Muhammad Hadidi, S.Sy.MH |
Beberapa abad
sebelum masehi daerah Aceh telah dikenal dalam sejarah sebagai pusat
perdagangan di Asia Tenggara, selalu disinggahi pedagang-pedagang Timur Tengah
menuju ke negeri Cina. Pada abad VI merupakan abad kelahiran Islam, pada abad
inilah Aceh menjadi wilayah pertama di Nusantara ini menerima Islam, para
sejarawan pada umumnya menyebutkan bahwa masuknya melalui daerah Peurlak/Pase.
Selanjutnya
pada abad XIII. Setelah melalui proses
sejarah yang panjang, Aceh menjelma
menjadi sebuah kerajaan
Islam, yang kemudian
berkembang menjadi sebuah
kerajaan yang maju.
Pada abad XIV Perkembangan
kerajaan Aceh ditandai
dengan dikenalnya Aceh sebagai
daerah pusat perkembangan
Islam ke seluruh
wilayah Asia Tenggara.
Pada
abad XV orang-orang Barat mengawali penjajahanya ke timur, sehingga banyak
wilayah nusantara yang dikuasainya, namun Aceh tetap bebas sebagai sebuah
kerajaan yang berdaulat. Dalam percaturan politik Internasional hubungan
kerajaan Aceh dengan Belanda semula cukup baik, bahkan dalam
catatan sejarah kerajaan Aceh pernah mengirim pasukan atas permintaan
pemerintah Belanda untuk menghadapi Portugis yang akan menyerangnya pada abad
XIX. Hubungan Aceh dengan Belanda mengalami krisis.
Walaupun
demikian, dalam Traktat London 17 Maret 1824 pemerintah Belanda berjanji kepada
pemerintah Inggris untuk tetap menghormati kedaulatan kerajaan Aceh.
Selanjutnya, pada Tahun 1871,
yakni setelah 47
tahun dari Traktat
London berjalan, dengan kecurangannya Belanda,
ia dapat meyakinkan
Inggris, agar Inggris
tidak menghalangi Belanda untuk
menguasai Aceh melalui Traktat Sumatera 1 November 1871.
Kemudian
pada Tahun 1873 yakni baru dua tahun berjalan, Belanda menyerang Aceh, perang
Aceh pun berkobar berpuluh tahun, sampai perang Dunia II. Dalam catatan Belanda
kehilangan enam orang Jenderal dan ribuan perwira dan prajurit. Demikian pula
dipihak Aceh disamping kehilangan harta dan jiwa, juga kehilangan
kedaulatannya.
Berdasarkan
latar latar belakang tersebut masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman
hidupnya. Ia amat
tunduk kepada ajaran
Islam dan taat
kepada fatwa ulama,
karena ulamalah di mata
mereka sebagai ahli
waris Nabi. Aceh dikenal pula
sebagai Serambi Mekkah, karena dari
wilayah paling barat
inilah, kaum muslimin
dari seluruh wilayah Nusantara berangkat ke tanah suci
untuk melaksanakan haji.
Selanjutnya pada
Tahun 1945, masyarakat
Aceh sangat mendukung
proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Dukungannya diwujudkan
dalam bentuk rela menyerahkan harta dan nyawa demi tegaknya wilayah kesatuan
RI. Perjuangannya mengusir penjajah Belanda di Medan Area Sumatera Utara dan
membeli dua pesawat terbang demi tegaknya kedaulatan negara.
Karena
selama revolusi fisik, Aceh merupakan
satu-satunya wilayah yang
tidak diduduki Belanda, maka
disebutlah Aceh sebagai
daerah modal bagi
perjuangan bangsa Indonesia.
Tahun 1949. karena perjuangan aceh
yang demikian gigih,
menyebabkan Aceh mendapat kedudukan
tersendiri sehingga dengan
peraturan Perdana Menteri
pengganti Peraturan Pemerintah
No.8/Des/WKPMJ/49 tanggal 17
Desember 1949, Aceh dinyatakan sebagai satu Propinsi yang berdiri
sendiri yang lepas dari Provinsi Sumatera Utara Tahun 1950.
Setelah
Republik Indonesia kembali pada negara kesatuan, maka melalui Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 5 Tahun 1950, status daerah Istimewa
Aceh kembali ditetapkan menjadi salah satu karesidenan dalam provinsi Sumatera
Utara. Pada Tahun 1953 akibat dari ketetapan di atas, timbullah rasa tidak puas
dikalangan pemimpin dan rakyat Aceh, yang akhirnya menimbulkan gejolak
perlawanan yang melibatkan hampir seluruh rakyat Aceh.
Hal
ini pula membuat Aceh kehilangan peluang untuk menata diri. Tahun 1956, untuk
memenuhi aspirasi rakyat Aceh, pemerintah menetapkan kembali status karesidenan
Aceh menjadi Daerah Otonom Provinsi Aceh, kebijakan ini tertuang dalam
Undang-undang No. 24 Tahun 1956 tentang “Pembentukan Daerah Otonom Provinsi
Aceh dan perubahan peraturan provinsi Sumatera Utara”.
Kemudian
tahun 1959. Faktor penentu penyelaesaian
masalah keagamanan Aceh adalah setelah
pemerintah pusat mengirimkan suatu
misi khusus dibawah
pimpinan wakil Perdana Menteri
yang memberikan status
Daerah Istimewa melalui
keputusan Perdana Menteri No.
1/Missi/1959, yang meliputi agama, perdata, dan pendidikan.
Sampai
dengan Tahun 1974, karena adanya kecenderungan pemusatan kekuasaan di
pemerintah pusat, maka melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang
pokok-pokok pemerintahan di Daerah, hingga penyelesaian keistimewaan Aceh tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya tidak sejalan dengan aspirasi
Daerah. Hingga semakin membesarnya
jumlah kelompok yang ingin memisahkan diri dari negara kesatuan RI yang disebut
GAM.
Kemudian
Tahun 1999, berbagai langkah telah dilakukan
oleh pemerintah untuk meredam
gejolak Aceh, antara lain dengan melahirkan Undang-undang No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan daerah,
bagi Aceh memperkuat Keputusan
Perdana Menteri No. 1
Tahun 1959 di atas. Bahkan disertai dengan penambahan peran ulama dalam
menentukan kebijakan daerah. Untuk ini
tindak lanjutnya diperlukan suatu Undang-undang. Undangundang No. 44 Tahun 1999
yang mengatur tentang penyelenggaraan keistimewaan provinsi daerah Aceh,
dimaksudkan untuk memberikan landasan untuk mengatur urusan yang telah menjadi
keistimewaaannya melalui kebijakan daerah yang lebih akomodatif terhadap
aspirasi rakyat Aceh.
Selanjutnya
Tahun 2001, menjadi salah satu tuntutan awal keistimewaan Aceh adalah penerapan
syariat Islam di bumi Serambi Mekkah itu. Menurut catatan sejarah, Aceh
merupakan daerah pertama masuk dan berkembangnya agama Islam di bumi nusantara
ini. Pada zaman jayanya kerajaan Aceh Darussalam, hukum yang berlaku adalah
hukum yang bersumber dari syari’at Islam. Di samping itu adat yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat Aceh juga adat istiadat yang bersumber dan sejalan
dengan hukum Islam.
Oleh karena itu dimasyarakat Acceh ada
ungkapan “Hukom ngon adat, lage zat ngon
sifeut Allah”, (maksudnya hukum dengan adat seperti zat dengan sifat
Allah.). Serta semboyan bermasyarakat selalu
menjadi pegangan umum, yakni ”adat bak po
teumeureuhon, hukum bak
syariah kuala, Qanun
bak Putro Phang, reusam bak laksamana” (adat dari
sultan, hukum dari ulama, Qanun dari putri pahang, reusam dari laksmana).
Otonomi
daerah memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengekspresikan kesadaran Hukum
(termasuk di dalamnya kesadaran Hukum Islam) masyarakat daerah yang
bersangkutan dalam peraturan Perundang-undangan produk daerah. Dalam hal ini,
Rancangan Undang-undang usul inisiatif tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh dalam bentuk Nanggroe Aceh Darussalam menarik untuk
dibahas. Menurut pendapat beberapa pihak, salah satu kata kunci di provinsi
yang yang sering bergejolak ini adalah tuntutan penerapan syariat Islam.
Pada
tanggal 2 Januari 2001, 86 (delapan puluh enam) orang pengusul mengirimkan
surat kepada pimpinan
DPR-RI perihal penyampaian
Rancangan Undang-Undang Usul inisiatif tentang
Otonomi Khusus bagi
Provinsi Daerah Istimewa
Aceh dalam bentuk Nanggroe Aceh Darussalam. Ada beberapa
hal yang menyangkut Hukum dalam RUU yang diusulkan oleh pengusul ini yang cukup
menarik, antara lain: Pasal 4 Ayat (4) RUU-PA Usulan Pengusul: “Pemerintah Nanggroe Aceh Dasussalam
berwenang mengatur membina Hukum Publik dan Hukum privat berdasarkan nilai-nilai
syariat Islam yang ditetapkan dengan Qanun Nanggroe Aceh.”[1]
Rumusan ini
berarti bahwa pembinaan
Hukum berdasarkan nilai nilai
syari’at Islam yang menjadi kewenangan Pemerintah Nanggroe
Aceh tidak hanya Hukum Privat, melainkan juga Hukum Publik. Dari kata-kata
“Berdasarkan nilai-nilai Syari’at Islam. Tampak kesan bahwa substansi hukum
Islam lebih diutamakan, maka secara formal masalah bisa dihindari.
Karena
Hukum Islam dimasukkan dalam Hukum Nasional tanpa mempertentangkannya dengan
Hukum lain, akan tetapi
kata-kata “berdasarkan nilai-nilai syari’at Islam,” dalam rumusan
tersebut, dilihat dari keseluruhan kalimatnya dan dihubungkan dengan
ketentuan-ketentuan lain dalam Usulan Rancangan Undang-Undang Pemerintah Aceh
(RUU-PA),seolah-olah menjadikan Aceh sebagai Negara tersendiri yang bukan atau
setidak-tidaknya berbeda dengan Indonesia.
Pasal
18 RUU-PA Usulan Pengusul kekuasaan Peradilan yang independen dilaksanakan oleh
Mahkamah Syar’iyah Nanggroe Aceh.
a) Peradilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memiliki yurisdiksi terhadap semua masalah
Perdata, Pidana. Tata Usaha Negara, dan masalah Hukum lain dalam wilayah
Nanggroe Aceh.
b) Rumusan ini
berarti bahwa pelaksanaan kekuasaan peradilan di Nanggroe Aceh adalah Mahkamah
Syari’yah Naggroe Aceh, yang kewenangannya mencakup kewenangan lingkungan
peradilan umum (perkara pidana dan perkara perdata), peradilan agama (perkara
perdata Islam), dan peradilan tata usaha Negara (perkara sengketa tata usaha
negara). Dari kewenangan empat lingkungan
peradilan yang ada
di Indonesia, tinggal
kewenangan lingkungan
peradilan militer saja
yang tidak menjadi
kewengan Mahkamah Syar’iyah
Nanggroe Aceh.[2]
Pasal
19 RUU-PA Usulan Pengusul “Badan peradilan sebagaimana dimaksud Pasal 18
terdiri dari badan peradilan tingkat pertama, badan peradilan tingkat banding,
dan peradilan tingkat kasasi. Hakim peradilan tingkat pertama, tingkat banding,
dan tingkat kasasi dipilih dan diangkat oleh suatu komisi peradilan yang akan
ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Nanggroe Aceh (DPR-NA) dan Majelis
permusyawaratan Ulama Nanggroe Aceh (MPUNA).Tata cara pembentukan komisi diatur
dengan qanun Naggeroe Aceh, dan Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak,
kewajiban, pimpinan, alat-alat kelengkapan, dan ketentuan lain mengenai badan
peradilan diatur dengan qanun Naggeroe Aceh.
Rumusan
ini berarti bahwa pengusulnya
menghendaki Naggeroe Aceh seolah-olah adalah Negara
tersendiri yang bukan
atau setidak-tidaknya berbeda
dengan Indonesia betapa tidak,
Mahkamah syar’iyah Nanggroe Aceh itu terdiri dari peradilan tingkat pertama.
Badan peradilan tingkat banding. Dan peradilan tingkat kasasi.
Jika
dibandingkan dengan kekuasaan peradilan yang ada di Indonesia, tingkat Mahkamah
Syar’iyah Naggroe Aceh ini mencakup Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung (untuk lingkungan peradilan
umum), Pengadilan Agama, pengadilan
Tinggi Agama, dan
Mahkamah Agung (untuk Lingkungan Peradilan agama), dan Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung
(untuk lingkungan peradilan tata usaha negara). Apalagi seleksi hakimnya
berikut segala aturan juga sepenuhnya menjadi kewenangan Naggroe Aceh, tanpa
ada “intervensi Indonesia”.
Dalam
Pasal 24 RUU-PA Usulan Pengusul. “Pencabutan
dan atau perubahan terhadap undang-undang ini hanya dapat dilakukan atas
permintaan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat Nanggero Aceh (DPR-NA),
setelah dilakukan jajak pendapat rakyat yang khusus diadakan untuk itu” Rumusan
ini mencerminkan kerancuan
logika pengusulnya atau
iming-iming politik kepada masyarakat
awam yang sulit
dicerna dengan logika
Hukum, rumusan ini menempatkan undang-undang
ini (kalau saja
berhasil diundangkan dengan
tetap mempertahankan rumusan ini)
seolah-olah lebih mulia daripada
undang-undang dasar.
Ketentuan
tentang perubahan undang-undang dasar saja tidak harus melalui “jajak pendapat
yang khusus diadakan untuk itu”. Pada tanggal 12 Januari 2001, Pemerintah Pusat
(Presiden) menyampaikan Surat kepada pimpinan DP R-RI Nomor 02/PU/I/2001.
Dengan Surat ini pemerintah menyampaikan Rancangan Undang-undang tentang
Otonomi Khusus Propinsi Daerah Istimewa Aceh, beberapa ketentuan menyangkut
Hukum dalam RUU versi Pemerintah ini adalah;
Pasal
3 RUU UUPA yang diajukan oleh pemerintah Berbunyi: Kewenangan provinsi Naggeroe
Aceh meliputi bidang-bidang pemerintahan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan, peradilan perdata Islam, dan beberapa bagian dari bidang
Agama yang pada intinya Provinsi Naggroe Aceh Darussalam berwenang mengatur
Hukum perdata berdasarkan nilai-nilai syariat Islam yang ditetapkan dengan
Qanun Nanggroe Aceh.
Jika
dibandingkan dengan RUU yang diajukan
oleh para pengusul
kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh
dalam bidang Hukum dan peradilan menurut rumusan ini lebih sempit karena
hanya mengenai perkara
perdata Islam. Akan
tetapi, rumusan ini
lebih logis, mengingat perbedaan antara
bidang Hukum Publik
dan Hukum Privat di Indonesia di atur sebagaimana
berikut:
Dalam
bidang Hukum Publik, salah satu pihaknya adalah Negara sebagai personafikasi
kepentingan umum, sedangkan dalam bidang Hukum privat, para pihaknya adalah
swasta. Dengan demikian, Hukum Publik harus unifikatif, satu macam hukum untuk
satu wilayah Negara.
Sedangkan
Hukum privat memungkinkan keragaman Hukum, karena ada hak bagi para pihak untuk
melakukan pilihan Hukum. Oleh karena
dalam bidang Hukum
Publik harus unifikatif,
maka memberikan kewenangan bagi
Naggroe Aceh Darussalam untuk membuat Hukum Publik sama dengan menganggapnya
sebagai “Negara di dalam NKRI”.
Akhirnya Pasal 13 RUU-UUPA yang diajukan oleh
Pemerintah Aceh adalah sebagai berikut:
1)
Mahkamah Syariah Naggeroe
Aceh Darussalam melaksanakan peradilan perdata Islam.
2)
Peradilan perdata Islam
untuk tingkat pertama dilakukan oleh Mahkamah Syariah.
3)
Peradilan Perdata
Islam untuk tingkat
kedua dilakukan oleh
Mahkamah Syari’ah Tinggi.
4)
Kedudukan dan wilayah
yuridis Mahkamah Syariah di atur dalam Qanun Naggroe Aceh.
5)
Peradilan perdata Islam
tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Dibanding rumusan dalam RUU yang
diajukan oleh para pengusul, rumusan ini juga lebih logis, meskipun harus
diakui lebih sempit. Di sini kewenangan
Mahkamah Syariah Naggroe Aceh Darussalam hanya untuk melaksanakan peradilan
perdata Islam untuk tingkat pertama dan tingkat kedua menurut aturan yang
ditetapkan dalam Qanun Nanggroe Aceh Darussalam. Kewenangan peradilan perdata
Islam untuk tingkat kasasi ada di Mahkamah Agung sebagai puncak pemegang
kekuasaan peradilan di Indonesia.
Pada tanggal
07 Februari 2001,
Ketua DPR-RI mengirim
surat Nomor RU.02/574/DPR-RI/2001 kepada Presiden.
Salah satu isinya:
dengan adanya dua
RUU yang substansialnya sama, sesuai
dengan keputusan Badan
Musyawarah DPR-RI tanggal
31 Januari 2001, RUU yang akan dibahas dalam RUU usul inisiatif anggota
DPR-RI, sedangkan RUU dari pemerintah dijadikan sebagai bahan masukan
dalam pembahasan.
Sebagai
tanggapannya. Pada tanggal 14 Februari
2001. Presiden mengirim Surat Nomor
R.10/Pres/2/2001 kepada ketua DPR-RI. Yang isinya mengacu pada pasal 114
keputusan DP R-RI Nomor 16/DPR-RI/1999-2000 tentang Peraturan Tata tertib DP
R-RI, dalam hal ada dua RUU yang diajukan mengenai hal yang sama, maka yang
dibicarakan ialah RUU yang diterima lebih dahulu (dalam hal ini yang
disampaikan pemerintah), sedangkan RUU yang diterima kemudian
(RUU inisiatif DPR
belum diterima pemerintah)
dipergunakan sebagai pelengkap.
Namun demikian, jika DP R-RI hendak menyimpang dari ketentuan
[1] Dalam rumusan tersebut
terdapat kata “Qanun” Menurut Sayyed Hossein Nasr, qanun (نوناف) berasal dari bahasa Yunani
Canon, yang juga merupakan asal dari kata Canonical dalam Hukum Barat. Secara bertolak belakang,
pemakaian istilah Qanun
(نوناف) dalam Islam
adalah untuk menerangkan Hukum monogama
atau Hukum buatan manusia, sedangkan dalam agama Kristen Canon menerangkan Hukum agama atau
Hukum Gereja. Diambil dari penelitian Skripsi Jumadi Arahab (2009) “Posisi Qanun Nagroe Aceh Darussalam Dalam
Hierarki Tata Hukum Indonesia” Malang: Skripsi Jurusan Al-Ahwal
Al-Syakhshyyah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim. Hal 36
[2] Menurut
Rifyal Ka’bah, (2006). Untuk menerapkan syariat Islam di Aceh, langkah
awal yang dapat
diusulkan adalah pengalihan
wewenang Peradilan Umum
ke Peradilan Agama Aceh. Dalam
Skripsi Jumadi Arahab, (2009). Posisi Qanun Nagroe Aceh Darussalam Dalam Hierarki Tata Hukum Indonesia”
Malang: Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshyyah Fakultas Syari’ah Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim, hal 38