Oleh Muhammad Hadidi, S.Sy. MH |
Ide Negara hukum (rechtsstaat)
diintrodusir melalui RR 1854 dan ternyata dilanjutkan dalam UUD 1945.[1] Dengan
demikian ide dasar Negara hukum Pancasila tidaklah lepas dari ide dasar tentang
“rechtsstaat”, syarat-syarat dasar rechtsstaat:
1.
Asas legalitas
Setiap tindak pemerintahan harus didasarkanatas
dasar peraturan perundang-undangan (wettelijke
grondslag). Dengan landasan ini, Undang-Undang dalam arti formal dan UUD 1945
sendiri merupakan tumpuan dasar tindakan pemerintah dalam hubungan ini
pembentukan Undang-Undang merupakan bagian penting Negara hukum.
2.
Pembagian kekuasaan
Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan Negara
tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
3.
Hak-hak dasar (grondrechten)
Hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum
bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan Undang-Undang.
4.
Pengawasan pengadilan
Bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang
bebas untuk menguji keabsahan (Rechtmatigheid
Stoetsing) tindak pemerintahan.[2]
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada Perubahan
Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD
1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa
yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum,
bukan politik ataupun ekonomi.
Karena
itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip
Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not
of man’, yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai
sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.[3]
Untuk menentukan apakah suatu Negara dapat dikategorikan
sebagai Negara hukum, biasanya digunakan dua macam asas, yakni:
1.
Asas legalitas;
Asas
legalitas merupakan unsur utama daripada suatu Negara hukum. Semua tindakan
Negara harus berdasarkan dan bersumber pada Undang-Undang. Penguasa tidak boleh
keluar dari rel-rel dan batas-batas yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang.
Batas kekuasaan Negara ditetapkan dalam Undang-Undang. Akan tetapi untuk
dinamakan Negara hukum tidak cukup bahwa suatu Negara hanya semata-mata
bertindak dalam garis-garis kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh
Undang-Undang.[4]
Sudah barang
tentu bahwa dalam Negara hukum setiap orang yang merasa hak-hak pribadinya
dilanggar, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mencari keadilan dengan
mengajukan perkaranya itu di hadapan pengadilan. Cara-cara mencari keadilan itu
pun dalam Negara hukum diatur dengan Undang Undang.[5]
2.
Asas perlindungan atas
kebebasan setiap orang dan atas hak-hak asasi manusia.[6]
Asas
perlindungan dalam Negara hukum nampak antara lain dalam “Declaration of Independence”, bahwa orang yang hidup di dunia ini
sebenarnya telah diciptakan merdeka oleh Tuhan, dengan dikaruniai beberapa hak
yang tidak dapat dirampas atau dimusnahkan. Hak-hak tersebut yang sudah ada
sejak orang dilahirkan, perlu mendapat perlindungan secara tegas dalam Negara
hukum modern.[7]
Menurut C.W. Van der Port menjelaskan bahwa atas
dasar demokratis, “rechtsstaat”
dikatakan sebagai “Negara kepercayaan timbal balik” (de staat van het wederzijds vertrowen) yaitu kepercayaan dari
pendukungnya, bahwa kekuasaan yang diberikan tidak disalahgunakan, dia mengharapkan
kepatuhan dari rakyat pendukungnya.[8]
S.W. Couwenberg
menjelaskan bahwa asas-asas demokratis yang melandasi “rechtaataat” meliputi 5 asas yakni:
1) Asas hak-hak
politik (het beginsel van de politieke
grondrechten);
2) Asas mayoritas;
3) Asas perwakilan;
4) Asas pertanggung
jawaban;
5) Asas publik (openbaarheids beginsel)[9]
Dengan demikian
maka atas dasar sifat-sifat asas demokrasi tersebut, muncul sifat liberal dan
demokratis, sebagai bagian dari ciri-ciri “rechtsstaat”
yaitu:
1) Adanya
Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang
hubungan antara penguasa dan rakyat;
2) Adanya pembagian
kekuasaan Negara, yang meliputi: kekuasaan pembuatan Undang Undang yang berada
pada parlemen, kekuasaan kehakiman bebas dan tidak hanya menangani sengketa
antara individu rakyat, tetapi juga antara rakyat dan penguasa, dan pemerintah
mendasarkan tindakannya atas Undang-Undang (wetmatig
bestuur);
3) Diakui dan
dilindunginya hak-hak rakyat yang sering disebut (“Verijheid srechten van burger”).[10]
Philipus M. Hadjon menjelaskan, dalam kaitannya dengan ciri-ciri di atas menunjukkan dengan jelas bahwa ide
sentral dari pada “rechtsstaat” adalah
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, yang bertumpu atas
prinsip kebebasan dan persamaan.
Adanya Undang-Undang Dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan.
Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindarkan penumpukan kekuasaan dalam satu
tangan, yang sangat cenderung kepada penyalahgunaan kekuasaan, berarti
pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan.
Dengan adanya pembuatan Undang-Undang yang dikaitkan dengan parlemen,
dimaksudkan untuk menjamin bahwa hukum yang dibuat adalah atas kehendak rakyat;
dengan demikian hukum tersebut tidak akan memperkosa hak-hak rakyat, tetapi
dikaitkan dengan asas mayoritas, kehendak rakyat diartikan sebagai kehendak
golongan mayoritas. Dengan prinsip “wetmatig
bestuur” agar tindak pemerintahan tidak memperkosa kebebasan dan persamaan (heerschappij van de wet). Dalam konsep “rechtsstaat” yang liberal dan
demokratis, inti perlindungan hukum bagi rakyat adalah perlindungan terhadap
kebebasan individu. Setiap tindak pemerintahan yang melanggar kebebasan
individu, melahirkan hak untuk menggugat di muka peradilan.[11]
Dalam konsep yuridis, A.M. Donner berpendapat bahwa
istilah “sociale rechtsstaat” lebih
baik daripada istilah “welvaarts staat”[12].
S.W. Couwenberg berpendapat bahwa “sociale
rechtsstaat” merupakan variant dari “liberal-democratische
rechts staat”[13]
S.W. Couwenberg menjelaskan, variant dari “sociale rechtsstaat” terhadap “liberal
democratische rechtsstaat”, antara lain : interpretasi baru terhadap
hak-hak klasik dan munculnya serta dominasi hak-hak sosial, konsepsi baru
tentang kekuasaan politik dalam hubungannya dengan kekuasaan ekonomi, konsepsi
baru tentang makna kepentingan umum, karakter baru dari “wet” dan “wetgeving”[14]
H. Franken menjelaskan, kebebasan dan persamaan (vrijheid en gelij kheid) yang semula dalam konsep liberal-democratis che recht sstaat sifatnya
yuridis formal, dalam konsep sociale recht
staat di tafsirkan secara riil dalam kehidupan masyarakat (reele maat schappelijke gelijkheid), bahwa
tidak terdapat persamaan mutlak di dalam masyarakat antara individu yang satu
dengan yang lain.[15]
Menurut D.H.M. Meuwissen, dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi rakyat
terhadap tindak pemerintahan, dalam “sociale
rechtsstaat” prinsip perlindungan hukum terutama diarahkan kepada
perlindungan terhadap hak-hak sosial, hak ekonomi dan hak-hak cultural.
Dikaitkan dengan sifat hak, dalam “rechtsstaat” yang liberal dan
demokratis adalah “the right to do”,
dalam “sociale rchtsstaat” muncul “the right to receive”. Dihubungkan dengan
sarana perlindungan hukum, maka makin kompleks sistem perlindungan hukum bagi
rakyat.[16]
Dalam konsep yuridis “sociale rechtsstaat”. P. Schnabel menjelaskan bahwa tugas negara
disamping melindungi kebebasan sipil juga melindungi kebiasaan hidup rakyat.[17]
P. Schnabel menjelaskan, bahwa pengaruh Negara terhadap individu menjelma dalam
tiga model yaitu: Pertama, pengaruh
langsung sebagai akibat dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
sosial. Kedua, pengaruh tidak
langsung sebagai akibat dari pembentukan aparat pemerintah yang di lengkapi
dengan kekuasaan jabatan dan keahlian. Ketiga,
harapan bahwa problema-problema masyarakat dapat dipecahkan melalui campur
tangan penguasa.[18]
Pandangan murni dan sempit mengenai “the rule of law” sebagaimana
dikemukakan oleh A.V. Dicey, karena inti dari tiga pengertian dasar yang di ketengahkannya
adalah “common law”, sebagai dasar
perlindungan bagi kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan oleh
penguasa. Demikian pula A.V. Dicey menolak kehadiran peradilan administrasi
Negara adalah sesuai dengan perkembangan hukum dan kenegaraan di Inggris. Inti
kekuasaan Raja di Inggris semula adalah kekuasaan memutus perkara, yang
kemudian didelegasikan kepada hakim-hakim peradilan yang memutus perkara tidak
atas nama raja, tetapi berdasarkan “the
common custom of England”, sehingga karakteristik dari “common law” adalah “judicial”,sedangkan
karakteristik dari “civil law”
(continental) adalah “administrative”[19]
Pikiran-pikiran dari Wade dan Geofrey Philips adalah
merupakan pikiran-pikiran yang telah terpengaruh oleh pandangan Eropa. Hal ini
nampak dari konsepnya mengenai “the rule
of law” dan kritiknya terhadap pikiran dari Dicey. Dalam kritiknya terhadap
A.V. Dicey mengenai “equality” nampak
disana pengaruh dari pikiran-pikiran “rechtsstaat”
tentang “reel maat schappelijk vrijheid
en gelijkheid”; tentang kritiknya terhadap “common law” dari Dicey dikemukakan tentang kelemahan dari “written constitution” yang menunjukkan
pengaruh dari pikiran-pikiran “liberal-democratische”
tentang “grondwet”.
Baik konsep “the
rule of law” maupun konsep “rechtsstaat”
menempatkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai
titik sentralnya, sedangkan bagi Negara Republik Indonesia, yang menjadi titik
sentralnya adalah “keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat.berdasarkan
asas kerukunan”. Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, dalam konsep “the rule of law” mengedepankan prinsip “equality before the law”, dan dalam
konsep “rechtsstaat” mengedepankan
prinsip “wetmatigheid” kemudian
menjadi “rechtmatigheid”.
Selanjutnya sebagaimana dalam sistem demokrasi
Indonesia sistem campuran yaitu “common
law”, yang mengakui konsep “the rule
of law” yang berprinsip pada “equality
before the law”, dengan landasan
“rechtsstaat”. Hal ini negara kitaNegara Republik Indonesia menerapkan
keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, yang mengedepankan pada “asas
kerukunan” dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dari asas ini akan
berkembang elemen lain dari konsep Negara Hukum Pancasila, yakni terjalinnya
hubungan fungsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara, penyelesaian sengketa
secara musyawarah, sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir, dan tentang
hak-hak asasi manusia tidaklah hanya menekankan hak dan kewajiban saja, tetapi
juga terjalinnya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Menurut Philipus M. Hadjon, elemen Negara Hukum
Pancasila adalah:
1) Keserasian
hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
2) Hubungan
fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara;
3) Prinsip
penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana
terakhir;
4) Keseimbangan
antara hak dan kewajiban.[20]
[1] Wignjosoebroto, Soetandijo, (1994). Sejarah Hukum, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 1994, hal:188; dalam Hadjon, Philipus M,(1994). Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik
(Normatif), Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, hal:4
[2]
Burkens, M.C., (1990)”Beginselen Van De Democratische Rechtsstaat”, Tjeenk Willink, Zwole hal:29;
Ibid., hal:5
[3]
Jimly Asshiddiqie, Konsep negara Hukum Indonesia Makalah
disampaikan pada Ceramah Umum dalam rangka Pelantikan Dewan
Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas Jayabaya, di Jakarta, Sabtu, 23
Januari 2010. Hal 6.
[5] Soemitro, Rochmat (1976),
“Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di
Indonesia, cet. Ke-IV, PT. ERESCO, JakartaBandun, hal:18
[7]
Soemitro, Rochmat, (1976). Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di
Indonesia,. Cet. Ke-IV, PT. ERESCO, JakartaBandung, hal:18
[8]
Ort, C.W. van der, (1983)”Bewerk door
A.M. Donner, Handboek van het nederlanse Staatsrecht, Il e druk”, Tjeenk Willink, Zwolle,
hal:143
[9]
Couwenberg, S.W. (1977), “Westers Staatsrecht als Emancipatie Proces,
Samson”,
Alphen aan de Rijn, hal:30
[11]
Hadjon Phillipus M.(1987),
“Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di indonesia,
Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam
Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara”,
PT. Bina Ilmu, Surabaya, hal:76-77
[12]
Verdam, P.J., (1976) “Nederlanse Rechtsgeshiedenis 1795 – 1975, Samson”, Alphen aan den Rijn, 1976,
hal.17
[17]
Idenberg, Ph. A., red.,(1983)”De Nadagen
van de Verzorgingstaat Kansen en Prespectiven vor Morgen, Meulenhoff
Informatief,”Ámsterdam, hal:27
[20]
Ibid. hal:82; Hadjon, Philipus M. (1999), “Keterbukaan
Pemerintah dan Tanggung Gugat Pemerintah, Makalah disampaikan pada seminar
Hukum Nasional ke-VI dengan tema Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani,”
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia,
Jakarta, 12-15 Oktober 1999, hal:3