Muhammad Hadidi, S.Sy.MH |
Dalam hubungan ketatanegaraan antara
Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah,
“pengawasan” memiliki peran
yang penting dan
strategis dalam menjaga
kesatuan tata pemerintahan pada
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengawasan dalam konteks tersebut merupakan
“pengikat” kesatuan antara
Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah agar pergerakan
bandul otonomi yang memberikan kebebasan bagi Pemerintah Daerah dalam
mengelola daerahnya tidak
bergerak jauh melebihi
garis edar sehingga
dapat mengancam tatanan kesatuan
(unitary) dalam
pengelolaan Negara.
Dalam
pandangan yang lain
Soejito (1990) mengutip pendapat
Oppenheim menyatakan bahwa
“kebebasan bagian -bagian negara sama
sekali tidak boleh
berakhir dengan kehancuran
negara. Di dalam
pengawasan tertinggi terdapat jaminan
bahwa selalu terdapat
keserasian antara pelaksanaan
bebas dari tugas Pemerintah Daerah
dan kebebasan tugas
Negara oleh penguasa
Negara itu. Soejito
(1990) kemudian juga mengutip
pandangan Van Kempen
yang menyatakan ”……bahwa
otonomi mempunyai arti lain
daripada kedaulatan (souvreiniteit),
dimana otonomi merupakan
atribut dari Negara dan
bukan atribut dari
bagian-bagian Negara seperti Gemeente, Provincie
dan sebagainya.
Bagian-bagian Negara ini hanya dapat memiliki
hak-hak yang berasal dari Negara untuk dapat berdiri sendiri (zelfstandig) namun tetap tidak mungkin
dapat dianggap merdeka (onafhankelijk),
lepas dari ataupun sejajar dengan Negara. Karena itu kinerja pengawasan selalu
bergerak dinamis mencari
kesetimbangan hubungan yang
tepat antara “kebebasan
yang diberikan kepada daerah melalui otonomi” dengan “batasan yang
dibuat pusat dalam menjaga keutuhan dan kesatuan tata pemerintahan pada bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.[1]
Pengawasan
yang terlalu ketat
dilakukan Pemerintah Pusat
tentunya dapat mengurangi kebebasan dalam konteks
pelaksanaan otonomi. Pemerintah Daerah akan merasa terbelenggu dan terbatasinya
ruang kerja desentralisasi untuk bekerja secara optimal memberdayakan para
pemangku kepentingan di
daerah dalam mengelola
potensi melayani dan
memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Sedangkan
disisi yang lain,
bila pengawasan tidak
dilakukan secara tepat dan
proporsional oleh Pemerintah
Pusat, daerah dapat
untuk bergerak melebihi batas kewenangannya sehingga berpotensi
mengancam tata pemerintahan
dalam bingkai sistem Negara Kesatuan. Untuk itu, ruang
kerja pengawasan ini harus memiliki batasan-batasan yang jelas, berupa tujuan
dan ruang lingkup pengawasan, bentuk dan jenis penga wasan, tata cara
menyelenggarakan pengawasan dan
pejabat atau badan
yang berwenang melakukan pengawasan (Huda, 2010).
Jenis pengawasan, Lotulung (1993) mengungkapkan
bahwa pengawasan atau kontrol ini dapat dibedakan atas pertama kontrol yang
bersifat intern dan kontrol bersifat ekstern. Kontrol intern disini diartikan bahwa
pengawasan itu dilakukan
oleh suatu badan
yang secara organisatoris/struktural
masih termasuk dalam lingkungan Pemerintah sendiri.[2]
Bentuk control semacam ini dapat digolongkan dalam jenis teknis administratif atau
disebut pula built-in control. Dan
jenis kontrol yang kedua adalah kontrol yang bersifat eksternal yaitu kontrol
yang dilakukan secara tidak
langsung melalui badan-badan
peradilan (judicial control)
dalam hal terjadinya persengketaan atau
perkara dengan pihak Pemerintah.
Lotulung (1993) sebagaimana dikutip dari Huda (2010)
juga membedakan pengawasan dari sisi saat/waktu pelaksanaan dan pengawasan dari
sisi obyek. Pengawasan dari sisi
saat/waktu terdiri dua jenis yaitu kontrol priori dan kontrol a-posteriori.
Kontrol priori dilakukan bilamana pengawasan dilakukan sebelum dikeluarkannya
suatu putusan atau ketetapan pemerintah ataupun peraturan lainnya yang
pengeluarannya memang menjadi wewenang Pemerintah.
Sedangkan dalam kontrol a-posteriori dilakukan bilamana
pengawasan itu baru dilakukan
sesudah dikeluarkannya keputusan/ketetapan Pemerintah
atau sesudah terjadinya tindakan/perbuatan Pemerintah. Sementara itu, pengawasan dari
sisi objek terdiri atas dua jenis kontrol
yaitu pertama kontrol dari sisi
hukum (rechmatig heidstoetsing) dan
kontrol dari sisi kemanfaatan
(doelmatigheidstoetsing).
Kontrol dari sisi hukum ini pada prinsipnya
menitikberatkan pada segi legalitas, yaitu penilaian tentang sah atau tidaknya
suatu perbuatan pemerintah. Sedangkan
kontrol dari sisi kemanfaatan disini ialah pada prinsipnya menilai perbuatan
pemerintah berdasarkan benar tidaknya perbuatan tersebut dari segi pertimbangan
kemanfaatannya, khususnya dalam kerangka pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Khusus terkait dengan pengawasan
terhadap satuan pemerintahan
otonomi, Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip
dari Huda (2010)
menyatakan ada dua
model pengawasan terkait
yaitu pengawasan preventif (preventief
toezicht) dan pengawasan represif
(repressief toezicht). Kedua model pengawasan ini
ditujukan berkaitan pengawasan produk hukum yang dihasilkan daerah maupun pengawasan
terhadap tindakan tertentu
dari organ pemerintahan
daerah, yang dilakukan melalui
wewenang mengesahkan (goedkeuring)
dalam pengawasan preventif maupun wewenang
pembatalan (vernietiging) atau
penangguhan (schorsing) dalam pengawasan represif.
Bila dikaitkan dengan model pengawasan di atas
dengan implementasi pengawasan peraturan daerah
sebagai salah satu
produk penyelenggaraan pemerintahan
otonomi, maka model pengawasan preventif
ini dilakukan dengan
memberikan pengesahan atau
tidak memberi (menolak) pengesahan
Peraturan Daerah yang disusun oleh Pemerintah Daerah. Dimana dalam pengawasan
preventif ini, suatu Peraturan Daerah yang dihasilkan hanya dapat berlaku
apabila telah terlebih dahulu disahkan oleh penguasa yang berwenang
mengesahkan.[3]
Model pengawasan preventif ini pada prinsipnya hanya
dilakukan terhadap Peraturan Daerah yang
mengatur sejumlah materi-materi
tertentu yang ditetapkan
sebelumnya melalui peraturan perundang-undangan. Materi
pengaturan tertentu yang
perlu mendapat pengawasan preventif
ini pada umumnya
adalah materi-materi yang
dianggap penting menyangkut kepentingan-kepentingan besar
bagi daerah dan
penduduknya, sehingga melalui pengawasan ini
kemungkinan timbulnya kerugian
atau hal-hal yang
tidak diinginkan dapat dicegah sebelum Peraturan Daerah
tersebut diundangkan dan berlaku secara umum.
Berbeda
dengan model pengawasan
preventif, pengawasan represif
dilaksanakan dalam dua bentuk,
yaitu menangguhkan berlakunya
suatu peraturan daerah
atau membatalkan suatu Peraturan Daerah. Model pengawasan
represif ini dapat dijalankan terhadap semua peraturan daerah yang dianggap
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
atau bertentangan dengan kepentingan umum.
Khusus untuk penangguhan, sebenarnya instrumen ini
merupakan suatu usaha persiapan dari proses pembatalan, dimana penangguhan
suatu aturan terjadi karena sedang dilakukan pertimbangan untuk membatalkan
Peraturan Daerah dimaksud. Namun demikian
tidak semua pembatalan
harus melalui proses penangguhan, dimungkinkan
pejabat yang memiliki
kewenangan ini dapat
langsung membatalkan
peraturan daerah yang
dianggap bertentangan dengan
peraturan perundangundangan yang
lebih tinggi tingkatannya atau bertentangan dengan kepentingan umum.
Model pengawasan represif dan preventif ini
diterapkan di Belanda. Pengawasan represif disebut juga
sebagai executive review, sedangkan pengawasan
preventif disebut sebagai executive preview. Pengawasan judikatif
melalui mekanisme judicial
review tidak dikenal di Belanda
karena menganut ajaran
bahwa undang-undang tidak
dapat diganggu gugat.
Model pengawasan melalui mekanisme judicial
review diterapkan di Austria dengan memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk me-review peraturan
yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian.
[1] M.Nur Sholikin (2011). Implementasi
Pengawasan Perda Oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung. Laporan kajian dipublikasikan
oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI) diakses lewat PDF pada
tanggal 20 Agustus 2016
[2] Misalnya pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atasan terhadap
bawahannya secara hirarkis, ataupun
pengawasan yang dilakukan oleh tim/panitia verifikasi yang di bentuk secara
insidental
[3] Dalam
pelaksanaannya pengawasan preventif ini dilakukan sesudah suatu Peraturan
Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dan DPRD. Namun sebelum
Peraturan Daerah tersebut di undangkan.