Mohd Hadidi, S.Sy, MH
Makalah Sebagai Syarat Khusus Seleksi Calon Tenaga Profesional
Baitul Mal Kabupaten Simeulue
Sebagaimana kita ketahui, pelaksanaan syariat Islam di Aceh merupakan amanah undang-undang, sehingga menjadi kewajiban bagi setiap masyarakat muslim baik pemerintah maupun lainnya, untuk menjadikannya lebih konkret. Realitas tersebut telah berkembang seiring dengan hadirnya berbagai peraturan perundang-undangan sebagai aspek penting perwujudannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan tonggak baru pelaksanaan syariat Islam di Aceh, karena undang-undang tersebut merupakan undang-undang Otonomi Khusus telah menyatakan secara tegas bahwa Aceh diberi kesempatan melaksanakan syariat Islam secara kaffah.
Salah satu aspek penting syari’at Islam adalah mengurus zakat karena otoritas pengelolaan zakat berada pada tangan penguasa, baik mengumpulkan maupun mendistribusikannya. Peraturan tersebut telah dilaksanakan berdasarkan Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat yang telah merubah tatanan perzakatan dari segi sistem BAZIS menjadi Baitul Mal. Otoritas ini kemudian dilanjutkan dengan lahirnya Qanun Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal.
Zakat mempunyai posisi yang penting dalam Islam, bahkan zakat ini merupakan salah satu dari rukun Islam, disamping shalat, puasa dan haji.Kedudukan zakat sejajar dengan kedudukan sholat, dalam Al-qur‟an tidak kurang dari 28 ayat yang menyebutkan perintah shalat diiringi pula dengan perintah zakat, diantaranya dalam surat Al-Baqarah ayat 43, yaitu :
Artinya : “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku‟lah beserta orangorang yang ruku‟.(Q.S.Al-Baqarah : 43)
Zakat bukanlah sebatas rukun Islam yang wajib ditunaikan secara ritual saja. Zakat adalah sebuah sistem ekonomi dan sosial yang harus diimplementasikan untuk menanggulangi kemiskinan dan kesenjangan sosial, antara si miskin dan kaya dalam komunitas atau negara Muslim. Zakat bukan merupakan bentuk belas kasihan atau pemberian secara sukarela orang kaya kepada mereka yang miskin dan juga bukan bentuk penghinaan diri orang fakir miskin. Karena, pada dasarnya mekanisme zakat itu dipungut dan didistribusikan oleh pihak pemerintah atau penguasa dalam sistem pemerintahan Islam dan menjadi wakil bagi fakir dan miskin untuk mengumpulkan zakat dari yang kaya.
Secara empiris, kesejahteraan sebuah negara karena zakat terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Meskipun beliau hanya memerintah selama 22 bulan karena meninggal dunia, negara menjadi sangat makmur, yaitu dengan pemerintahan yang bersih dan jujur, dan zakat ditangani dengan baik. Kala itu negara yang cukup luas hampir sepertiga dunia, tidak ada yang berhak menerima zakat, karena semua penduduk muslim sudah menjadi muzakki.
Itulah pertama kali ada istilah zakat ditransfer ke negeri lain, karena tidak ada lagi yang patut disantuni. Jelas keberhasilan khalifah Umar bin Abdul Aziz pada saat itu tidak hanya dengan menggunakan zakat dalam arti harfiah materil semata, tetapi merupakan kebijakan yang memberikan perhatian yang tinggi pada pengelolaan zakat. Zakat pada kepemimpinan beliau dijadikan tolok ukur akan kesejahteraaan masyarakat, baik jumlah orang yang berzakat, besar zakat yang dibayarkan, maupun jumlah penerima zakat.
Berbeda dengan tolok ukur lain yang cenderung bias. Tolak ukur zakat sebagai pengatur kesejahteraan benar-benar bisa dijadikan pedoman standar, baik dalam konteks ekonomi mikro maupun makro. Disinilah zakat berperan sebagai ibadah harta berdimensi sosial yang memiliki posisi penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi pelaksanaan ajaran Islam, maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Khalifah Abu Bakar mengultimatum perang terhadap kelompok yang hanya shalat, namun tidak mau berzakat sepeninggal Rasulullah. Atas dasar kepentingan inilah, sampai sahabat Abdullah bin Mas‟ud menegaskan bahwa orang yang tidak berzakat, maka tidak ada shalat baginya.
Beranjak pada potensi zakat di Indonesia, menurut perhitungan yang dibuat oleh Asian Development Bank (ADB)potensi zakat di Indonesia bisa mencapaiRp 500 Triliun. Sebuah angka yang sangat besar, potensi zakat yang besar ini harus digali secara serius agar menjadi kekuatan ekonomi masyarakat yang nyata. Potensi zakat yang sangat besar ini, tidak terlepas dari pembangunan ekonomi Indonesia. Pembangunan ekonomi telah mampu meningkatkan pendapatan penduduk Indonesia secara berarti. Peningkatan pendapatan dan taraf hidup sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, tentu telah membuat potensi pembayaran zakat semakin besar pula.
Jika pemasukan zakat di Indonesia sangat tinggi kemudian dikelolah dengan profesional dalam bentuk program-program pengentasan kemiskinan, seperti pendirian perusahaan sebagai lapangan kerja, bemberian modal usaha, pelatihan peningkatan ketrampilan kerja dan lain sebagainya, Maka zakat dapat membantu mengatasi berbagai masalah sosial, terutama kemiskinan dan keterbelakangan di kalangan masyarakat Muslim. Jika potensi riil ini kemudian dipadukan dengan upaya-upaya pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, maka insya Allah kemiskinan di Indonesia akan dapat lebih cepat teratasi.
Namun Dalam konteks di Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh, posisi Baitul Mal sendiri belum menemukan jati dirinya sebagai lembaga keuangan ummat yang paling terdepan. Orang lebih suka berhubungan dengan bank, asuransi, pegadaian, untuk urusan keuangan mereka, ketimbang dengan Baitul Mal. Padahal posisi Baitul Mal dalam sejarah Islam sama persis dengan posisi Bank Sentral. Karena dengan sedemikian kuatnya keinginan ummat untuk berurusan dengan bank, asuransi, pegadaian, maka beberapa sistem keuangan merekapun disyariatkan. Walhasil, warisan Islam yang paling otentik yakni Baitul Mal dikesampingkan, hanya dalam bidang pengelolaan zakat, infak, sedekah dan wakaf saja. Padahal, tujuan dibentuknya Baitul Mal adalah karena Baitul Mal mempunyai peranan yang cukup besar sebagai sarana tercapainya tujuan negara serta pemerataan hak dan kesejahteraan kaum muslim.
Pembentukan lembaga pengelola zakat di Provinsi Aceh dengan nama Baitul Mal merupakan salah satu bentuk implementasi UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang selanjutnyadiperkuat dengan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal, yang merupakan amanah pasal 191 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 menetapkan bahwa Baitul Mal Provinsi Aceh adalah sebuah lembaga daerah non struktural yang memiliki kewenangan Pembentukan Badan Baitul Mal di Aceh tahun 2003 adalah sebagai bagian dari pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. Kepgub Nomor 18/2003 Pasal 6 lebih diperjelas fungsi Baitul Mal, sehingga dapat diketahui bahwa fungsi Baitul Mal tidak seluas otoritas keuangannegara.
Kehadiran Baitul Mal di Aceh sebatas pengelolaan harta agama dan formulasi ulang kewenangan BPHA atau BHA, ditambah dengan muatan ketentuan UU Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Untuk dapat melaksanakan tugas dalam Kepgub tersebut, Badan Baitul Mal mempunyai fungsi: pengumpulan zakat; penyaluran zakat; pendataan muzakki dan mustahik; penelitian tentang harta agama; pemanfaatan harta agama; peningkatan kualitas harta agama dan pemberdayaan harta agama sesuai dengan hukum syariat Islam untuk mengelola dan mengembangkan zakat, waqaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat, serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan atau pengelola harta warisan yang tidak memiliki waliberdasarkan syariat Islam. Baitul Mal dibagi kedalam empat tingkat, yaitu tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kemukiman, dan Gampong. Harta agama (yang termasuk juga zakat) merupakan tugas utama Baitul Mal mengelolanya.
Terdapat sebuah kenyataan di Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh masyarakatnya 100% mayoritas muslim, banyak penduduknya yang kaya dengan indikasi mereka memiliki lahan Pertanian Padi, Kelapa Sawit, Kebun cengkeh, kebun kelapa,peternakan Kerbau, Sapi, kambing dan lain sebagainya, hal ini menunjukkan potensi zakat pada kabupaten ini cukup besar. selain itu, di kabupaten ini terdapat sebuah Lembaga Amil Zakat yang disebut dengan Baitul Mal Kabupaten Simeulue. Namun, salah satu tantangan terbesar bagi Baitul Mal Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh dalam mengelola dana zakat saat ini adalah ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) yang kompeten dan profesional yang masih sangat terbatas. Mengingat Dengan terus tumbuh dan berkembangnya jumlah penerimaan zakat, infaq, dan sedeqah dari tahun ke tahun, maka keberadaan sumber daya manusia berkualitas menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk dipenuhi.
Meskipun pembenahan sekarang ini di Baitul Mal Kabupaten Simeulue sedang melakukan meningkatkan kualitas SDM yang target orientasi utamanya adalah untuk menghimpun dan menjaring SDM yang Kompeten dan Profesional guna untuk menyiapkan SDM Baitul Mal Kab. Simeulue yang berkualitas unggul dan profesional dibidangnya serta memiliki soft skill dan hard skill yang mumpuni. Diharapkan menjadi salah satu indikator kompetensi SDM Baitul Mal Kabupaten Simeulue sebagai amil zakat setidaknya ditunjukkan dari kemampuan, keahlian dan penguasaannya terhadap bidang kerja yang digeluti. Mengingat kompetensi SDM ini akan sangat membantu dalam program dana zakat, infaq dan Sedeqah untuk meningkatkan kemandirian ekonomi mustahik setiap tahunnya. Sehingga komitmen dan kompetensi SDM amil zakat di Baitul Mal Kabupaten Simeulue harus tetap ditingkatkan melalui kemampuan, keahlian dan penguasaannya terhadap bidang kerja yang digeluti.
Dari latar belakang masalah di atas pemakalah merasa tertarik untuk menyusun sebuah makalah sebagai syarat khusus Seleksi Calon Tenaga Profesional Baitul Mal Kabupaten Simeulue dengan mengangkat judul : “Tinjauan Hukum Peran SDM Baitul Mal Dalam Upaya Pemberdayaan Bagi Masyarakat Miskin di Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh"
A. Permasalahan
1. Bagaimana peran SDM Baitul Mal dalam upaya pemberdayaan masyarakat
Miskin di Kabupaten Simeulue?
2. Bagaimana pola penyaluran dana Baitul Mal dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin di Kabupaten Simeulue
B. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui peran SDM Baitul Mal dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin di Kabupaten Simeulue
2. Bagaimana pola penyaluran dana Baitul Mal dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin di Kabupaten Simeulue
I. KERANGKA KONSEPTUAL
Konsep adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digenerasikan dari hal-hal yang khusus. Sedangkan pola konsep adalah seragkaian konsep yang dirangkai dengan dalil-dalil hipotesis dan teoritis. Suatu konsep juga dituntut untuk mengandung suatu arti, suatu bunyi yang dikeluarkan oleh manusia tetapitidak mengandung pesan apa-apa kepada orang lain tidaklah dapat disebut konsep.
1. Baitul Mal adalah Lembaga Daerah Non Stuktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemashlahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan syariat Islam
2. Masyarakat miskin Masyarakat miskin adalah suatu kondisi dimana fisik masyarakat yang tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan pemukiman yang jauh di bawah standart kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu yang mencakup seluruh multidimensi, yaitu dimensi politik, dimensi social, dimensi lingkungan, dimensi ekonomi dan dimensi asset.
3. Pemberdayaan adalah upaya yang membangun daya masyarakat dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran dan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya., termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan social dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain transfer daya dari lingkungan
Jika diperhatikan proses terjadinya kemiskinan dalam suatu masyarakat selain dari faktor internal selain pemalas sebagai dari akibat dari nilai-nilai dan budaya yang dianut oleh kaum miskin itu sendiri, juga disebabkan karena tertahannya hak milik mereka di tangan orang-orang kaya. Salah satu alat untuk memutusnya adalah zakat yag dapat dijadikan modal usaha dalam mengantisipasi secara dini agar tidak terjatuh dalam kemiskinan. Dengan sikap orang kaya yang menahan zakat tersebut, maka modal dan kekayaan akan bertumpuk di lingkungan orang-orang kaya saja. Hal tersebut merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan. Dengan pengelolaan zakat yang baik diharapkan dapat membantu mengurangi tingkat kemiskinan.
Jika melihat perkembangan pembangunan zakat infaq dan sadaqah di tanah air, telah tumbuh berbagai macam lembaga pengelola zakat yang berusaha mengedepankan prinsip-prinsip manajemen modern dalam prakteknya. Diantara lembaga yang menjadi pionirnya adalah Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dalam taraf nasional dan Baitul Mal dalam lingkup daerah Aceh. Baitul Mal sebagai sebuah lembaga zaka, memiliki jaringan kerja yang sangat luas, meliputi kabupaten kota yang ada di Provinsi Aceh.
Program-program yang ditawarkannya pun sangat variatif dan inovatif. Zakat memiliki kontribusi dan solusi dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan serta pemerataan pendapatan masyarakat suatu negara. Zakat dalam bidang sosial bertindak sebagai alat khas yang diberikan kepada Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan si kaya akan tanggung jawab sosial yang mereka memiliki.
Pengurangan tingkat kemiskinan juga bisa ditempuh dengan memacu pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan masyarakat. Pendapatan yang semakin tinggi secara tidak langsung dapat mengurangi tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Syaratnya adalah hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut menyebar di setiap golongan masyarakat, termasuk golongan penduduk miskin. Sehingga apabila pemberdayaan masyarakat miskin yang dilakukan oleh baitul mal berjalan dengan baik maka akan memberikan dampak yang luar biasa dalam kehidupan masyarakat.
II. ANALISIS
Analisis hukum Menurut Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2018 menetapkan bahwa Baitul Mal Aceh adalah sebuah lembaga daerah non struktural yang memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, waqaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat, serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan atau pengelola harta warisan yang tidak memiliki wali berdasarkan syariat Islam. Baitul Mal dibagi ke dalam empat tingkat, yaitu tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kemukiman, dan Gampong. Harta agama (yang termasuk juga zakat) merupakan tugas utama Baitul Mal mengelolanya. Hal ini dapat dilihat pada Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 18/2003 Pasal 5: “Badan Baitul Mal mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan zakat danpemberdayaan harta agama, sesuai dengan hukum syariat Islam.
Dalam Keputusan Gubernur Aceh (Kepgub Nomor 18/2003 ) Pasal 6 lebih diperjelas fungsi Baitul Mal, sehingga dapat diketahui bahwa fungsi Baitul Mal tidak seluas otoritas keuangan negara. Kehadiran Baitul Mal di Aceh sebatas pengelolaan harta agama dan formulasi ulang kewenangan BPHA atau BHA, ditambah dengan muatan ketentuan UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Untuk dapat melaksanakan tugas dalam Kepgub tersebut, Badan Baitul Mal mempunyai fungsi: pengumpulan zakat; penyaluran zakat; pendataan muzakki dan mustahik; penelitian tentang harta agama; pemanfaatan harta agama; peningkatan kualitas harta agama dan pemberdayaan harta agama sesuai dengan hukum syariat Islam.
Kemudian Dalam Peraturan Bupati Simeulue (Perbub) Nomor 33 tahun 2019 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Baitul Mal Kabuapten Simeulue dalam Pasal I Ayat (6) berbunyi Baitul Mal adalah lembaga keistimewaan dan kekhususan pada pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/kota yang dalam pelaksanaan tugasnya bersifat independen berwenang untuk menjaga, memelihara, megelolah dan mengembangkan zakat, infak, harta wakaf, dan harta keagamaan lainnya, dan pengawasan perwalian berdasarkan syaraiat Islam.
Kemudian sedikit analisis terkait dengan Tenaga Perofesional Baitul Mal Kabupaten Simeulue lebih lanjut di Pasal 1 ayat (11) berbunyi tenaga profesional adalah tenaga non PNS yang diangkat sebagai kariyawan karena keahliannya dan bertugas membantu sekretariat menjalankan tugas pengelolaan dan pengembangan. Kemudian Pasal 31 Ayat (2), dalam rangka mendukung pelasanaantugas dan fungsi sekretariat Badan BMK dapat diangkat tenaga Profesional yang ditentukan berdasrkan ketentuan, antara lain, bidang ekonomi syaraiah, bidang akutansi Syariah (Zakat), bidang hukum, teknik sipil, arsitektur, bidang dakwah, bidang teknik informatika, dan bidang lainnya.
Maka Baitul Mal Kabupaten Simeulue adalah lembaga non stuktural yang di beri kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemashlahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarakan syariat Islam.Oleh karena itu untuk menjawab dan memenuhi kebutuhan masyarakat aceh khususnya masyarakat Kabupaten Simeulue maka di bentuklah sebuah badan yang berada di bawah pengawasan Dewan syariah yakni Baitu Mal Kabupaten Simeulue yang beralamatkan di jln. Baru Kamplek Perumahan Pemda Simeulue No. 10 Desa Suka Karya Kac.Simeulue Timur Kabupaten Simeulue.
Terkait analisis bagaimana peran SDM Baitul Mal dalam upaya pemberdayaan masyarakat Miskin di Kabupaten Simeulue yaitu Peran dan fungsi SDM BMK atau amil zakat baitul malsangat menentukan dalam keberhasilan pengelolaan zakat yang meliputi penghimpunan / penarikan, pengelolaan, pendistribusian zakat pelaporan dan pencatatan. Dalam hal ini jika amil / panitia zakat melakukan kesalahan dalam kerjanya seperti tidak amanah, tidak profesional, dan tidak transparan sehingga dapat mengurangi keparcayaan masyarakat / umat terhadap amil tersebut, maka apabila rasa kepercayaan masyarakat pada amil sudah hilang maka eksistensi amil pun akan hilang, karena tidak ada lagi muzakki yang mau menyalurkan zakatnya ke amil tersebut. Pengelolaan zakat harus ditangani sedemikian rupa sehingga para wajib zakat percaya dan yakin betul tentang penyaluran zakatnya
Mengingat, kita ketahui, dalam pembagian zakat amwal di Baitul Mal dapat dibagi menjadi kepada 8 kelompok (Ashnaful Tsamaniyyah sebagiamana tuntunan dalam surat At Taubah 60). Sehingga untuk memudahkan tasyaruf dijadikan 2 kelompok besar
yaitu :
a. Dhu‟afa yaitu :
1) Fuqara : faqir
2) Masakin : miskin
3) Gharimin : orang-orang yang terlilit hutang
4) Riqab : untuk memerdekakan budak
5) Ibnu Sabil : orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan kehabisan bekal.
b. Sabilillah yaitu :
1) Amillin : pengurus zakat
2) Muallaf qulubuhum : muallaf yang dibujuk hatinya
3) Fi Sabilillah : untuk jalan allah
Dalam situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat muslimin normal, kedua kelompok besar tersebut seimbang, sama-sama penting, tak ada yang lebih atau kurang penting untuk diurusi, disantuni dan dibina. Karena itu bagian kelompok dhuafa‟ dijatah 50 % dan kelompok sabilillah juga dijatah 50 %. Namun Bila kondisi darurat bisa diambil kebijakan kusus, contohnya bila terkena musibah bencana alam besar, untuk dhuafa‟ 90 % dan sabilillah 10 %. Sebaliknya bila untuk menyelamatkan tanah untuk menghadapi salibiyah misalnya, maka sabilillah 80 % dan dhuafa‟ 20 %. Hak kelompok sabilillah 50 % itu, sebagai perkiraan atau ancar-ancar untuk amilin 10 % (untuk operasional Baitul Mal Simeulue bidang administrasi, akomodasi, konsumsi, sewa ongkos / upah, honorarium amilin, dan lain-lain yang rasional). Bisa diubah ke arah yang positif. Sisa 40 % untuk sabilillah, seluruhnya dikelola oleh pimpinan cabang sebagai pemegang dakwah di semua aspek).
Selanjutnya hak kelompok dhuafa‟ sesuai tujuan pemerataan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan mengentaskan ekonomi mereka, maka tasyarufnya diatur dan diarahkan demikian :
a) Bila kondisi sosial ekonomi normal, maka dhuafa konsumtif 30 % dan untuk dhuafa‟ produktif 70 %.
b) Bila keadaan darurat untuk dhuafa‟ konsumtif 70 % dan untuk dhuafa‟ produktif 30 %
c) Dalam kondisi normal dan mungkin karena tuntunan muzakki, untuk dhuafa‟ konsumtif maksimal 50 % Penetapan ini berdasarkan wawasan masa depan
Terkait bagaimana pola penyaluran dana Baitul Mal dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin di Kabupaten Simeulue SDM Baitul Mal kabupaten Simeulue harus memastikan Dana Dana zakat harus benar-benar sampai kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Baitul Mal Simeulue sebagai amil zakat yang jujur, amanah, transparan dalam menjalankan tugasnya dalam pembagian dana zakat memiliki wewenang dalam pendistribusiaanya, hal ini Sebelum disalurkan didahului dengan rapat pleno pra pendistribusian yang dihadiri oleh pengurus amil (Baitul Mal Kabupaten Simeulue), serta para tokoh ulama / masyarakat.
Dengan mengacu pada kebijakan Baitul Mal Kabupaten Simeulue dalam pendistribusiannya agar tepat guna dan tepat sasaran, untuk dapat mencapai tujuan zakat sebagai wujud pengentasan kemiskinan. Sistem pembagian zakat amwal di Baitul Mal Kabupaten Simeulue harus sesuai dengan kebijakan yaitu penyaluran dalam 2 bentuk berupa penyaliran konsumtif (dalam bentuk santunan tunai) dan produktif (modal usaha yang dipinjamkan bagi faqir-miskin berupa uang modal atau alat usaha). Para dhu‟afa disantuni secara tepat guna sehingga dengan kesadaran dan kemampuan sendiri untuk dapat mengentaskan diri dari kondisi kemiskinan dan menderita berkepanjangan.
Oleh karena itu Baitul Mal Kabupaten Simeulue dalam pendistribusian zakat sebaiknya untuk kelompok dhuafa mempunyai tujuan pemerataan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan mengentaskan ekonomi mereka, dengan tasyaruf yaitu :
ü Bila kondisi sosial ekonomi normal, maka dhuafa konsumtif 30 % dan untuk dhuafa‟ produktif 70 %.
ü Bila keadaan darurat untuk dhuafa‟ konsumtif 70 % dan untuk dhuafa‟ produktif 30 %
ü Dalam kondisi normal dan mungkin karena tuntunan muzakki, untuk dhuafa‟ konsumtif maksimal 50 %
Menurut analisis penulis dana yang masuk ke Baitul Mal Kabupaten Simeulue perlu dibagikan secara seimbang antara pengunaan secara produktif dan konsumtif. Padahal menurut ketentuan pedoman yang berlaku jumlah produktif lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan konsumtif. Dana yang dikonsumsi secara konsumtif tidak banyak membantu pertumbuhan ekonomi faqir-miskin penerima bantuan, malah menumbuhkan rasa ketergantungan faqir-miskin terhadap bantuan zakat atau orang lain. Dengan ditambahnya jumlah dana bantuan modal yang diperuntukkan bagi faqir-miskin maka akan lebih banyak kaum miskin yang tertolong, dapat berusaha mandiri untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya tanpa terus menggantungkan hidupnya pada zakat atau orang lain dengan mengharap belas kasihan meminta-minta pada orang lain.
Jangan sampai sebagian besar dana yang dijatah buat faqir miskin di Baitul Mal Kabupaten Simeulue masuk untuk dibagikan secara konsumtif. Padahal distribusi konsumtif hanya bisa memenuhi kebutuhan sesaat faqir-miskin, sehingga dikhawatirkan dapat membuat ketergantungan dengan meminta belas kasihan. Tetapi jika distribusi bagi usaha produktif diperbanyak jatah uangnya maka secara tidak langsung juga akan dapat membantu banyak faqir miskin untuk dapat berusaha mandiri sehingga bisa lepas dari jeratan kemiskinan, dengan demikian mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Karena dengan berputarnya uang dari orang miskin satu ke orang miskin lain secara bergilir dapat dijadikan modal oleh mereka sehingga dapat membantu perekonomian mereka.
Untuk itu, diharapkan Baitul Mal Kabupaten Simeulue juga memprioritaskan pembagian zakat mana faqir-miskin yang perlu diberikan secara konsumtif dan mana yang bisa diberikan secara yang diberikan secara produktif. Sehingga Baitul Mal Kabupaten Simeulue harus tahu betul mengenai anggota masyarakat yang pantas menerima atau tidak, dalam menilai harus seobyektif mungkin, tidak hanya berdasarkan laporan tanpa dukungan data / alasan yang tepat yang dapat diterima akal. Disinilah fungsi dari dewan pertimbangan untuk mengolah nama-nama faqir-miskin yang pantas mendapatkan bantuan tunai atau pinjaman modal usaha.
III. PENUTUP
Dari paparan tulisan makalah ini maka pembahasan tersebut di atas,diharapkan sesuai dengan tujuan makalah ini yaitu Untuk mengetahui peran SDM Baitul Mal dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin di kabupaten Simeuluedan Bagaimana pola penyaluran dana Baitul Mal dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin di Kabupaten Simeulue
A. Kesimpulan
1. SDM Baitul Mal Simeulue harus terus meningkatkan kompetensi dan profesionalitasnya sehingga mampu berperan secara kompeten , akuntabel dan profesional dalam malaksanakan tugasnya dalam menyalurkan dana zakat yang terhimpun di Baitul Mal Simeulue baik itu didistribusikan untuk yang bersifat konsumtif maupun yang produktif, hal ini indikatornya terus dapat dilihat dari program-program SDM Baitul Mal Simeulue khususnya program-program yang akan dilaksanakan.
2. Pola penyaluran dana zakat di Baitul Mal Simeulue adalah dengan cara menentukan sasaran, siapa yang akan diberikan dana zakat, dalam hal ini sesuai tujuan Baitul Mal Simeulue sehingga dapat mencapai sasaran delapan asnaf yang berhak menerima zakat sehingga zakat tersbut menjadi tepat guna dan tepat sasaran. Kemudian menuangkan dalam beberapa program-program yang di bentuk oleh Baitul Mal Simeulue. Dari program-program itulah, dana zakat yang terkumpul tersebut diangarkan atau dibagikan ke program-program Baitul Mal Simeulue, berapa dana zakat untuk program peduli pendidikan, program pemberdayaan masyarakat miskin berusaha, program untuk pendampingan dan pembinaan SDM sehingga apa yang dilakukan oleh Baitul Mal Simeulue dkedepan diharapkan dapat menekan pertumbuhan kemiskinan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kabupaten Simeulue Aceh.
B. Saran
1. Semoga Baitul Mal Simeulue mengumpulkan dana zakat lebih banyak, sehingga nantinya dana zakat tersebut dapat untuk pemberdayan ekonomi produktif bagi masyarakat miskin penerimah zakat di Kabupaten Simeulue
2. Diharapkan SDM Amil Baitul Mal Simeulue dalam menyalurkan dana zakat pemanfaatanya juga lebih ditujukan kearah produktif untuk pemberdayaan usaha masyarakat miskin, karena pemanfaatan dari segi produktif masih sedikit, lebih banyak kearah konsumtif.
Daftar Pustaka
Abu Bakar, Alyasa', (2004), Syari'at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan Cet. I; Banda Aceh: Dinas Syari'at Islam, 2004.
Abdul Maman,. (2012) “Hukum Ekonomi Syariah”, Jakarta: Kencana.
Cecep Maskanul Hakim, (1995)”Konsep Pengembangan Baitul Mal Menurut Ekonomi Islam” ICMI, Bandung
Didin Hafidhuddin (2003), Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta : Gema Insani
Fakhruddin. (2008) “Fikih dan Manajemen Zakat di Indonesia”, Malang : MALANG PRESS
Mohammad Abdul Malik ar-Rahman, (2013) “Zakat 1001 Masalah dan Solusinya “ Jakarta: Pustaka Cerdas
M. Amien Rais (1995). Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia,Jakarta : Aditya Medi
Nazaruddin, dkk, (2010) “Pengembangan Baitul Mal Aceh”Banda Aceh: Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry
Susilawati (2019) "Tinjauan Hukum Peran Baitul Mal Dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat Miskin Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2012-2017(Studi Di Baitul Mal Kabupaten Aceh Tamiang) Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan
Stjipto Raharjo,(2020) “Ilmu Hukum” , Bandung , PT Citra Aditya Bakti, hal
Nazaruddin A. Wahid, (2014)dkk, Laporan Hasil Penelitian Potensi Zakat Mal di Aceh, (Banda Aceh: Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M UIN Ar-Raniry
Nia Revina,(2020)”"Peran Program Pendayagunaan Zakat Baitul Mal Provinsi Aceh Dalam Meningkatkan Kemandirian Ekonomi Mustahik" Program Pascasarjana (Pps)Universitas Islam Negeri (UIN)Sultan Syarif Kasim Riau
UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Penetapan Baitul Mal Aceh
Peraturan Bupati Simeulue (Perbub) Nomor 33 tahun 2019 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Baitul Mal Kabuapten Simeulue