LEGAL OPINI TESIS LEMAHNYA PENGAWASAN PEMERINTAH TERHADAP PERDA/QANUN
Oleh:
Mohd Hadidi, S.Sy.MH[1]
[1] Opini ini diolah dari salah satu latar belakang dan rumusan masalah Penelitian
Tesis Mohd Hadidi (S-2) Magister Ilmu Hukum Konsentrasi HTN-HAN Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Malang. Tahun (2017)
![]() |
Lemahnya pengawasan pemerintah terhadap
Perda/Qanun di Indonesia akhir-akhir ini terjadi disebabkan karena ketidak
seriusan tiga sektor lembaga pemerintah atau lembaga negara yang dalam Istilah Montesqie Triaspolitica dalam melakukan fungsinya. Lembaga pemerintah
tersebut meliputi lembaga Legislatif yang mempunyai kewenangan membentuk,
membahas, dan mensahkan undang-undang, yang juga mempunyai kewenangan sebagai
lembaga pengawasan perundang-undangan (Legislative
Review). Kemudian Lembaga Eksekutif berwenang sebagai pelaksana dan juga
sebagai lembaga evaluasi pelaksaan Perda/Qanun (Excecutive Review). Sedangakan lembaga Yudikatif berwenang sebagai
lembaga pengujian dan pembatalan paraturan perundang-undangan termasuk Perda/
Qanun (Yudicial Review).Peraturan Daerah (Perda/Qanun untuk
Aceh) lahir atas dasar beberapa
aspek diantaranya adalah merupakan amanat peraturan perundang-undangan diantaranya
digunakan untuk pengaturan terhadap ke-khasan daerah sebagai wujud dari adanya
otonomi daerah dan merupakan konsekuensi dari sistem desentralisasi negara Kasatuan
Republik Indonesia. Melihat dari aspek lahirnya perda/qanun yang berfungsi sebagai
alat perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam melaksanakan program-program pemerintah
pusat di daerah. Namun di sisil ain, kewenangan otonomi seluas-luasnya itu
harus tetap ada dan diberikan kepada pemerintah daerah sesuai dengan koridor
hukum. Dengan harapan pemerintah daerah mampu membuat perda/qanun yang sesuai
dengan kekhasan masing masing daerahnya tanpa mengenyampingkan aspek tujuan
negara dalam meberikan keadilan sosial bagi seluruh rakat Indonesia.
Lemahnya Pengawasan
Lemahnya
pengawasan pemerintah pusat dalam mengevaluasi terkait pembentukan peraturan
daerah berdampak pada rendahnya kualitas peraturan daerah (perda/qanun) yang telah
disahkan dan diberlakukan di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Seperti
Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang reklamasi
Pantai Teluk Jakarta, beberapa Qanun syariat Islam Aceh terindikasi
bertentangan dengan HAM, Kontroversi Bendera Aceh, Pengelolaan Tambang,
alifungsi lahan hijau, pengelolaan sumberdaya kelautan, perubahan tata ruang
kota, mengalihan fungsi ruang hijau kota, pengaturan retribusi parkir, dll.
Padahal jika pengawasan perda tersebut maksimal dilakukan tidak sampai menimbulkan
ketidakpastian hukum dan masalah sosial baru yang dapat merugikan masyarakat di
daerah.
Lebih lanjut, dampak pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia yang kurang mendapat pengawasan yang maksimal dari
pemerintah telah memunculkan raja-raja baru di daerah yang menimbulkan fenomena
dinasti kekuasaan, korupsi berjamaah, adanya perda/qanun pesanan. Sampai pada
mengenyampingkan aspek kesejahteraan masyarakat demi terwujudnya kepentingan
elit penguasa. Sehingga tidak jarang perda/qanun daerah di Indonesia termasuk
Aceh sekarang ini terkesan elitis, alat menguasai, penuh syarat kepantingan kelompok
penguasa dan pengusaha tertentu. Padahal semestinya fungsi perda/qanun sebagai instrumen
untuk mewujudkan tujuan negara dalam mensejahterakan masyarakat di daerah. Namun
kualitas perda/qanun tersebut nyatanya masih jauh dari harapan.
Pemerintahan Jokowi dan
Yusuf Kalla sekarang ini menurut data resmi Kementerian Dalam Negeri (Mendagri:
2016) sudah sebanyak 3.143 Perda/termasuk 52 Qanun Aceh yang di
evaluasi dan dibatalkan. Namun masih ribuan perda/qanun yang ada di daerah belum
terevaluasi dengan baik sehingga masih sering disalagunakan. Bahkan
disisi lain cara pemerintah dalam melakukan pengawasan berupa evaluasi dan pembatalan
Perda/Qanun tersebut dinilai masih sebagai tindakan sepihak,
reaktif, dan kurang substantif dan adanya tupang tindih beberapa aturan
perundang-undangan sehingga banyak menuai kritik.
Meskipun hal ini terlihat dari reaksi
pemerintah yang dengan sepihak membatalkan perda cukup beralasan bahwa
Pemerintah beranggapan 3.143 Perda/termasuk 52 Qanun Aceh dan Peraturan Kepala
Daerah bermasalah tersebut menghambat kapasitas nasional serta menghambat
kecepatan untuk memenangkan kompetisi, serta bertentangan dengan semangat
kebhinekaan dan persatuan. Pemerintah juga menegaskan bahwa perda-perda
tersebut merupakan perda yang menghambat Investasi. Namun disisilain pembatalan
perda-perda tersebut menunjukkan kelemahan dan kegagalan pemerintah dalam menjalankan
fungsi pengwasannya sebagai lembaga Triaspolitika khsusnya terkait fungsi legislative
review, eksecutive review, maupun lembaga yudicial review yang tidak
terkoordinir secara baik (Arifin
Ma’ruf:2016).
Meskipun
disisi lain juga pemerintahan sekarang ini memecahkan rekor tertinggi dalam
pembatalan Perda mengingat sepanjang
sejarah Indonesia jumlah perda yang dibatalkan pemerintah pusat saat ini
merupakan pembatalan terbanyak yaitu 3.143 perda. Sebelumnya, dari tahun 2002
hingga 2009, sebanyak 2.246 perda dibatalkan. Kemudian pada 2010 hingga 2014,
sebanyak 1.501 perda dibatalkan. Sementara pada November 2015 hingga Mei 2016,
sebanyak 139 perda yang dibatalkan (Republika: 2016). Dari data tersebut
menunjukkan bahwa banyaknya perda yang dibatalkan oleh pemerintah. Namun untuk
kedepannya seharusnya pemerintah lebih teliti untuk mengevaluasi perda sebelum
perda itu di batalkan sebagai bentuk langkah pengawasan preventif maupun
represif yang merupakan kewengannya.
Terindikasi Inskonstitusional
Adanya standar ganda
terkait siapa sebenarnya yang berwenang untuk membatalkan perda/qanun tentu
menimbulkan ketidakpastian hukum. Di satu sisi pemerintah menggunakan landasan
hukum yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 251 ayat (1), (2), dan (3). Dimana dalam
ketentuan pasal tersebut memberikan wewenangan pada pemerintah untuk melakukan
Eksekutif Review sebagai langkah preventif maupun represif terhadap perda-perda
yang bermasalah. Artinya pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) bisa membatalkan perda yang terbukti bermasalah.
Namun disisi lain
aturan tersebut merupakan aturan yang tupang tindih dengan aturan yang lainnya,
seperti Pasal 235 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UU-PA) mengatakan secara khsusus provinsi
Aceh. Qanun Aceh hanya bisa dibatalkan melalui uji materiil di Mahkamah Agung
(MA) artinya 52 Qanun Aceh yang dibatalkan Mendagri tersebut inkonstitusional
dan bertentangan dengan asas perundang-undagan yaitu asas Lex Specialis Derogat Generalis. peraturan yang khusus
mengenyampingkan peraturan yang umum masalahnya hal ini sebagaimana dalam
pembatalan 52 Qanun Aceh oleh pemerintah pusat sepihak sepihak masih banyak
yang digugat. Serta juga bertentang dengan asas Lex Superiory Derogat Inveriory dan hieraki perundang-undangan mengingat
Mahkamah Agung mempunyai fungsi untuk mengadili/menguji perda/qanun yang
bermasalah tersebut. Hal ini juga tercantum di dalam ketentuan Pasal 24 A ayat
(1) UUD 1945 bahwa, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi
menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.
Ide konstitusionalisme
di Indonesia tentu menghendaki adanya supremasi konstitusi sebagai hukum dasar
tertinggi dalam hierarki perundang-undangan. Jika melihat ketentuan Pasal 1
ayat 3 UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum maka implikasi
yuridisnya seharusnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak boleh
bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 (Sulaiman,2016). Karena
sebenarnya prinsip dasar tersebut sebagai amanah UUD 1945 bahwa pembatalan
setiap produk hukum haruslah melalui lembaga peradilan.
Penguatan
pengawasan Perda/Qanun
Untuk memaksimalkan
pengawasan perda maka menurut hemat penulis dapat dilakukan sebagai berikut;
Pertama, pemerintah harus
menguatkan fungsi pengawasan dengan menguatkan sitem pengawasan preventif dan
represif sebagaimana mekanisme peraturan perundang undangan yang berlaku
Kedua, diperlukan evaluasi internal maupun eksternal
masing-masing lembaga negara secara menyeluruh terhadap lembaga negara
khususnya terkait tugas dan fungsinya untuk melakukan evaluasi terhadap produk
legislasi nasional khususnya perda/qanun yang bermasalah karene dinilai lemah pengawasan dari pemerintah
Ketiga, menguatkan sistem saling
mengawasi (chek and Balancis) antar lembaga negara serta membangun pola
komunikasi yang transparan dan kontinu dari pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah sehingga tidak ada lagi peraturan perundang-undangan yang bertentangan
dengan hierarki perundang-undangan, antar norma, tupang tindih kewenangan, dan tidak
kalah penting pemerintah dalam melakukan
evalusi dan pembatalan perda/qanun harus berdasarkan hukum dan memenuhi syarat baik
secara materiil maupun formilnya.


