Konsep Teori Negara Hukum Indonesia dan Asas Asas Perundang-Undangan yang berlaku di indonesia


Indonesia adalah Negara yang menganut tradisi hukum Eropa Kontinental atau sering disebut dengan sistem hukum civil law. Salah satu ciri utama dari sistem hukum civil law adalah pentingnya peraturan perundang- undangan tertulis atau statutory law atau statutory legislations.
Untuk mengatur penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga, membatasi kekuasaan penyelenggara Negara, dan melindungi hak-hak warga Negara, sehingga dalam sistem civil law tentu dibutuhkan banyak peraturan perundang-undangan. Statutory Law dianggap memiliki kelebihan tersendiri yaitu: (i) Legislation is both constitutive and abrogative, whereas precedent merely possesses constitutive efficacy; (ii) Legislation is not only a source of law, but is equally effective in increasing, amending, or annulling the exsting law. Precedent on the other hand, cannot abrogate the exsiting rule of law. (iii) Legislation allows an adventageous division of labour by deviding the two functions of making the law and administering it. This the results ini increase efficiency.
Kelebihan lainya juga yaitu prinsip keadilan menghendaki agar hukum sudah lebih diketahui oleh umum, sebelum hukum itu ditegakkan oleh aparat penegak hukum dan diterapkan di Pengadilan.Kemudian legislasi dapat dibuat dalam rangka mengantisipasi kasus kasus yang belum terjadi.Oleh karena itu, keberadaan peraturan tertulis sangat mutlak adanya.[1]
Sehingga Indonesia merupakan Negara yang berdasar atas hukum sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam negara hukum, kekuasaan negara dilaksanakan menurut prinsip dasar keadilan sehingga terikat secara konstitusional pada konstitusi. Hukum menjadi batas, penentu, dasar dan tindakan pemerintah serta segala instansi dalam mencampuri hak dan kebebasan warganegara. Atas dasar hukum pula negara hukum menyelenggarakan di tujuan negara. Jadi tidak masuk akal jika negara hukum diwujudkan dengan melawan hukum.[2]
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim dalam bukunya yang berjudul "Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia"[3] menyebutkan bahwa unsur-unsur Negara hukum dapat dilihat pada Negara hukum dalam arti sempit maupun formal. Dalam arti sempit, pada negara hukum hanya dikenal 2 (dua) unsur penting, yaitu: Perlindungan terhadap hak asasi manusia dan Pemisahan/pembagian kekuasaan.
Sedangkan negara hukum dalam arti formal, unsur-unsurnya lebih banyak, yaitu mencakup antara lain: Perlindungan terhadap hak asasi manusia, pembagian/pemisahan kekuasaan, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang undangan, serta Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.
Konsep tentang negara hukum, menurut Titik Triwulan dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Tata Negara disebutkan minimal ada dua prinsip dasar yaitu: Adanya paham konstitusi, dan sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat.[4]
Seperti kita ketahui juga, dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada Perubahan Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi.
 Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.[5]
Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai ‘the guardian’ dan sekaligus ‘the ultimate interpreter of the constitution’.
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”[6] jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Era modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu: Perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: Supremacy of Law, Equality before the law, Due Process of Law. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang.
Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah: Negara harus tunduk pada hukum, Pemerintah menghormati hak-hak individu, Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Professor Utrecht membedakan antara Negara Hukum Formil atau Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiil atau Negara Hukum Modern.[7] Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis.
 Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti materiil yaitu ‘the rule of just law’.
Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiil. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif.
Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensial dari pada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit.
Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang Negara Hukum di zaman sekarang.[8]
Menurut Arief Sidharta[9] Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal sebagai berikut: Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity), dan berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat.
Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat  bersifat ‘predictable’. Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan asas kepastian hukum itu adalah: Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum; Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan; Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-undang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak; Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan manusiawi; Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas; Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-undang atau UUD.
Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law) dalam Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan. Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu: Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara berkala.
Pemerintah bertanggung jawab dan dapat dimintai pertanggung jawaban oleh badan perwakilan rakyat; Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah; Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua pihak; Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat; Kebebasan pers dan lalu lintas informasi; Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif.
Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai berikut: Asas-asas umum peerintahan yang layak; Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan, khususnya dalam konstitusi pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki tujuan yangn jelas dan berhasil guna (doelmatig). Artinya, pemerintahan itu harus diselenggarakan secara efektif dan efisien.
Muhammad Tahir Azhary,[10] dengan mengambil inspirasi dari sistem hukum Islam, mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu mengandung 9 (sembilan) prinsip, yaitu: Prinsip kekuasaan sebagai amanah; Prinsip musyawarah; Prinsip keadilan; Prinsip persamaan; Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; Prinsip peradilan yang bebas; Prinsip perdamaian; Prinsip kesejahteraan; Prinsip ketaatan rakyat.
Brian Tamanaha (2004), seperti dikutip oleh Marjanne Termoshuizen-Artz dalam Jurnal Hukum Jentera[11], membagi konsep ‘rule of law’ dalam dua kategori, “formal and substantive”. Setiap kategori, yaitu “rule of law” dalam arti formal dan “rule of law” dalam arti substantif, masing-masing mempunyai tiga bentuk, sehingga konsep Negara Hukum atau “Rule of Law” itu sendiri menurutnya mempunyai 6 bentuk sebagai berikut:
Pertama Rule by Law (bukan rule of law), dimana hukum hanya difungsikan sebagai “instrument of government action”. Hukum hanya dipahami dan difungsikan sebagai alat kekuasaan belaka, tetapi derajat kepastian dan prediktabilitasnya sangat tinggi, serta sangat disukai oleh para penguasa sendiri, baik yang menguasai modal maupun yang menguasai proses-proses pengambilan keputusan politik.
Kedua Formal Legality, yang mencakup ciri-ciri yang bersifat (i) prinsip prospektivitas (rule written in advance) dan tidak boleh bersifat retroaktif, (ii) bersifat umum dalam arti berlaku untuk semua orang, (iii) jelas (clear), (iv) public, dan (v) relative stabil. Artinya, dalam bentuk yang ‘formal legality’ itu, diidealkan bahwa prediktabilitas hukum sangat diutamakan.
Ketiga Democracy and Legality. Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum yang menjamin kepastian. Tetapi, menurut Brian Tamanaha, sebagai “a procedural mode of legitimation” demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang serupa dengan “formal legality[12]. Seperti dalam “formal legality”, rezim demokrasi juga  dapat menghasilkan hukum yang buruk dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu sistem demokrasi yang berdasar atas hukum dalam arti formal atau rule of law dalam arti formal sekali pun, tetap dapat juga timbul ketidakpastian hukum. Jika nilai kepastian dan prediktabilitas itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu dapat saja dianggap menjadi lebih buruk daripada rezmi otoriter yang lebih menjamin stabilitas dan kepastian. Keempat Substantive Views” yang menjamin “Individual Rights”. Kelima Rights of Dignity and/or Justice, dan Keenam Social Welfare, substantive equality, welfare, preservation of community.



[1] Jimly asshiddiqie. (2010). Perihal Undang-Undang. Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, hal.10
[2] Budiyanto, (2000)Dasar-dasar Ilmu Tata Negara,”Jakarta: Erlangga. hal. 55
[3] Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, (1983) Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal 156
[4] Titik Triwulan Tutik (2006), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara,” Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, hal. 120
[5] Jimly Asshiddiqie, Konsep negara Hukum Indonesia Makalah disampaikan pada Ceramah Umum dalam rangka Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas Jayabaya, di Jakarta, Sabtu, 23 Januari 2010. Hal 6.
[6] Lihat Plato: The Laws, Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Trevor J. Saunders.

[7] Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 9.

[8] Jimly Asshiddiqie (2010) “Negara Hukum Indonesia” Pendiri dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2003-2008) dan Ketua Dewan Pembina Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI), Ketua Dewan Penasihat ICMI, Penasihat KOMNASHAM, dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. Makalah disampaaikan pada Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas Jayabaya, di Jakarta, Sabtu, 23 Januari 2010. Diakses di website www.jimly.com
[9] B. Arief Sidharta, (2004) “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta,  edisi 3 Tahun II, November, hal.124-125.

[10] Muhammad Tahir Azhary, (1992). Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Bulan Bintang, Jakarta, hal. 64.
[11] Brian Tamanaha (Cambridge University Press, 2004), Dalam Marjanne Termoshuizen-Artz, (2004) “The Concept of Rule of Law”, Jurnal Hukum Jentera, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Jakarta, edisi 3-Tahun II, November, hal. 83-92.
[12] Ibid hal. 86.