagai orang yang berada dalam `rezim' religi Olympus, ia menghadapi keluhuran religi itu sebagai `kekuasaan' yang membutuhkan jawaban strategis tertentu. Socrates memilih `jalan kebijaksanaan' sebagai tatanan tertib hidup manusia. Maka teorinya tentang hukum pun, bertumpu pada `jalan kebijaksanaan' itu. Mengapa jalan kebijaksanaan' dijadikan tatanan tertib hidup manusia? Ada tiga alasan yang dapat dikemukakan: (i). Socrates memberi tempat yang utama pada kehadiran manusia sebagai oknum moral. Itulah sebabnya, keutamaan jiwa dari tiap individu manusia, menjadi pusat perhatian Socrates. Keutamaan jiwa terletak pada usaha meraih kebijaksanaan.
Kedua, Socrates ingin melepaskan diri sekaligus menghentikan pengaruh dua generasi filsuf sebelumnya (filsuf Ionia dan Sofis) yang cenderung kurang memperdulikan keluhuran jiwa. Ketiga, Socrates hendak melembagakan pedoman moral obyektif dalam hidup bersama (dalam polis) seturut keluhuran logos. Karena hakikat polis merupakan wujud logos, maka tiap warga polis harus hidup menurut tatanan logos itu. Cara berpikir Socrates ini berpengaruh kuat terhadap teori hukum dari Plato, Aristoteles, dan juga abad pertengahan.

Dalam ajaran moral yang menggugah dari Socrates, ada satu hal yang relatif khas (dari Socrates), yakni perilaku hukumnya. la begitu hormat pada hukum. Fenomena ini membuka peluang melakukan eksplanasi dalam kajian hukum. Minimal ada empat peluang eksplanasi. Pertama, perilaku hukum terkait dengan penghormatan seseorang pada negara. Socrates hormat pada hukum, bukan karena hukum itu sendiri, tetapi karena penghormatannya pada negara (polis) sebagai lembaga publik nan luhur. Kedua, perilaku hukum terkait dengan pandangan hidup seseorang. Ketaatan pada hukum bagi Socrates merupakan wujud keutamaaan seorang manusia.

Ketiga, perilaku hukum seseorang terkait dengan keanggotaannya dalam kehidupan sosial. Socrates pantang menghindari hukuman atas dirinya, karena baginya (sebagai anggota masyarakat) setiap pelanggaran hukum berarti mencabik landasan hidup bersama. Keempat, perilaku hukum juga dapat dipengaruhi faktor ekonomi. Kata Socrates, selalu saja ada orang-orang yang melanggar hukum demi kenikmatan diri.

Di luar empat hal itu, tentu masih banyak kemungkinan lain yang dapat dikaji mengenai perilaku hukum. Apa yang dilakukan Socrates hanya semacam contoh saja betapa hukum itu mengandung unsur perilaku. Hukum itu tidak hanya aturan, tetapi juga perilaku. Karya Donald Black dan sebaran tulisan Satjipto Rahardjo mewartakan hal yang sama. Wilayah kajian perilaku hukum bisa menjangkau sentrum yang lebih luas, termasuk perilaku aparat hukum-mulai dari pelaksana lapangan, hingga elite manajemen dalam birokrasi hukum. Perspektif yang dapat dipakai pun bisa beragam. Misalnya saja menggunakan kerangka analisis Lawrance Kholberg mengenai tingkat moralitas. Dengan kerangka Kholberg, niscaya kita bisa temukan beragam variasi, mulai dari perilaku hukum taraf pra-konvensional (tingkat rendah dan kekanak-kanakan), taraf konvensional, sampai pada yang pasca konvensional.
Seperti diketahui, Lawrence Kohlberg membagi jenjang kesadaran etis, atau dalam istilahnya sendiri, kesadaran "moral", dalam tiga tahapan besar .
 Tahapan pertama adalah tahap moralitas pra-konvensional. Tahap kedua, moralitas konvensional. Dan tahap ketiga, tahapan moralitas purna konvensional. Tiap tahapan itu terdiri dari dua jenjang. Sehingga seluruhnya, menjadi enam jenjang.
Moralitas pra-konvensional adalah moralitas yang mengandalkan kalkulasi untung-rugi dan hukuman. Ini sering disebut moralitas kekanak-kanakan. Ketaatannya pada aturan (konvensi) bukan dengan rela dan sadar bahwa kesepakatan-kesepakatan dimaksud, benar dan baik adanya. Tetapi kurena takut kena sanksi. Inilah moralitas jenjang pertama. Si Upik tahu, mencuri kue itu tidak boleh. Namun itu bukan karena ia sadar bahwa mencuri itu jahat. la tidak melakukannya bukan karena alasan itu.
Tetapi karena, misalnya, takut dimarahi atau dipukul oleh ibu. Kohlberg menamakan jenjang yang paling awal dari kesadaran etis seseorang sebagai kesadaran yang berorientasi pada "hukuman". Mengapa Upik tidak mencuri kue? Oleh karena takut dihukum oleh ibu. Itu sebabnya, la patuh. Jadi persoalannya bukanlah apakah "mencuri" itu baik atau jahat. Persoalannya ialah, apa hukumannya?

Pada anak-anak, pertimbangan itu tentu saja dilakukan secara mekanis. Pada orang dewasa, soalnya lain lagi. Orang dewasa sudah pandai berhitung. Si Bejo pada suatu saat menjalankan busnya dengan amat hati-hati. Mengapa? Karena ada pak polisi di depan. Tapi segera ia akan ngebut lagi, bila pak polisi tak kelihatan. Ada begitu banyak orang dewasa dengan moral kekanak-kanakan. Bukankah kita juga sering tergoda untuk melanggar saja ketika lampu merah menyala di perampatan jalan? Sebab waktu itu jam 2.00 pagi, tidak ada polisi, dan jalan pun sepi. Demikianlah, bila kita berada pada kesadaran etis yang paling awal ini.
Jenjang kedua. Pada jenjang ini, tindakan moral seseorang memang masih kekanak-kanakan. Tapi sudah lebih rasional. Tidak terlalu mekanis dan membabi-buta. Orang sudah mulai menghitung-hitung dan memilih-milih. Motivasi utama dalam tindakan moral pada jenjang ini adalah bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Tindakan moral seseorang adalah "alat" atau " instrumen" untuk mencapai tujuan di atas. Saya melakukan sesuatu untuk mendapat sesuatu. `You ,certch my hack and I scratch yours,"kata orang Amerika. "Anda menggaruk punggungku, dan aku menggaruk punggungmu." Sudah ada rasa keadilan di sini. Tapi keadilan yang berdasarkan perhitungan. Sebab itu, Ani sudah dapat memprotes, "Ibu tidak adil karena kue Totok lebih besar dari kue Ani."
Kohlberg mengatakan, nilai moral yang berlaku pada jenjang ini bersifat "instrumental". Artinya, sebagai "alat" untuk mencapai kenikrnatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Rasa takut dihukum masih merupakan faktor, tapi bukan tanpa perhitungan. Arya tahu pimpinannya melakukan korupsi. Apakah Arya akan mengadukan pimpinannya itu ke pihak berwajib, sangat ditentukan oleh kalkulasi untung-ruginya. Mana yang menguntungkan bagi dirinya, melaporkan pada polisi atau `salam damai' dengan bosnya. Jenjang ini masih pra-konvensional. Sebab pertimbangan pokok bukanlah apa yang benar dan apa yang baik secara kolektif, tetap apa yang menguntungkan bagi diri subyektifnya.
Pada moralitas yang pra-konvensional, titik pusatnya adalah diri sendiri. Pada moralitas yang konvensional, cakrawala seseorang sudah lebih luas. Orang sudah benar-benar memperhitungkan orang lain. Berusaha sedapat-dapatnya untuk memenuhi harapan masyarakat di sekitarnya. Dan berusaha sedapat-dapatnya untuk tidak melakukan apa yang dilarang. Pada jenjang inilah, orang berusaha, misalnya untuk menjadi warga masyarakat yang baik, umat yang baik, warga negara yang baik, atau orang tua yang baik. Caranya, dengan memenuhi harapan kelompoknya meskipun itu berarti yang bersangkutan tidak dapat lagi mencapai kenikmatan diri yang sebanyak-banyaknya. Kalau perlu malah bersedia menahan diri.

Jenjang ketiga. Apa yang benar dan baik itu ditentukan oleh orang lain. Saya tidak menetapkannya. Saya hanya tinggal mematuhinya. Saya tidak korupsi bukan karena takut dihukum, tetapi lebih karena keluarga saya melarang korupsi. Betapa pun terbatasnya, dan masih bersifat parokhial, moralitas pada jenjang ini telah merupakan perkembangan yang luar biasa dibandingkan jenjang-jenjang sebelumnya. Tapi karena sifatnya terbatas, maka moralitas seperti ini kadang berhadapan dengan masalah. Masalah yang terbesar ialah, bila terjadi perbenturan atau pertentangan loyalitas. Harapan-harapan yang ada pada setiap kelompok bukan saja berbeda-beda, tapi boleh jadi malah saling bertentangan satu dengan yang lain. Loyalitas saya sebagai anggota keluarga yang baik, menuntut saya untuk bersikap dan bertindak jujur di mana saja. Tapi di kantor di mana saya bekerja, ini tidak mungkin. Saya justru mungkin akan tersingkir oleh kejujuran saya itu. Mana yang harus dipilih? Dalam hubungan inilah, Kohlberg melihat bahwa jenjang berikutnya merupakan perkembangan yang signifikan.
Jenjang keempat. Bila terjadi konflik loyalitas seperti disebut di atas, apa yang kita jadikan dasar untuk memilih dan mengambil keputusan? jawaban yang sederhana ialah, kita harus merujuk pada suatu prinsip atau hukum yang lebih tinggi. Yaitu hukum obyektif yang tidak hanya berlaku untuk satu-satu kelompok saja, tapi hukum yang mempunyai keabsahan yang lebih luas. Hukum yang lebih berdimensi universal. Inilah orientasi dari moralitas pada jenjang keempat. Pada jenjang ini, seseorang sudah berhasil menembus tembok-tembok kelompok yang sempit, untuk menengok dan berpegang pada yang lebih luas lagi. Manakah yang harus dipilih, korupsi atau tidak? Masalahnya bukan memilih pada mana yang lebih memberi jaminan identitas dan sekuritas (seperti jenjang ketiga), akan tetapi apa hukumnya.

Kata kunci dalam jenjang keempat ini adalah "kewajiban". Kita melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, bukan hanya agar kita diterima oleh orang lain, tapi oleh karena kita sadar bahwa itu adalah "kewajiban" kita menurut hukum yang berlaku umum. Dengan melaksanakan "kewajiban" itu, dapat saja kita akan tersingkir dari kelompok kita. Tetapi itu tidak lagi menjadi ganjalan yang utama. Persoalan kita, bukan lagi soal akan disukai atau tidak disukai oleh orang lain, tetapi apakah kita menaati hukum yang berlaku atau tidak.
Menurut Kohlberg, jenjang keempat di atas, belum merupakan puncak perkembangan moral manusia. Memang, dibandingkan dengan moralitas pra-konvensional yang berpusat pada diri sendiri, moralitas konvensional mempunyai cakrawala yang jauh lebih luas.
Bahkan pada jenjang keempat, cakrawala tidak lagi terbatas pada kelompok yang parokhial, melainkan lebih universal. Tetapi, tetap belum universal dalam arti sesungguhnya. Loyalitas saya pada hukum atau undang-undang negara, tentu jauh lebih luas dibandingkan dengan loyalitas saya kepada ketentuan-ketentuan keluarga. Namun, betapapun luasnya "negara", ia tetap merupakan satu kelompok. Belum universal. Belum mencakup seluruh umat manusia. Ketetapan-ketetapan yang ada, bagaimanapun hanya berlaku dalam batas-batas kelompok tertentu.
Jenjang kelima. Jika pada jenjang keempat, hukum yang berlaku wajib ditaati. Hukum itu sendiri, tidak dipertanyakan. Mempertanyakan, malah mungkin dianggap salah. Pada jenjang kelima, orang menyadari bahwa hukum-hukum yang ada, sebenarnya tidak lain dari kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan antar manusia yang melahirkan hukum. Oleh karena itu, kesepakatan antar manusia pulalah yang dapat mengubahnya. Tidak ada hukum yang serta-merta dianggap sakral, yang tidak dapat diubah. Bila hukum tidak lagi memenuhi fungsinya, ia harus diubah. Ada sikap kritis dalam jenjang kelima ini. Orang senantiasa memperjuangkan keutamaan dalam isi hukum ketimbang bersikap formal-legalistik (sebagaimana jenjang keempat).

Jenjang keenam. Menurut Kohlberg, pada jenjang inilah perkembangan pemikiran moral seseorang mencapai puncuknya, yaitu moralitas yang pantang mengkhianati suara hati nurani dan keyakinan tentang yang benar dan yang baik. Orang-orang tidak takut menentang arus. Berani dalam kesendirian. Rela menerima mati daripada menipu diri. Semua itu bukan untuk kepuasaan dan kepentingan diri pribadi. Visi dan misinya jelas, yaitu demi tegaknya harkat dan martabat seluruh umat manusia. Visi dan misi universal. Untuk semua itu, orang-orang seperti Mahatma Gandhi melakukan tindakan-tindakan yang sering kali tidak tercerna oleh akal sehat orang-orang biasa. Moralitas mereka, bukan irasional, tetapi melampaui akal. Moralitas yang transrasional.

Kerangka Kohlberg itu, dapat kita manfaatkan untuk melakukan kajian terhadap perilaku hukum (dan bisa juga budaya hukum) dari berbagai kelompok sosial (entah masyarakat maupun aparat), dengan menggunakan jenjang-jenjang moralitas yang diajukan Kohlberg. Dengan begitu kita berkesempatan melakukan pemetaan pola perilaku hukum dari sisi moralitas. Analog dengan itu, kita juga dapat memanfaatkan kerangka-kerangka analisis lain yang bermanfaat untuk pengembangan kajian terhadap hukum sebagai fenomena manusia dan sosial. Dari teori Socrates, jelaslah kiranya bahwa dimensi perilaku dan budaya hukum tidak sekedar lampiran tambahan dalam kajian hukum. la bukan hanya salah satu unsur sub-sistem hukum. Lebih dari itu, perilaku dan budaya hukum merupakan bidang kajian yang penuh eksplanasi untuk studi dan karena itu sangat bernilai dari sisi keilmuan. Tidak ada alasan yang cukup logis bagi komunitas penstudi hukum untuk menafikan dua hal itu sebagai bagian wilayah kajiannya. Sekali lagi, penstudi hukum bukanlah `tukang aturan'. Sebagai komunitas keilmuan, penstudi hukum merupakan teoritisi di bidang `manejemen manusia dan kehidupan sosialnya'.
Daftar Sumber Bacaan
______, Langit Suci: Agama Sebagai Aealitas Sosial, LP3ES, Jakarta, 1991.
______, The Invitation to Sociology, Garden City N. Y: Doubleday Anchor, 1963
Berman, Harold J., The Origins of lYlestern Legal Science, Harvard Law review, Vol. 90. No. 5, 1977
Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, Yoyakarta: Kanisius, 1999.
______, Etika, PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Bierstedt, R, An Anlysis of Social Power, dalam Marivne E. Olsen, Power in Societies, New York: The Macmillan Company, 1970.
Black, Donald, Sociological Justice, Oxford: Oxford University Press, 1989.
Borgatta, E.F, & Marie L. Borgatta, Encyclopedia of Sociology, vol. III, Macmillan Publisihing Company, 1992.
Bredemeier, H.C. & Biklen, S. K., Law as An Integrative Mechanism dalam Albert, V, Ed. Sociology of Law, Baltimore, Maryland: Pinguin Books, 1976.
Bruggink, J J.H., Refleksi Tentang Hukum Pen gertian-Pengertian DasarDalam Teori Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Budiman, Arief., Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, 1996.
Burn, Peter J, The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999.
Campbell, T, Justice, New York: Humanities Press International, Inc. Atlantic Highlands, 1988.
Carpalletti, Manro, Acces To Justice And The Wlelfare State, Italy: Badia Fiesolana, Firenze, 1981.
Chambliss, WJ dan Robert B. Seidman, Law, Order And Power, Massachusetts: Addison Wesley Publishing Company, 1971.
Coleman, J.S. Social Capital in the Creation of Human Capital, American Journal of Sociology, vol. 94, 1998.
Crombie, I. M., An Examinaton of Plato s Doctrines, Vol. 2, London, 1963.
Deane, Herbert A., The Political and Social Ideas of St. Augustine, 1963.
Dahrendorf, Ralf, Class and Class Conflict in Industrial Society, Stanford University Press, 1954.
_______, Lam and Order, London: Stevens, 1985.
Darmaputera, Eka, Pancasila : Ideretitas dan Modernitas : Tinjauan Etis dan Bardaya, Gunung Mulia, Jakarta, 1987.
_______, Etika Sederhana Untuk Semua, BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 1993.
Douglas, Mary, Natural Symbols: E.%plorations in Cismology, 1970
Durkheim, E, The Division of Labour in Society, New York: The Free Press, 1964.
Dworkin, Ronald, Law'.r Empire, London: Fontana Press, 1986.
Falk-Moore, S., "Politics, Procedures And Norms In Changing Changga Law", Africa, 40 (4): 321-344, 1970.
Feyerabend, Paul, Science in Free Society, Norfolk: Lowe and Brydone Ltd., 1978.
Firth, Raymond, Malay Fisherman : Their Peassant Economy, Routledge & Kegan Paul Ltd, London, 1996.
Fletcher, J, Situation Ethics: The New Morality, Philadelphia: The Westminster Press, 1966.
Friedman, Lawrence M, The Legal System : A Social Science Perrpektzf, Russel Sage Foundation, New York, 1975.
Friedrick, Carl J., The philosophy of Law in Historical Perpective, The University of Chicago Press, 1969
______, Filsafat Hukum Persbeletzf Historis, Nuansa & Nusamedia, Bandung, 2004.
Friedmann, W Legal Theory, London: Stevens & Son Limited, 1953.
______, Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, (I'erj.), PTRaja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
Freidman, L, American Law an Introduction, Second Edition, (ter).) Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, PT. Tata Nusa, Jakarta,2001.
Fukuyama, Francis, Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, Harmondsworth: Penguin Books, 1996.
Fukuyama, Francis, The Great Disruption, HakekatManusia dan Kekonstitusi Tatanan Sosial, Qalam, Yogyakarta, 2002.
Fukuyama, Francis, The End Of History and The Last Man : Kemenangan Kapitalisme Dan Demokrasi Is'beral, Qalam, Yogyakarta, 2003.
Gahral, Donny., Martin Heidegger, Jakarta : Teraju, 2003.
Galanter, Marc, "The Modernization Of Law", Dalam ModerniZatioan: The Dynamics Of Growth, Voice Of America Forum Lectures, Myron Weiner (Ed), 1966
Geertz, Clifford, Involusi Pertanian, Bharatara Karya Aksara, Jakarata,1933.
_______, Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, 1973.
Giddens, Anthony., New Rules of Sociological Method: A Positive Critique of Interpretative Soczologies, New York: Basic Books, Inc Publisher, 1971.
_______, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration, Los Angeles: University of California Press, 1984.
_______, Runaway I-Ylorld Dunia Yang Lepas Kendali, PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Habermas, Jurgen, Knowledge and Human Interest, Beacon Press: Boston, 1971.
_______, Legitimation Crisis, London: Deacon Press, 1973.
Hamilton, VLee & Joseph Sanders, Everyday Justice: Responsibility and the Individual in fapan and the United States, New Haven and London: Yale University Press, 1992.
Hardiman, F Budi., Menuju Mayarakat Komunikatif, Jogjakarta: Kanisius, 1993
_______, Mengatasi Paradoks Modernisasi, dalam Diskursus Kema yarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta: Gramedia, 1993.
Hart, H.L.A., The Concept Of Law, Oxford University Press, London, 1972.
Hartono, Sunaryati, Apakah The Rule of law Itu ?, Alumni, Bandung, 1976.
Hegel, GWF, "Philosophical Manuscripts", dalam Commins & Linscott (eds), Man and the State, 1966
Henderson, Dan Fenno , Conciliation and Japanese Law-Tokugarva and Modern, Seattle: University of Washington Press, 1965.
Held, David., Political Theory and The Modern State, 1984
Hooker, Legal Pluralism And The Ethnography Of Law, Dalam Legal Pluralism: An Introduction To Colonial And Neo-Colonial Laws, Oxford: Clarendon Press, 1975.
Horton, Paul B, Sosiologi, Erlangga, Jakarta, 1991.
Huijbers, Theo, FilsafatHukum Dalana Lintasan S jarah, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1984.
Hunt, Alan, dalam Adam Podgorecky dan Christoper J.Welan, Pendekatan Siosiologis Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta , 1987.
Hunt, Alan & Gary Wicham, Foucault and Law, London: Pluto Press, 1994.
Ihromi, TO, Antrophologi Hukum : Sebuah Bun ga Ramp ai, yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993.
_______, Kajian Terhadap Hukum Dengan Pendekatan Antropologi: Catatan-Catatan Untuk Peningkatan Pemahaman Beke janya Hukum Dalam Masyarakat, Orasi Motion Diri, Pada FH-UI, 2000.
_______, (ed), Antropologi dan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000.
Irianto, Sulistyowati, S jarah dan Perkembangan Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya, Makalah, Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3, 2002.
Jeffries, V, & H. Edward Randsford, Social Stratification : A Multiple Herarchy Approach, Boston: Allyn and Bacon, Inc., 1980.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern gilid III), PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990.
Kairys, David, The Politics of Law, a Progressive Critique, New York: Pantheon Books, 1982.
Kana, Nico L., "Tantangan Gereja Di Bidang Kebudayaan Nasional", dalam Akademi Leimena No. 4 Tahun I, Januari 1989Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni, Rimdi Press, Jakarta, 1995.
Keraf, A.Sony & Dua, Mikhael, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofs, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
Keraf, Gorys, Komposisi, Nusa Indah, Ende Flores, 1989.
Kieffer, C.H, `The Emergence of Empotverment: The Development of Paticipatory Competnece Among Individuals in Citi.Zen Organi~Zation'; unpublished PhD dissertation, University of Michigan, Ann Arbor, 1981.
Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah Dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987.
Kluckhon FR, & EL. Strodtbeck, Variations in Velue Orientation, Evanston: Row Peterson and Company, 1961. Koentjaraningrat, S jarah Teori Antropologi II, UI Press, Jakarta, 1990.
________,Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
Kohlberg, L., Moral, Education: Interdisciplinary Approaches, 1971. Kusumaatmadja, Mohchtar, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002.
Lauer, Robert H., Perrpektif Tentang Perubahan Sosial, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.
Lawang, Robert P .Z. Stratifikasi Sosial Di Cancar-Manggarai Flores Barat, Disertasi Pada FISIP UI, 1989.
Lavine, TS., From Socrates to Sartre: The Philosophic ~uest, New York: Bantam Books, Inc, 1984
________,Plato: Kebajikan adalah Pengetahuan, (ter)) Andi Iswanto & D.A. Utomo, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2003.
Lenski, G.E, Poaver and Privileged : A Theory of Social Stratifzcatzon, New York: McGraw-Hill, 1966.
Lauer, Robert H., Per.rpective on Social Change, yang telah terjemahkan menjadi 1'errpektif tentang I'erubahan Sosial, Jakarta: Bina Aksara, 1989
Lev, Daniel S., Hukum Dan 1'olitik DI Indonesia: Kesinambungan Dan Perubahan, LP3S, Yogyakarta, 1990.
Lloyd, Dennis., The Idea of Law, Penguin Books, Harmondworth, 1976.
Lubman, Stanley, 1967, "Mao and Mediation: Politics and Dispute Resolution in Communist China", California Law Review No. 55, 1967
Luhmann, Niklas, A Sociological Theory of Lalv, London: Rouledge & Kegan Paul, 1985.
Magnis-Suseno, Franz., Etika fatva : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebjaksanaan Hzdup Iama, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Malinowsky, Brosnilaw, Magic, Science, Religion, Garden City NY Doubleday Anchor Books, 1954.
Marx, Karl, Capital- A Critique of Political Economy (I>oI.II), Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1961.
Meisel, James H., (er) Pareto and Mosca, New York: Prentice, 1965
Mills, C.W ThepotverElite, New York: Oxford University Press, 1956
Milovanovic, D, A Premiere in the Sociology of Law, New York: Harrow and Heston Publisher, 1994.
Montesquieu, The Spirit of Law, translated by Thomas Nugent, 1949
Nader, L., (ed), Lam in Culture and Society, Chicago: Aldine Publishing Compani, 1969.
Nathaniel & Barbara Branden, IYIho isAyn Rand?, New York: Paperback Library, 1962.
Neumann, FL, The Rule of Law.- Political Theory and The Legal System in Modern Society, USA: Berg Publisher, 1986.
Niebuhr, HR, Christian Ethics: Sources of The Tradition, New York: The Roland Press Company, 1973.
Nonet, Philippe & Selznick, Philip, Law and Society in Transition : Toward Rerponsive Law, London: Harper and Row Publisher, 1978.
Ogburn, W F, Social Change, New York: Viking, 1932.
Paloma, Margareth M, Teori Sosiologi Kontemporer, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Parsons, T, Structure and Process in Modern Societies, NY: Glenoe Free Press, 1960.
_______, T, Toward A General Theory of Action, Cambridge: Harvard University Press, 1976.
Peter, A.A.G. & Siswosoebroto, Koesriani, Hukum dan Perkembangan Sosial : Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990.
Petterson, Charles H. Western Philosophy, Nabraska: Cliff's Notes, Vol. 1, 1970
Peursen, C. van, Strategi Kebudayaan, (terj), Dick Hartoko, BPK. Gunung Mulia-Kanisius, Jakarta-Yogyakarta, 1985.
Podgorecki, Adam & Welan, Christoper J, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Podgorecki, A, "Totalitarian Law.- Basic Consepts and Issues'; dalam Totalitarian and Post-Totalitarian Law, Pogorecki & Oligiati (eds.1996).
Poggi, G, The Development of the Modern State, A Sociological Introduction, London: Hurchinson & Co. Ltd., 1978.
Popper, Karl R., Masyarakat terbuka dan Musuh Musuhnya, terjemahan (Uzair Faisal), Yagyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Posner, Richard A., Frontiers Of Legal Theory, Harvard University Cambridge, Massasuchetts, London, England, 2001.
Priyono, H, Teori Keadilan John Rawls, dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Gramedia, Jakarta; 1993.
Putnam, The prosperous community: social capital andpublic life, The American Prospect, Spring, 1993a; Thestrange disappearanceof civicAmerica', Policy, Autumn, 1996
Rahardjo, Satjipto, Hukum, Maryarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1980.
_______,Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tit~auan Teoritis Serta Pengalarrean-Pengalarrran di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.
_______, Ilnru Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
_______, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatar Gagasan), Makalah, disampaikan pada acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang, tanggal 4 September 2004.
Rawls, John, A Tbeory of Justice, London: Oxford University Press, 1973.
Rawls, John, (ed.by Erin Kelly), Justice As Fairness A Restatement, The Belknap Press Of harvard University Press, 2001.
Raz, Joseph, Ethics in the Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics, Oxford: Clarendon Press, 1996.
Rheinstein, Max, Max IYleber on Lam in Economy and Society, New York: A Clarion Book, 1954.
Robinson, Dave., Niet,-,che an Postmodernism, 1999.
Riggs, E W, Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic Society Boston: Indiana University, 1964.
Sampford, Charles, The Disorder Of Law: Critical Legal Theory, New York: Basill Blackwell Inc, 1989.
Schubert, Glendon, Human Jurisprudence: Public Law as Political Science, USA: The University Press of Hawaii, 1975.
Schuller, Tom. "The Complementary Roles of Human and Social Capital", Paper, http://wwwl.oecd.org/els/pdfs/ edsceridca017.pdf., disadur 22 Mei 2004.
Sidharta, Bernard Arief, Refleksi TentangStrukturllmu Hukum, CV Mandar Maju, Bandung, 1999.
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Kasional, PT Gramedia, Jakarta, 1983.
Sinha, Surya Prakash, Juri.cprudence Legal Philosophy in A Nutshell, Minessota: West Publishing Co., 1993.
Smith, K, "Social Capital'; dalam http://wwwinfed.org/biblio/social_ capital, disadur 25 Mei 2004.
Soekanto, Soerjono, Soekanto, Soejono et al., Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Rajawali; 1985.
Spence, Gerry, The Deadth of Justice, New York: Saint Martin's Press, 1997.
Strauss, Leo., The Political Philosophy of Thomas Hobbes, 1936
Suseno, Frans Magnis, Ksrasa dan Moral, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
________,Pemikiran Karl Marx Dan Sosialisme Utopis Ke Arab Perselisiban Revisionisme, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
________,Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
Tanya, Bernard L. Hukum dalam Ruang Sosial, Surabaya: Srikandi, 2006.
________, Hukum, Politik, dan KKN, Surabaya: Srikandi, 2006
Tanaka, Hideo , (ed), 1988, The Japanese Legal System, Tokyo: University of Tokyo Press, 1988, hal. 492-500.
Teubner, Gunter (ed.), Dillemas of Law in the IYlelfare State, New York: Walter de Gryter, 1986.
Trubek, D.M., Studying Courts in Context, Law & Society Review : The Journal of The Law and Society Association 3-4,1981.
Unger, Roberto Mangabeira, Law In Modern Society : Toward Cristism of Social Theory, London: Collier Macmillan Publisers, 1976.
Uphoff N, Learning From Gal Oya, Ithaca: Cornell University, 1992.
Von Schmid, JJ., Ahli Ahli Pemikir Besar tentang Negara dan Hukum, 1954
Weber, Max, The Theory of Social and Economic Or ganiZation, New York: Oxford University Press, 1977.
______, Economy and Society, 2 volumes, edited and translated in part by Guenther Torh and Claus Wittch, New York: Bedminister 1978, hal. 926-940.
Weisenberg, D.K, Feminist Legal Theory, Philadelphia: Temple University Press, 1997.
Wiarda,G.J., Die Typer~ van Rechtsvinding, Zwolle, WE J. Tjeenk Wnk 2de Herziene Druk, 1980
Wignjosoebroto, Soetandyo, "Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian & Metode Penelitiannya", Bahan Penataran Metode Penelitiaii Hukum di UI Jakarta,1993.
_______, Hukum: Paradigma, Metode, Dan Dinamika Masalahnya, ELSAM, Jakarta, 2002.
Wilardjo, Liek, Kealita dan Desiderata, Duta Wacana University Press, 1990.
Winter, I, "Towards a Theorised Understanding of family Life and Social Capital", Working Paper, Australian Institute of Family Studies, 2000, http://wvvaifs.orV.au/institutc/pubs/Wp21. pd£, disadur 25 Mei 2004.

Read more: http://www.emakalah.com/2013/04/teori-hukum-dalam-berbagai-ruang-dan_4641.html#ixzz3QeTXGXPb