Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Menurut Perspektif Hukum Indonesia

GAMBAR DIAMBIL DARI INTERNET
Dalam alam demokrasi, terbukanya kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat merupakan merupakan prinsip yang tak dapat terelakan. Bahkan, bagi negara yang meganut paham demokrasi keduanya menjadi prasyarat mutlak yang telah diatur perlindungannya. Nilai-nilai universal tersebut dimuat dalam International Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR) yang kemudian telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Sementara itu, secara eksplisit jaminan terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat dimuat dalam Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, ”(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, dan ”(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Kemudian Pasal 28F UUD 1945 juga menyinggung tentang jaminan perlindungan konstitusional terhadap kebebasan tersebut dengan menyatakan, ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
            Sementara itu, beberapa ketentuan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia juga memberikan jaminan terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat secara lisan dan tulisan, khususnya dalam Pasal 14, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21. Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi warga negara Indonesia semakin ditegaskan dengan dimuatnya beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23 ayat (2), serta Pasal 25.
Berdasarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan tersebut di atas, maka secara tegas dan terang benderang dapat dikatakan bahwa negara Indonesia telah memberikan jaminan penuh atas kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat bagi warga negaranya. Namun demikian, sebagaimana pengaturan dalam instrumen HAM internasional, hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah salah satu hak yang dapat dibatasi pemenuhannya (derogable rights) dalam kerangka prinsip-prinsip negara hukum dengan pengaturan di dalam undang-undang.
Ketentuan mengenai pembatasan tersebut diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Dengan demikian, 4 (empat) persyaratan diperbolehkannya pengaturan pembatasan secara konstitusional terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat, yaitu: (1) Dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain; (2) Dilakukan untuk memenuhi tuntuan yang adil; (3) Pembatasan dilakukan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum; dan (4) Pembatasan dilakukan untuk membentuk suatu masyarakat yang demokratis.

Walaupun telah diatur mengenai adanya pembatasan dalam hak menyatakan pendapat dan kebebasan berekspresi, namun ternyata masih timbul permasalahan berkaitan dengan tata cara dan implementasi pelaksanaan kedua hal tersebut. Dalam kesempatan wujud kebebasan berpendapat dan berekspresi, berbagai kalangan sempat menyayangkan adanya tindakan yang dianggap kebablasan dalam penerapannya, khususnya ketika kebebasan tersebut ditujukan untuk mengkritisi pemerintahan, sebab adakalanya sulit dibedakan antara tindakan sebagai berntuk kritisasi yang membangun dengan penghinaan yang dinilai justru menjatuhkan derajat dan wibawa penyelenggara negara.

Dalam konteks ketatanegaraan, penyelenggara negara seringkali dikaitkan dengan simbol-simbol dan pejabat negara yang harus dilindungi kehormatan dan kewibawaannya, sehingga jalannya pemerintahan tidak terganggu dalam upaya mencapai tujuannya. Namun demikian, sebelum membahas lebih jauh ada baiknya mencermati terlebih dahulu pengaturan tentang simbol dalam peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini. 
SUMBER REVERENSI
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
__________, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Bachr, Peter, Pieter van Dijk, dan Adnan Buyung Nasution, dkk. (eds.). Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Coming, Saxe and Ro­bert N. Linscott (eds). Man and the state: The Political Philosophers. Modem Library, Random House, 1953.
Feith, Herbert and Lance Castles (eds). Indonesian Political thinking 1945 – 1965. Ithaca and London: Cornell University Press, 1970.
Ferejohn, John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
Fukuyama, Francis. Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Judul Asli: State Building: Governance and World Order in the 21st Century. Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.