Teori-Teori Hukum Era Renaissance

Pemikiran yang serba moral dan serba ilahi era Klasik dan abad pertengahan, cenderung ditinggalkan oleh teoretikus zaman modern. Teori hukum zaman modern menempatkan `manusia duniawi' yang otonom sebagai titik tolak teori. Hukum tidak lagi terutama dilihat dalam bayang-bayang alam dan agama, tetapi melalui sebagai tatanan manusia yang bergumul dengan pengalamannya sebagai manusia duniawi.

Meski begitu, sebagai filsuf, para pemikir zaman modern, terutama era Renaissance, masih juga dipengaruhi kosmologi metafisika. Mereka tetap mengakui hukum alam, tapi tidak menjadikannya sebagai perhatian utama. Bagi filsuf-filsuf seperti Jean Bodin (1530-1596), Hugo Grotius (1583-1645), dan Thomas Hobbes (1588-1679), yang teorinya segera akan dibahas di halaman berikut ini, hukum positif-lah (buatan manusia lewat negara) yang menjadi fokus perhatian. Ini bisa dimengerti oleh karena `kekuatan' yang dihadapi manusia zaman ini adalah (i). `Manusia-manusia duniawi' yang sccara individual menjinjing kebebasan tanpa batas. (ii). Keberadaan nation-state di bawah pemerintahan raja-raja (yang kuat). Teori hukum (sebagai tertib manusia), dikonstruksi dalam konteks yang dcmikian itu.


Hukum itu Perintah Penguasa Berdaulat Menurut Teori Jean Bodin
JEAN BODIN

Dengan latar belakang tata politik baru, yaitu munculnya negara-negara bangsa di bawah pemerintahan raja-raja yang kuat, Bodin meletakkan teori hukum dalam konteks doktrin kedaulatan. Dalam logika doktrin kedaulatan yang digagasnya, Bodin melihat hukum sebagai perintah raja, dan perintah ini menjadi aturan umum yang berlaku bagi rakyat dan persoalan umum. Semua tradisi dan hukum kebiasaan, hanya akan menjadi absah dengan adanya perintah pemegang kedaulatan yang menetapkannya.

Bagi Bodin, kekuasaan raja adalah kekuasaan tertinggi atas warga dan rakyat. Raja sendiri tidak terikat oleh hukum (summa in cires ac subditos legibusque solute potestas). Sebab, jika raja berada di bawah hukum, maka itu berarti akan menghancurkan makna dasar kedaulatan (yang satu, bulat, dan superior). Kedaulatan tidak lagi menjadi kedaulatan, jika ia terikat pada institusi lain. Bisa dimengerti jika di bawah `rezim kedaulatan' ala Bodin, tidak dikenal perlindungan hukum yang ketat bagi rakyat. Satu-satunya kewajiban yang harus terima raja adalah kewajiban dalam hukum privat yang menyentuh kepemilikan dan kekayaan. Jika raja berhutang (kepada siapapun), dia wajib melunasinya .

Karena teorinya tentang kedaulatan yang menjurus pada negara, maka Bodin dikenal sebagai penganut doktrin kedaulatan negara. Bagi Bodin, hukum itu adalah penjelmaan dari kehendak negara. Negaralah yang menciptakan hukum, dan negara adalah satu-satunya sumber hukum yang memiliki kedaulatan. Di luar negara tidak ada satu orang dan institusi pun yang berwewenang menetapkan hukum . Gagasan bahwa negaralah yang berdaulat, dapat disimpulkan dari kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat sehari-hari kepentingan individu selalu dikalahkan oleh kepentingan negara .

Dikemudian hari, pandangan yang mendukung kedaulatan negara, datang dari para sarjana dalam mashab Deutsche Publizisten Schule. Menurut mereka, negara itu kuat karena mendapat dukungan dari tiga golongan yaitu: (1) armee (angkatan perang); (2) junkertum ( golongan industrialis); (3) burokrasi (staf pegawai negeri). Sebaliknya rakyat tidak mempunyai kekuatan apa-apa, sehingga tidak mempunyai wewenang apa pun, maka tidak mungkin memiliki kekuasaan tertinggi (kedaulatan). Oleh karena itu, menurut sarjana-sarjana Deutsche Publizisten Schule, pemegang kedaulatan adalah negara.


Apakah dengan demikian, Bodin menjadi penganjur kekuasaan otoritarian? Meski interpretasi ke arah itu terbuka lebar, namun dalam teorinya tentang hukum, Bodin terkesan tidak sepenuhnya memihak kekuasaan mutlak. Ia masih berpegang pada cita hukum alam. Ia membedakan secara tegas antara perundang-undangan dan hukum. Hukum (jus) adalah baik dan adil tanpa perintah. Sedangkan perundang-undangan (leges) dihasilkan dari penerapan kedaulatan orang yang memerintah. Implisit la membedakan hukum sebagai perundang-undangan, dengan hukum yang bersumber dari moral dan keadilan.

Pada karya lain. Bodin mendefinisikan jurisprudens sebagai seni memberi, kepada semua orang apa yang menjadi miliknya, dan ini dilakukan sedemikian rupa agar komunitas manusia dapat dipertahankan keutuhannya . Di sini, jurisprudens semakna dengan hukum alam. Hukum merupakan cahaya kebaikan (prudentia) dan nalar ilahi. Oleh karena itu, la membagi hukum menjadi dua kategori, yakni hukum alam dan hukum manusia. Hukum alam ditanamkan pada manusia sejak awal keberadaannya, dan selalu adil lagi seimbang. Sedangkan hukum manusia merupakan aturan yang ditetapkan berdasarkan asas manfaat. Ini dibagi lag, menjadi hukum perdata dan hukum yang lazim bagi semua bangsa (lus gentiarm) yang dalam keduanya Bodin membedakan lagi antara jars antecedens dan jus consequens. Jus antecedens merupakan hukum materil, sedangkan jus conseguens merupakan hukum formal. Penggunaan kata jus dalam bidang-bidang di atas, paling tidak memberi kesan pada kita bahwa hukum positif juga mesti berkualitasjus (adil).

Dalam teorinya tentang legis actio (realisasi hukum), Bodin tidak tampak sebagai penganjur otoritarianisme. Realisasi hukum menurut Bodin bisa terjadi di dalam maupun di luar pengadilan. Sumber realisasi hukum di luar pengadilan dapat berupa adat kebiasaan dan beberapa jenis tindakan bantuan hukum. Sedangkan realisasi di dalam pengadilan menunjuk pada penerapan hukum oleh hakim yang bebas dan obyektif.


Hukum itu Tatanan Keamanan Menurut Teori Thomas Hobbes

Teori Thomas Hobbes
Thomas Hobbe

Thomas Hobbes melihat hukum sebagai kebutuhan dasar bagi keamanan individu. Di tengah orang-orang liar yang suka saling memangsa, hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Bagi Hobbes, sesuai posisinya sebagai penganut materialisme, manusia (sejak zaman purbakala) dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri . Tidak ada pengertian adil atau tidak adil. Yang ada, hanyalah nafsu-nafsu manusia. Dalam keadaan seperti itu, terjadilah belum omnium contra omnes di mana setiap orang selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguh-sungguh egoistis. Watak manusia Dionisyan ala filsuf Ionia dan individu egois ala Epicurus, seolah hidup kembali dalam teori Hobbes.

Bagi manusia-manusia seperti ini, jika tidak ada hukum, maka demi mengejar kepentingan diri, mereka akan terlibat dalam war of all against all (perang semua melawan semua). Tanpa hukum yang ditegakkan oleh penguasa yang kuat, maka individu-individu akan saling membinasakan (homo homini lops). Maka hukum merupakan pilihan sadar manusia untuk mengamankan hidup masing-masing terhadap serangan orang lain. Agar efektif, maka hukum butuh penegak yang kuat, yaitu penguasa yang punya kekuasaan besar .

Lalu hukum yang bagaimanakah yang dibutuhkan? Sama seperti Bodin yang memperdulikan keluhuran hukum alam, Thomas Hobbes juga melihat hukum alam sebagai tatanan perilaku yang terdiri dari aturan-aturan bijak. Bagi Hobbes seperti juga Bodin, keluhuran hukum alam menjadi panduan bagi raja dalam `mengeluarkan perintah'. Kekuasaan raja yang mutlak, semata-mata dibutuhkan untuk menegakkan hukum agar individu-individu warganya aman dari gangguan individu lain sesamanya.

Hukum alam (yang intinya keadilan, kesetaraan, kerendahatian, kemurahatian, dan semua yang sebaiknya dilakukan), tidak akan tegak dan tidak akan berfungsi sebagai payung perlindungan jika tanpa ada kekuasaan dari penguasa untuk menegakkannya. Dengan kata lain, tanpa kekuasaan yang efektif untuk menegakkan hukum, maka tiap individu akan kembali pada naluri aslinya, yakni bertindak berat sebelah, sombong, dendam, dan sebagainya. Tanpa kekuasaan penguasa yang cukup kuat, maka tiap orang akan mengandalkan kekuatannya sendiri. Dalam kondisi alami (kehidupan tanpa penguasa), begitu kata Hobbes, hukum dan keadilan sama-sama tidak memiliki makna. Di mana tidak ada kekuasaan, di situ tidak ada hukum. Dan di mana tidak ada hukum, di situ tidak ada keadilan.

Itulah sebabnya bagi Hobbes, kekuasaan tidak kurang dari sarana yang ada sekarang untuk mendapat kebaikan yang nyata di kemudian hari. Sekalipun penyalahgunaan kekuasaan bersaranakan hukum terbuka lebar, namun hal itu masih lebih baik daripada kondisi alamiah semula yang brutal. Hobbes juga member sentuhan moral dalam hukum. Ini bukan semata karena preferensinya pada keluhuran hukum alam. Lebih dari itu, ada misi luhur untuk kebaikan individu, yaitu mendidik mereka untuk menjadi warga yang baik. Mereka tidak hanya butuh petunjuk hidup lewat aturan hukum, tetapi juga butuh teladan.

Karenanya, Hobbes merumuskan kualifikasi mutu yang mesti dimiliki hakim. Pertama, harus memiliki pemahaman yang benar mengenai hukum alam sebagai keadilan. Kedua, tidak mengejar kekayaan. Ketiga, dalam menjatuhkan vonis, harus mampu membebaskan diri dari segala ketakutan, kemarahan, kebencian, dan hasrat. Keempat, harus memiliki kesabaran untuk mendengarkan, harus tekun dalam mendengarkan, dan harus memiliki ingatan yang kuat, menggali dan menerapkan apa yang telah ia dengar dan saksikans .


Hukum itu Kesadaran Sosialitas Menurut Teori Hugo Grotius

Teori Hugo Grotius
Hugo Grotius

Manusia egois yang urakan model Hobbes, berseberangan dengan Grotius. Bagi Grotius, setiap orang mempunyai kecenderungan hidup bersama. Tidak hanya itu, karena memiliki rasio, manusia itu juga ingin hidup secara damai . Begitulah, Grotius menjadikan sosiabilitas manusia sebagai landasan ontologi dan fondasi segala hukum. 

Hukum itu, asalnya dari kesadaran `manusia sosial' itu agar sosialitas tetap terjaga. Bahwa kemungkinan hidup penuh kekacauan seperti digambarkan Hobbes, tidak disangkal oleh Grotius. Tapi kekacauan itu, bukanlah bawaan manusia. Kekacauan terjadi, semata-mata karena gesekan-gesekan sosial dalam hidup bersama, utamanya ketika tidak ada `aturan main' bersama. Di situ terbuka muncul berbagai pencideraan, entah dalam bentuk pengambilan tanpa hak milik orang lain, ataupun dalam wujud ingkar janji dan lain sebagainya.

Maka hukum sangat dibutuhkan agar tiap orang kembali pada kodratnya sebagai `manusia sosial' yang berbudi. Hukum, dengan demikian, merupakan `pcngawal' dalam sosiabilitas manusia untuk menjamin agar prinsip-prinsip `individu sosial' yang berbudi itu tetap tegak. Prinsip-prinsip dimaksud adalah: (1). Milik orang lain harus dihormati. `Punyamu', bukan selalu `punyaku'. Jika kita pinjam dan membawa keuntungan, maka harus diberi imbalan. (2). Kesetiaan pada janji. Kontrak harus dihormati (pacta sunt servanda). (3). Harus ada ganti rugi untuk tiap kerugian yang diderita. (4). Harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran .
Empat prinsip itu, tidak hanya ditemukan secara a priori sebagai prinsip segala hukum, tetapi juga dapat ditemukan secara a posterior', yakni sebagai kenyataan pada semua bangsa yang beradab. Secara de facto, semua bangsa menerima prinsip-prinsip itu. Apa sebab? Menurut Grotius, sebab utamanya adalah karena akal sehat (sensus communis) yang dimiliki semua manusia. Jika semua prinsip ini diterima karena persetujuan semua bangsa, maka serentak menjadi hukum bangsa-bangsa.

Empat prinsip di atas, merupakan inti hukum alam versi Grotius. Menurutnya, hukum alam adalah segala ketentuan yang benar dan baik menurut rasio, tidak mungkin salah, lag, pula adil. Bahkan bagi Grotius, kebenaran hukum alam tersebut tidak dapat diganggu-gugat. Bahkan Tuhan sendiri tidak dapat mengubah kebenaran hukum itu. Seandainya Tuhan tidak ada pun, atau tidak memperdulikan manusia, maka hukum alam sebagai hasil akal manusia, dapat memimpin manusia itu sendiri . Tesis ini sekaligus membantah Aquinas dan Althusius yang mengatakan, hukum alam itu berasal dari Tuhan. Bagi Grotius, hukum alam berasal dari rasio, bukan dari Tuhan.

Grotius juga membagi hukum alam dalam arti sempit dan arti luas. Hukum alam dalam arti sempit (merupakan hukum yang sesungguhnya) karena menciptakan hak untuk menuntut apa yang menjadi bagian hak seseorang. Keadilan yang berlaku dalam bidang ini adalah `kedilan yang melunasi' (z'ustztr'a expletrz'x atau comrrtutativa). Sedangkan hukum alarn dalam arti luas menunjuk pada hukum yang tidak menciptakan hak yuridis, melain hak berdasarkan kepantasan (aptitudo). Keadilan yang berlaku dalam bidang ini ialah `keadilan yang memberikan' (iustitia atributrix atau distributiva).

Grotius merupakan penganut humanisme awal zaman modern. Karenanya, la memandang manusia sebagai oknum pribadi yang bebas serta memiliki hak-hak tertentu. Hal ini berlaku bagi seuap manusia. Karena perhatian Grotius pada sisi manusia pribadi yang otonom dan bebas itu, maka hukum alam di mata Grotius melulu berkaitan dengan hukum privat. Ini mengingatkan kita pada tradisi hukum Romawi, yang juga hanya mengakui hukum privat. Hukum positif, menurut Grotius, tidak boleh melawan hukum alam itu. la tidak boleh menyuruh sesuatu yang tidak dibolehkan oleh hukum alam . Satu-satunya pengecualian adalah demi kepentingan umum karena memang soal kepentingan umum, tidak tergolong hukum alam.

Konflik ontologi antara Hobbes dan Grotius tentang manusia itu, `didamaikan' oleh Samuel Pufendorf (1632-1694) yang hidup di era Aufklarung. Pufendorf menggabungkan dua teori itu dalam sebuah konsepsi baru. la menjadikan sosiabilitas Grotius maupun `inkapasitas awal' dari Hobbes sebagai landasan ontologi dan epistemologi hukum . Manusia tidak hanya mahluk fisik an sich. Juga tidak melulu mahluk moral per se. Manusia adalah kedua-duanya, mahluk fisik serentak mahluk moral. Dengan inkapasitas awal, manusia berada dalam dunia alami di mana ia memiliki kebutuhan dan menghadapi bahaya. Namun dengan sosiabilitasnya, yang terkait dengan pemahaman nilai, ia berpartisipasi dalam dunia moral yang memperdulikan hal-hal yang luhur dan damai .

Hukum harus dipahami dalam konteks itu. la tidak hanya alat keamanan, dan juga tidak sekedar `pengawal' dalam hidup. Karena yang fisik dan moral itu setiap kali konflik secara permanen dalam diri manusia, maka persoalan tentang hukum bukanlah terletak pada alat untuk ini atau itu. Persoalan hukum justru terletak pada pemahaman bahwa kejahatan dan hukuman merupakan konsekuensi tak terhindarkan dalam ontologi manusia. Dengan kata lain, hukum bagi manusia adalah ibarat hidup itu sendiri-yang harus berisi arahan dan didikan. Aturan¬aturan memberi arahan, sedangkan hukuman member] didikan. Atas dasar ini, Pufendorf menyerukan sebuah perintah yang imperatif "Jangan mengganggu orang yang menyebabkan ia mengeluh bahwa haknya telah dirampass.