Simbol Negara Indonesia Menurut UU Nomor 24 Tahun 2009 Oleh: Mohd Hadidi,S.Sy,SH, MH

Pada tanggal 9 Juli 2009 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Keempat hal tersebut diatur karena merupakan sarana pemersatu identitas dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan serta kehormatan negara. Dalam penjelasannya diterangkan bahwa keempat simbol tersebut menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain dan menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan demikian, bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia bukan hanya sekadar merupakan pengakuan atas Indonesia sebagai bangsa dan negara, melainkan menjadi simbol atau lambang negara yang dihormati dan dibanggakan warga negara Indonesia.

Seluruh bentuk dan simbol kedaulatan negara dan identitas nasional diatur dan dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36C. Selain bertujuan untuk menciptakan jaminan kepastian hukum, keselarasan, keserasian, standardisasi, dan ketertiban di dalam penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, UU a quo juga mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan penetapan dan tata cara penggunaannya, termasuk di dalamnya diatur tentang ketentuan pidana bagisiapa saja yang secara sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang ini.
Dengan demikian, secara sekilas dapat ditemukan bahwa simbol kedaulatan yang dimaksud menurut undang-undang a quo hanyalah Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sedangkan kepala negara, menteri, anggota perwakilan dan jabatan negara lainnya tidak menjadi ruang lingkup yang diatur dalam undang-undang ini sebagai simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Berangkat dari hal tersebut, maka ada baiknya dibedakan peristilahan mengenai simbol-simbol negara berdasarkan undang-undang dengan praktik ketatanegaraan yang dikenal secara umum.
Dalam teori ketatanegaraan lama, kita memang mengenal Presiden, Raja, atau Ratu sebagai head of state yang biasa dinisbatkan dengan fungsinya sebagai lambang persatuan dan kekuasaan (symbol of unity and sovereign power) dan pusat seremoni kenegaraan (center of ceremony). Namun demikian hal tersebut kian hari semakin pudar maknanya karena berkembangnya doktrin negara hukum modern yang mengutamakan pentingnya sistem aturan daripada faktor orang per orang. Hal itu tercermin dalam jargon “the rule of law, and not of man” dalam sistem demokrasi modern. Apabila jabatan-jabatan tersebut kemudian hari ingin kembali dimasukkan ke dalam pengertian simbol negara, maka perlu dirumuskan ulang penggunaan peristilahan tersebut di dalam peraturan perundang-undangan.     
Lagi pula, pengertian lama tentang “symbol of unity”, “center of ceremony”, dan sebagainya itu – dalam sejarah – sebenarnya berasal dari praktik negara-negara monarki parlementer di Eropah Barat yang menempatkan Raja atau Ratu sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidentsil seperti di Indonesia dan di Amerika Serikat, pemisahan pengertian Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan seperti demikian tidaklah relevan. Presiden adalah Presiden yang dalam jabatannya tercakup kedua pengertian itu sekaligus. Bahkan keduanya tidak dapat dan tidak perlu dibedakan satu sama lain.

Dalam praktik sampai sekarang masih ada kebiasaan untuk membedakan antara kualitas Presiden sebagai Kepala Negara dan kualitasnya sebagai Kepala Pemerintahan. Misalnya, sampai sekarang, masih banyak orang yang menganggap Sekretaris Negara sebagai sekretaris Presiden sebagai Kepala Negara, sedangkan Sekretaris Kabinet adalah Sekretaris Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Pengertian demikian inilah sering menimbulkan permasalahan sebagai akibat adanya dualisme kepemimpinan antara Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet. 
Dalam Penjelasan UUD 1945 memang terdapat istilah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sebagai dua macam jabatan yang dibedakan. Namun, harus diingat bahwa Penjelasan UUD 1945 itu dibuat dan baru diumumkan pada bulan Februari 1946, ketika sistem pemerintahan Indonesia sudah berkembang dalam praktik sistem parlementer, yang dimulai sejak diangkatnya Syahrir sebagai Perdana Menteri pertama, yaitu pada bulan November 1945. Karena itu, penyebutan kedua jenis jabatan itu secara eksplisit dalam Penjelasan UUD 1945 yang pernah diberlakukan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari naskah UUD 1945, harus dipahami dalam konteks kesejarahan yang tepat dan tidak dapat digeneralisasikan secara umum dan untuk semua zaman.
Dalam sistem presidentil yang kita bangun dan kemudian diperkuat sejak reformasi, tidak dikenal lagi adanya pembedaan, dan apalagi pemisahan antara kualitas Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan itu. Di pihak lain, kedudukan khusus Kepala Negara sebagaimana diterapkan dalam sistem monarki parlementer di Eropah Barat dalam sejarah di masa lalu yang memberikan kepada Kepala Negara kedudukan khusus sebagai simbol persatuan dan pusat seremoni kenegaraan, juga sudah tidak relevan lagi untuk dikembangkan dewasa ini. Apalagi jika pengertian demikian hendak diterapkan di Indonesia dewasa ini, tentu dapat dikatakan sangat tidak tepat. Sesudah reformasi, kita justru memperkuat sistem pemerintahan presidentil dalam kerangka sistem negara hukum (rechtsstaat, the rule of law) dan negara demokrasi modern. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita tidak terjebak ke dalam sikap-sikap pribadi yang terbawa arus budaya politik lama yang cenderung mempersonalisasikan jabatan Presiden sebagai Kepala Negara dalam pengertian yang diuraikan di atas. 
SUMBER REVERENSI: MENINGKATKAN PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA SIMBOL DAN PEJABAT NEGARA DI ERA KETERBUKAAN DAN MENGUATNYA KEHIDUPAN DEMOKRASI[1] Tulisan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.[2]


[1] Naskah Pengantar dalam Roundtable Disucssion (RTD) Kajian Aktual dengan tema “Konsistensi Penegakan Supremasi Hukum untuk Melindungi Semua Simbol dan Pejabat Negara Guna Meningkatkan Kewibawaan Lembaga-Lembaga Negara” yang diselenggarakan oleh Lembaga Pertahanan Nasionala (Lemhanas) pada Kamis, 8 April 2010 di Jakarta.
[2] Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Periode 2010-sekarang. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI).