Abad Pertengahan merupakan suatu era di mana
pemikiran serba Ilahiah (utamanya teologi Kristen) begitu dominan. Rezim Ilahi
`dilibatkan' (secara langsung) dalam pengelolaan dunia ini. Manusia dan alam
dianggap berada di bawah kendali Alkhalik. Sama seperti logos di era
sebelumnya, Tuhan-dengan sekalian kehendak dan firman-Nya, menuntun hidup
manusia pada pengenalan akan Alkhalik yang menjadi sumber hidup serentak sumber
hukum. Dengan itu, manusia tidak saja dimungkinkan hidup `tertib' di dunia,
tetapi juga memperoleh keselamatan di akhirat. Praktis, kehadiran rezim Ilahi
menjadi `kekuasaan' yang dihadapi manusia di era ini. Maka, seperti tampak pada
pemikiran Agustinus (di penghujung akhir zaman klasik/tahun 400 M) dan Thomas
Aquinas (paruh kedua abad pertengahan/tahun 1200 M), tertib hidup manusia
(termasuk teori tentang hukum) diletakkan dalam kerangka tatanan 'cinta kasih
dan hidup damai'. Ini merupakan jawaban atas campur tangan Ilahi dalam hidup
manusia .
Hukum itu Tatanan Hidup Damai Menurut St. A.Gustinus
Hukum itu Tatanan Hidup Damai Menurut St. A.Gustinus
Teori St. A.Gustinus
St. A.Gustinus |
Masih dengan nuansa hukum alam zaman Yunani dan Romawi, St. Agutinus membangun teorinya mengenai hukum di bawah tema keadilan juga. Meski demikian, pengalaman pahit pergolakan menjelang keruntuhan Kekaisaran Romawi, menyebabkan Agustinus memberi poin tambahan pada unsur hukum alam sebelumnya. Jika bagi bangsa Yunani dan Romawi, keadilan dipahami sebagai hidup yang baik, tidak menyakiti siapapun, dan memberi kepada setiap orang apa yang menjadi miliknya, maka bagi Agustinus semua itu belum cukup. Mengenal Tuhan dan hidup saleh, merupakan salah satu unsur penting dari keadilan.
Ia melihat tatanan hukum sebagai sesuatu yang didominasi oleh tujuan perdamaian. Bahkan res republica dipahami Agustinus sebagai komunitas rasional yang ditentukan dengan nilai-nilai deligere (yakni dihargai dan dicintai) . Sebuah konsep yang berseberangan dengan regnum yang menunjuk pada kerajaan Romawi sebagai segerombolan perampok karena mereka tidak memiliki keadilan. Ditonjolkan pula istilah delicto proximi atau cinta kepada sesama. Semua unsur keadilan itulah yang mesti menjadi dasar hukum. Tanpa itu, maka aturan dalam bentuk apapun tidak layak disebut hukum (lex esse von vedatzrr, quae justa non fuerit) .
Sampai tingkat tertentu, relasi `rindu-benci' antara `kerajaan suci' Romawi dan pihak agama (khususnya di Eropa Barat, agama Kristen), melahirkan sistem penataan kewenangan dan kenegaraan yang khas pula, yakni pemilahan antara negara dan gereja yang kemudian melahirkan ajaran teokrasi dan ajaran sekularisme. Agustinus mengadopsi zwei zwaarden theorie (teori dua pedang) dari Paus Gelasius, yakni pedang kerohanian dan pedang keduniawian. Pemilahan tersebut ternyata membawa dampak dalam pembentukan hukum, yaitu (i)Hukum yang mengatur soal keduniawian (kenegaraan), (ii)Hukum yang mengatur soal keagamaan (kerohanian). Demikian pula terdapat dua macam kodifkasi hukum: (i)Kodifikasi yang diselenggarakan oleh Raja Theodosius dan Raja Justinianus. Ini adalah kodifikasi peraturan yang dikeluarkan oleh negara. Kodifikasi tersebut dinamakan Corpus Iuris. (ii)Kodifikasi yang diselenggarakan oleh Paus Innocentius, yaitu kodifikasi yang dikeluarkan oleh gereja. Kodifikasi ini disebut Corpus Iuris Canonici.
Corpus Iuris terdiri atas empat bagian, yaitu: Institzrten: Ajaran yang mempunyai kekuasaan mengikat seperti undang-undang. Maksudnya, jika ada hal-hal yang kurang jelas pengaturannya, maka dapat dicari dalam instituten. Pandecten: Penafsiran suatu peraturan oleh para sarjana. Codex. Peraturan atau undang-undang yang ditetapkan oleh raja. Novellen: Tambahan dari suatu peraturan atas undang-undang.
Sebagai tokoh agama, Agustinus menempatkan hukum Ilahi (lex aeterna) sebagai cita dari hukum positif. Hukum Ilahi yang abadi menempatkan batas pada semua hukum positif yang tidak boleh dilampaui. Jika hukum positif (lex temporalis) melanggar aturan Ilahi itu, maka la telah kehilangan kualitas hukumnya.Sebagai tokoh Kristen awal abad Masehi, Agustinus hadir di penghujung berakhirnya Kekaisaran Romawi dengan jatuhnya kerajaan Romawi Barat tahun 476 Masehi. Ia berada di tengah pergolakan menjelang keruntuhan kerajaan Ronawi itu. Di situ terjadi penyerangan intensif kaum barbar merebut kerajaan dan bersamaan dengan itu, terjadi pula perlawanan terhadap agama Kristen yang pada tahun 375 ditetapkan oleh Theodosius sebagai agama negara.
Konteks regnum Kerajaan Romawi dan kejadian-kejadian sekitar keruntuhan kerajaan tersebut itulah yang menjadi setting teori Agustinus tentang hukum sebagai tatanan kedamaian. Kedamaian hanya mungkin, jika hukum mengarahkan orang pada pengenalan akan Tuhan. Dan pengenalan akan Tuhan akan menghantar orang pada nilai-nilai deligere dan cinta pada sesama (delicto proximi). Secara harfiah, nilai-nilai itu merupakan hal yang dihargai dan dicintai oleh komunitas republik (res republica). Dalam atmosfir seperti inilah, keadilan bisa tercipta, yakni keadilan yang sudah dikenal pada zaman Yunani dan Romawi yang kemudian dirumuskan oleh Ulpian sebagai: Honeste vivere, alterum non laedere, sum quique tribuere.
Menurut C.J. Friedrich penekanan Agustinus pada deligere dan delicto proximi, dapat ditafsirkan sebagai upaya Agustinus untuk mentransformasi konsep Cicero mengenai komunitas hukum, menjadi komunitas “kemurahan hati” dan “cinta kasih”. Dan lagi menurut Agustinus komunitas cinta kasih itu sangat penting bagi sebuah republik. Niatlah, di antara nilai-nilai yang dihargai oleh komunitas itu, terdapat nilai keadilan. Dengan menambahkan aspek pengenalan akan Tuhan sebagai sisi penting keadilan, maka Agustinus memberi bobot kesalehan pada keadilan. Keadilan menjadi sebuah kualitas yang mencakup kesalehan yang pada instansi terakhir menghantar orang, pada hidup saleh/terhormat di mata Tuhan dan sesama (honeste vivere).
Bagaimana sumbangan Agustinus pada pengembangan eksplanasi di hidang hukum? Pertama, lewat konsep `pengenalan akan Tuhan', sebagai prasyarat keadilan, Agustinus secara implisit memberi sinyal, betapa penting peran sikap etis iman terhadap berseminya keadilan dalam hukum. Sikap iman yang tulus, menjadi pra-kondisi bagi lahirnya kedamaian dan keadilan. Kita boleh tidak setuju dengan teori Agustinus yang mengandaikan intervensi lembaga agama (Gereja) dalam urusan negara dan hukum, meski dengan alasan menghadirkan tatanan Ilahi di bumi hukum agama, memang tidak harus ditransfer begitu saja sebagai hukum positif, apalagi dalam masyarakat kekinian yang cenderung plural dan heterogen. Tapi tentulah tidak bisa disangkal, bahwa dunia hukum butuh sokongan nilai etis iman. Meski tidak secara langsung, nilai etik yang bersumber pada agama dan iman dapat mengkondisikan dan menginspirasi penyelenggaraan hukum dan keadilan. Dalam istilah sosiologi Weberian, nilai etik iman tidak harus mendukung secara ex opere operato (secara langsung dan otomatis) kepada tertib hukum, tetapi dapat secara ex opere operantis (yaitu kalau anggota komunitas bersedia menghubungkan kehidupan imannya dengan tertib hukum).
Kedua, dengan inspirasi teori Agustinus, kita dapat melakukan kajian secara empiris tentang banyak hal. Misalnya, kaitan antara ketataan hukum dengan penghayatan iman seseorang/suatu komunitas, korelasi antara religiusitas aparat hukum dengan kepekaan mereka soal keadilan, kaitan antara angka kejahatan dengan afiliasi religius (seperti dilakukan Durkheim), dan lain sebagainya. Lewat studi seperti ini, kita tidak hanya bisa memastikan tingkat korelasi antar variabel tersebut, tetapi juga bisa menjelaskan secara ilmiah logika di balik korelasi variabel itu.
Ketiga, konsep Agustinus tentang deligere dan delicto proximi yang dapat berfungsi mengkondisikan lahirnya kedamaian dan keadilan, seolah mengingatkan kita tentang pentingnya modal sosial (Social capital) dalam kehidupan hukum. Di sini kita berkesempatan melakukan kajian tentang interrelasi antara suasana penyelenggaraan hukum dengan kondisi modal sosial yang dimiliki sebuah komunitas. Dengan menggunakan kerangka teori tentang modal sosial, baik dari Bourdieu yang memberi penekanan pada jaringan-jaringan sosial , maupun dari Coleman yang memberi penekanan pada ketersediaan sumber daya-sumber daya dalam struktur sosial , dari Francis Fukuyama yang menekankan pada truts , atau dari Putnam yang memberi perhatian pada jaringan-jaringan, nilai-nilai, dan kepercayaan (trus), kita dapat melakukan analisis yang bermanfaat di bidang hukum. Sekedar contoh, soal pengaruh timbal-balik antara modal sosial dan penegakan hukum. Di situ dapat dikaji bagaimana sumbangan modal sosial yang dimiliki masyarakat ataupun yang dimiliki komunitas aparat penegak hukum terhadap proses penegakan hukum. Demikian juga sebaliknya, dapat dikaji bagaimana pengaruh penegakan hukum terhadap kondisi modal sosial dalam suatu komunitas.
Hukum itu Bagian Tatanan Ilahi Menurut Teori Thomas Aquinas
Teori Thomas Aquinas
Thomas Aquinas (1225-1274 M), merupakan imam gereja abad pertengahan. Tidak jauh berbeda dengan Agustinus, Aquinas pun mendasarkan teorinya tentang hukum dalam konteks moral agama Kristen. Hukum diperlukan untuk menegakkan kehidupan moral di dunia. Karena zaman ini merupakan era dominasi agama (yang diawali oleh agama Kristen), maka kehidupan moral dimaksud menunjuk pada ukuran agama tersebut , misalnya mengejar kebaikan dan menjauhi kejahatan. Hal kebaikan dimaksud antara lain: menjunjung hak alamiah manusia untuk mempertahankan hidup, cinta dan hidup berkeluarga, kerinduan mengenal Tuhan, dan hidup bersahabat.
Imperatif-imperatif moral tersebut berpengaruh pula terhadap hukum. Tata hukum harus dibangun dalam struktur yang berpuncak pada kehendak Tuhan. Karena itu, sebagaimana tercerminkan dalam doktrin Thomas Aquinas, konfigurasi tata hukum dimulai dari (i). Lex Aeterna: Hukum dan kehendak Tuhan, (ii). Lex Naturalis. Prinsip umum (hukum alam), (iii). Lex Devina: Hukum Tuhan yang dalam Kitab Suci, (iv). Lex Humane: Hukum buatan manusia yang sesuai dengan hukum alam.
Jika hukum (lex humane) menjadi tidak benar karena: (a). Mengabaikan kebaikan masyarakat, (b). Mengabdi pada nafsu dan kesombongan pembuatnya, (c). Berasal dari kekuasaan yang sewenang-wenang, (d). Diskriminatif terhadap rakyat, maka hukum itu tidak sah karena bertentangan dengan moral hukum alam dan Tuhan .
Hukum pada dasarnya merupakan cerminan tatanan Ilahi. Legislasi hanya memiliki fungsi untuk mengklarifikasi dan menjelaskan tatanan Ilahi itu. Tugas hakim adalah menegakkan keadilan melalui fungsinya menerapkan hukum dalam kaitan dengan pemberlakuan undang-undang. Pemikiran Aquinas ini hanya bisa dipahami dalam konteks kosmologi dan ontologi Skolastik. Kosmologi dimaksud adalah mengijinkan penalaran rasional selama batas-batas yang ditetapkan oleh wahyu Ilahi tidak dilanggar. Penerapan hukum positif pada kasus riil, harus dibaca sebagai implementasi hukum Ilahi.
Dalam konteks itulah Aquinas membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu, dengan hukum yang dijangkau oleh akal manusia. Hukum yang berasal dari wahyu disebut ius divinum positivum (hukum Ilahi positio. Sedangkan hukum yang ditemui lewat kegiatan akal, terdiri dari beberapa jenis, yakni (i). Ius raaturale (hukum alam), (ii). Ius gentium (hukum bangsa-bangsa), dan (iii). Ius positivum humanum (hukum positif buatan manusia).
Dalam sistem Aquinas, akal berada di atas kehendak. Bagi Aquinas, akal itu mencerahkan, sedangkan kehendak cenderung naluriah. Itulah sebabnya, hukum yang berintikan iustum (keadilan), mutlak merupakan produk akal. Tentang keadilan, Aquinas membedakan dalam tiga kategori: (i). Iustitia distributiva (keadilan distributio, yang menunjuk pada prinsip kepada yang sama diberikan sama, kepada yang tidak sama diberikan yang tidak sama pula. Ini disebut kesederajatan geometris. (ii). Iustitia commutativa (keadilan komutatif atau tukar-menukar), menunjuk pada keadilan berdasarkan prinsip aritmetis, yaitu penyesuaian yang harus dilakukan apabila terjadi perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum. (iii). Iustitia legalis (keadilan hukum), yang menunjuk pada ketaatan terhadap hukum. Bagi Aquinas, menaati hukum bermakna sama dengan bersikap baik dalam segala hal (dan diasumsikan hukum itu berisi kepentingan umum), maka keadilan hukum disebut juga sebagai keadilan umum (iustitiageneralis).
Melalui akal untuk mengenal apa yang baik dan apa yang jahat, manusia dapat menemukan dasar moral kehidupan, yakni semua yang baik harus dilakukan, dan yang jahat harus dihindari. Apa yang baik itu adalah segala sesuatu yang sesuai dengan hukum alam. Sebaliknya yang jahat adalah yang tidak sesuai dengan itu. Hukum alam sendiri berasal dari Tuhan. Karenanya, hukum alam berakar dalam aturan abadi (lex aeterna) yang melekat pada sifat Tuhan. Inilah yang memberi ciri khusus pada hukum alam Skolastik, sebagai aturan yang berdimensi kesalehan sebagaimana sudah ditemukan dalam teori Agustinus.
Karena yang dapat ditangkap oleh akal hanyalah hukum alam, bukan lex aeterna (dalam wujud aslinya), maka hukum alam yang terletak dalam akal manusia itu, diterima sebagai suatu partisipasi lex aeterna dalam ciptaan rasional. Hukum alam yang ditimba manusia dari aturan alam tadi, oleh Aquinas dibagi dalam dua kelompok: (i). Hukum alam primer, yaitu norma-norma umum yang bersifat semesta sehingga dirasakan wajar oleh semua manusia (seperti hak atas kehidupan, laki-laki dan wanita bersatu dalam perkawinan, kekuasaan orang tua atas anaknya dan mendidiknya, hak mencari kebenaran Ilahi, hidup bermasyarakat, unicuique suum tribuere, dan neminem laedere). (ii). Hukum alam sekunder, berupa norma-norma hasil derivasi langsung dari hukum alam primer ataupun pengembangan sesuai dengan situasi tertentu (seperti jangan membunuh, jangan mencuri dan lain sebagainya).
Semua tatanan politik, semua pemerintahan harus berada di bawah hukum. Berikut beberapa poin teori Aquinas tentang hukum. (i). Hukum dan perundang-undangan harus rasional dan masuk akal, karena ia merupakan aturan dan ukuran tindakan manusia. (ii). Hukum ditujukan bagi kebaikan umum. Karena hukum merupakan aturan bagi perilaku, dan karena tujuan dari segala perilaku itu adalah kebahagiaan, maka hukum mesti ditujukan bagi kebaikan bersama. (iii). Karena hukum ditujukan bagi kebaikan dan kesejahteraan umum, maka ia hanya dapat dibuat oleh nalar dari semua orang lewat badan legislasi. (iv). Hukum perlu dipublikasikan karena ia mengandung aturan yang memandu hidup manusia, maka aturan itu mesti mereka ketahui agar memiliki nilai kewajiban.
Beberapa
poin dari doktrin Aquinas ini, sampai derajat tertentu berseberangan dengan
sistem di Romawi sebelumnya. Tidak hanya terhadap doktrin hukum perdata Romawi
dengan faham patrimonial tentang kekuasaan berdasarkan hak milik perdata dengan
slogan: every man must have a lord. Poin 1 dari doktrin di atas, justru
membantah konsepsi Marsilius (era Romawi) bahwa hukum merupakan perintah paksa.
Bagi Marsilius, perintah paksa merupakan bentuk esensial dari hukum, lepas dari
apa yang terkandung dalamnya. Bagi Aquinas, pandangan Marsilius itu keliru.
Hukum menurut Aquinas merupakan produk akal. Konsepsi Marsilius bahwa hukum
merupakan perintah menunjukan hukum hanyalah produk kehendak, bukan nalar/akal.
Sedangkan poin nomor 3 justru menyerang doktrin Romawi princeps legibus solutes
est (hanya Caesar yang berhak membuat UU karena hanya dia saja yang berkuasa).
Tidak jauh berbeda dengan Agutinus, Thomas Aquinas juga mengaitkan hukum dengan agama. Ini tidak perlu diulangi lagi. Hal yang perlu dicatat di sini adalah pemikiran Aquinas tentang keadilan hukum. Melalui teorinya tentang keadilan hukum, Aquinas menyisipkan sebuah pesan luhur tentang betapa pentingnya mutu dari isi suatu aturan hukum. Aquinas menempatkan keadilan hukum sebagai keadilan umum, justru karena hukum diandaikan berakar pada hukum alam (yang tidak lain mencerminkan keluhuran Ilahi), dan lagi pula hukum itu diasumsikan mengatur kepentingan umum.
Itulah sebabnya bagi Aquinas, menaati hukum bermakna sama dengan bersikap baik dalam segala hal. Jadi perilaku hukum paralel dengan perilaku moral. Itu berarti, seluruh ketentuan hukum harus searah dengan nilai-nilai moral. Aquinas tidak mengizinkan adanya pertelingkahan (kontradiksi) antara aturan hukum dengan norma-norma moral. Dengan kata lain, setiap aturan hukum harus dapat diterima secara akal sehat. Tidak boleh ada aturan hukum `yang aneh-aneh', yang tidak bisa dinalar oleh akal sehat. Sebab kalau tidak, maka tidak semua kebajikan (dapat ) dibenarkan secara hukum. Akan ada kebajikan yang dilarang oleh hukum. Di mata Aquinas, hal seperti ini merupakan sebuah anomali, sesuatu yang ganjil dan aneh. Normalnya, aturan hukum dan kebajikan, harus jalan beriringan sehingga orang tidak perlu berdebat antara keputusan moral dan keputusan hukum.
Di sini jelas, materi dari suatu aturan hukum, menentukan apakah aturan tersebut layak disebut hukum atau justru hanya sebuah tatanan kemungkaran. Ditegaskan pula oleh Aquinas, dalam hal ius positivum humanum bertelingkah dengan prinsip-prinsip ius naturale, maka hukum yang disebut pertama harus dikalahkan.
Bagi penyelenggaraan hukum dewasa ini, prinsip yang dikemukakan Aquinas itu dapat dijadikan semacam landasan kerja dalam penegakan hukum. Banyak kejadian memilukan dalam penegakan hukum, justru karena orang lupa akan prinsip yang ditawarkan Aquinas itu. Di tengah dominasi legalisme dan hegemoni positivisme yuridis, aparat penegak hukum sering begitu saja larut dalam rimba logika aturan yang serba formal-legalistik tanpa tergugah melakukan refleksi mengenai aturan yang dihadapinya.
Lewat doktrinnya tentang hukum alam, Aquinas seolah mem-peringkatkan bahwa cara yang demikian justru dapat mereduksi hakikat hukum itu sendiri. Dalam ungkapan Profesor Satjipto Rahardjo, aparat penegak hukum perlu memiliki kemampuan membaca kaidah, bukan membaca peraturan. Menurut Prof. Satjipto, "....Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa menimbulkan kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu menjadi terluputkan. "....Kaidah itu adalah makna spiritual, roh. Sedangkan peraturan adalah penerjemahan ke dalam kata-kata dan kalimat. Membaca undang-undang tidak salah, tetapi hanya berhenti sampai di situ saja bisa membawa malapetaka". "...logika peraturan hanya salah satu. Selain itu ada logika kepatutan sosial (social reasonableness) dan ada pula logika keadilan...". I{onstatasi Prof. Satjipto itu paralel dengan apa yang oleh Aquinas disebut iustitia legalis (keadilan hukum).
Dengan berpegang pada prinsip di atas, aparat penegak hukum berpeluang melakukan penegakan hukum secara progresif. Sebuah ketentuan hukum, bukan harga mati. Dalam semangat pro-keadilan (versi Rahardjo) atau spirit ius naturale (versi Aquinas), aturan tersebut dapat dikesampingkan-manakala la menimbulkan dekadensi, suasana korup, dan implikasi merugikan kepentingan manusia secara umum. Dalam logika itulah revitalisasi hukum dapat dilakukan. dan Para filosuf Abad Pertengahan Lainya.
.
Sumber Bacaan
Sumber Bacaan
Abel, Richard L., (ed.)., The Lam and Society,
New York: New York University Press, 1995.
Adorno, T. W (ed.), The Positivist Dispute in Germany Sociology, New York: Herper & Row Publisher, 1976.
Altman, Andrew, Critical Legal Studies, A Liberal Critique, New Jersey: Princeton University Press, 1990.
Adian, Donny Gahral., Arus Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2001, hal. 35-37.
Arendt, Hannah., Between Past and Future, N.Y: Penguin Books. 1978.
Aubert, Vilhelm, Sociology Of Law, Selected Readings, England: Penguin Books Ltd, 1969.
______,The Rule of Law and the Promotional Fungsional of Law in the Welfare State",dalam Teubner C, d. Dilemmas of Law in the Wlelfare State, New York, Berlin: Walter de Gruyter, 1986.
Barlett Katharine dan R. Kennedy, Feminist Legal Theory: Readings in Law and Gender, USA: Westview Press, Inc, 1991
Benda-Beckmann, F Von, I-Ylhy law does not behave critical and constructive reflection on the social scientificperception of the social significance of law, XI th International Congress of Antrophological Sciences, Canada, for Symposium 1, August, 20, 1993.
Berger, Peter & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, Peregrin Books, 1981.
Adorno, T. W (ed.), The Positivist Dispute in Germany Sociology, New York: Herper & Row Publisher, 1976.
Altman, Andrew, Critical Legal Studies, A Liberal Critique, New Jersey: Princeton University Press, 1990.
Adian, Donny Gahral., Arus Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2001, hal. 35-37.
Arendt, Hannah., Between Past and Future, N.Y: Penguin Books. 1978.
Aubert, Vilhelm, Sociology Of Law, Selected Readings, England: Penguin Books Ltd, 1969.
______,The Rule of Law and the Promotional Fungsional of Law in the Welfare State",dalam Teubner C, d. Dilemmas of Law in the Wlelfare State, New York, Berlin: Walter de Gruyter, 1986.
Barlett Katharine dan R. Kennedy, Feminist Legal Theory: Readings in Law and Gender, USA: Westview Press, Inc, 1991
Benda-Beckmann, F Von, I-Ylhy law does not behave critical and constructive reflection on the social scientificperception of the social significance of law, XI th International Congress of Antrophological Sciences, Canada, for Symposium 1, August, 20, 1993.
Berger, Peter & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, Peregrin Books, 1981.