Tinjauan Yuridis Otonomi Khusus Provinsi Aceh Dalam Persepektif Demokratisasi Dan Desentralisasi di Indonesia

Muhammad Hadidi, SHI,SH, M.H[1]


[1] Makalah Mohd Hadidi Mahasiswa Magsiter Ilmu Hukum Konsentrasi HTN-HAN Kajian hukum Demokrasi dan Desentralisasi di Indonesia: Tinjauan Hukum Otonomi Khusus Provinsi Aceh Dalam Pelaksanan Domokratisasi Dan Desentralisasi di Indonesia. Tahun 2015.
Sebagaimana diamanatkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat menjadi UUD NRI 1945), wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan Kota.[1] Yang masing-masing sebagai daerah otonomi. Sejarah tentang pemerintahan daerah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1948.[2]
Pemberian otonomi kepada daerah tentu berimplikasi pada berhaknya tiap-tiap daerah dalam mengurus dan mengatur sendiri pemerintahan daerah secara otonom atau mandiri, salah satu implikasi yang menjadi titik berat disini adalah di mana daerah diberi hak untuk membentuk dan menetapkan Peraturan daerah (selanjutnya disebut Perda atau qanun untuk provinsi Aceh) dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah.[3]
Jika kita lihat dari latar belakang pemberlakuan self government atau asymetric autonomy Aceh (otonomi khusus Aceh) dalam bentuk politik hukum (legal policy), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA), tidak terlepas dari adanya pergolakan politik dan konflik kekerasan di Aceh selama hampir tiga dekade [1976 – 2005]. Pemberlakuan ini diawali dengan adanya penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Helsinki pda tanggal 15 Agustus 2005.

Poin 1.1.1 MoU menyebutkan: “A new Law on the Governing of Aceh will be promulgated and will enter into force as soon as possible and not later than 31 March 2006 (Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006)”.  Walaupun perintah MoU bahwa pembentukannya selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006, namun undang-undang tersebut baru disahkan pada 1


[1] Lihat Pasal 18 UUD NRI 1945
[2] P. Rosodjatmiko, Pemerintahan di Daerah Dan Pelaksanaanya, Tarsito,Bandung, 1982, Hlm. 1.
[3] Lihat Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945.

Agustus 2006. Undang-Undang ini terdiri dari 40 bab dan 273 pasal. Selain masalah keterlambatan dari segi waktu, dasar dan substansi pembentukannya juga menyimpan perbedaan substansial antara maksud MoU dengan UUPA. Memang secara de facto, dasar pembentukannya karena MoU, namun secara de jure substansi UUPA malah tidak menyebutkan secara eksplisit dasar pembentukannya yang berladaskan pada MoU itu.
Dalam paragraf kedelapan penjelasan umum UUPA disebutkan:“Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Hal yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan”.
Sementara, konsideran UUPA hanya menyebutkan sejarah integrasi Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, yang memiliki karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh dan ketahanan serta daya juang tinggi. Dimana bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, sebagai komitmen bersama atas perdamaian antara Pemerintahan RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM ), maka dilahirkanlah Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ( UUPA ). UUPA merupakan harapan baru bagi masyarakat aceh untuk mewujudkan kesejahteraan dalam perdamaian abadi. Tidak terasa pelaksanaan UUPA sudah masuk tahun ke 4 dan berbagai perubahan positip sudah dirasakan oleh sebagian masyarakat Aceh. Tetapi disisi lain masih banyak tantangan yang harus dihadapi sebelum UUPA ini menjadi payung hukum dan menjadi ruh dari perubahan yang ingin dicapai oleh masyarakat Aceh ke arah yang lebih baik.

    Lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA ) merupakan satu tonggak sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat Aceh , karena dengan Undang-Undang ini tercurah harapan untuk terciptanya perdamaian yang langgeng, menyeluruh, adil, dan bermartabat, sekaligus sebagai wahana pelaksanaan pembangunan dalam rangka mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera. UUPA sendiri terdiri dari 40Bab dan 273 Pasal.
Berikut ini beberapa kekhususan pengaturan yang terdapat pada UUPA, antara lain: 1. Kewenangan Khusus, 2. Lembaga di Daerah, 3. Gubernur Aceh, 4. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Kabupaten/Kota (DPRA/K ), 5. Partai Politik Lokal, 6. Wali Nanggroe, 7. pengakuan terhadap Lembaga Adat, 8. Syari’at Islam, 9. Mahkamah Sya’iyah, 10.Pengadilan HAM di Aceh, 11. Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi  (KKR ) di Aceh, 12. Pengelolaan Sumber Daya Alam, 13. Keuangan, 14. Pertanahan.
       I.            Rumusan Masalah
2.1     Bagaimana otonomi khusus Aceh menurut UUPA No 11 Tahun 2006..?
2.2     Apa yang menjadi evaluasinya terhadap efektifitas kinerja pemerintah Provinsi Aceh pasca sepuluh tahun implementasi UUPA?
2.3      

    II.            Pembahasan
3.1  Kewenangan Otonomi khusus provinsi Aceh menurut UUPA No 11 Tahun 2006.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka Aceh diberikan beberapa kewenangan khusus, disamping kewenangan yang bersifat umum sebagaimana juga yang diperoleh oleh daerah-daerah lainnya, baik dalam bidang administratif, politik, hukum, politik hukum (legal policy), ekonomi, agama dan sosial-budaya. Secara umum substansi kewenangan-kewenangan khusus Pemerintahan Aceh seperti yang diatur dalam UUPA No 11 tahun 2006 dapat dilihat sebagai berikut:
1.      Dalam Pasal 4 Aceh dapat membangun kawasan khusus untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas
2.      UUPA Pasal 7 Kewenangan mengatur dan mengurus seluruh sektor pemerintahan kecuali kewenangan pemerintah pusat yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, kehakiman, keuangan, dan persoalan tertentu dalam bidang agama
3.      UUPA Pasal 8 Rencana persetujuan internasional dan rencana pembentukan undang-undang oleh DPR dan kebijakan administrasi yang berkaitan langsung dengan pemerintahan Aceh yang dibuat oleh pemerintah pusat memerlukan konsultasi dan pertimbangan DPRA dan Gubernur
4.      UUPA dalam  Pasal 9 Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga di luar negeri dan dapat ikut serta secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional
5.      UUPA Pasal 67 Afirmasi pencalonan perseorangan (independen) dalam pemilihan kepala daerah
6.      UUPA Pasal 75 Pendirian partai politik lokal
7.      UUPA Pasal 96 Pembentukan lembaga Wali Nanggroe yang merupakan kepemimpinan adat
8.      UUPA Pasal 98 Pembentukan lembaga adat bidang keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat yang terdiri dari a) Majelis Adat Aceh; b) imuem mukim; c) imuem chik; d) keuchik; e) tuha peut; f) tuha lapan; g) imuem meunasah; h) keujreun blang; i) panglima laot; j) pawang glee; k) peutua seuneubok; l) haria peukan; dan m) syahbanda.
9.      UUPA Pasal 125 Pelaksanaan syariat Islam yang meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (undang-undang keluarga), muamalah, jinayah Islam, qadha’(hukuman dari pengadilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam
10.  UUPA Pasal 128 Pembentukan Mahkamah Syariat Islam kepada umat Islam
11.  UUPA Pasal 138 Pembentukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
12.  UUPA Pasal 160 Pengelolaan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah Aceh terhadap minyak dan gas yang terletak di darat dan laut Aceh
13.  UUPA Pasal 165 Penduduk Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi dalam negeri dan internasional
14.  UUPA Pasal 167  Pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang
15.  UUPA Pasal 172 Pemerintah pusat dan pemerintah Aceh dapat mendirikan pelabuhan dan lapangan terbang umum di Aceh
16.  UUPA Pasal 181 Pemerintahan Aceh menerima dana tambahan pembagian hasil minyak sebesar 55 persen dan gas 40 persen
17.  UUPA Pasal 183 Mendapatkan dana otonomi khusus untuk masa 20 tahun, dengan perincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2%. Dana Alokasi Umum (DAU) dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh jumlahnya setara dengan 1% DAU
18.  UUPA Pasal 205 & Pasal 209 Pengangkatan Kepala Polisi Aceh yang dilakukan oleh Kepala Polisi Indonesia dan pengangkatan Kepala Jaksa Tinggi Aceh yang dilakukan oleh Kepala Jaksa Agung memerlukan persetujuan Gubernur
19.  UUPA  Pasal 217 Penduduk Aceh yang berumur 7 tahun sampai 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya
20.  UUPA Pasal 224 Semua anak yatim dan orang fakir-miskin berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang menyeluruh tanpa dipungut biaya
21.  UUPA Pasal 228  Pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh
22.  UUPA Pasal 229 Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsialisasi (KKR)
23.  UUPA Pasal 246, Pasal 247 & Pasal 248 Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera, lambang, dan lagu Aceh yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan
24.   UUPA Pasal 253 Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Badan Pertanahan Aceh (BPA) dan Badan Pertanahan Kabupaten/Kota
25.  UUPA Pasal 269 Rencana perubahan UUPA yang dilakukan oleh DPR terlebih dahulu memerlukan konsultasi dan pertimbangan DPRA.[1]

3.2  Peraturan Pelaksana UUPA dan Realisasi
Dari 40 bab dan 206 pasal yang mengatur substansi UUPA baik dalam konteks administrasi, politik, hukum, politik hukum (legal policy), ekonomi, sosial-budaya terdapat beberapa peraturan pelaksana sebagai penjabarannya. Dimana terdiri dari 7 Peraturan Pemerintah (PP), 3 Peraturan Presiden (Perpres), 2 Keputusan Presiden (Keppres), 64 Qanun Aceh dan 12 qanun kabupaten/kota.
Penetapan peraturan-peraturan pelaksana yang menjadi kewajiban pemerintah pusat, sebagaimana dalam Pasal 271 disebutkan: “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.Namun demikian, sampai saat ini yang sudah direalisasi oleh pemerintah baru sebatas 2 PP dan 2 PerPres sebagaimana bisa dilihat pada penjelasan berikut ini:
1.      Realisasi Peraturan Pelaksana yaitu
Ø  Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.[2] Dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh.[3]
Ø  Peraturan Presiden
Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh dan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri.[4]
Sementara, realisasi qanun organik pasca-pengesahan UUPA, juga baru sebagian yang direalisasikan oleh pemerintahan Aceh. Sejak tahun 2007 sudah diselesaikan sebanyak 28 Qanun berturut-turut 10 qanun pada tahun 2007, 12 qanun pada tahun 2008 dan 6 qanun pada tahun 2009. Nomor, tahun dan muatan qanun bisa dilihat pada tabel di bawah ini:[5]

No
Qaun Tahun 2007
Qanun Tahun 2008
Qanun Tahun 2009
1
Qanun Nomor 01 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2007
Qanun Nomor 01 Tahun 2008 tentang Keuangan Aceh
Qanun Nomor 01 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2009
2
Qanun Nomor 02 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Qanun Nomor 1 Tahun 2005 tentangKedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Qanun Nomor 02 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan dana Bagi Hasil dan Penguasaan Dana Otonomi
Khusus
Qanun Nomor 02 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama
3
Qanun Nomor 03 Tahun 2007 tentang Tata Cara  Pembentukan Qanun
Qanun Nomor 03 Tahun 2008 tentang Partai Lokal Peserta Pemilu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota
Qanun Nomor 03 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian
Imum Mukim Aceh
4
Qanun Nomor 04 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretaris Daerah dan Sekretaris Dewan Aceh
Qanun Nomor 04 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2008
Qanun Nomor 04 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik
5
Qanun Nomor 05 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan Lembaga Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Qanun Nomor 05 Tahun 2008 tentang PenyelenggaraanPendidikan
Qanun Nomor 05 Tahun 2009 tentang Penanaman Modal
6
Qanun Nomor 06 Tahun 2007 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2007
Qanun Nomor 06 Tahun
2008 tentang Administrasi
Pendudukan
Qanun Nomor 06 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan
Dan Perlindungan Perempuan
7

Qanun Nomor 07 Tahun 2007 tentangPenyelenggaraan Pemilu di  Aceh
Qanun Nomor 07 Tahun 2008 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2008
-
8
Qanun Nomor 08 Tahun 2007 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik dan Partai Politik Lokal
Qanun Nomor 08 Tahun 2008 tentang Pelayanan Publik
-
9
Qanun Nomor 09 Tahun
2007tentangPendelegasian
Kewenangan Pemerintah
Aceh Kepada Dewan
Kawasan Sabang
Qanun Nomor 09 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat
-
10
Qanun Nomor 10 Tahun
2007 tentang Baitul Mal
Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat
-
11
-
Qanun Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak
-
12
-
Qanun Nomor 12 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Keraja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu

-

Peraturan Pelaksana yang Belum Terealisasi. Meskipun dalam amanat UUPA disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk membentuk peraturan pelaksanaan paling lambat dua tahun sebagaimana bunyi Pasal 271, namun hingga saat ini baru 2 PP dan 2 Perpres yang ditetapkan. Secara peraturan perundang-undangan keterlambatan penetapan peraturan pelaksana oleh pemerintah adalah bentuk pelanggaran hukum. Namun karena tidak adanya pengaturan bentuk sanksi hukum dalam UUPA berdampak pada rendahnya posisi tawar pemerintah Aceh, kecuali hanya sebatas menunggu realisasi peraturan tersebut. Adapaun peraturan pelaksana yang belum ditetapkan oleh pemerintah pusat dapat dilihat antara lain sebagai berikut:
Ø  PERATURAN PEMERINTAH
1.        UUPA Pasal 4 Kawasan khusus selain untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas dan pembagian kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Aceh/kabupaten/kota dan badan pengelola kawasan khusus
2.        UUPA Pasal 43 Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
3.         UUPA Pasal 160 Pengelolaan bersama sumber daya alam  minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh
4.        UUPA Pasal 251 Nama dan gelar pejabat pemerintahan Aceh
5.        UUPA Pasal 270 Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh dan pelaksanaan UUPA yang menyangkut kewenangan Pemerintah.
Ø  PERATURAN PRESIDEN
1.      Peralihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Aceh dan Kantor Pertanahan kabupaten/kota menjadi perangkat Daerah Aceh dan perangkat daerah kabupaten/kota

3.3  Konsekuensi Hukum dan Politik UUPA
Hingga tahun keempat implementasi UUPA atau sejak tahun 2006 masih terdapat polemik yang berdampak positif dan negatif bagi pelaksanaan pemerintahan Aceh. Hal ini merupakan konsekuensi dari kelemahan kewenangan khusus Aceh yang diatur dalam UUPA secara tidak tegas, bergantung dan bersayap. Antara lain, pertama,tidak disebutkannya secara eksplisit istilah self government Aceh baik dalam MoU maupun UUPA, meskipun secara implisit substansi UUPA menyerupai prinsip pelaksanaan self government.
Kedua, secara politik hukum (legal policy), kewenangan pemerintahan Aceh yang berkaitan dengan politik dan perekonomian masih harus diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksana dari pemerintah bukannya dengan qanun.
Ketiga, kebijakan administrasi pemerintah dan persetujuan internasional di Aceh yang memerlukan “konsultasi dan persetujuan”Gubernur dan DPRA menjadi “berdasarkan konsultasi dan pertimbangan”. Contoh Pasal 8 ayat (3), berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pembentukan atau pemekaran wilayah yang harus berdasar pada konsultasi dan pertimbangan gubernur. Padahal Pasal 5 UU 32/2004 disebutkan bahwa syarat administratifnya harus melalui persetujuan DPRD, Gubernur dan rekomendasi dari Mendagri.
Keempat,masih adanya pengawasan pemerintah pusat secara represif terhadap Qanun Aceh dan peraturan kepala daerah, sebagaimana Pasal 235 yang bisa kita jadikan contoh. Dan, kelima, dualisme dasar hukum di Aceh dimana UUPA tetap berlaku namun juga harus mengikuti peraturan perundang-undangan lain yang berlaku secara umum. Misalnya, pengaturan struktur pimpinan dewan yang mengundang kontroversi. Dimana DPRA dan sebagian DPRK memasukkan dua pimpinan dewan dari satu fraksi, yaitu Partai Aceh (PA).
 Menggunakan dasar hukum Pasal 30 ayat (2) UUPA yang menyiratkan susunan DPRA diatur dengan peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK. Sebaliknya Menteri Dalam Negeri menggunakan Pasal 303 UU No.27 tahun 2009 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD  dan DPRD, yang disana disebutkan bahwa pimpinan DPRD harus berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak. Ditambah lagi menurut Pasal 400, UU ini berlaku juga bagi DPRA/DPRK, DPR Papua, dan DPRD Papua Barat, sepanjang tidak diatur khusus dalam UU tersendiri. Mendagri beralasan struktur pimpinan dewan tidak diatur khusus dalam UUPA.
 Selanjutnya, polemik terhadap Pasal 36 Qanun Nomor 03 Tahun 2008 tentang Partai Lokal di Aceh, berkaitan dengan syarat wajib mampu membaca Al-Quran bagi calon anggota legislatif dari partai politik nasional. Mendagri meminta pasal tersebut dicabut karena menganggap syarat tersebut hanya kepada caleg parlok. Namun, pasal tersebut tidak direvisi oleh DPRA.
Konsekuensinya permasalahan-permasalahan seperti ini disamping memperlambat implementasi pemerintahan, juga telah melemahkan UUPA dalam konteks pelaksanaan selfgovernment atau asymetric autonomy. Padahal kalau mengacu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dicabut dengan UUPA, peraturan pelaksananya langsung diatur oleh qanun.
Sebagaimana Pasal 1 angka 8 disebutkan, qanun provinsi NAD adalah peraturan daerah sebagai pelaksanaan UU di Provinsi NAD dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Berdasarkan pasal tersebut jelas hanya qanun sebagai peraturan pelaksana UU otsus, tanpa harus menunggu PP atau Perpres.
Sehingga, Supardan Modeong, mengatakan, secara prosedur qanun adalah perda, yang dibentuk oleh DPRD dan Kepala Daerah. Namun, ditinjau dari sudut kompetensinya, qanun berbeda dengan perda, karena tidak tunduk pada PP dan Keppres (Perpres), sedangkan perda tunduk. Oleh karenanya, sebagaimana peraturan perundang-undangan lainnya qanun mempunyai kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan.
Sehingga keberadaan qanun dalam UU sebagai lex specialis.
Polemik-polemik lainnya, kemungkinan besar juga akan muncul menjelang pilkada Aceh pada Desember 2011 mendatang, terutama berkaitan dengan masalah pencalonan calon perseorangan. Menurut Pasal 256 UUPA pemilihan calon perseorangan di Aceh hanya berlaku dan dilaksanakan untuk pertama kali pada
pilkada 2006 lalu. Anehnya, Aceh dibatasi sedangkan untuk pilkada daerah lain diberikan afirmasi. Pasal 59 ayat (1) UU No. 12/2008 jonctoUU No. 32/2004 menyebutkan, peserta pilkada adalah a) pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol, dan, b) pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
Terlepas UUPA sebagai produk politik dan lex specialis yang telah menimbulkan polemik dan permasalahan implementasi, hal ini tetap merupakan sebuah produk politik yang niscaya. Oleh karena itu, akan keliru bila sebagian masyarakat Aceh mengatakan bahwa pelaksanaan pemerintahan di Aceh hanya mengacu UUPA, meskipun lex specialis. Tentu saja, hal ini akan merugikan Aceh karena banyak mengandung kelemahan. Sebaliknya, kalau merujuk UU umum juga tidak menguntungkan, karena menghilangkan kewenangan khusus Aceh.
Dalam realitas politik hukum, fenomena ini menimbulkan ambiguitas implementasi. Menggunakan UUPA semata tentu tidak menguntungkan, menggunakan UU umum malah merugikan kekhususan yang ada. Kalaupun, ada aspirasi untuk me-review UUPA melalui legislative review (perubahan oleh DPR) atau melalui judicial review (perubahan oleh Mahkamah Konstitusi), maka tetap saja akan memunculkan dua kemungkinan.
 Pertama, UUPA akan lebih baik sebagaimana substansi MoU RI-GAM dan sebagaimana aspirasi rakyat Aceh. Kedua, sebaliknya UUPA akan lebih buruk, mengingat alat uji revisi yang digunakan oleh DPR atau MK adalah UUD 1945, bukannya MoU RI-GAM. Sebagaimana Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, amandemen ketiga, tahun 2001 joncto Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Meskipun, Pasal 269 menyebutkan, Rencana perubahan UUPA yang dilakukan oleh DPR terlebih dahulu memerlukan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Hal inilah yang perlu menjadi pertimbangan dalam melakukan legislative review atau judicial review. Namun, kalau mengacu kepada asas-asas peraturan perundang-undangan kelemahan yuridis materiil UUPA bukanlah persoalan.
Karena, sebagaimana asas lex specialis derogate lex generalis (peraturan yang khusus mengenyampingkan peraturan umum). Begitu juga sebaliknya, apabila dalam peraturan yang khusus tidak diatur, maka mengikuti peraturan umum atau yang baru. Sebagaimana asas lex posteriore derogate lex priori (peraturan yang datang kemudian dapat mengenyampingkan peraturan yang sebelumnya sudah ada). Walaupun demikian, secara politik hukum asymetric autonomyhal ini merugikan Aceh, karena banyak kewenangan khusus yang digantung dengan UU yang umum.
Karena itu, alternatif agar tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang dapat merugikan Aceh mau tidak mau pemerintahan Aceh dan rakyatnya harus melakukan pendekatan politik dan hukum (politic and legal approach) kepada pemerintah pusat. Secara politik (political approach), pertama,mensyaratkan adanya dukungan seluruh komponen rakyat Aceh kepada pemerintahan Aceh dan sebaliknya keterbukaan pemerintahan Aceh. kepada rakyat Aceh.
Kedua,Pemerintah Aceh dan rakyat Aceh bersama-sama mendesak dan melakukan lobby  kepada pemerintah pusat agar secara konsisten bisa menerapkan UUPA sesuai MoU dan aspirasi rakyat. Ketiga, secara lebih progresif, berkaitan dengan selfgovernment Aceh, agar diatur dalam konstitusi dasar Republik Indoneisa atau UUD 1945 agar tidak menimbulkan kontradiksi dengan konstitusi. Sementara pendekatan hukum (legal approach)meminta pemerintah segera menetapkan PP dan Perpres, serta merevisi UUPA sesuai dengan konteks asymetric autonomy.
3.4  Kesimpulan
Hingga tahun keempat implementasi UUPA atau sejak tahun 2006 masih terdapat polemik yang berdampak positif dan negatif bagi pelaksanaan pemerintahan Aceh. Hal ini merupakan konsekuensi dari kelemahan kewenangan khusus Aceh yang diatur dalam UUPA secara tidak tegas, bergantung dan bersayap. Antara lain,
pertama, tidak disebutkannya secara eksplisit istilah self government Aceh baik dalam MoU maupun UUPA, meskipun secara implisit substansi UUPA menyerupai prinsip pelaksanaan self government.
Kedua, secara politik hukum (legal policy), kewenangan pemerintahan Aceh yang berkaitan dengan politik dan perekonomian masih harus diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksana dari pemerintah bukannya dengan qanun.
Ketiga, kebijakan administrasi pemerintah dan persetujuan internasional di Aceh yang memerlukan “konsultasi dan persetujuan” Gubernur dan DPRA menjadi “berdasarkan konsultasi dan pertimbangan”. Contoh Pasal 8 ayat (3), berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pembentukan atau pemekaran wilayah yang harus berdasar pada konsultasi dan pertimbangan gubernur. Padahal Pasal 5 UU 32/2004 disebutkan bahwa syarat administratifnya harus melalui persetujuan DPRD, Gubernur dan rekomendasi dari Mendagri.
Keempat, masih adanya pengawasan pemerintah pusat secara represif terhadap Qanun Aceh dan peraturan kepala daerah, sebagaimana Pasal 235 yang bisa kita jadikan contoh. Dan,
kelima, dualisme dasar hukum di Aceh dimana UUPA tetap berlaku namun juga harus mengikuti peraturan perundang-undangan lain yang berlaku secara umum. Undang – Undang no 11 tahun 2006 (UU 11/2006) lahir sebagai komitmen bersama atas perdamaian antara Pemerintahan RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mewujudkan kesejahtaraan dan perdamaian abadi serta memperjelas kedudukan dan fungsi Naggroe Aceh Darussalam sebagai salah satu provinsi yang memiliki otonomi khusus di Indonesia.
UU 11/2006 yang berisi tentang pengaturan-pengaturan, seperti 1. Kewenangan Khusus, 2. Lembaga di Daerah, 3. Gubernur Aceh, 4. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Kabupaten/Kota ( DPRA/K ), 5. Partai Politik Lokal, 6. Wali Nanggroe, 7. pengakuan terhadap Lembaga Adat, 8. Syari’at Islam, 9. Mahkamah Sya’iyah, 10.Pengadilan HAM di Aceh, 11. Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) di Aceh, 12. Pengelolaan Sumber Daya Alam, 13. Keuangan, 14. Pertanahan. Ternyata dalam implementasi dari setiap pasal-pasalnya masih jauh dari yang diharapkan. Masih banyak kinerja yang kurang baik dan tidak maksimal dan proses penyelenggaraannya yang masih lambat dan sarat akan korupsi.
 Jika menilik dan mendalami setiap pasal demi pasal, maka akan dijumpai masih banyak tugas dan tanggung jawab pemerintahan Aceh yang diamanatkan di dalam UU 11/2006 yang berjalan tidak optimal, seperti fungsi DPRA yang tidak maksimal. Sebagai contoh fungsi budgeting yang dimiliki DPRA yang terbilang lambat dalam merumuskan RAPBA sehingga pembangunanpun ikut terbengkalai akan keterlambatan tersebut, kemampuan legislasi yang masih lemah dalam hal mengadakan paripurna terhadap 31 rancangan Qanun prioritas yang telah dibuat sebelumnya, dan fungsi pengawasan yang kurang signifikan karena masih satu fokus pengawasan yaitu fokus pengawasan insfrastruktur. Jelas ini masih jauh dari yang digagas pada pasal 22. No 11/2006.

    Dalam BAB VII Pasal 23. UU No 11 tahun 2006 dijelasakan bahwa melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lain. Nah, dalam hal ini DPRA memilik kewenangan mengawasi kinerja Qanun. Fakta di lapangan yang menunjukkan masih banyaknya anggota parlemen Aceh yang kurang disiplin baik menyangkut dengan kehadiran dalam persidangan, pertemuan/audiensi maupun rapat-rapat lainnya. Menjadi indikator masih rendahnya funsi pengawasan DPRA terhadap Qanun.
 UU 11/2006 juga sarat akan korupsi terbukti kasus korupsi di serambi mekah itu mencapai 141 kasus yang masih mengambang di kejaksaan, 43 kasus diantaranya tahap penuntutan dan 54 lainnya tahap penyidikan. Sebanyak 56% responden menyatakan bahwa Pemprov Aceh tidak efektif dalam usaha memberantas korupsi selama periedesasi pemerintahan Aceh (2006-2011).
Permasalahan politik lokal Aceh seperti seperti sifat paternalistik dan menguatnya elitisme lokal yang bersandar pada tokoh-tokoh lokal, serta praktik politik uang, tentunya harus mampu diatasi dengan merujuk kembali kepada pasal 77, 78 dan 79 UU 11/2006  tentang kedudukan, tujuan dan fungsi partai politik lokal Aceh, dengan menciptakan pendidikan politik masyarakat dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila menuju kesejahteraan.

Daftar Pustaka
Prang, A. J. (2008). Qanun Parlok Batal, Selanjutnya, Serambi Indonesia edisi 6 Agustus 2008 dan edisi 1 Agustus 2008.
-------------- (2010). UUPA Makin Runyam, Serambi Indonesia edisi 5 Januari 2010.
Peraturan Pemerintah tentang Partai Politik Lokal di Aceh, PP No. 20 Tahun 2007, LN No. 43 Tahun 2007, TLN No. 4708.
Peraturan Pemerintah tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian
Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh, Perpres No. 58 Tahun 2009, LN No. 135 Tahun 2009.
Modeong, S. (2003). Teknik Perundang-Undangan di Indonesia, Jakrta: Penerbit Perca.
Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU No. 18 Tahun 2001, LN No. 114 Tahun 2001, TLN No. 4134.
Undang-Undang Pemerintahan Aceh, UU No. 11 Tahun 2006, LN No. 62 Tahun 2006, TLN No. 4633.
Hikmawan Syahputra, dkk “Meneropong Efektifitas Fungsional DPRA, Partai Politik Lokal, Pengawasan Qanun Hingga Korupsi Di Aceh” diakses di https://hikmawansp.wordpress. Tanggal 28 Desember 2015. Pukul 12.00 WIB.



[1] Lihat dan Buka Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tantang Pemerintah Aceh Selanjutnya di sebut Aceh (UUPA No 11 Tahun 2006).
[2] Lihat Peraturan Pemerintah tentang Partai Politik Lokal di Aceh, PP No. 20 Tahun 2007, LN No. 43 Tahun 2007, TLN No. 4708. Dimuat dalam www.setneg.go.id
[3] Peraturan Pemerintah tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh, PP No. 58 Tahun 2009, LN No. 135 Tahun 2009.
[4] Lihat Briefing paper The Aceh Institute Quarterly Report-II Februari 2010 Sumber data dari www.setneg.go.id diakses oleh penulis pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 23.00 WIB.