REKONSTRUKSI DAN PURIFIKASI ULANG GBHN SESUAI SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA

Oleh Muhammad Hadidi, S.Sy, M.H

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi salah satu isu yang masih sangat sentral menjadi perbincangan ketatanegaraan pada saat ini. Dalam berbagai kesempatan sosialisasi empat pilar bernegara oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), wacana menghidupkan kembali GBHN sebagai pedoman perencanaan pembangunan nasional menjadi salah satu materinya.
Hal tersebut tidak terlepas dari Rekomendasi Nomor 2 Keputusan MPR RI Nomor 4/MPR/2014 tentang Rekomendasi MPR RI Masa Jabatan 2009-2014, yang menyebutkan ”Melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN sebagai haluan penyelenggaraan negara” (Sadono, 2016:2).
Inilah cikal bakal ”formal” lahirnya isu menghidupkan kembali GBHN, dimana dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 Sebelum Perubahan (asli) menjadi salah satu kewenangan MPR (Pasal 3) namun setelah dilakukannya Perubahan UUD NRI Tahun 1945, kewenangan tersebut dihapuskan.
Model kepemimpinan negara Indonesia yang saat ini menggunakan sistem Presidensial, dimana Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum, membuat Presiden dan Wakil Presiden terpilih sibuk menerjemahkan visi-misi dan janji politik yang dibuatnya ketika pemilihan umum, tanpa kemudian memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan.
Mengingat pada Orde Reformasi sekarang memang tidak mengenal GBHN sebagai kerangka acuan dalam pembangunan nasional, kebijakan politik hukum dalam bidang pembangunan nasional dirumuskan dalam program Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Sesuai dengan amanat konstitusi pasca Reformasi, pihak yang memiliki kewenangan dalam merumuskan RPJPN dan menjabarkannya adalah Presiden terpilih.

Sejak Reformasi 1998 harus diakui telah terjadi perubahan radikal dalam sistem tata negara Agusman (2014:15). MPR yang semula adalah lembaga tertinggi negara, kini kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi negara yang lainnya. Dalam kedudukannya sebagai lembaga tinggi negara, maka peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum tata negara Indonesia, maka tidak lagi mengenal istilah Ketetapan (Tap) MPR sebagai peraturan (regelling). Tap MPR yang semula kedudukannya berada pada derajat kedua setelah UUD 1945, kini tidak bisa lagi ditemui. Memang masih dimungkinkan adanya Tap MPR, namun sifatnya bukan lagi sebagai peraturan (regelling) melainkan sebagai penetapan (beschikking), seperti ketetapan tentang penetapan Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden berhalangan tetap.
Pasca reformasi sekarang ini juga masih dalam terjebak pada kebijakan politik hukum dalam bidang pembangunan di era Reformasi sekarang tidak mengenal dan memberlakukan lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dengan dalil para perancang reformasi memandang tabu terminologi GBHN tersebut, sebab istilah tersebut begitu lekat dan identik dengan rezim Orde Baru.
Di erah reformasi lebih mengenal istilah Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sebagai kebijakan politik hukum nasional dalam bidang pembangunan. Dalam tataran pelaksanaannya RPJPN adalah visi-misi Presiden terpilih, dan memiliki keterbatasan terlebih masa jabatan Presiden hanya dibatasi 10 tahun saja. Berbeda dengan GBHN yang sifatnya konstitusional dan wajib dijalankan oleh siapapun penguasanya, RPJP lebih bersifat politis dan kompromi, sehingga dalam pelaksanaanya kerap terjadi inkonsistensi. Proposal ini memberikan ulasan bagaimana Rekonsruksi dan Purifikasi Tata Ulang GBHN Sesuai dengan Sistem Presidensial Indonesia sehingga wacana menghidupkan kembali GBHN dapat terwujud dengan cara perlu dilakukan tata ulang dengan konsep rekonstruksi (pembangunan) materi serta perlu dilakukan Purifikasi (Pembersihan) materiil GBHN yang tidak sesuai dengan sistem presidensial Indonesia guna sebagai pedoman pembangunan hukum nasional
Mengingat GBHN, sebagai landasan politik hukum pembangunan nasional, maka Orde Reformasi bertumpu pada RPJPN. RPJPN tidak lain adalah visi-misi Presiden yang diutarakan saat kampanye pada Pemilu Presiden (Pilpres). Oleh karena sifatnya yang politis dan kompromi, maka dalam tataran pelaksanaan kerap terjadi inkonsistensi.
Bukan hanya itu RPJP juga memiliki keterbatasan, sebab konstitusi
membatasi masa jabatan Presiden maksimal hanya 10 tahun. Belum lagi
Visi dan misi pemerintah satu sama lain tidaklah sama, sehingga tidak ada
jaminan bagi pemerintahan yang tengah berkuasa menjalankan kebijakan
atau program yang sudah ditetapkan rezim sebelumnya. Pada titik inilah,
pembangunan nasional tidak berjalan searah dan berkesinambungan.
Untuk itu dengan merekonstruksi dan mempurifikasi GBHN sehingga dapat tertata ulang landasan hukum Indonesia yang kuat dan konstitusional. Sehingga setiap penguasa atau pemerintah baru, wajib menjalankan program pembangunan yang sudah ditetapkan MPR sebagai lembaga yang berwenang melahirkan kembali GBHN Indonesia.
Dalam kaitannya dengan perkembangan kehidupan politik, bangsa
Indonesia di era reformasi tumbuh menjadi negara ketiga  terbesar yang
menerapkan sistem demokrasi dengan pemilihan langsung. Kebebasan berpendapat, beroganisasi, mengeluarkan pendapat dan kebebasan pers, serta partisipasi warga dijamin penuh oleh konstitusi. Rakyat memiliki daulat penuh untuk memilih siapa pemimpinnya. Mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota semuanya dipilih langsung oleh rakyat.
Namun demikian apakah perkembangan dalam bidang politik hukum
tersebut sejalan dengan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi? Apakah cita-cita mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera sesuai dengan Pancasila sudah terwujud? Ataukah sebagian besar rakyat hanya menjadi penonton saja di tengah gegap gempitanya laju pembangunan nasional yang kini tengah berjalan? Deretan pertanyaan itulah yang mendesak untuk dijawab oleh para pemangku kepentingan.
Mengingat Setelah   73   tahun    Indonesia merdeka, UUD 1945 telah mengalami empat   kali   amandemen   dari   kurun waktu    1999    sampai    2002. Pembongkaran yang dilakukan praktis merubah struktur  ketatanegaraan.  Semua  dari  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat (MPR) sebagai institusi tertinggi  yang     terdiri     dari     anggota anggota  Dewan  Perwakilan  Rakyat  (DPR)  dan utusan utusan  daerah  serta  golongan, kemudian    ada     Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan    (BPK). Mahkamah  Agung  (MA). Dewan Pertimbangan  Agung   (DPA). Hasil perubahan menghasilkan penambahan Mahkamah   Konstitusi (MK).  Dewan Perwakilan Daerah   (BPD)      yang mengambil    empat    perwakilan    dari masing masing   propinsi,   dan   Komisi Yudisial  (KY). Posisi serta peran DPA akhirnya     dibubarkan     dan     diganti dengan Dewan Penasihat Presiden.
Selain   institusi institusi  yang disebutkan dalam konstitusi, terdapat juga  komisi komisi  atau badan badan  dan   lembaga   independen yang  menghiasi  dalam   struktur ketatanegaraan.  Hal  itu  seperti keberadaan Komisi    Pemberantasan Korupsi     (KPK).     Komisi Pemilihan Umum (KPU). Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Komisi Nasional HAM (Komnas  HAM).  Komisi  Polisi  Nasional (KomPolnas).   Komisi Penyiaran Indonesia(KPI). Komisi  Ombudsman Nasional, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi        Keuangan        (PPATK).
Lembaga    Perlindungan    saksi    dan korban (LPSK) dan banyak lagi. Namun  semakin banyaknya institusi tinggi Negara sekaligus institusi independen yang     ada,   justru menimbulkan  gesekan gesekan  karena terjadinya  fungsi  yang  saling  tumpang tindih.   Contoh   yang    beberapa   kali  terjadi  misalnya  antara  MA  dan  KY, KPU  dan  Kementerian  Dalam  Negeri, MA  dan  KPU,  serta  DPD  dan  DPR.
Gugatan gugatan   atas   kekisruhan fungsi  institusi  Negara  dalam   sistem tata  Negara  setidaknya  dapat  difah ami  seperti    langkah    DPD    mengajukan judicial  review (uji  materi)  terhadap  UU tentang  MPR,  DPR,  DPD,  dan  DPRD (UU      Parlemen). Langkah   yang dilakukan   DPD   tersebut   merupakan upaya strategis  sebagai warming  upuntuk  mengadakan   amandemen konstitusi. Terlebih selama ini DPD dan MPR    seolah    mengalami   amputasi wewenang serta fungsi untuk bisa andil berperan  merumuskan  arah embangunan  nasional.
Tentunya proses demokrasi yang  dirasa semakin tidak  jelas  arah  perjalanannya dalam  relasinya dengan   pembangunan nasional dan kesejahteraan    rakyat semakin  mendukung  untuk  dilakukan adopsi   aturan  calon    independen sebagai  kandidat  calon  presiden    dan wakil   presiden. Presiden sebagai kepala eksekutif par excellence  berwenangmenjalankan  arah pembangunan  nasional  sesuai  dengan visi  dan  misinya  dengan berpegangan pada  UU. 
Namun karena  selama  ini presiden dan wakil presiden adalah dan wakil  presiden  adalah  baying bayang partai   terentu,   maka   visi   dan   misi pembangunan   yang   dijalankan   justru terkesan     sebagai     visi     dan     misi partainya. Dalam suatu organisasi manapun diperlukan   perencanaan. Dengan jumlah    penduduk    yang    sedemikian besar, keragaman  agama  dan  lainnya, sehingga   kompleksitas   permasalahan begitu  tinggi,  maka  perencanaan  tidak bisa     dihindari.
GBHN     dahulunya merupakan    program    rencana    kerja sebagai    pedoman    untuk    menyusun rencana    pembangunanlima    tahunan berdasarkan   prespektif   25   tahun   ke depan          dengan     mendapatkan persetujuan setiap lima tahun dari MPR RI    melalui    DPR    RI,    peran    yang mulanya    dilakukan    oleh    MPR    kini mengalami    pergeseran.    Nampaknya peran tersebut kini lebih banyak diambil oleh eksekutif bersama DPR. Jika   kita   merencanakan   suatu arah   atau   haluan   Negara   kedepan, suatu   haluan   yang   mampu   menjadi haluan   bersama   yang   tidak   berhenti ditengah jalan haluan   yang   mampu mewakili    bangsa    Indonesia.
Untuk itu dalam prosoal penelitain disertasi (LoA) saya ini saya mengambil tema penelitian untuk mengkaji dan diteliti ulang berbentuk disertasi nantinya guna kedepannya bagimana GBHN Indonesia sebelum ditawarkan ulang menjadi Produk hukum Indonesia maka perlu Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN sesuai dengan sistem presial  Indonesia kita sekarang ini.

1.1  Rumusan Masalah
1.         Bagaimana merekonstruksi ulang bentuk hukum GBHN yang tidak bertentangan dengan sistem Presidensil di Indonesia….?
2.         Bagaimana mempurifikasi ulang materi GBHN yang tidak lagi relevan dengan sistem presidensial di Indonesia……..?
3.         Bagaimana Prosedur Hukum Menata Ulang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Negara Kesatuan Republik Indonesia Sesuai Dengan sistem Presidensial di Indonesia…?
1.2  Tujuan Penelitian
1.         Untuk mengetahui dan mengkaji rekonstruksi ulang bentuk hukum GBHN yang tidak bertentangan dengan sistem Presidensial di Indonesia.
2.         Mengetahui dan mengkaji purifikasi materi GBHN yang tidak lagi relevan dengan sistem presidensial di Indonesia.
3.         Mengetahui dan mengkaji Prosedur Hukum Tata Ulang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Negara Kesatuan Republik Indonesia Sesuai Dengan sistem Presidensi di Indonesia.
4.         Mengetahui dan mengkaji konsekkuensi hukum rancangan GBHN Indonesia setelah dilakukan rekonstruksi dan purifikasi sesuai dengan prosedur hukum tata negara di Indonesia.
1.3  Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan  sumbangan pemikiran berupa temuan-temuan yang bermanfaat bagi proses pengembangan ilmu pengetahuan hukum secara teoritis dan spesifik ada dua manfaat yang ingin penulis capai meliputi:
1.      Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazana keilmuan hukum secara integral bagi insan akademisi dan masyarakat luas terkait hasil penelitian Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai Sistem Presidensial di Indonesia, termasuk  juga dapat mengatahui sejarah rumusan awal, dan berlakunya, serta dampak positif dan negatif secara hukum berlakunya GBHN di era orde baru dan tidak diberlakukannya GBHN pada era reformasi sekarang ini sehingga secara keilmuan hukum dapat ditarik kesimpulan manfaat hukumnya bila diberlakukan kembali GBHN di Indonesia sesuai dengan sistem Presidensial kita sekarang ini.
2.      Secara praktis,
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai Sistem Presidensial di Indonesia dan dapat mengefalusi bagimana peran dan fungsi GBHN pada sistem presidensial di Indonesia

1.4  Tinjauan Pustaka
Jika kita mengkaji kilas balik kebijakan politik hukum pembangunan nasional Rakernas PDIP pada Tahun 2016 yang lalu mengusulkan agar GBHN dihidupkan kembali, melalui skema sebuah program cetak biru (blue print) Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). Selain itu PDIP juga mengusulkan agar kedudukan MPR yang kini menjadi lembaga tinggi negara, dikaji
ulang. PDIP berpandangan, kedudukan MPR harus dipulihkan sebagai
lembaga tertinggi negara dengan kembali mengamandemen UUD 1945. Megawati mengklaim, usulan yang diutarakan itu murni untuk kepentingan bangsa dan negara, tidak ada kepentingan politik praktis untuk partainya.
Usulan meninjau kedudukan MPR dan menjadikan GBHN sebagai pedoman pembangunan nasional, sebenarnya bukan sekali ini saja disampaikan PDIP ke publik. Pada tahun 2012, Megawati juga mengusulkan agar kedudukan MPR yang kini menjadi lembaga tinggi negara, ditinjau ulang melalui amandemen UUD 1945. Namun Megawati memberikan catatan kritis terhadap sejumlah pasal dalam UUD 1945 yang tidak bisa diubah, dengan alasan hal tersebut menyangkut jatidiri bangsa Indonesia.
Salah satu tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia adalah menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Hal tersebut tertera dalam Pembukaan UUD 1945 yang dirumuskan para pendiri bangsa. Salah satu instrumen yang bisa dilakukan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur adalah dengan pembangunan, baik yang sifatnya mental maupun fsik. Dalam kaitannya dengan dengan pembangunan nasional, setiap pemerintah memiliki kebijakan sendiri.
Kebijakan tersebut dirancang khusus dengan tahapan dan sasaran pembangunan yang jelas. Presiden Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya, memiliki cetak biru pembangunan jangka pendek dengan durasi 8 tahun yang disebut dengan Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). Adapun Presiden Soeharto, mengusung program pembangunan yang ditetapkan MPR dalam GBHN.
Kebijakan politik hukum nasional dalam bidang pembangunan sejatinya bisa dilacak sejak awal berdirinya bangsa Indonesia. Pada tahun 1945 Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang diserahi tugas membantu Presiden sebelum terbentuknya MPR dan DPR, mengusulkan kepada pemerintah agar komite itu diserahi kekuasaan legislatif guna menetapkan GBHN. Usulan tersebut disetujui pemerintah yang diwakili Wakil Presiden Mohammad Hatta yang didampingi Sekretaris Negara.
AG. Pringgodigdo dengan menerbitkan Maklumat Wakil Presiden No.X
tahun 1945
Dalam hubungannya dengan politik hukum nasional dalam bidang pembangunan nasional, Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam rentang waktu tahun 1947 hingga 1950, telah merumuskan pokok-pokok dan kebijakan politik hukum dalam bidang Pembangunan Nasional yang disebutnya “Plan Produksi Tiga Tahun RI.” Sayang, sampai tahun 1950, program yang dicanangkan Hatta tidak berjalan, karena Indonesia disibukkan dalam menghadapi agresmi militer Belanda yang membonceng tentara Sekutu yang masuk ke Indonesia.
Pada era Demokrasi Liberal (1950-1957) kebijakan politik hukum pembangunan nasional juga sudah dirumuskan. Tepatnya pada Kabinet Wilopo yakni sekitar tahun 1952 terbentuklah Biro Perancang Negara di bawah Kementerian Negara Urusan Pembangunan yang diketuai Ir. H. Juanda. Biro Perencanaan Negara berhasil menyusun konsep pembangunan untuk rentang 5 tahun.
Rencana pembangunan tahap pertama dirancang untuk periode 1956-1960. Namun, lagi-lagi kegaduhan politik menggagalkan terlaksananya program tersebut. Demokrasi Parlementer membuat pemerintah Indonesia jatuh bangun, sehingga memicu mengerasnya hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. RPLT pun gagak dilaksanakan ketika itu.
 Di masa Demokrasi Terpimpin, program pembangunan nasional dirumuskan oleh Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang merupakan cikal bakal dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Depernas sendiri saat itu bekerja selama dua tahun, yang diketuai Muhammad Yamin menyusun rencana pembangunan nasional. Setelah bekerja keras akhirnya Depernas berhasil merumuskan pola pembangunan nasional yang disebut Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). PNSB tahap pertama dicanangkan selama 8 tahun terhitung sejak tahun 1961 hingga 1969.
PNSB tahap pertama adalah dokumen kolektif nasional yang terdiri
atas 4 bab dan 10 pasal. Selama dua tahun Depernas merumuskan gagasan
PNSB. Untuk tahap pertama, PNSB menitikberatkan pembangunan dalam 8 bidang pembangunan, yaitu: pembangunan mental dan rohani, penelitian, kesejahteraan, pemerintahan, keamanan/pertahanan, produksi, distribusi dan keuangan.
Niat baik PNSB yang dirumuskan untuk tahap pertama, lagilagi urung berjalan maksimal karena sedikit terhambat oleh dinamika politik yang terjadi saat itu. Perjuangan merebut Irian Barat dari tangan Belanda, timbulnya gerakan ganyang Malaysia dan puncaknya terjadi Peristiwa 30 September 1965, memecah konsentrasi dalam melaksanakan PNSB. Berbagai rentetan peristiwa itu, memiliki kontribusi kuat dalam menghambat jalannya program pembangunan yang sudah dicanangkan pemerintah.
Kebijakan politik hukum dalam bidang pembangunan nasional mulai bisa tertata rapi, berjalan terarah dan berkesinambungan saat tampilnya pemerintahan Orde Baru berada dalam pusat kekuasaan. Terlepas dari adanya pro dan kontra di dalamnya, sejak tahun 1969 hingga 1998 rezim Orde Baru menjadikan GBHN sebagai pijakan dalam bidang Pembangunan Nasional berencana. Selama 32 tahun berkuasa, ide dan sasaran pembangunan dirumuskan oleh MPR dan dijalankan Presiden.
Model pembangunan juga dibagi-bagi dalam beberapa tahap, mulai dari jangka pendek, menengah sampai panjang.13 Selama ini banyak yang menyangka bahwa GBHN adalah produk pemerintahan Orde Baru sebagai pedoman dalam Pembangunan Nasional yang terencana, sistematis, terarah dan berkesinambungan.  Perlu ditekankan di sini bahwa sejatinya GBHN bukanlah produk hukum dari pemerintahan Orde Baru melainkan amanat para pendiri bangsa yang dituangkan dalam UUD 1945.
Dalam pasal 3 UUD 1945 pra amandemen berbunyi “Majelis Rakyat Menetapkan Undang-Undang Dasar dan GarisGaris Besar daripada Haluan Negara.” Dalam pasal tersebut terlihat jelas bahwa GBHN adalah amanat dari konstitusi sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan kesejahteraan, masyarakat adil dan makmur. Tugas merumuskan dan membuat GBHN diemban oleh MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara di tanah air, yang mewakili semua kelompok, golongan dan daerah dari seluruh Indonesia. Presiden sebagai mandataris MPR dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak bisa berjalan dengan visi dan misinya sendiri melainkan harus tunduk pada visi besar yang dibuat MPR dan dijabarkan dalam GBHN.
Pasca tumbangnya pemerintahan Orde Lama dan kemudian lahirnya pemerintahan Orde Baru, kebijakan politik hukum nasional dalam bidang-bidang pembangunan juga direncanakan dengan rapi, matang dan sistematis. Proyek pembangunan nasional dirumuskan dan ditetapkan MPR yang dituangkan dalam bentuk GBHN. Program pembangunan di GBHN itu kemudian dijabarkan dalam bentuk pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
Sejak tahun 1973 hingga 1998 Presiden Soeharto (Orde Baru)
menempatkan GBHN sebagai landasan hukum dalam proses pembangunan
di tanah air. Hal itu tidak terlepas dari peran dan kedudukan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara, sehingga Ketetapan MPR (Tap) MPR No.IV/
MPR/1973 tentang GBHN praktis menjadi produk hukum pada sidang
umum MPR tahun 1973
Mahfu MD (2001:267).
Di dalam GBHN tahun 1973 juga memuat diktum hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah, yang berisi pencabutan otonomi daerah yang sebelumnya diatur Tap MPRS No. XXI tahun 1966. Hal itu dicabut, karena dinilai mengandung paham liberal, yang bisa menimbulkan sekaligus membahayakan keutuhan dan persatuan bangsa. Pada masa pemerintahan Orde Baru, proyek pembangunan dilakukan secara sistematis, berjalan terarah, dan disusun rapi. Setiap program pembangunan dijalankan sesuai dengan cetak biru (blue print) kebijakan politik hukum yang tertera dalam GBHN.
Sebagai sebuah dokumen kolektif yang berisi cita-cita dan tujuan pembangunan nasional, GBHN dibuat dan dirumuskan oleh MPR. Dalam merumuskan GBHN, MPR meninjau segala kebutuhan dan keperluan masyarakat. Dalam membangun bangsa Indonesia, pemerintahan Orde Baru memiliki strategi sendiri. Program pembangunan dibagi dalam beberapa tahap.
 Tahapan jangka pendek disebut dengan Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun bahkan ada rencana pembangunan dua puluh lima tahun (1994-2019). Tiap repelita memiliki target dan sasaran terukur. Repelita pertama yang dicanangkan tahun 1969 hingga 1974 menitikberatkan dalam bidang pertanian. Pada pertengahan tahun 1980- an Indonesia sudah mampu mencapai swasembada dalam persediaan beras. Pada periode itu, perekonomian Indonesia tumbuh lebih dari 7 persen. Prestasi yang bersifat rekor itu tidak ada presedennya dalam sejarah modern nusantara.
Keberhasilan Presiden Soeharto dalam mempromosikan swasembada beras, menciptakan stabilitas politik, mengurangi angka kemiskinan dan buta huruf, pada kenyataannya menjadi daya pikat tersendiri. Banyak pemimpin dunia yang tertarik dengan sosoknya bahkan belajar dan berguru kepada dirinya untuk menata negara dan bangsa yang mereka pimpin. Di tingkat internasional Presiden Soeharto mendorong pengembangan kerjasama antar negara-negara ASEAN dalam perdagangan dengan tujuan menguatkan sekaligus mencapai ketahanan nasional.
Dalam panggung politik internasional Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok, Indonesia juga tampil sebagai negara yang mendapat sambutan hangat. Presiden Soeharto juga berhasil memulihkan hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Saat itu Soeharto adalah pemimpin terkenal, bahkan mungkin bisa dikatakan sebagai tokoh dunia.
Para pemimpin dunia pun ingin belajar darinya bagaimana menjalankan pemerintahan dan ia pun senang melayani mereka. Dalam panggung politik internasional Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok, Indonesia juga tampil sebagai negara yang mendapat sambutan hangat. Presiden Soeharto juga berhasil memulihkan hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Saat itu Soeharto adalah pemimpin terkenal, bahkan mungkin bisa dikatakan sebagai tokoh dunia. Para pemimpin dunia pun ingin belajar darinya bagaimana menjalankan pemerintahan dan ia pun senang melayani mereka.
Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun memanglah bukan rezim yang sempurna. Sebagai sebuah barisan kekuasaan tentu saja ada kekurangan yang terjadi pada era tersebut. Rezim Orde Baru yang mengidentikkan diri dengan rezim pembangunan ditopang oleh stabilitas politik kuat. Di setiap GBHN yang disahkan MPR kata “stabilitas politik” selalu diulang berkali-kali.
Dalam panggung politik internasional Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok, Indonesia juga tampil sebagai negara yang mendapat sambutan hangat. Presiden Soeharto juga berhasil memulihkan hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Saat itu Soeharto adalah pemimpin terkenal, bahkan mungkin bisa dikatakan sebagai tokoh dunia.
Para pemimpin dunia pun ingin belajar darinya bagaimana menjalankan
pemerintahan dan ia pun senang melayani mereka.16 Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun memanglah bukan rezim yang sempurna. Sebagai sebuah barisan kekuasaan tentu saja ada kekurangan yang terjadi pada era tersebut. Rezim Orde Baru yang mengidentikkan diri dengan rezim pembangunan ditopang oleh stabilitas politik kuat. Di setiap GBHN yang disahkan MPR kata “stabilitas politik” selalu diulang berkali-kali R.E. Elson
(2001:487).
 Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun memanglah bukan rezim yang sempurna. Sebagai sebuah barisan kekuasaan tentu saja ada kekurangan yang terjadi pada era tersebut. Rezim Orde Baru yang mengidentikkan diri dengan rezim pembangunan ditopang oleh stabilitas politik kuat. Di setiap GBHN yang disahkan MPR kata “stabilitas politik” selalu diulang berkali-kali.
Stabilitas politik pada masa Orde Baru dibangun dengan membungkam lawan-lawan politik (seperti Ali Sadikin, AH Nasution, HR Dharsono, Sri Bintang Pamungkas, HJ Princen, dll), membatasi partisipasi publik yang berpotensi kuat mengganggu jalannya roda pemerintahan dan pembangunan yang sudah dicanangkan. Dalam membangun stabilitas politik, Orde Baru menjadikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan jajaran birokratis sebagai penyokong utama kekuasaan.
Alat-alat negara inilah yang digunakan untuk membungkam lawan
politik Presiden Soeharto sekaligus mengukuhkan eksistensinya dalam posisi puncak, sehingga rezim Orde Baru dituding sebagai rezim otoriter. Bahkan seorang pengacara kawakan Todung Mulya Lubis pada tahun 1983 pernah menyampaikan bahwa GBHN tiak secara tegas menyatakan keberpihakan kepada pengembangan hukum yang berkeadilan sosial. Hal yang terjadi hukum harus menjadi alat legitimasi bagi pembangunan ekonomi.
Problem GBHN dan RPJP: komparasi politik hukum pembangunan Pasca 17 tahun berlalu, wacana kembali menghidupakan GBHN sebagai haluan sekaligus pedoman pembangunan nasional berencana dan terarah mulai terdengar. Lewat dialektika politik panjang usulan tersebut datang dan mengemuka dari PDIP yang merupakan partai politik pemenang pemilu tahun 2014.
 Dalam sebuah pidato nasional pada tanggal 18 Agustus 2015 dalam rangka perayaan Hari Konstitusi di MPR, Megawati Soekarnoputri meminta agar kedudukan MPR ditinjau ulang. Menurutnya kedudukan MPR sebagai lembaga tinggi negara, tidak cocok dalam sistem tata negara Republik Indonesia. Para pendiri bangsa ini merancang MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yang mewakili segala unsur golongan, kelompok masyarakat dan utusan daerah. Kehadiran MPR sebagai lembaga tertinggi negara merupakan implementasi/perwujudan sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Keadilan.” Kedudukan MPR dalam sistem ketata-negaraan pada pra amandemen UUD 1945 adalah lembaga tertinggi negara, yang berwenang menerbitkan produk perundang-undangan, di antaranya GBHN.
Megawati berpandangan, kedudukan GBHN (PNSB) penting sebagai kebijakan politik hukum nasional yang dijadikan pijakan, pedoman sekaligus kerangka acuan dalam pembangunan bangsa Indonesia, baik jangka pendek, menengah dan panjang. Untuk dapat mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, maka Megawati mengusulkan amandemen UUD 1945 dengan secara hati-hati dan terbatas.
Namun demikian pasca reformasi tahun 1998 dan terjadinya perubahan dalam UUD 1945, fungsi dan kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN sebagai politik hukum nasional direduksi. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam pasal 3 hasil amandemen UUD 1945 hanya membahas tugas MPR dalam mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, membahas pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hubungannya dengan kebijakan politik hukum bidang pembangunan nasional, Orde Reformasi menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden terpilih.
Dalam hierarki aturan perundang-undangan sebelum reformasi, produk hukum yang dikeluarkan MPR memiliki derajat nomor dua di bawah langsung UUD 1945. Selama 32 tahun berkuasa rezim Orde Baru menjadikan GBHN sebagai pedoman sekaligus kerangka acuan rencana pembangunan nasional. Selama lima tahun sekali MPR bertugas merumuskan dan menetapkan GBHN sebagai politik hukum nasional.
Di masa Orde Baru GBHN sendiri dipandang sebagai dokumen sakral yang berisi cita-cita bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyrakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.Visi nasional yang dituangkan dalam GBHN kemudian dijabarkan dalam pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang bersifat dinamis mengikuti dinamika dan perkembangan zaman serta kebutuhan nyata publik.
Dalam waktu yang kurang lebih sama, pandangan positif disampaikan mantan Menteri Penerangan era Orde Baru, Harmoko. Menurut Harmoko ide untuk menghidupkan kembali begitu penting agar bangsa Indonesia memiliki pola pembangunan jangka panjang dan tidak hanya terbatas pada visi-misi Presiden terpilih yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang sifatnya terbatas.
Harmoko menampik jika GBHN bukanlah produk politik hukum dalam bidang pembangunan nasional Orde Baru melainkan amanat konstitusi yang tertera dalam UUD 1945. Dalam UUD 1945 pasal 3 sebelum di amandemen berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat Menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara.” Di era pemerintahan Orde Baru kebijakan pembangunan nasional ditetapkan dalam GBHN, kemudian pada era pemerintahan Orde Lama kebijakan pembangunan nasional ditetapkan melalui Program Pembangunan Semesta Berencana tahap pertama (1991-1969).
Dalam hubungannya dengan kebijakan politik hukum pembangunan nasional, baik Orde Lama dan Orde Baru menciptakan program cetak biru yang isinya adalah dokumen legal mengenai arah kebijakan pembangunan bangsa Indonesia. Program pembangunan dicanangkan dan ditata demikian rapi. Setiap program pembangunan memiliki tahapan dan periodisasi jelas, terukur dan terarah. Cetak biru program pembangunan tersebut ditetapkan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi di tanah air. Karena sifatnya yang konstitusional maka setiap Presiden wajib menjalankan amanat penderitaan rakyat (Ampera) tersebut.
Orde Lama maupun Orde Baru adalah potret perjalanan bagi bangsa Indonesia dalam menata dan membangun negara dan bangsa. Era Orde Lama menjadikan politik sebagai panglima dalam proses pembangunan bangsa. Sedangkan Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima untuk membangun Indonesia. Setiap rezim yang berkuasa memiliki corak dan karakteristiknya sendiri dalam bidang kebijakan politik hukum pembangunan.
Pasca tumbangnya Orde Baru dan lahirnya Era Reformasi pada tahun 1998, Indonesia memasuki fase baru. Banyak terjadi perubahan signifkan dalam sistem politik dan tata negara. Dalam bidang politik Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Konsekuensi logis dari hal tersebut Presiden menjadi penentu arah kebijakan politik hukum nasional dalam bidang pembangunan. Visi misi Presiden yang diterapkan dalam RPJP adalah pedoman dalam bidang pembangunan nasional.
Era Reformasi dimulai saat naiknya BJ Habibie dalam tampuk kekuasaan pada tahun 1999 silam. Sebagai pemimpin yang lahir di era transisi, Habibie fokus mengendalikan stabilitas politik yang tengah bergejolak. Pada periode Habibie inilah kebijakan politik hukum nasional dalam bidang pembangunan yang dijabarkan dalam GBHN berakhir. MPR sebagai lembaga tertinggi negara saat itu menolak pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie. Praktis sesudah itu kebijakan politik hukum nasional dalam bidang pembangunan tidak lagi mengenal istilah GBHN.
Salah satu cita-cita Reformasi tahun 1998 adalah mengupayakan
kehidupan layak bagi rakyat sesuai dengan asas kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemudian mengembangkan ekonomi rakyat yang memperhatikan pertumbuhan ekonomi dengan nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial dan perlakuan adil bagi seluruh masyarakat Indonesia. Lantas apakah cita-cita tersebut sudah terwujud?
Menurut Scott Mainwaring (1993:119-120), pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis. Hal itu terjadi jika presiden terpilih tak berasal dari partai politik yang memperoleh kekuatan mayoritas di lembaga legislatif.Untuk mendapat dukungan di lembaga legislatif, presiden berupaya membentuk pemerintahan koalisi dengan merangkul sejumlah partai politik. Cara paling umum yang dilakukan presiden: membagikan posisi menteri kabinet kepada partai politik yang memberikan dukungan kepada presiden.
Terjadinya fenomena koalisi ini memang tidak terjadi begitu saja, menilik desain sistem pemilu presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, UU No. 42 Tahun 2008 tentang pemilihan presiden mengharuskan syarat dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden
.
Menurut Mahfud MD (1993:86). Menurut Mahfud MD., kedudukan antara eksekutif dan legislatif adalah sejajar atau sama-sama kuat.16Artinya kedua lembaga tersebut tidak boleh untuk saling intervensi, apalagi kewenangan presiden yang diintervensi. Sebelum amandemen, Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat undang-undang yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, sedangkan DPR hanya sebatas menyetujuinya sesuai dengan Pasal 20 UUD 1945.
 Waktu itu Indonesia memang belum menganut separation of power sehingga kekuasaan legislasi penuh yang seharusnya dimiliki DPR menjadi tidak terwujud. Bukti lain dapat dilihat dari ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan dengan undang undang”.Selain itu, sebelum amandemen cheks and balances antar lembaga negara tidak terwujud. Keadaan ini pun berubah setelah terjadinya reformasi konstitusi dari 1999 -- 2002.
Namun demikian, dalam praktiknya sama sekali tidak sesuai dengan tujuan besar dilakukannya reformasi konstitusi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Ni’matul Huda yang mangatakan bahwa ketika terjadi reformasi konstitusi terhadap UUD 1945, muncul beberapa kesepakatan dasar dalam melakukan perubahan UUD 1945, antara lain mempertegas sistem presidensial. Namun, dalam kenyataannya kesepakatan tersebut tidak ditaati secara konsisten oleh MPR. Pembongkaran konstruksi presidensialisme dalam UUD 1945 signifikan pada perubahan pertama 1999, kemudian penguatan kelembagaan DPR pada perubahan kedua 2000, bukannya melahirkan keseimbangan kekuasaan antara Presiden dan DPR, tetapi justru menimbulkan ketidakjelasan sistem Presidensial yang ingin dibangun melalui perubahan UUD 1945
DPR seakan menumpahkan seluruh dendam dan serapahnya karena hampir 32 tahun (1966-1998) dikekang dan berada dibawah komando eksekutif (Presiden). Lebih jelas yang dimaksud legislative heavy dapat dilihat dari beberapa pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 yang mengindikasikan kekuasaan DPR terlalu dominan. Di antaranya yaitu Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (5). Tidak hanya itu, sangat banyak hak interpelasi yang digunakan legislatif untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Kegiatan untuk meminta keterangan kepada Presiden yang terangkum dalam hak interpelasi DPR tersebut menurut pendapat penulis mengindikasikan adanya subordinate antara DPR dengan Presiden, sehingga seolah-olah terkesan kedudukan DPR berada di atas Presiden.
Selain itu, dalam praktik sering kali dijumpai bahwa hak prerogratif presiden dicekal oleh kekuatan parlemen. Seperti pengangkatan Kepala Polri dan pengangkatan Panglima TNI. Sikap parlemen yang mencampuri pemilihan Kepala Polri dan Panglima TNI, secara legalistik tidak ada yang salah. Wakil rakyat itu memiliki dasar hukum, yaitu sesuai Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri dilakukan Presiden atas persetujuan DPR. Pasal 13 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyebutkan, Presiden memberhentikan dan mengangkat Panglima TNI setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.
Padahal, UUD 1945 termasuk perubahannya tidak mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri dan Panglima TNI. Bahkan, jika direnungkan, kebijakan pemberhentian dan pengangkatan Kepala Polri dan Panglima TNI itu harus sepersetujuan DPR. Bukan hanya menggerogoti makna Presidensialisme yang digunakan dalam sistem pemerintahan di negeri ini, melainkan tidak sejalan dengan konstitusi. Pasal 10 UUD 1945 menyatakan Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Kerancuan pelaksanaan sistem presidensial dalam pemerintahan di negeri ini, jika mengacu pada UUD 1945 setelah perubahan pertama hingga keempat, kian nyata dengan memperhatikan Pasal 13. Konstitusi hasil perubahan itu menyatakan, presiden berhak mengangkat duta dan konsul. Untuk mengangkat duta presiden diminta memperhatikan pertimbangan dari parlemen. Bahkan, untuk menerima penempatan duta dari negara lain, presiden juga harus memperhatikan pertimbangan dewan. Selain itu, selama ini Presiden terkesan menerima saja pertimbangan, bahkan penolakan yang diajukan parlemen.
Hal tersebut diamini oleh Syamsudin Haris yang menyatakan bahwa masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah konstitusi hasil amandemen tak sekadar mengadopsi sistem presidensial yang mendekati ”murni”, tetapi juga kian memperkuat otoritas DPR. Melalui otoritas legislasi yang dimiliki, DPR bahkan memberi hak tunggal bagi diri sendiri guna menyeleksi para pejabat publik, seperti pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala Polri, serta pimpinan dan anggota komisi negara yang pembentukannya melalui undang-undang.
Otoritas yang seharusnya melekat pada presiden dalam skema presidesialisme menjadi peluang bagi DPR untuk melembagakan
”gangguan” terhadap presiden. Desain konstitusi yang semula hendak menyeimbangkan kekuasaan eksekutif-legislatif akhirnya terperangkap pada situasi ”sarat DPR
.
Terjadinya nomali sistem pemerintahan presidensial pasca
amandemen UUD 1945 bukan terjadi begitu saja dan tanpa sebab apapun. Melainkan dipengaruhi oleh tiga faktor determinan yang menimbulkan anomali. Ada pun faktorfaktor tersebut adalah: terjadinya perpaduan antara sistem multi partai dengan sistem presidensial. Perpaduan kedua sistem ini bukanlah pasangan yang serasi untuk mengasilkan sistem presidensial yang efektif.
 Jika terus dipaksakan maka sistem presidensial akan menjadi lemah dan memperburuk kondisi pemerintahan. terciptanya koalisi dalam sistem pemerintahan presidensial. Akibat dari diterapkannya sistem multi parti maka menyebabkan lahirnya koalisi antar partai. Terlebih lagi koalisi
yang terbentuk adalah koalisi yang rapuh yang hanya ingin mencari kekuasaan.
Sehingga koalisi hanya menjadi buah simalakama dalam sistem presidensial.  reduksi kekuasaan presiden pasca amandemen. Lemahnya posisi presiden akibat kewenangan yang dimiliknya direduksi menjadi bukti nyata terjadinya anomali sistem presidendial. Sebab presiden merupakan aktor utama yang memainkan jalannya sistem kepemerintahan. Jika kewenangan yang dimilikinya direduksi maka presiden akan lemah dihadapan parlemen.
Menghidupkan Kembali GBHN sebagaimana dalam prosenya tanpa terasa Reformasi tahun 1998 sudah berjalan selama 18 tahun lebih. Orde reformasi memberikan kebebasan berpendapat, partipasi warga negara, kebebasan pers dan partai politik untuk tumbuh dan berkembang. Selama orde reformasi kehidupan demokrasi di tanah air berkembang. Presiden hingga kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi menggunakan MPR seperti di era Orde Baru.
Namun demikian demokrasi politik yang berkembang tidak selalu sejalan dengan demokrasi ekonomi. Gerakan reformasi yang hanya terfokus dalam bidang politik seolah melupakan pembangunan dalam bidang ekonomi. Pada era reformasi kebijakan pembangunan nasional berjalan tidak terarah, sporadis bahkan terkadang terjadi paradoks. Program pembangunan nasional berpijak pada visi-misi Presiden terpilih yang paling banter hanya bisa menjalankan program tersebut selama 10 tahun saja.
Begitu penguasa berganti, tidak ada kewajiban bagi penguasa baru
untuk menjalankan program atau kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintahan terdahulu. Visi-misi Presiden yang dituangkan dalam RPJPN tidak selamanya berjalan konsisten, terkadang ditengah jalan
terjadi inkonstensi, utamanya karena intervensi politik. Persoalan lain yang juga menjadi ganjalan adalah ketidaksinkronan pola pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah tingkat II yang dipilih langsung oleh rakyat terkesan tidak tunduk (membangkan) kepada pemerintah pusat.
Menurut Kusmito Gunawan, kesan pembangkangan itu dapat
dilihat dari banyaknya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang tidak dilaporkan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Pusat
 Pada tahun 2007, sekitar 1.366 Raperda tentang pajak dan retribusi,m tidak dilaporkan ke pemerintah pusat (Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Keuangan).
Sejak tahun 2001 hingga akhir 2007, tak kurang dari 1.276 Perda tentang pajak, retribusi dan jenis pungutan lain, dibatalkan Pemerintah Pusat. Ketidaktundukan Pemerintah Kabupaten/ Kota terhadap pusat, hingga tahun 2016 masih terjadi yang ditandai dengan banyaknya Raperda yang dibatalkan Menteri Dalam Negeri.
Sebagai contoh di Jawa Tengah, sebanyak 122 Peraturan Daerah (Perda) yang dinilai pusat bermasalah, dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. Namun semenjak 5 April 2007, Mahkamah Konstitusi mencabut kewenangan Menteri Dalam Negeri mencabut Perda bermasalah.
Melihat berbagai persoalan seperti itu, muncullah kerinduan untuk
kembali menghidupkan GBHN sebagai pedoman dalam pembangunan nasional terencana. Megawati menyadari, bahwa ide mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara, akan menimbulkan reaksi pro dan kontra. Namun demikian, Megawati berharap kepada publik di tanah air, supaya tidak berburuk sangka dan dapat mengedepankan dialog.
Pasca tumbangnya pemerintahan Orde Baru dan lahirnya pemerintahan Orde Reformasi telah terjadi perubahan radikal dalam sIstem politik dan tata negara di tanah air. Kedudukan MPR yang semula lembaga tertinggi negara kini sebatas lembaga tinggi negara yang sejajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif. Melalui amandemen UUD 1945, fungsi, kewenangan dan kedudukan MPR dipangkas habis. Dalam kedudukan demikian, MPR tidak lagi memiliki kewenangan sekokoh dahulu. MPR juga tidak bisa menerbitkan Produk hukum yang sifatnya aturan perundang-undangan.
Putri Presiden Soekarno itu mengaku gelisah dengan arah kebijakan dan pembangunan nasional yang terjadi di era Reformasi ini. Kegelisahan ini terjadi lantaran tidak adanya kesinambungan pembangunan antara pemerintahan yang tengah berkuasa dengan pemerintahan sebelumnya. Inkonsistensi pembangunan nasional tentu saja secara tidak langsung berimplikasi langsung terhadap kesejahteraan rakyat yang diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
Padahal salah satu tujuan didirikannya Indonesia adalah untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila. Bagaimana masyarakat adil, makmur dan sejahtera bisa tercipka jika proses pembangun berjalan tersendat-sendat dan tanpa pedoman jelas. Rentetan kejadian itulah yang menjadi alasan bagi Presiden Kelima Republik Indonesia untuk mengusulkan kembali menghidupkan GBHN.
Menghidupkan kembali GBHN dinilai penting agar bangsa Indonesia memiliki pijakan dan pedoman nasional terencana, terintegrasi dan terarah. GBHN yang merupakan dokumen kolektif nasional yang berisi cita-cita rakyat Indonesia adalah strategi jitu dalam bidang pembangunan nasional, bukan hanya sebatas 5 tahun semata melainkan pembangunan dalam jangka panjang.
Beberapa fraksi di MPR pun melalui politisi senior mereka, dalam sebuah
acara bertajuk “Dialog Kenegaraan: Implementasi Janji Kebangsaan” yang diselenggarakan di MPR pada 17 November 2014, menyambut hangat usulan yang disampaikan PDIP, untuk mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dukungan itu muncul antara lain dari Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR Mohammad Jafar Hafsah dan Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Untuk mengembalikan posisi MPR, harus dilakukan melalui amandemen kelima UUD 1945.
Menurut Jafar Hafsah, MPR yang memiliki kewenangan melantik pasangan presiden dan wakil presiden serta melakukan amendemen konstitusi, hendaknya berkedudukan lebih tinggi dari lembaga tinggi negara lain. Melalui amendemen kelima UUD 1945, bisa saja posisi dan kewenangan MPR dikembalikan lagi menjadi lembaga tertinggi negara seperti amanah UUD 1945. Pengembalian kedudukan MPR tersebut juga akan menguntungkan, karena MPR bisa menjadi pengayom lembaga- lembaga tinggi negara. Apabila terjadi hubungan kurang harmonis di antara lembaga-lembaga tinggi negara, maka MPR bisa menjadi penengah.
Baginya GBHN bukan identik dengan Orde Baru, sebab GBHN adalah cita-cita para pendiri bangsa yang dirumuskan dalam UUD 1945 pra amandemen. Dalam pasal 3 UUD 1945 pra amandemen, MPR sebagai lembaga tertinnggi negara memiliki tugas dan kewenangan merumuskan dan menetapkan GBHN sebagai kebijakan politik hukum nasional, termasuk di dalamnya dalam bidang pembangunan nasional.
Mantan Ketua DPR/MPR Harmoko juga setuju dengan gagasan Megawati, dengan mengutip penjelasan ahli hukum Mr. Soepomo pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sesaat sebelum UUD 1945 disahkan. Dalam rapat tersebut Soepomo menyebut MPR berwenang menetapkan GBHN, Presiden tidak memiliki kebijakan politik sendiri melainkan menjalankan haluan negara yang sudah ditetapkan MPR. Namun demikian Orde Reformasi melucuti peran MPR dalam merumuskan dan menetapkan GBHN sebagai kompas dalam bidang pembangunan nasional.
Pasca absennya GBHN dalam sistem tata negara di tanah air, bangsa
Indonesia tidak memiliki arah dan pedoman jelas dalam merancang kebijakan pembangunan nasional yang terarah, berkesinambungan dan kontinyu. Setelah 17 tahun berlalu kini timbul kesadaran untuk kembali menghidupkan GBHN sebagai pegangan pembangunan nasional.
Tantowi Yahya politikus Partai Golkar menilai jalannya pembangunan di era reformasi berjalan tanpa arah jelas. Banyak kebijakan penting dalam bidang pembangunan yang diambil secara reaktif tanpa memikirkan matang-matang program tersebut. Pasca hilangnya GBHN sebagai pedoman pembangunan nasional terencana pembangunan tidak lagi berjalan secara berkesinambungan. Hal yang terjadi setiap ganti pemerintahan tentu saja kebijakan ikut diganti. Tidak ada cetak biru (blue print) yang menjadi pedoman dalam membangun bangsa Indonesia.
Tantowi menyebut proyek pembanguan Kereta cepat JakartaBandung dan pembangunan pembangkit listrik 35.000 Mega Watt adalah salah satu contoh nyata dari kejanggalan pembangunan yang tidak terencana dengan baik. Dikatakan tidak memiliki rencana matang karena tidak ada cetak biru dalam dua mega proyek tersebut. Berbeda dengan pemerintahan Orde Baru yang memiliki cetak biru yang dijabarkan dalam GBHN, Orde Reformasi tidak memiliki perencanaan jelas dalam pembangunan untuk masa depan.
Dalam prakteknya kebijakan pembangunan nasional diserahkan kepada satu orang yaitu Presiden. Kebijakan politik hukum pembangunan nasional tergantung dari sudut pandang Presiden terpilih yang juga merupakan aktor dari beberapa kepentingan dibelakangnya yang memberikan dukungan dalam pemilu Presiden. Berada dalam posisi demikian bukan tidak mungkin kebijakan pembangunan nasional sifatnya adalah balas budi dengan memberikan proyek kepada para pendukungnya pada pilpres silam, atau pembangunan dilakukan dengan serabutan dan tambal sulam.
Meski demokratisasi di tanah air berjalan pesat dan menjadi etalase dunia internasional, namun dalam kenyataanya perkembangan demokrasi dan politik tidak berkelindan dengan demokrasi ekonomi. Sejauh ini tidak ada persinggungan kuat antara kemajuan politik dengan ekononi, bahkan tidak jarang keduanya saling menegasikan satu sama lain. Hal yang terjadi dari penerapan demokrasi liberal di era Reformasi adalah meningkatnya akumulasi kekayaan bagi segelintir elite tertentu. Sebaliknya sebagian besar rakyat Indonesia tetap saja terjebak dalam kemiskinan dan pengangguran.
Berkaca dari situasi yang kompleks di atas, saat ini muncul pemikiran
di parlemen untuk membangkitkan kembali GBHN sebagai solusi arah pembangunan guna mengejar ketertinggalan dari negara lain. Namun demikian bukan perkara mudah untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai haluan politik pembangunan nasional. Namun demikian bukan perkara mudah untuk mewujudkan hal tersebut. Langkah awal untuk kembali menghidupan GBHN adalah dengan mengembalikan fungsi dan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Stigmas GBHN sebagai produk Orde Baru harus dibuang jauhjauh. Partai-partai politik yang berada di parlemen harus mengikis egosentris dan memikirkan kehidupan bangsa dan negara dalam jangka
panjang.
Dalam lintasan sejarah perjalanan bangsa Indonesia, para pendiri
bangsa (founding father) sudah merumuskan kehadiran sebuah lembaga tertinggi di tanah air yang merupakan penjelamaan dari kedaulatan rakyat Indonesia. Gagasan pemebentukan MPR sebagai lembaga yang merupakan implementasi kedaulatan rakyat disampaikan Bung Karno
pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945.
Di dalam rapat besar Badan Persiapan Usaha Pra Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menguraikan dasar falsafah negara (philosofsce gronslag) memasukan prinsip musyawarah dan mufakat. Klausul tersebut dimasukkan sebab Indonesia berdiri sebagai sebuah negara bukan untuk kepentingan kelompok tertentu saja melainkan untuk semua kelompok, golongan dan kepentingan.
 Bung Karno juga mengusulkan pembentukan sebuah lembaga khusus sebagai kristalisasi ide tersebut. Singkat cerita terbentuklah sebuah lembaga bernama “Badan Permusyawaratan.” Lembaga yang semula bernama Badan Permusyawaratan dalam perjalanannya berganti nama menjadi “Majelis Permusyawaratan Rakyat” (MPR). Mr. Soepomo seorang ahli hukum yang masuk dalam tim kecil BPUPKI yang diketuai Soekarno pada tanggal 15 Juli 1945 menjelaskan bahwa MPR adalah bentuk atau wujud tertinggi dari kedaulatan rakyat.
Sebagai penjelaan seluruh rakyat maka MPR harus mewakili segala
unsur kekuatan kebangsaan senafas dengan semangat kekeluargaan dalam alam demokrasi permusyawaratan. Dengan demikian seluruh rakyat, seluruh golongan dan seluruh daerah akan memiliki wakil dalam MPR yang memegang penuh kedaulatan Rakyat.
Karena kedudukannya sebagai lembaga tertinggi di tanah air, maka posisi MPR tidak sejajar dengan DPR. MPR sedikitnya dalam lima tahun sekali bersidang. Di bawah MPR, Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi di Indonesia, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. MPR juga berwenang menetapkan undang-undang dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Di era Demokrasi Terpimpin, kedudukan MPR masih tetap sebagai lembaga tertinggi negara. Pasca terbitnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dan keputusan membubarkan DPR dan Majelis Konstituaten hasil pemilu tahun 1955, Presiden Soekarno membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementera (MPRS). Semua anggota MPRS diangkat oleh pemerintah dan mewakili segala unsur kepentingan, golongan dan daerah, termasuk perwakilan dari Irian Barat di dalamnya.
Selanjutnya pada tanggal 3 Desember 1960, MPRS mengeluarkan Ketetapan No. II/MPRS/1960 yang memuat di dalamnya pedoman Pola Pembangunan Semesta Nasional Berencana. Perumusan pembangunan nasional sendiri dikerjakan oleh Dewan Perencanaan Nasional (Depernas) yang merupakan cikal-bakal Bappenas. Pada tahun yang sama MPRS menetapkan Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) tahap pertama yang dicanangkan selama 8 tahun terhitung sejak tahun 1961 hingga 1969.
Setelah jatuhnnya Orde Lama dan naiknya Orde Baru dalam
panggung kekuasaan. Presiden Soeharto dalam menjalankan roda
pemerintahan adalah sebagai pelaksana MPR. Sebagai lembaga tertinggi
di tanah air MPR memiliki kewenangan merumuskan dan menetapkan
kebijakan politik hukum nasional dalam bidang pembangunan yang
dijabarkan dalam GBHN.
Sebagai mandataris MPR, Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun menjalankan program pembangunan yang berpijak pada GBHN. Visi misi pembangunan dibagi dalam beberapa tahap. Tahapan jangka pendek dengan rentang durasi waktu lima tahun, kemudian tahapan menengah dan panjang dengan rentang waktu hingga 25 tahun. Dalam menjalankan roda pemerintahan Presiden tidak berjalan dengan visimisinya sendiri melainkan tunduk pada GBHN.
Setelah jatuhnya Orde Baru dan lahirnya Orde Reformasi, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara dan kebijakan politik hukum dalam bidang pembangunan juga tidak lagi mengacu kepada GBHN yang dirumuskan MPR. Politik hukum dalam bidang pembangunan lebih bertumpu pada pelaksanaan visi-misi Presiden terpilih, yang paling lama bisa menerapkan gagasannya selama 10 tahun.
Ketidaksinkronan laju pembangunan nasional di era reformasi rupanya menimbulkan kegelisahan di tanah air. Setelah melewati dialektika politik yang cukup panjang dan terkadang melelahkan wacana menghidupkan kembali GBHN sebagai pedoman sekaligus kerangka acuan dalam pembangunan nasional berkesinambungan kembali terdengar. PDIP menjadi partai politik yang paling getol menyuarakan wacana tersebut. Dalam pandangan PDIP GBHN adalah dokumen legal berisi cita-cita pembangunan nasional yang terarah, terukur dan memiliki kesinambungan. Karena sifatnya yang konstitusional maka setiap pemerintahan wajib menjalankan program yang dirumuskan oleh MPR.
Untuk mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi
di tanah air prosesnya juga tidak mudah, yaitu harus melewati siding istimewa. Berdasarkan pasal 37 UUD 1945 untuk melakukan perubahan pasal dalam UUD 1945 bisa diagendakan dalam siding MPR jika diajukan sekurang-kurangnya oleh 1/3 anggota. Dalam UUD 1945 pasca amandemen yang dimaksud dengan MPR adalah gabungan dari anggota DPR dan DPD.Jumlah anggota DPR dari 10 fraksi kini sebanyak 560 orang sedangkan anggota DPD sebanyak 132 orang. Jika di jumlah menjadi
692 orang. Dengan demikian klausul 1/3 anggota jika dikonversi dalam jumlah anggota sekitar 231 anggota.
Selanjutnya setiap usulan perubahan pasal-pasal dalam UUD 1945 diajukan secara tertulis dan ditujukan dengan jelas bagiamana yang diusulkan diubah disertai dengan alasannya. Kemudian untuk merubah pasal-pasal dalam UUD 1945 setidaknya dihadiri oleh 2/3 anggota MPR atau sekitar 426 anggota. Sedangkan keputusan mengubah pasal-pasal dalam UUD 1945 dilakukan dengan persetujuan 50% anggota ditambah 1 anggota MPR. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sama sekali tidak bisa dilakukan perubahan, sebab hal tersebut adalah cita cita awal para pendiri bangsa.
Maka untuk menghidupkan GBHN sebagai kerangka acuan pembangunan bukan tanpa alasan, terlebih sejak era reformasi pembangunan nasional berjalan sporadis, tanpa perencanaan matang dan tidak terarah. Padahal tantangan dan dinamika yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini amat beragam dan variatif. Lambatnya pembangunan nasional mau tidak mau menjadikan Indonesia tertinggal dari negaranegara lain di Asia Tenggara, sebut saja Singapura dan Malaysia. Padahal kedua negara tersebut belajar banyak dari Indonesia dalam menata dan membangun sebuah bangsa dan negara.
Melihat rentetan fakta dan persoalan krusial yang semakin kompleks
dan dinamis maka sudah saatnya segenap pemangku kepentingan melakukan konsolidasi nasional. Dikembalikannya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi di tanah air bukan hanya untuk menetapkan GBHN sebagai pedoman dalam pembangunan nasional, melainkan untuk
memecah kebuntuan saat terjadi krisis konstitusi yang tidak diantisipasi dalam amandemen pasca reformasi.
Dalam hubungannya dengan politik hukum pembangunan nasional, RPJP yang merupakan visi misi Presiden terpilih dinilai memiliki keterbatasan, sebab visi misi Presiden terpilih dibatasi oleh kekuasaan yang paling lama hanya 10 tahun. Bukan hanya itu, karena sifatnya yang politis tidak jarang visi-misi Presiden dibuat sesaaat hanya sekedar mencari popularitas saja. Padahal untuk membangun Indonesia yang demikian luas dan besar waktu 10 tahun tentu saja tidak cukup.
Berkaca dari hal itulah, cetak biru yang berisi pedoman pembangunan
nasional yang sifatnya konstitusional, memaksa dan harus dijalankan oleh siapapun pemimpinnya harus segera dibuat dan dirumuskan. Terkait penggunaan nama tentu saja sifatnya dinamis. Orde Lama menggunakan istilah Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) sedangkan Orde Baru menggunakan istilah GBHN. Apapun istilah yang dipakai kita serahkan kepada pemangku kepentingan. Namun demikian cetak biru yang berisi pedoman pembangunan nasional yang dirumuskan dan dibuat MPR harus segera diwujudkan.
Dengan adanya cetak biru pembangunan nasional tersebut maka arah pembangunan nasional tidak lagi bersifat sporadik, inkonsisten namun memiliki panduan dan pedoman terukur dan terarah. Di situlah pentingnya cetak biru pedoman pembangunan nasional sebagai kompas penunjuk arah jalan pembangunan bangsa Indonesia, bukan hanya untuk 5 tahun namun untuk 100 tahun ke depan. Tentu saja proses bukan perkara mudah untuk mewujudkan hal tersebut. Segenap kelompok politik yang duduk di parlemen harus melepas ego sentrisnya masing-masing dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Proses amandemen kelima harus dilakukan dengan cermat, berhati-hati dan sejalan dengan amanat Pancasila dan kepentingan umum.
Nemun Tidak perlu alergi kepada produk Orde Lama, Orde Baru serta Orde Reformasi. Setiap zaman tentu sama memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Segala hal yang sifatnya baik bagi kehidupan bangsa dan negara dan pembangunan nasional bisa diramu dan dikombinasikan dengan tujuan mempercepat masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat pancasila dan UUD 1945.
Melihat situasi politik nasional yang terus mengalami kegaduhan serta dinamika tantangan bangsa yang semakin kompleks, maka sudah sepatutnya bangsa Indonesia perlu menggalang konsolidasi nasional. Salah satu tantangan di depan mata yang mau tidak mau harus dihadapi adalah berlakunya komunitas Masyarakat Asean atau Masyarat Ekonomi Asean (MEA). Dengan adanya konsensus tersebut maka Indonesia masuk dalam komunitas ASEAN.
Keputusan tersebut bisa berdampak dua sisi. Bisa berdampak baik
bagi bangsa Indonesia jika kesiapan bangsa Indonesia matang dalam menghadapi persaingan di era tersebut. Hanya dengan sumber daya manusia handal dan mumpuni serta soliditas dan konsolidasi nasional yang kuat dan kokoh Indonesia bisa tampil unggul dalam MEA. Sebaliknya jika bangsa Indonesia tidak siap dalam menghadapi persaingan tersebut, bukan tidak mustahil banyak penduduk Indonesia yang menjadi parasit politik dan ekonomi di negeri sendiri.
Berkaca dari persoalan tersebut sudah sewajarnya pemerintah dan wakil rakyat agar memikirkan kepentingan politik nasional jangka panjang, tidak lagi terjebak kepada kepentingan politik sesaat atau kepentingan golongan, suku, ras dan agama. Pada periode inilah masa depan bangsa Indonesia menjadi taruhannya.
1.5  Metode Penelitian
Pada hakikatnya   masalah   metode   dalam  suatu   studi   tidak   terlepas  dari apa  yang menjadi pertanyaan dasar atau perumusan masalah dan tujuan penelitian. Hal ini akan memberikan sinyal kearah mana suatu penelitian akan digarap dan pendekatan apa   yang   akan   diterapkan.[1]
Oleh sebab   itu,   berdasarkan   kerangka   pemikiran   dan permasalahan dalam penelitian  ini, selanjutnya akan dikemukakan mengenai : a).Pendekatan Penelitian;  b)   Tipe   Penelitian; c)  Sumber data, d) Instrumen Penelitian, e) Teknik Pengumpulan data, f) Metode pengolahan dan Analisis data.
a)        Pendekatan penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang penulis paparkan sebelumnya, serta sesuai dengan jenis penelitiannya maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approoach), dan pendekatan historis  (historikal approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approoach) dilakukan untuk meneliti berbagai aturan dan regulasi hukum yang menjadi fokus suatu penelitian. Dalam hal ini adalah Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai Sistem Presidensial di Indonesia
Pendekatan historis juga perlu dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah munculnya rumusan GBHN di Indonesia
Karena GBHN lahir mempunyai rumusan dan sejarah panjanga untuk membuatnya dan diikuti oleh ketentuan perundang-undangan memiliki latar belakang sejarah. Jadi penelitian normatif yang menggunakan pendekatan ini memungkinkan seorang peneliti untuk memahami hukum secara mendalam tentang suatu sistem, atau suatu pengaturan hukum tertentu sehingga dapat memperkecil kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan GBHN atau ketentuan hukum menurut amanah konstitusi Indonesia.
Sedangkan pendekatan analitis dilakukan untuk mengetahui bagaimana Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai Sistem Presidensial di Indonesia.
Hal ini dilakukan melalui dua pemeriksaan. Pertama, penulis atau peneliti berusaha memahami GBHN, yang mengatur tata hukum negara terkait Garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta melihat bagaimana pemberlakuan dan penghapusan GBHN pada masa orde lama, ordebaru maupun pada masa reformasi.
Selanjutnya, dalam penelitian ini juga bertujuan untuk    menjelaskan dan menganalisis bagaimana Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai Sistem Presidensial di Indonesia. Oleh karena itu metode pendekatan yang penulis pilih dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach).
Pendekatan undang-undang (statute approach)[2]adalah dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan tema penelitian dalam proposal disertasi ini. Mengingat penelitian dalam disertasi ini sebagai penelitian untuk kepentingan peraktis dan akademik.
Penelitian kepentingan peraktis adalah pendengakatan undang-undang untuk membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undangan lainnya atau antara undang-undang dengan undang-undang dasar atau antara regulasi dengan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecah isu yang sedang tejadi.
Penelitian kepentingan akademis adalah peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar antologis lahirnya GBHN tersebut. Dengan mempelajari ratio legis dan antologis  suatu undang-undang dalam hal ini GBHN peneliti sebenarnya mampu mengungkap kandungan filosofi yang ada di belakang lahirnya GBHN itu. Maka untuk memehami filosofi yang ada di belakang GBHN itu, peneliti dapat menyimpulkan terkait ada tidaknya benturan filosofis antara GBHN dengan sistem presidensial di Indonesia sekarang.[3]
b)        Tipe Penelitian
Pada   dasarnya   tipe   penelitian   dibagi  menjadi   2   macam   yaitu :
(1) Metode penelitian kuantitatif, dapat diklasifikasikan  menjadi 7 kategori yaitu penelitian deskriptif, penelitian perkembangan penelitian tindakan, penelitian perbandingan kausal penelitian    korelasional, penelitian eksperimental semu, dan penelitian eksperimental.
(2) Metode penelitian  kualitatif  meliputi 7 jenis yaitu:   penelitian fenomenologikal, penelitian grounded, penelitian     etnografi, penelitian historis, penelitian kasus, penelitian   filosofikal,   dan   penelitian   teori   kritik   sosial. Penelitian deskriptif,    perkembangan  dan    tindakan dapat saja  dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Berdasarkan tipe penelitian tersebut, maka dalam tesis ini digunakan tipe penelitian  kualitatif (penelitian yuridis normatif).
Menurut   Kirk dan  Miller   mendefenisikan    bahwa   penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu  pengetahuan yang secara fundamental bergantung  dari   pengamatan pada   manusia     baik   dalam  kawasannya maupun dalam   peristilahannya.[4]
Adapun   Danim   mengungkapkan   bahwa,   metode penelitian   kualitatif   bersifat   deskriptif  analisis  yaitu:   data   yang   terkumpul   berbentuk   kata- kata, gambar, bukan angka-angka. Kalaupun ada angka-angka, sifatnya hanya sebagai penunjang.   Data yang diperoleh   meliputi  transkip interview, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi dan lainnya.[5]
 (2)  Jenis dan Sumber Data
Menurut  sumbernya,   data   yang    digunakan    dalam    penelitian   dibedakan menjadi dua, yaitu:
a)      Sumber data primer dalam penelitian ini adalah bersumber dari kajian normatif dari sejarah lahirnya GBHN Indonesia yang berdasarkan amanah Konstitusi ada baik yang dalam UUD 1945 (UUD NKRI 1945)  maupun dalam landasar dasar bernegara yaitu Pancasila
b)     Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen resmi Undang-Undang, buku, diseratsi, jurnal, majalah ilmiah, diperoleh   dari  data-data   yang   ada  sebelumya   baik berupa  catatan-catatan,    koran,  undang-undang, dokumen,  laporan,  dan   sumber-sumber lain  yang  berhubungan dengan judul penelitian dalam tesis, disertasi dll.
c)      Teknik pengumpulan data
         Setelah   pengumpulan   data   dilakukan  yang   meliputi  data  sekunder   melalui konstitusi UUD 1945, GBHN dan catatan-catatan,   koran,   laporan, makalah, jurnal, prosiding,   dan   sumber-sumber   lain   yang   berhubungan   dengan judul tesis ini.
d). Instrumen Penelitian
Instrumen      penelitian  adalah   peneliti sendiri menggunakan logika dan berfikir analitik sehingga mampu mengverifikasi atau menyimpulkan fenomena yang dikaji, dan peneliti juga bertindak sebagai perencana, pelaksana dalam pengumpul data,  melakukan     analisis,   menafsirkan    data,   dan melakukan  laporan   penelitian..
e). Teknik pengolahan dan analisis data
Dalam penelitian ini, penulis berupaya menggunakan konsep analisa yang mangacu pada pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan sejarah GBHN dalam Konstitusi Indonesia. Supaya mempermudah dalam Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai Sistem Presidensial di Indonesia Maksud utama analisis tersebut adalah untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan GBHN secara konsepsional, sekaligus mengetahui cara merekonstruksi dan mempurifikasi GBHN sesuai dengan kedudukanya. . [6]
1.6   Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Tesis ini penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN.
      Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka , metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II  KAJIAN PUSTAKA
Pengertian GBHN dan kedudukanya menurut istilah bahasa dan kajian teori dan lahirnya GBHN dari aspek teori hukum berupa pendapat ahli maupun dari aturan dan regulasi yang dijadikan pisau analisa dalam membahas objek penelitian kutipan hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan dengan judul disertasi ini. Serta sekilas sejarah lahirnya GBHN dari masa masa atau priode pemerintahan Indonesia yang di penulis gali dari berbagai reverensi ilmiah maupun penelitian terdahulu
BAB III : PENERAPAN PENELITIAN
Pada bab ini penulis akan mengemukakan atau pengkaji  hasil penelitian bagaimana Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai Sistem Presidensial di Indonesia.
BAB IV: ANALISIS HASIL PENELITIAN
        Dalam bab ini analisis hasil penelitian Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai Sistem Presidensial di Indonesia. Baik aspek sejarah lahirnya GBHN dan cara merekonstruksi dan mempurifikasi yang bisa dilakukan oleh pemerintah pusat, serta mengkajih dan menganalisis bagaimana konsekuensi hukumnya atas Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai Sistem Presidensial di Indonesia.
BAB V: PENUTUP
Kesimpulan, kata penutup saran-saran dan rekomendasi penelitian dari penulis.









DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH UI, Jakarta, 2002
Abdul Rasyid Thalib, (2006). Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti
Achmad Ali, (2002). Menguak Tabir Hukum. Jakarta: PT Toko Gunung Agung
Achmad Ruslan, (2011).  Teori Dan Panduan Praktek Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Yogyakarta: Rangkang Education
Amiruddin dan Zainal, (2004). Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
A.Hamid Tamimi, (1999). Cita Hukum dan Cita Negara Dalam Mimbar Hukum, Jakarta: Yayasan Al Hikmah
Bagir Manan, (1994). Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta:  Pustaka Sinar Harapan
Bagir Manan, (2004). Teori Dan politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press
Hans Kelsen, (2010) General Theory of Law and State (Teori umum tentang Hukum dan Negara) diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media.
Hans Kelsen, (1973). General Theory of Law and State, Russel, New York
H.R.  Sri Soemantri, (2006). Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: PT. Alumni.
H. Abdul Latief, (2005). Hukum Dan Peraturan Kebijakan (Beleideregeles) Pada Pemerintahan Daerah. Yogyakarta: UII Press
Hans Kelsen, (1995) Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Deskriptif. Jakarta: Rimdi Press
Hans Kelsen, (2004). General Laws, Theori and State, Sari Kuliah Hukum Tata Negara Oleh Prof.Dr.Philipus M.Hadjon. Surabaya: FH Unair
Hamidi, Jazim, (2006) Revolusi Hukum Indonesia.  Konstitusi Press Jakarta; Citra Media.
Jimly Asshiddiqie, (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. JILID I Jakarta Pusat. Konstitusi Press.
Jimly Asshiddiqie, (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Jimly Asshiddiqi, (2002). Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI
Jimly Asshiddiqqi dan M.Ali Safaat, (2012). Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konpress
Jimly Assiddiqqie, (2006). Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press
Jimly Assiddiqqie, (2005). Hukum Tata Negara dan Pilar Pilar Demokrasi Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan Ham. Jakarta: Konstitusi Press
Lexi J Moeleong, (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda Karya
Leonard  W.  Levy. (terj.  Eni  Purwaningsi),  (2005)  Judicial  review:  Sejarah  kelahiran, wewenang  dan  fungsinya  dalam  negara  demokrasi. Bandung:  Penerbit Nusamedia
Lili Rosjidi, (1995). Dasar Dasar Filsafat Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
Maria Farida Indrati, (2007). Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Konisius
Maria Farida Indrati Soeprapto (2006). Ilmu Perundang undangan:Dasar Dasar dan Pembentukannya, cet. XI.  Yogyakarta: Kanisius
Muhammad Siddiq Armia, M.  Ya’kub AK, (2009). Epistimologi Perundang Undangan Studi Legislasi Hukum Nasional Dan Hukum Internasional Edisi Revisi. Banda Aceh: Yayasan PeNA.
M  Nur  Sholikin dkk (2011),  Laporan  Kajian  Implementasi Pengawasan Perda oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung. Pusat  Kajian  Hukum  dan  Kebijakan Indonesia.
Marsillam Simajuntak, (1997). Pandangan Negara Integralistik. Jakarta: Garfiti
Peter Mahmud Marzuki, (2009). Penelitian Hukum. Cet ke V Maret. Jakarta: Kencana
Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, (1990). Disiplin Hukum. Cetakan keempat, Bandung: Citra Aditya Bakti
Pipin Sarifin, (1998).  Pengantar Hukum Indonesia. Bandung: Setia
Soewoto Mulyosudarmo, (2004). Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi. Malang: Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In-Trans media
Sri Soemantri Martosoewignjo, (2008). Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan menurut UUD 1945, dalam Siti Sundari Rangkuti “Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti, Surabaya: Airlangga Press
Sudikno Mertokusumo, (2009). Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar. Cetakan Keenam. Yogyakarta: Liberty
Salam HS dan Erlies (2013), Penerapan teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada
Titik  Triwulan  Tutik, (2006). Pokok-Pokok  Hukum  Tata  Negara Indonesia.  Jakarta:  Prestasi  Pustaka  Publisher
Widodo  Ekatjahjana dan Totok  Sudaryanto, (2001) Sumber  Hukum Tata Negara Formal di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Zainal Arifin Hoesein, (2009). Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang undangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.
_______,“Institute Peradaban dan Gagasan Penguatan Sistem Pemerintahan”,disampaikan sebagai orasi ilmiah dalam rangka peluncuran Institute Peradaban di Jakarta, 16 Juli 2012, diakses darihttp://www.jimly.com/makalah/namafile/123/SISTEM_PRESIDENTIL.pdf pada hari Senin 20 Mei 2019
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1778.
Huda, Ni’matul, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2003.
Hanan, Djayadi, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia, Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis Dalam Konteks Indonesia, penerjemah: Maufur, MA, Al-Mizan, Bandung, 2014.
Horowitz, Donald L. Perubahan Konstitusi dan Demokrasi di Indonesia, Penerjemah Daryatno, Pustaka Pelajajar, Yogyakarta, 2014.
Haris, Syamsudin, Presidesialisme Cita Rasa Parlementer, Opini Kompas, 28 November 2008. Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam
Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
_______, Simalakama Koalisi Sistem Presidensial, Opini Kompas, 27 November 2008.
Indrayana, Denny, Negara Antara Ada dan Tiada, Kompas, Jakarta, 2008.
Kristanto, Tri Agung,Presidensialisme Masih Tetap Setengah Hati, dalam buku Tinjauan Kompas Menatap Indonesia 2014, Tantangan, Prospek, dan Ekonomi Indonesia, Kompas, Jakarta, 2014.

Amiruddin dan Asikin, Zainal (2004) Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Asshiddiqie Jimly. (2006) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. JILID I S eptember. Konstitusi Press. Jakarta Pusat.
Asshiddiqqi Jimly, M.Ali Safaat (2012), Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress, Jakarta.
Alim, Muhammad, “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya dengan Konstitusi”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, FH UII, No.1 Vol. 17 Januari 2010.
Assiddiqqie Jimly, (2006) Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta.
Farida Maria Indarati S, (2007) Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Konisius, Yogyakarta.
Hans Kelsen, (2010) General Theory of Law and State (Teori umum tentang Hukum dan Negara) diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung.
Tamimi A.Hamid (1999), Cita Hukum dan Cita Negara dalam mimbar hukum, Yayasan Al Hikmah, Jakarta.
Manan, Bagir (1994), Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
Marzuki, Peter Mahmud. (2009) Penelitian Hukum. Cet ke V Maret. Kencana, Jakarta.
Moeleong, Lexi J (2007) Metode Penelitian Kualitatif , Bandung: PT. Rosda Karya.
Lijphart, Arend, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, diterjemahkan oleh Ibrahim R. dkk, Cet.1, PT Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
Soekarno, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari: Kenangan 100 tahun Bung
Karno (Seri pemikiran Bung Karno)
. Jakarta. Grasindo.2001.
Elson, Edward R. Suharto Sebuah Biograf Politik. Jakarta.Minda Utama.2001.
_______, The Ide of Indonesia, Jakarta.Serambi Pustaka Utama.2006.
Emerson K Donald, Indonesia Beyond Soeharto, Jakarta. Kompas Pustaka Gramedia. 2001.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Jalan
Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan
. Jakarta.Puspijak.2013.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila
. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 2001.
Lev, Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia. Jakarta. LP3ES. 1990.
Maarif, Ahmad Syafi. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta. LP3ES. 1985.
Mahfud, Moh MD. Demokrasi dan Konstitusi Indonesia. Yogyakarta. Liberty 1993.


[1] Paulus   Hadisuprapto, “Ilmu   Hukum   dan   Pendekatannya”, (Semarang:2006), hal 18.
[2] Peter Mahmud Marzuki,”Penelitian Hukum,” (Jakarta: 2005),  hal.94-95
[3] Ibid hal 24
[4] Lexy J. Moeleong, “Metode Penelitian Kualitatif,”(Bandung, 2008), hal. 4
[5] Sudarwan Danim, ’Menjadi Peneliti Kualitatif,”  (Bandung: 2002), hal. 39-40.
[6] Kholid Narbuko Achmadi, “Metodologi Penelitian kualitatif”, (Jakarta: 2001), hlm. 18.