Tinjauan Yuridis Normatif Otonomi Khusus Provinsi Aceh Dalam Persepektif Demokrasi Dan Desentralisasi Indonesia

MOHD HADIDI[1]




[1] Makalah Ujian Akhir Semister sudah dipersentasikan dan dipertanggung jawabkan di depan dosen pengampuh mata kuliah Hukum Administrasi Dan Desentralisasi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Selasa 29 Desember 2015.
Sebagaimana diamanatkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat menjadi UUD NKRI 1945), Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.[1] Selanjutnya pada pasal 18B ayat (1) disebutkan Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.[2]
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sudah diatur sejak lahirnya Undang-undang Nomor  5 Tahun 1974 Tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang pemerintahan daerah, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, jo Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014.
Disamping itu, khusus untuk Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai Undang-undang No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk Provinsi Aceh, sesuai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA No 11 Tahun 2006) Tentang Pemerintahan Aceh.[3] Penamaan Perda, sedikit berbeda menjadi Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) untuk Provinsi Papua, termasuk Provinsi Papua Barat sesuai Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.[4]


Pemberian otonomi kepada daerah tentu berimplikasi pada berhaknya tiap-tiap daerah dalam mengurus dan mengatur sendiri pemerintahan daerah secara otonom atau mandiri, salah satu implikasi yang menjadi titik berat disini adalah di mana daerah diberi hak untuk membentuk dan menetapkan Peraturan daerah (selanjutnya disebut Qanun untuk provinsi Aceh) dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah.[5]
Aceh dalam akar sejarahnya dikenal sebagai “bangsa” yang teguh mempertahankan kedaulatannya dari kolonialisme Belanda dan Inggris. Paska ditandatanganinya Trety of Sumatera (1871).[6] yang berisikan penyerahan Aceh dari Inggris kepada Belanda yang berbuah perang panjang 1873-1914, pergolakan demi pergolakan terus dilakukan guna mengusir para penjajah. Puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah Indonesia menyatakan merdeka, residen Teungku Nyak arief dan Teungku Daud Beureh sepakat untuk menggabungkan diri dengan Republik Indonesia[7]
Kemudian, terjadi beberapa perselisihan akibat ketidakpuasan atas keputusan politik Republik Indonesia dibawah kabinet Hatta,  benih gerakan separatispun tumbuh, Daud Beureh menggabungkan diri sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, dikarenakan rasa kecewa elit Aceh atas keputusan “politik Jakarta” yang hanya menjadikan aceh daerah setingkat Kabupaten dibawah Prov.Sumut, sehingga demikian secara yuridis otomatis Prov.Aceh dibubarkan begitu saja.
Pilihan memberikan otonomi khusus sebagai affirmative action pun dilakukan guna meredam konflik dan mengakomodir aspirasi masyarakat Aceh, genjatan senjata dilakukan dengan syarat Aceh tidak hanya dijadikan daerah Provinsi tapi lebih dari itu yaitu diakui sebagai Negara Bagian Aceh (NBA). Pendukung NBA ini antara lain adalah Hasa Ali, Hasan Saleh, dan Ishak Amin. Mereka bersepakat dengan wakil pemerintah yaitu Ali Hasjmy, Gaharu, dan Muhammad Insja (kepala polisi). Merapa sepakat dengan tiga tujuan utama yaitu 1) Memajukan Islam: 2) Membangun Aceh dalam arti luas: 3) Berusaha sekuat tenaga untuk memberikan kemakmuran dan kebahagiaan kepada rakyat Aceh.[8]
Kesepakatan tersebut setelah dilakukan beberapa penyesuaian akhirnya diberikan landasan yuridis dengan diterbitkannya Keputusan Wakil Perdana Menteri RI No.1/Misi/1959 tanggal 31 Mei 1959, yaitu dengan pembentukan daerah Istimewa Aceh berdasarkan UU No.1 tahun 1957 yang menganut otonomi yang seluas-luasnya terutama di bidang agama, pendidikan, dan adat.[9]
Akan tetapi pada perjalanannnya pemberian otonomi tersebut tidak efektif pelaksanaannya, karena pada dekade 60’an NKRI disibukkan dengan pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda dan konfrontasi Ganyang Malaysia yang memberikan Presiden Soekarno common enemy untuk diberantas sehingga konsentrasi kewenangan secara de facto tertumpu di tangan Presiden Soekarno, yang pada gilirannya mengakibatkan pelaksanaan otonomi daerah menjadi bias. Puncaknya pada era Orde Baru pemerintahan Presiden Soeharto menerbitkan UU No.5 tahun 1974 yang justru memperteguh sistem pemerintahan sentralistik di Indonesia sehingga mematikan inisiatif, membelengu kewenangan, membunuh kearifan adat istiadat lokal yang dipaksakan untuk menjadi seragam. Akumulasi dari kekecewaan atas kebijakan tersebut maka pada tanggal 4 Desember 1976 Hasan Tiro memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka.
Pasca berakhirnya rezim orde baru dan lahirnya reformasi. Pemerintah mulai menyadari bahwa bukanlah jalan yang tepat untuk mengatur wilyah otonom di Republik ini dengan seragam. Oleh karena itu lahirlah UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,  kemudian khusus untuk kasus Papua dan Aceh beberapa ketetapan MPR mengamanatkan kedua daerah itu diberlakukan otonomi khusus. Untuk memenuhi amanat itu, maka pada tahun 2001 ditetapkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh dan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Implementasi otonomi khusus di Aceh menarik untuk bersama kita kaji karena pada proses pelaksaanya UU No.18 tahun 2001 belum mampu meredam konflik dan perlawanan yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, berbarengan dengan momentum natural turbulance yaitu tragedi tsunami yang meluluhlantakan Bumi Seurambi Mekah[10],  sadar bahwa tindakan represif melalui penetapan DOM (Daerah Oprasi Militer) gagal menyelesaikan akar permasalahan seperatisme di aceh, pemerintah RI mengubah pendekatan penyelsaian konflik dengan GAM, yaitu dengan kembali melakukan perundingan dan dialog.
Dari serangkaian perundingan yang dilakukan sejak pengesahan UU No 18 tahun 2001, pada akhirnya pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, akhirnya kelaurkan kata mufakat dengan ditanda tanganinyaMemorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU Helsinki akan dituangkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Untuk memenuhi klausul di atas, maka pada 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ( UUPA )
UUPA sendiri terdiri dari 40Bab dan 273 Pasal. Berikut ini beberapa kekhususan pengaturan yang terdapat pada UUPA, antara lain: 1. Kewenangan Khusus, 2. Lembaga di Daerah, 3. Gubernur Aceh, 4. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Kabupaten/Kota (DPRA/K), 5. Partai Politik Lokal, 6. Wali Nanggroe, 7.pengakuan terhadap Lembaga Adat, 8. Syari’at Islam, 9. Mahkamah Sya’iyah, 10.Pengadilan HAM di Aceh, 11. Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh, 12. Pengelolaan Sumber Daya Alam, 13. Keuangan, 14. Pertanahan.


       I.            Rumusan Masalah
2.1     Bagaimana otonomi khusus Aceh menurut UUPA No 11 Tahun 2006..?
2.2     Apa yang menjadi evaluasinya terhadap efektifitas kinerja pemerintah Provinsi Aceh pasca sepuluh tahun implementasi UUPA?

    II.            Pembahasan
3.1  Otonomi khusus provinsi Aceh menurut UUPA No 11 Tahun 2006.
A.   Landasan dan Urgensi Otonomi Khusus Aceh
Bila kita baca kembali Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006  tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) tersebut, setidaknya terdapat lima alasan  yang melatarbelakangi keputusan untuk pemberlakuan undang-undangan ini, yaitu:
Pertama bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang;
 Kedua bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi;
Ketiga bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Keempat bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; dan
Kelima  bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desentralisasi asimetris yang dikenal dengan sebutan otsus dan daerah istimewa merupakan pola relasi unik antara pemerintah pusat dan daerah karena sebab-sebab khusus. Sebuah daerah menerima wewenang, lembaga, dan keuangan yang berbeda dengan daerah lain. Pola relasi ini lazim terjadi dalam negara kesatuan. Indonesia mempraktikkannya sejak 1950 ketika mengatur Yogyakarta.
Hanya saja, asimetrisme yang telah diberi ruang dalam semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia tidak menunjukkan perkembangan berarti di masa Orde Baru. Tuntutan asimetrisme menguat sebagai alternatif sejak Reformasi. Apalagi setalah dilakukannya Amandemen UUD 1945 oleh MPR, khususnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang pola hubungan pemerintah dan pemerintah daerah. Perubahan pada pasal 18 UUD 1945 memberikan perubahan yang fudamental baik secara struktur dan prosedur pelaksanaan hubungan kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Negara mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat khsusus dan istimewa {Pasal 18 B ayat (1)} beserta  kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya {Pasal 18B ayat (2) }. Akan tetapi tetap menjadi bagian yang hirarkis dan menyatu sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia {Pasal 1 ayat (1).  
Lahirnya Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan satu momentum sejarah yang cukup penting dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat Aceh, karena dengan Undang-Undang ini kita sama-sama berharap dapat mengakhiri konflik berdarah dari gerakan separatisme yang sudah menyengsarakan seluruh pihak, sehingga terbuka kembalilah pintu menuju perdamaian yang hakiki di Aceh, terciptanyan masyarakat yang madani, adil, bermatabat dan sejahtera, sekaligus sebagai wahana pelaksanaan pembangunan yang dahulu semat terpinggirkan.
UUPA sejauh ini cukup sukses dalam menyelesaikan permasalahan separatisme di Aceh, hal ini dapat kita lihat setelah adanya Otsus yang diberikan melalu UUPA, terjadi transformasi, kekuatan GAM ke dalam struktur pemerintahan modern dalam NKRI yang buahnya adalah peningkatan integrasi dan sinergitas bersama seluruh elemen. Dan tentu saja seluruh masyarakat Aceh berharap bahwa dengan adanya UUPA mampu menjadi titik pijak/fondasi untuk menciptakan Aceh yang sejahtera, coba saja kita bandingkan dengan UU Otsus Papua yang hingga saat ini masih belum mampu menjawab tuntutan pemenuhan pembangunan dan kesejateraan masyarakat serta penghapusan gerakan separatisme OPM.
Kemudian dalam urgensitas dalam aspek percepatan pembangunan maka pemberian kewenangan yang besar ini berakibat pula dengan perubahan pola financieele verhouding (perimbangan keuangan) maka secara logis otonomi khusus yang diberikan dibaregi pula dengan hubungan keuangan, yang kongkritnya Negara menyediakan sebesar 2% dari DAU Nasional selama 15 tahun dan 1% DAU Nasional untuk 5 tahun berikutnya dalam jangka waktu 20 tahun sebagaimana tersebut dalam Pasal 183 UU No. 11 Tahun 2006 untuk Pemerintah Aceh, ini merupakan kesempatan yang sangat besar bagi Aceh untuk merealisasikan percepatan pembangunan tersebut melalui program prioritas yang telah diamanatkan oleh undang-undang. Program prioritas tersebut adalah pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka Aceh diberikan beberapa kewenangan khusus, disamping kewenangan yang bersifat umum sebagaimana juga yang diperoleh oleh daerah-daerah lainnya, baik dalam bidang administratif, politik, hukum, politik hukum (legal policy), ekonomi, agama dan sosial-budaya. Secara umum substansi kewenangan-kewenangan khusus Pemerintahan Aceh seperti yang diatur dalam UUPA No 11 tahun 2006 dapat dilihat sebagai berikut:
Dalam Pasal 4 Aceh dapat membangun kawasan khusus untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas. UUPA Pasal 7 Kewenangan mengatur dan mengurus seluruh sektor pemerintahan kecuali kewenangan pemerintah pusat yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, kehakiman, keuangan, dan persoalan tertentu dalam bidang agama.
UUPA Pasal 8 Rencana persetujuan internasional dan rencana pembentukan undang-undang oleh DPR dan kebijakan administrasi yang berkaitan langsung dengan pemerintahan Aceh yang dibuat oleh pemerintah pusat memerlukan konsultasi dan pertimbangan DPRA dan Gubernur.
UUPA dalam Pasal 9 Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga di luar negeri dan dapat ikut serta secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional. UUPA Pasal 67 Afirmasi pencalonan perseorangan (independen) dalam pemilihan kepala daerah. UUPA Pasal 75 Pendirian partai politik lokal. UUPA Pasal 96 Pembentukan lembaga Wali Nanggroe yang merupakan kepemimpinan adat.
UUPA Pasal 98 Pembentukan lembaga adat bidang keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat yang terdiri dari a) Majelis Adat Aceh; b) imuem mukim; c) imuem chik; d) keuchik; e) tuha peut; f) tuha lapan; g) imuem meunasah; h) keujreun blang; i) panglima laot; j) pawang glee; k) peutua seuneubok; l) haria peukan; dan m) syahbanda.
UUPA Pasal 125 Pelaksanaan syariat Islam yang meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (undang-undang keluarga), muamalah, jinayah Islam, qadha’(hukuman dari pengadilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.
UUPA Pasal 128 Pembentukan Mahkamah Syariat Islam kepada umat Islam. UUPA Pasal 138 Pembentukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). UUPA Pasal 160 Pengelolaan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah Aceh terhadap minyak dan gas yang terletak di darat dan laut Aceh. UUPA Pasal 165 Penduduk Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi dalam negeri dan internasional.
UUPA Pasal 167 Pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang. UUPA Pasal 172 Pemerintah pusat dan pemerintah Aceh dapat mendirikan pelabuhan dan lapangan terbang umum di Aceh. UUPA Pasal 181 Pemerintahan Aceh menerima dana tambahan pembagian hasil minyak sebesar 55 persen dan gas 40 persen.
UUPA Pasal 183 Mendapatkan dana otonomi khusus untuk masa 20 tahun, dengan perincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2%. Dana Alokasi Umum (DAU) dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh jumlahnya setara dengan 1% DAU. UUPA Pasal 205 & Pasal 209 Pengangkatan Kepala Polisi Aceh yang dilakukan oleh Kepala Polisi Indonesia dan pengangkatan Kepala Jaksa Tinggi Aceh yang dilakukan oleh Kepala Jaksa Agung memerlukan persetujuan Gubernur.
UUPA  Pasal 217 Penduduk Aceh yang berumur 7 tahun sampai 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. UUPA Pasal 224 Semua anak yatim dan orang fakir-miskin berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang menyeluruh tanpa dipungut biaya. UUPA Pasal 228 Pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh. UUPA Pasal 229 Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsialisasi (KKR.).
UUPA Pasal 246, Pasal 247 & Pasal 248 Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera, lambang, dan lagu Aceh yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan. UUPA Pasal 253 Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Badan Pertanahan Aceh (BPA) dan Badan Pertanahan Kabupaten/Kota. UUPA Pasal 269 Rencana perubahan UUPA yang dilakukan oleh DPR terlebih dahulu memerlukan konsultasi dan pertimbangan DPRA.[1]
Dari 40 bab dan 206 pasal yang mengatur substansi UUPA baik dalam konteks administrasi, politik, hukum, politik hukum (legal policy), ekonomi, sosial-budaya terdapat beberapa peraturan pelaksana sebagai penjabarannya. Dimana terdiri dari 7 Peraturan Pemerintah (PP), 3 Peraturan Presiden (Perpres), 2 Keputusan Presiden (Keppres), 64 Qanun Aceh dan 12 qanun kabupaten/kota.
Penetapan peraturan-peraturan pelaksana yang menjadi kewajiban pemerintah pusat, sebagaimana dalam Pasal 271 disebutkan: “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”.Namun demikian, sampai saat ini yang sudah direalisasi oleh pemerintah baru sebatas 2 PP dan 2 PerPres sebagaimana bisa dilihat pada penjelasan berikut ini:


1.      Realisasi Peraturan Pelaksana yaitu
Ø  Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.[2] Dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh.[3]
Ø  Peraturan Presiden
Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh dan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri.[4]
3.2  Evaluasinya terhadap efektifitas kinerja pemerintah Provinsi Aceh pasca sepuluh tahun implementasi UUPA
A.    Kekhususan Provinsi Aceh, Peluang dan Tantangan.
Ada beberapa kekhususan yang menurut penulis sangat berbeda dengan daerah lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain akan penulis bagi menjadi berberapa dimensi, antara lain:
Pertama, dalam dimensi sosial dan agama Provinsi Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan Qanun[5].
Qanun itu sendiri merupaka produk hukum setingkat Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan. Pemberian kewengan khusus untuk mengimplementasikan syariat islam bagi para pemeluk agama islam di Aceh, merupakan tuntutan klasik dari masa pemberontakan Daud Bereuh hingga masa GAM, akhirnya dapat diakomordir oleh UUPA ini, dan tentu saja pelaksanaanya harus sesuai dengan kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
 Nilai-nilai tradisional dan nilai modern di Aceh terbukti dapat berdampingan satu sama lain. Walaupun Aceh merupakan daerah yang identik dengan tradisionalisme yang menguat dari budaya berdasarkan syariat Islam, namun keterbukaan terhadap pengaruh modern negara-negara maju semenjak bencana tsunami mulai meningkat, sehingga penerapan syariat islam sebagai sistem nilai di Aceh diharapakan dapat mengakselerasi konstruksi bangunan hukum dan keadilan di Aceh, kemudian yang harus diperhatikan lagi ialah posisi Qanun aceh dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, jangan samapai terjadi tumpang tindih dan kontradiksi dengan peraturan diatasnya, karena bagaimanapun, Aceh sebagai bagian integral yang tidak terpisahkan dari NKRI harus tetap tunduk kepada Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan filsafat bangsa dan hukum tertinggi yang harus dipatuhi.
Kedua, dalam dimensi politik dan pemerintahan, Pemerintah Aceh dberikan kewenangan untuk dapat membentuk partai lokal yang memiliki hak antara lain; mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh[6]. Kemudian dalam hal penetapan kebijakan Pemerintah pusat yang berkaitan langsung dengan kepentingan Provinsi Aceh maka harus melalui proses konsultasi, yaitu konsultasi dan pertimbangan DPRA dalam hal pembetukan UU oleh DPR-RI[7], kemudian dalam hal kebijakan administratif yang berkaitan langsung Pemerintahan Aceh melalui konsultasi dan pertimbangan Gubernur[8]. Yang harus digaris bawahi adalah kewengan DPRA dan Gubernur tersebut hanyalah sebatas sifatnya konsultatif dan pertimbangan.
 Untuk penentuan kebijakan finalnya tetap harus dipegang oleh pemerintah pusat, karena pada hakikatnya Pemerintahan Aceh sebagai bagian yang hirarkis didalam NKRI tidak memiliki Pouvior constituent, yaitu kewenagan untuk membentuk UUD sendiri dan membentuk organisasi pemerintahan secara mandiri, oleh karena itu segala sesuatu tetap berada dibawah dan diatur oleh pemerintah pusat dan tunduk pada tata urutan hiraki perundang-undagan sebagai bentuk konsistensi penyelenggaraan bentuk negara kesatuan di Indonesia, kewenangan  yang besar ini kita harapakan mampu menjadi medium sinkronisasi pembangunan antara pusat dan daerah, bukan justru malah kontraproduktif dan menghambat proses percepatan pembangunan nasional khususnya di Aceh.
Konsep pemberian kewengan untuk membuat partai lokal di Aceh tentu saja membawa warna baru dalam perjalanan sejarah Negara kita, betapa desain otonomi asimetrik melalui UU No.11 tahun 2006 memberikan kewenagan yang sangat luas bagi suatu daerah. Kemudian hal positif yang dapat kita cermati adalah melalui UUPA ini terjadi transformasi kekuatan yang semulanya mengidentifikasikan dirinya kedalam gerakan separatis, mengangkat senjata dan bersembunyi digunung, kini telah bermetamorfosa menjadi masyarakat yang demokratis, yang membawa perubahan aras “pertarungan” kekuasaan yang semulanya melalui senjata kini beralih melalui medium bilik suara, yang dilakukan secara LUBER dan JURDIL setiap 5 tahun sekali.
Adapun kesuksesan Partai Aceh sebagai sentra kekuatan politik di Aceh adalah sebuah kewajaran karena tentu saja simpatisan GAM akan berafiliasi dan menjadi kader dan mesin politik utama Partai Aceh, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan penigkatan budaya politik yang lebih partisipatif dan terbuka maka peta kekuatan politikpun dinamikanya akan menjadi lebih baik tanpa terkukung dengan satu kekuatan saja. Kekhawatiran atas kecendurangan untuk bertahannya sifat paternalistik dan menguatnya elitisme lokal yang bersandar pada tokoh-tokoh lokal, serta praktik money politik, tentunya dapat kita reduksi sedemikian rupa, jika kita kembali bersandar kepada pasal 77, 78 dan 79 UU 11/2006 tentang kedudukan, tujuan dan fungsi partai politik lokal Aceh, dengan menciptakan pendidikan politik masyarakat dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila menuju kesejahteraan.
Ketiga, dalam dimensi kelembagaan, Pemerintah Aceh dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan, mukim, kelurahan dan gampong. Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang dipimpin oleh Imeum Mukimatau nama lainnya. Sedangkan kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim[9]. Terdapat institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh, Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK. Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai penegak Syari’at Islam.
Dalam dimensi kelembagaan ini harus difahami bahwa organisasi tersebut muncul dan dibentuk atas kewenangan mandiri, akan tetapi diatur dalam UUPA yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Diharapkan dengan struktur organisasi pemerintahan aceh dewasa ini yang didesain untuk mampu mengawinkan pola kelembagaan tradisional dan sitem kerja organisasi modern, mampu mengikat simpul-simpul kekuatan sosial-masyarakat, penguasa dan para ulama untuk bisa bersinergi dengan baik.  Yang harus diperhatikan ialah jangan sampai lembaga-lembaga yang ada hanya hadir sebagai suatu struktur yang hanya ada secara fisik tetapi secara defacto tidak memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan tugas dan tanggungjawabnya, yang pada ujung-ujungnya hanya sekedar menggerus kuota anggaran belanja tidak langsung di APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) yang isinya hanya pengalokasian belanja-belanja rutin aparatur, dan akhirnya pembangunan infrasturuktur dan program-program untuk mengatrol kesejahteraan rakyat menjadi dinomorduakan.
Keempat, dalam dimensi keuangan. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan subsitem keuangan negara sebagai konsekuensi terhadap penyerahan-pelimpahanan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Pemberian sumber keuangan negara ini dilaksanakan berdasarkan stabilitas dan keseimbangan fiskal nasional. Pendanaan ini merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelanggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
 Atas dasar tersebutlah makan dalam UUPA juga diatur mengenai perimbangan keuangan pusat-daerah yang asimetris pula. Bagian desetralisasi asimetrik dalam dimensi fiskal ini menjadi sangat penting karena posisinya dalam organisasi pemerintahan sebagai bahan bakar untuk menjalankan mesin pemerintahan, tanpa ada desentralisasi asimetrik dalam konteks fiskal, maka pemerintahanpun tidak dapat dapat berjalan dengan baik. Adapun suntikan dana dari pemerintah kepada pemertahan aceh antaralain sebagai berikut:
1.    Adanya tambahan Dana Bagi Hasil Pertambangan Minyak Bumi. Jika pada UU No. 18 Tahun 2001, dana ini, yang disebut sebagai “tambahan penerimaan Provinsi NAD dari hasil SDA di wilayah Provinsi NAD setelah dikurangi pajak”, besarnya 55% dan akan menjadi 35% mulai tahun ke-9 setelah pelaksanaan UU, dalam UU No. 11 Tahun 2006 diubah menjadi flat 55% tanpa dibatasi waktu[10];
2.    Adanya tambahan Dana Bagi Hasil Pertambangan Gas Bumi. Jika pada UU No. 18 Tahun 2001, dana ini, yang disebut sebagai “tambahan penerimaan Provinsi NAD dari hasil SDA di wilayah Provinsi NAD setelah dikurangi pajak” besarnya 40% dan akan menjadi 20% mulai tahun ke-9 setelah pelaksanaan UU, dalam UU No. 11 Tahun 2006 diubah menjadi flat 40 % tanpa dibatasi waktu.[11]
3.    Adanya Dana Alokasi Khusus selama tahun ke-1 sampai tahun ke-15 dengan besaran 2% dari plafon DAU Nasional dan akan turun menjadi 1% setelah tahun ke-16 sampai tahun ke-20[12].
4.    Sebagian pendapatan Pemerintah yang berasal dari BUMN yang hanya beroperasi di Aceh, dengan besaran yang ditentukan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Aceh.
5.    Pengelolaan dana-dana bagi hasil diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Aceh dan tidak diatur secara rinci pembagiannya hingga ke daerah kabupaten/kota, kecuali untuk penggunaannya. Untuk tambahan Dana Bagi Hasil migas, sebesar 30% ditetapkan untuk pembiayaan pendidikan di Aceh dan 70% untuk program pembangunan yang disepakati Provinsi dan Kabupaten/Kota[13].
Mengutip perktaaan Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts abslutly, oleh karena itu pemberian kewenangan yang besar disertai dengan penggelontaran sumberdaya financial yang besar, maka tidak ada pilihan lain kecuali memperketat pengawasan serta memperjelas prosedur dan batasan kewenangan dalam mengelola sumberdaya  keuangan ini. Hal ini wajib dilakukan mengingat angka dugaan korupsi di Aceh ternyata sangat fantastis. Selama tahun 2011 terdapat 122 kasus dugaan korupsi yang terjadi di Aceh, dan potensi kerugian negara yang ditimbulkanpun tak main-main yaitu mencapai Rp 1,7 triliun. Angka tersebut menempatkan Aceh ke dalam lima besar daerah penyumbang kerugian negara terbesar akibat korupsi di Indonesia[14].
Oleh karena itu tidak ada pilihan lain selain meningkat pengawasan pengelolaan anggaran, mendorong akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana oleh Pemerintah baik pada tingkat Kab/Kota hingga tingkat Provinsi di Aceh merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar jika memang ingin otsus ini dapat membawa Aceh menjadi Provinsi yang madani.
Kemudian kami berpendapat bahwa pemberian kewangan yang begitu besar dalam hak pengelolaan keuangan dari hasil tabang dan gas bumi di aceh, bisa memacing kecemburuan antar daerah lain yang jugan memiliki sumberdaya alam yang tak kalah potensialnya seperti Riau dan Kalimantan Timur. Kebijakan “menganak emaskan” Aceh ini dapat memicu daerah lain untuk menuntut pemberlakuan otonomi khusus yang sama, karena konstitusi kita memungkinkan hal tersebut terjadi jangan sampai hal ini memancing konflik vertikal antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Hal lain yang harus dicermati adalah dana otonomi khusus yang dinakmati Pemprov Aceh bukanlah sesuatu yang sifatnya abadi, 20 tahun semenjak otosus diberikan maka penggelonotran dana stimulus tersebut akan diberhentikan, padahal faktanya APBA (APBD Provinsi) dan APBK (APBD Kab/Kota) strukturnya masih didominasi oleh dana otsus. Oleh sebab itu Aceh harus cepat tanggap untuk tidak tergantung dengan dana otsus tersebut, dana otsus harus dialokasikan untuk pembangunan infrasturuktur dan pembangunan ekonomi yang dapat menggerakan roda perekonomian di Aceh. Jika Pemerintah Aceh terlena untuk terus-terusan memanfaatkan dana otsus untuk sekedar belanja aparatur dan belanja-belanja tidak langsung, maka impian menuju Aceh yang aman dan sejahtera akan memudar.

A.    Kecenderugan Otonomi khusus Aceh, Dilema Prioritaskan Simbol atau Substansi.
Otonomi khusus Aceh yang ditasbihkan melalui UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan momentum bagi masyarakat aceh untuk mmengejar kertetnggalan yang terjadi selama ini akibat koflik dan gerakan separatisme yang mengganngu dinamika pembangunan di daerah tersebut. Memasuki babak baru pasca disepakatinya MoU antara Pemerintah Indonesia dan Agam, kita berharap seluruh elemen masyarakat segera bertransformasi menjadi bagian integral dari NKRI, menjadi masyarakat yang demokratis, adil, sejahtera, serta mampu menjembatani nilai-nilai kearifan tradisional dan syariat islam dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang modern.
Delapan (8) tahun pelaksanaan otsus di Aceh, kita dapat mencermati satu hal yang cukup mencolok yaitu betapa pemrintahan Aceh masih sibuk berkutat dengan kewenangan-kewenangan yang bersifat simbolik sehingga menduakan kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih urgen. Kita dapat berkaca pada kasus Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh yang masih belum ada titik temu hingga saat ini. Memang pada dasarnya UU No.11 tahun 2006 memberikan kewenangan kepada Pemprov Aceh untuk dapat Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh, lambang daerah, serta himne daerah sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan[15].
Akan tetapi yang disayangka adalah penetapan Bendera Aceh tersebut menimbulkan polemik yang berkepanjangan karena identik dengan bendera gerakan separatis GAM. Mendagri dan elit pusat dibuat harus bekerja ekstra untuk menetralisir permalasalahan ini. Kemelud seperti ini hanya menghabiskan energi yang seharusnya dapat digunakan untuk pelaksanaan tugas dan tanggungjawab yang timbul akibat pemberian kewenangan otsus yang jauh lebih substansial, seperti percepatan pembangunan, pemerataan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan.
Salah satu indikator bahwa Otsus masih belum dijalankan secara substansial adalah angka jumlah penduduk miskin yang tak kunjung terjadi perubahan yang berarti. Sesuai data BPS, tingkat kemiskinan Aceh pada Maret 2012 adalah 19,46% di atas rata-rata kemiskinan nasional sebesar 12,36 %. Jumlah penduduk miskin cenderung meningkat dari 861.000 jiwa pada tahun 2010 menjadi 900.000 jiwa pada tahun 2011. BPS juga mengungkapkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh pada tahun 2010 yang mencapai angka 8,60 %, lebih tinggi dari angka pengangguran Indonesia sebesar 7,41 % dan bahkan Papua (4,08 %) dan Papua Barat (7,77 %).
Alhasil, pertumbuhan ekonomi Aceh pada tahun 2012 pun mengalami penurunan. Berdasarkan data BPS Aceh, pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan III tanpa migas turun menjadi 153 % dari triwulan II yang mencapai 2,05 %. Padahal seyogyanya kewenangan dana yang begitu besar dapat digunakan oleh Pemerintah daerah untuk mengakselerasi pertumbuhan dan pemerataan kesejahteraan, hal seperti inilah yang seharusnya menjadi skala prioritas untuk segera dibenahi, bukan justru terjebak dengan perseteruan bendera, lambang dan himne daerah yang lebih bersifat simbolik tersebut.
  Salah satu contoh kongkret lainnya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Data BPS menunjukkan bahwa IPM Aceh mengalami peningkatan, namun laju perkembangannya masih tertinggal dari IPM Nasional. Pada tahun 2010, selisih IPM Aceh dengan IPM Nasional adalah 0, 57 poin. Pada tahun 2011, meningkat sebesar 0,61 poin, hingga pada tahun 2012 selisih IPM Aceh dan Nasional mencapai 0,78 poin. Ini artinya tren perkembangan IPM Aceh semakin tertinggal jauh dibandingkan dengan IPM nasional[16].
Beberapa indikator diatas cukup untuk menohok Pemerintah daerah aceh untuk kembali serius membenahi hal-hal yang lebih substansial ketimbang mempersoalkan hal-hal yang sifatnya simbolik semata.

B.     Gagasan Redesign Otonomi Khusus Aceh
Ada beberapa hal yang layak untuk kita lakukan guna mengoptimalkan jalanya otonomi khusus baik di aceh, papua maupun dearah lainnya. Yang pertama, pemerintah pusat perlu membuat regulasi yang tegas terhadap standariasasi pola koordinasi, hubungan kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten kota dibawahnya, sehingga relasi dalam membangun kemitraan guna penyusunan program kerja dan kebijakan menjadi lebih komperhensif, serta mencegah ke-otriterisme pemerintah provinsi untuk bersikap lebih superior dan sentralisti.
Kedua, Pengawasan atas penggunaan kewenangan dan dana sebgai implikasi dari otsus harus ditingkatkan, kami mengusulkan untuk dibentuk direktorat khusus di KPK yang konsen mengawasi daerah otonom khusus sehingga kebocoran anggaran dapat diminimalisir, hal ini sejalan dengan tugas KPK yang tidak hanya bergerak dihulu (penangkapan dan penyidikan) saja, tetapi juga bertanggung jawab dalam hal koordinasi dan supervisi pemberantasan korupsi.
Ketiga perlu dipertimbangkannya untuk membuat sebuah lembaga sementara (ad hoc) yang memiliki tugas dan fungsi  sebagai lembaga konsultatif bagi pemerintah daerah yang diberikan otonomi khusus, lembaga ini bertugas untuk membantu pembenahan birokrasi pada level provinsi maupun kabupaten kota, sehingga mampu menghadirkan model birokrasi yang modern yang adaptif dengan kearifan lokal. Birokrasi yang mumpuni merupakan salah satu faktor penting dalam kesuksesan pelaknaan otonomi khusus, tanpa adanya birokrasi yang modern dan sehat, maka koodinasi antar lembaga pemerintah maupun dengan aktor non-pemerintah (swasta) akan terhambat, yang eksesnya adalah kemandulan dalam membuat inofasi dan gebrakan percepatan pembangunan prioritas yang dimanatkan oleh UU Pemerintahan Aceh.
Keempat, perlu dikeluarkan regulasi pelksana yang mampu memberikan arah kebijakan pengelolaan anggaran secara tuntas dan jelas, sehingga pembagian sumberdaya keuangan serta pemanfaatannya antar pemerintah provinsi-kabupaten/kota dapat teraksana dengan baik. Pemanfaatan dana otsus harus didorong kepada investasi sumber daya manusia (pendidikan dan pelatihan), pembangunan wilayah ekonomi, pembangunan usaha mikro kecil dan menengah ditengah masyarakat dan peran koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional.
Kelima, peningkatan peran dari DPRA dan DPRK untuk melahirkan produk hukum (Qanun) yang mampu menjawab tatangan modernisme dan kearifan lokal. Serta optimalisasi peran Mahkamah Syari’ah Aceh baik pada tingkat Provinsi-Kabupaten/Kota sebagai medium untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan hukum di Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada akhirnya pemerintah harus benar-benar jeli dalam pelaksanaan otonomi khusus yang telah diberikan melalui UUPA tersebut, jangan sampai 20 tahun berlalu dana otsus terhenti, dan tidak ada perubahan berarti di Aceh, mencapai masyarakat madani bukanlah sebuah mimpi, jika berbagai pihak serius bekerja dari nuranina untuk kepentingan Bumi Serambi Mekkah ini, janga sampai pelaksanaan otsus di Aceh terjebak dengan hal-hal yang sifatnya simbolik semata sehingga melupakan hal-hal yang lebih substantif da mendesak untuk dikerjakan.
Kesimpulan
Hingga tahun keempat implementasi UUPA atau sejak tahun 2006 masih terdapat polemik yang berdampak positif dan negatif bagi pelaksanaan pemerintahan Aceh. Hal ini merupakan konsekuensi dari kelemahan kewenangan khusus Aceh yang diatur dalam UUPA secara tidak tegas, bergantung dan bersayap. Antara lain,
pertama, tidak disebutkannya secara eksplisit istilah self government Aceh baik dalam MoU maupun UUPA, meskipun secara implisit substansi UUPA menyerupai prinsip pelaksanaan self government.
Kedua, secara politik hukum (legal policy), kewenangan pemerintahan Aceh yang berkaitan dengan politik dan perekonomian masih harus diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksana dari pemerintah bukannya dengan qanun.
Ketiga, kebijakan administrasi pemerintah dan persetujuan internasional di Aceh yang memerlukan “konsultasi dan persetujuan” Gubernur dan DPRA menjadi “berdasarkan konsultasi dan pertimbangan”. Contoh Pasal 8 ayat (3), berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pembentukan atau pemekaran wilayah yang harus berdasar pada konsultasi dan pertimbangan gubernur. Padahal Pasal 5 UU 32/2004 disebutkan bahwa syarat administratifnya harus melalui persetujuan DPRD, Gubernur dan rekomendasi dari Mendagri.
Keempat, masih adanya pengawasan pemerintah pusat secara represif terhadap Qanun Aceh dan peraturan kepala daerah, sebagaimana Pasal 235 yang bisa kita jadikan contoh. Dan,
kelima, dualisme dasar hukum di Aceh dimana UUPA tetap berlaku namun juga harus mengikuti peraturan perundang-undangan lain yang berlaku secara umum. Undang – Undang no 11 tahun 2006 (UU 11/2006) lahir sebagai komitmen bersama atas perdamaian antara Pemerintahan RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk mewujudkan kesejahtaraan dan perdamaian abadi serta memperjelas kedudukan dan fungsi Naggroe Aceh Darussalam sebagai salah satu provinsi yang memiliki otonomi khusus di Indonesia.
UU 11/2006 yang berisi tentang pengaturan-pengaturan, seperti 1. Kewenangan Khusus, 2. Lembaga di Daerah, 3. Gubernur Aceh, 4. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Kabupaten/Kota ( DPRA/K ), 5. Partai Politik Lokal, 6. Wali Nanggroe, 7. pengakuan terhadap Lembaga Adat, 8. Syari’at Islam, 9. Mahkamah Sya’iyah, 10.Pengadilan HAM di Aceh, 11. Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) di Aceh, 12. Pengelolaan Sumber Daya Alam, 13. Keuangan, 14. Pertanahan. Ternyata dalam implementasi dari setiap pasal-pasalnya masih jauh dari yang diharapkan. Masih banyak kinerja yang kurang baik dan tidak maksimal dan proses penyelenggaraannya yang masih lambat dan sarat akan korupsi.
 Jika menilik dan mendalami setiap pasal demi pasal, maka akan dijumpai masih banyak tugas dan tanggung jawab pemerintahan Aceh yang diamanatkan di dalam UU 11/2006 yang berjalan tidak optimal, seperti fungsi DPRA yang tidak maksimal. Sebagai contoh fungsi budgeting yang dimiliki DPRA yang terbilang lambat dalam merumuskan RAPBA sehingga pembangunanpun ikut terbengkalai akan keterlambatan tersebut, kemampuan legislasi yang masih lemah dalam hal mengadakan paripurna terhadap 31 rancangan Qanun prioritas yang telah dibuat sebelumnya, dan fungsi pengawasan yang kurang signifikan karena masih satu fokus pengawasan yaitu fokus pengawasan insfrastruktur. Jelas ini masih jauh dari yang digagas pada pasal 22. No 11/2006.

    Dalam BAB VII Pasal 23. UU No 11 tahun 2006 dijelasakan bahwa melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lain. Nah, dalam hal ini DPRA memilik kewenangan mengawasi kinerja Qanun. Fakta di lapangan yang menunjukkan masih banyaknya anggota parlemen Aceh yang kurang disiplin baik menyangkut dengan kehadiran dalam persidangan, pertemuan/audiensi maupun rapat-rapat lainnya. Menjadi indikator masih rendahnya funsi pengawasan DPRA terhadap Qanun.
 UU 11/2006 juga sarat akan korupsi terbukti kasus korupsi di serambi mekah itu mencapai 141 kasus yang masih mengambang di kejaksaan, 43 kasus diantaranya tahap penuntutan dan 54 lainnya tahap penyidikan. Sebanyak 56% responden menyatakan bahwa Pemprov Aceh tidak efektif dalam usaha memberantas korupsi selama periedesasi pemerintahan Aceh (2006-2011).
Permasalahan politik lokal Aceh seperti seperti sifat paternalistik dan menguatnya elitisme lokal yang bersandar pada tokoh-tokoh lokal, serta praktik politik uang, tentunya harus mampu diatasi dengan merujuk kembali kepada pasal 77, 78 dan 79 UU 11/2006  tentang kedudukan, tujuan dan fungsi partai politik lokal Aceh, dengan menciptakan pendidikan politik masyarakat dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila menuju kesejahteraan








Daftar Pustaka
Prang, A. J. (2008). Qanun Parlok Batal, Selanjutnya, Serambi Indonesia edisi 6 Agustus 2008 dan edisi 1 Agustus 2008.
-------------- (2010). UUPA Makin Runyam, Serambi Indonesia edisi 5 Januari 2010.
Peraturan Pemerintah tentang Partai Politik Lokal di Aceh, PP No. 20 Tahun 2007, LN No. 43 Tahun 2007, TLN No. 4708.
Peraturan Pemerintah tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian
Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh, Perpres No. 58 Tahun 2009, LN No. 135 Tahun 2009.
Modeong, S. (2003). Teknik Perundang-Undangan di Indonesia, Jakrta: Penerbit Perca.
Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU No. 18 Tahun 2001, LN No. 114 Tahun 2001, TLN No. 4134.
Undang-Undang Pemerintahan Aceh, UU No. 11 Tahun 2006, LN No. 62 Tahun 2006, TLN No. 4633.
Hikmawan Syahputra, dkk “Meneropong Efektifitas Fungsional DPRA, Partai Politik Lokal, Pengawasan Qanun Hingga Korupsi Di Aceh” diakses di https://hikmawansp.wordpress. Tanggal 28 Desember 2015. Pukul 12.00 WIB.
 Sumber dari internet.



[1] Lihat dan Buka Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tantang Pemerintah Aceh Selanjutnya di sebut Aceh (UUPA No 11 Tahun 2006).
[2] Lihat Peraturan Pemerintah tentang Partai Politik Lokal di Aceh, PP No. 20 Tahun 2007, LN No. 43 Tahun 2007, TLN No. 4708. Dimuat dalam www.setneg.go.id
[3] Peraturan Pemerintah tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh, PP No. 58 Tahun 2009, LN No. 135 Tahun 2009.
[4] Lihat Briefing paper The Aceh Institute Quarterly Report-II Februari 2010 Sumber data dari www.setneg.go.id diakses oleh penulis pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 23.00 WIB.
[5] Lihat: Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 2006
[6] Lihat: Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun 2006
[7] Lihat: Pasal 8 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006
[8] Lihat: Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006
[9] Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2006
[10] Ibid, 16
[11] Pasal 181 ayat (3) poin b UU 11 Tahun 2006
[12] Pasal 183 ayat (2) UU 11 Tahun 2006
[13] Pasal 182 UU 11 Tahun 2006
[14] Pasal 182 UU 11 Tahun 2006
[15] Pasal 246 Ayat (1), (2), (3), dan (4) UU No.11 Tahun 2006
[16]http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=26&notab=2




[1] Lihat Pasal 18 UUD 1945 pasca Amandemen Ke-IV
[2] UUD 1945 18B ayat 1
[3]Lihat UUPA No 11 Tahun 2006
[4] Lihat Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua UU No 21 Tahun 2001
[5] Lihat Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945.
[6] Syahda Guru LS , Menimbang otonomi vs federal, PT.Remaja Rosdakarya Bandung:2000, hal.184
[7] Ibid, 3
[8] Aris Arif Mudayat. Ulema dan Uleebalang di Aceh! Konsistensi ideologi islam. Dalam kisah dari kampung halaman, masyarakat suku, agama resmi dan pembangunan. Jakarta interfdei 1996. Hal.206
[9] Syamsudin Haris et.al Indonesia di Ambanng Perpecahan, Jakarta: Erlangga. 1999, hal.43
[10] Sebutan bagi Prov.Aceh