Perkembangan Demokrasi dan HAM
GAMBAR DI AMBIL DARI INTERNET
Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi ke
arah kebebasan dan kemerdekaan umat manusia dari penindasan penjajahan meningkat
tajam dan terbuka dengan menggunakan pisau demokrasi dan hak asasi manusia
sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan. Puncak perjuangan
kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas dan mendasar pada
pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang dekolonisasi di seluruh dunia
dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya negara-negara baru yang merdeka dan
berdaulat di berbagai belahan dunia. Perkembangan demokratisasi kembali terjadi
dan menguat pasca perang dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni
Soviet dan Yugoslavia. Hal ini kemudian diikuti proses demokratisasi di
negara-negara dunia ketiga pada tahun 1990-an.
Semua peristiwa yang mendorong munculnya
gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan
yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa
dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan
rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia
pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial
bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di
semua negara yang terjajah secara mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara
bersama-sama menyatu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.
Sedangkan yang lebih menonjol selama paruh
kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan pemerintahan yang otoriter.
Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara, tidak mesti identik dengan
gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan menikmati kehidupan yang jauh
lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi dan hak asasi manusia di zaman
sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan rakyat yang merasa tertindas maupun
oleh pemerintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk
mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap
tidak demokratis.
Karena itu, pola hubungan kekuasaan antar
negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan sekarang mengalami perubahan
struktural yang mendasar. Dulu, hubungan internasional diperankan oleh
pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang terbagi antara hubungan Government
to Government (G
to G) dan hubungan People
to People (P
to P). Sekarang, pola hubungan itu berubah menjadi bervariasi, baik G to
G, P
to P maupun G
to P atau P
to G. Semua kemungkinan bisa terjadi, baik atas
prakarsa institusi pemerintahan ataupun atas prakarsa perseorangan rakyat
biasa. Bahkan suatu pemerintahan negara lain dapat bertindak untuk melindungi
warga-negara dari negara lain atas nama perlindungan hak asasi manusia.
Dengan perkataan lain, masalah pertama yang
kita hadapi dewasa ini adalah bahwa pemahaman terhadap konsep hak asasi
manusia itu haruslah dilihat dalam konteks relationalistic
perspectives of power yang tepat. Bahkan, konsep
hubungan kekuasaan itu sendiripun juga mengalami perubahan berhubung dengan
kenyataan bahwa elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait
dengan kedudukan politik melainkan juga terkait dengan kekuasaan-kekuasaan
atas sumber-sumber ekonomi, dan bahkan teknologi dan industri yang justru
memperlihatkan peran yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan
prosedur-prosedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam
konteks hubungan kekuasaan politik, juga harus dikaitkan dengan konteks
hubungan kekuasaan ekonomi dan industri.
Dalam kaitan dengan itu, pola hubungan
kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat sebagai hubungan produksi yang
menghubungkan antara kepentingan produsen dan kepentingan konsumen. Dalam era
industrialisasi yang terus meningkat dengan bantuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terus meningkat dewasa ini, dinamika proses produksi dan konsumsi
ini terus berkembang di semua sektor kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan
umat manusia dewasa ini. Kebijakan politik, misalnya, selain dapat dilihat
dengan kacamata biasa, juga dapat dilihat dalam konteks produksi. Negara, dalam
hal ini merupakan produsen, sedangkan rakyat adalah konsumennya. Karena itu,
hak asasi manusia di zaman sekarang dapt dipahami secara konseptual sebagai hak
konsumen yang harus dilindungi dari eksploitasi demi keuntungan dan
kepentingan sepihak kalangan produsen.
Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak
asasi manusia mau tidak mau harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan:
1.
Struktur kekuasaan dalam
hubungan antar negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak
adil, dan cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun
negara-negara yang menguasai dan mendominasi proses-proses pengambilan
keputusan dalam berbagai forum dan badan-badan internasional, baik yang menyangkut
kepentingan-kepentingan politik maupun kepentingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
2.
Struktur kekuasaan yang
tidak demokratis di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem
otoritarianisme yang hanya menguntungkan segelintir kelas penduduk yang
berkuasa ataupun kelas penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3.
Struktur hubungan kekuasaan
yang tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta
manajemen produsen dengan konsumen di setiap lingkungan dunia usaha industri,
baik industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya pola hubungan “atas-bawah”, baik pada peringkat lokal, nasional,
regional maupun global antara lain adalah faktor kekayaan dan sumber-sumber
ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan rata-rata,
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau nama baik, dan kekuatan
fisik termasuk kekuatan militer. Makin banyak faktor-faktor tersebut di atas
dikuasai oleh seseorang, atau sekelompok orang ataupun oleh suatu bangsa,
makin tinggi pula kedudukannya dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan
bersama.
Di pihak lain, makin tinggi peringkat
seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok
lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin
besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang
demi keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara
maju dengan negara berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan
bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi
ketidakadilan yang pada gilirannya mendorongnya munculnya gerakan perjuangan
hak asasi manusia dimana-mana. Karena itu, salah satu aspek penting yang tak
dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa
persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika yang dengan isitlah Karl Marx
dikategorikan sebagai perjuangan kelas yang menuntut keadilan.
SUMBER:TULISAN PROF.Jimly Asshiddiqie,
Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi.
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
__________,
Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press,
2005.
Bachr,
Peter, Pieter van Dijk, dan Adnan Buyung Nasution, dkk. (eds.). Instrumen
Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2001.
Coming,
Saxe and Robert N. Linscott (eds). Man and the state: The Political
Philosophers. Modem Library, Random House, 1953.
Feith,
Herbert and Lance Castles (eds). Indonesian Political thinking 1945 – 1965.
Ithaca and London: Cornell University Press, 1970.
Ferejohn,
John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and
Democratic Rule. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
Fukuyama,
Francis. Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Judul
Asli: State Building: Governance and World Order in the 21st Century.
Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Huntington,
Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century.
Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
Suseno,
Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.


