Oleh Muhammad Hadidi, S.Sy, M.H |
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi
salah satu isu yang masih sangat sentral menjadi perbincangan ketatanegaraan
pada saat ini. Dalam berbagai kesempatan sosialisasi empat pilar
bernegara oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), wacana menghidupkan
kembali GBHN sebagai pedoman perencanaan pembangunan nasional
menjadi salah satu materinya.
Hal tersebut tidak
terlepas dari Rekomendasi Nomor 2 Keputusan MPR RI Nomor 4/MPR/2014
tentang Rekomendasi MPR RI Masa Jabatan 2009-2014, yang menyebutkan
”Melakukan reformulasi sistem
perencanaan pembangunan nasional dengan model
GBHN sebagai haluan penyelenggaraan negara” (Sadono, 2016:2).
Inilah
cikal bakal ”formal” lahirnya isu menghidupkan kembali GBHN, dimana
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945
Sebelum Perubahan (asli) menjadi salah satu kewenangan MPR (Pasal 3)
namun setelah dilakukannya Perubahan UUD NRI Tahun 1945, kewenangan
tersebut dihapuskan.
Model kepemimpinan negara Indonesia yang
saat ini menggunakan sistem Presidensial, dimana Presiden
dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat
dalam pemilihan umum, membuat Presiden dan Wakil Presiden terpilih sibuk
menerjemahkan visi-misi dan janji politik yang dibuatnya
ketika pemilihan umum, tanpa kemudian memperhatikan
pembangunan yang berkelanjutan.
Mengingat pada Orde Reformasi sekarang memang tidak mengenal GBHN sebagai kerangka acuan
dalam pembangunan nasional, kebijakan politik hukum dalam bidang
pembangunan nasional dirumuskan dalam program Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP). Sesuai dengan amanat konstitusi pasca Reformasi, pihak yang memiliki kewenangan dalam merumuskan RPJPN
dan menjabarkannya adalah Presiden terpilih.
Sejak Reformasi 1998 harus diakui telah
terjadi perubahan radikal dalam sistem tata negara Agusman (2014:15). MPR yang semula adalah lembaga tertinggi negara, kini kedudukannya sejajar dengan
lembaga tinggi negara yang lainnya. Dalam kedudukannya sebagai
lembaga tinggi negara, maka peraturan perundang-undangan dalam
sistem hukum tata negara Indonesia, maka tidak lagi mengenal
istilah Ketetapan (Tap) MPR sebagai peraturan (regelling). Tap MPR yang
semula kedudukannya berada pada derajat kedua setelah UUD 1945, kini
tidak bisa lagi ditemui. Memang masih dimungkinkan adanya Tap MPR,
namun sifatnya bukan lagi sebagai peraturan (regelling)
melainkan sebagai penetapan (beschikking), seperti ketetapan tentang penetapan Wakil
Presiden menjadi Presiden apabila Presiden berhalangan tetap.
Pasca reformasi sekarang ini juga
masih dalam terjebak pada kebijakan politik hukum dalam
bidang pembangunan di era Reformasi sekarang tidak mengenal dan memberlakukan lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Dengan dalil para perancang reformasi memandang tabu terminologi GBHN tersebut, sebab istilah tersebut begitu lekat dan identik dengan rezim Orde Baru.
Di erah reformasi lebih mengenal istilah Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sebagai kebijakan politik hukum nasional dalam bidang
pembangunan. Dalam tataran pelaksanaannya RPJPN adalah visi-misi Presiden terpilih, dan memiliki keterbatasan terlebih masa jabatan Presiden hanya dibatasi 10 tahun saja. Berbeda dengan GBHN yang sifatnya konstitusional dan wajib dijalankan oleh siapapun penguasanya, RPJP lebih bersifat politis dan kompromi, sehingga dalam pelaksanaanya kerap terjadi inkonsistensi. Proposal ini memberikan ulasan bagaimana Rekonsruksi dan Purifikasi Tata
Ulang GBHN Sesuai dengan Sistem Presidensial Indonesia sehingga wacana
menghidupkan kembali GBHN dapat terwujud dengan cara perlu dilakukan
tata ulang dengan konsep rekonstruksi (pembangunan) materi serta perlu
dilakukan Purifikasi (Pembersihan) materiil GBHN yang tidak sesuai dengan
sistem presidensial Indonesia guna sebagai pedoman pembangunan hukum nasional
Mengingat GBHN, sebagai landasan politik hukum
pembangunan nasional, maka Orde Reformasi bertumpu pada RPJPN. RPJPN tidak lain
adalah visi-misi Presiden yang diutarakan saat kampanye pada Pemilu Presiden
(Pilpres). Oleh karena sifatnya yang politis dan kompromi, maka dalam tataran
pelaksanaan kerap terjadi inkonsistensi.
Bukan hanya
itu RPJP juga memiliki keterbatasan, sebab konstitusi
membatasi masa jabatan Presiden maksimal hanya 10 tahun. Belum lagi
Visi dan misi pemerintah satu sama lain tidaklah sama, sehingga tidak ada
jaminan bagi pemerintahan yang tengah berkuasa menjalankan kebijakan
atau program yang sudah ditetapkan rezim sebelumnya. Pada titik inilah,
pembangunan nasional tidak berjalan searah dan berkesinambungan. Untuk itu dengan merekonstruksi dan mempurifikasi GBHN sehingga dapat tertata ulang landasan hukum Indonesia yang kuat dan konstitusional. Sehingga setiap penguasa atau pemerintah baru, wajib menjalankan program pembangunan yang sudah ditetapkan MPR sebagai lembaga yang berwenang melahirkan kembali GBHN Indonesia.
membatasi masa jabatan Presiden maksimal hanya 10 tahun. Belum lagi
Visi dan misi pemerintah satu sama lain tidaklah sama, sehingga tidak ada
jaminan bagi pemerintahan yang tengah berkuasa menjalankan kebijakan
atau program yang sudah ditetapkan rezim sebelumnya. Pada titik inilah,
pembangunan nasional tidak berjalan searah dan berkesinambungan. Untuk itu dengan merekonstruksi dan mempurifikasi GBHN sehingga dapat tertata ulang landasan hukum Indonesia yang kuat dan konstitusional. Sehingga setiap penguasa atau pemerintah baru, wajib menjalankan program pembangunan yang sudah ditetapkan MPR sebagai lembaga yang berwenang melahirkan kembali GBHN Indonesia.
Dalam
kaitannya dengan perkembangan kehidupan politik, bangsa
Indonesia di era reformasi tumbuh menjadi negara ketiga terbesar yang menerapkan sistem demokrasi dengan pemilihan langsung. Kebebasan berpendapat, beroganisasi, mengeluarkan pendapat dan kebebasan pers, serta partisipasi warga dijamin penuh oleh konstitusi. Rakyat memiliki daulat penuh untuk memilih siapa pemimpinnya. Mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota semuanya dipilih langsung oleh rakyat.
Indonesia di era reformasi tumbuh menjadi negara ketiga terbesar yang menerapkan sistem demokrasi dengan pemilihan langsung. Kebebasan berpendapat, beroganisasi, mengeluarkan pendapat dan kebebasan pers, serta partisipasi warga dijamin penuh oleh konstitusi. Rakyat memiliki daulat penuh untuk memilih siapa pemimpinnya. Mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota semuanya dipilih langsung oleh rakyat.
Namun
demikian apakah perkembangan dalam bidang politik hukum
tersebut sejalan dengan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi? Apakah cita-cita mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera sesuai dengan Pancasila sudah terwujud? Ataukah sebagian besar rakyat hanya menjadi penonton saja di tengah gegap gempitanya laju pembangunan nasional yang kini tengah berjalan? Deretan pertanyaan itulah yang mendesak untuk dijawab oleh para pemangku kepentingan.
tersebut sejalan dengan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi? Apakah cita-cita mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera sesuai dengan Pancasila sudah terwujud? Ataukah sebagian besar rakyat hanya menjadi penonton saja di tengah gegap gempitanya laju pembangunan nasional yang kini tengah berjalan? Deretan pertanyaan itulah yang mendesak untuk dijawab oleh para pemangku kepentingan.
Mengingat Setelah 73
tahun Indonesia merdeka, UUD
1945 telah mengalami empat kali amandemen
dari kurun waktu 1999
sampai 2002. Pembongkaran yang
dilakukan praktis merubah struktur
ketatanegaraan. Semua dari
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai institusi tertinggi yang
terdiri dari anggota anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
dan utusan utusan daerah serta
golongan, kemudian ada Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mahkamah Agung
(MA). Dewan Pertimbangan
Agung (DPA). Hasil perubahan
menghasilkan penambahan Mahkamah
Konstitusi (MK). Dewan Perwakilan
Daerah (BPD) yang mengambil empat
perwakilan dari masing
masing propinsi, dan
Komisi Yudisial (KY). Posisi
serta peran DPA akhirnya dibubarkan dan
diganti dengan Dewan Penasihat Presiden.
Selain
institusi institusi yang
disebutkan dalam konstitusi, terdapat juga
komisi komisi atau badan
badan dan lembaga
independen yang menghiasi dalam
struktur ketatanegaraan. Hal
itu seperti keberadaan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Komisi
Nasional HAM (Komnas HAM). Komisi
Polisi Nasional (KomPolnas). Komisi Penyiaran Indonesia(KPI). Komisi Ombudsman Nasional, Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Lembaga
Perlindungan saksi dan korban (LPSK) dan banyak lagi.
Namun semakin banyaknya institusi tinggi
Negara sekaligus institusi independen yang
ada, justru menimbulkan gesekan gesekan karena terjadinya fungsi
yang saling tumpang tindih. Contoh
yang beberapa kali
terjadi misalnya antara
MA dan KY, KPU
dan Kementerian Dalam
Negeri, MA dan KPU,
serta DPD dan
DPR.
Gugatan gugatan atas kekisruhan fungsi institusi
Negara dalam sistem tata
Negara setidaknya dapat
difah ami seperti langkah
DPD mengajukan judicial review (uji
materi) terhadap UU tentang
MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (UU Parlemen). Langkah yang dilakukan DPD
tersebut merupakan upaya
strategis sebagai warming upuntuk
mengadakan amandemen konstitusi.
Terlebih selama ini DPD dan MPR seolah mengalami
amputasi wewenang serta fungsi untuk bisa andil berperan merumuskan
arah embangunan nasional.
Tentunya proses demokrasi yang dirasa semakin tidak jelas
arah perjalanannya dalam relasinya dengan pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat semakin mendukung
untuk dilakukan adopsi aturan
calon independen sebagai kandidat
calon presiden dan wakil
presiden. Presiden sebagai kepala eksekutif par excellence
berwenangmenjalankan arah
pembangunan nasional sesuai
dengan visi dan misinya
dengan berpegangan pada UU.
Namun karena
selama ini presiden dan wakil
presiden adalah dan wakil presiden adalah
baying bayang partai terentu, maka
visi dan misi pembangunan yang
dijalankan justru terkesan sebagai
visi dan misi partainya. Dalam suatu organisasi manapun
diperlukan perencanaan. Dengan
jumlah penduduk yang
sedemikian besar, keragaman agama dan
lainnya, sehingga
kompleksitas permasalahan
begitu tinggi, maka
perencanaan tidak bisa dihindari.
GBHN
dahulunya merupakan
program rencana kerja sebagai pedoman
untuk menyusun rencana pembangunanlima tahunan berdasarkan prespektif
25 tahun ke depan dengan mendapatkan persetujuan setiap lima tahun
dari MPR RI melalui DPR
RI, peran yang mulanya dilakukan
oleh MPR kini mengalami pergeseran. Nampaknya peran tersebut kini lebih banyak
diambil oleh eksekutif bersama DPR. Jika
kita merencanakan suatu arah
atau haluan Negara
kedepan, suatu haluan yang
mampu menjadi haluan bersama
yang tidak berhenti ditengah jalan haluan yang
mampu mewakili bangsa Indonesia.
Untuk itu dalam prosoal
penelitain disertasi (LoA) saya ini saya mengambil tema penelitian untuk
mengkaji dan diteliti ulang berbentuk disertasi nantinya guna kedepannya
bagimana GBHN Indonesia sebelum ditawarkan ulang menjadi Produk hukum Indonesia
maka perlu Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN sesuai dengan sistem
presial Indonesia kita sekarang ini.
1.1 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana merekonstruksi ulang bentuk
hukum GBHN yang tidak bertentangan
dengan sistem Presidensil di Indonesia….?
2.
Bagaimana mempurifikasi ulang materi GBHN yang tidak lagi relevan dengan sistem
presidensial di Indonesia……..?
3.
Bagaimana Prosedur Hukum Menata Ulang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Negara
Kesatuan Republik Indonesia Sesuai Dengan sistem Presidensial di Indonesia…?
1.2 Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui dan
mengkaji rekonstruksi
ulang bentuk hukum GBHN yang tidak bertentangan dengan sistem Presidensial di Indonesia.
2.
Mengetahui dan mengkaji purifikasi materi GBHN yang tidak lagi
relevan dengan sistem presidensial di Indonesia.
3.
Mengetahui dan mengkaji Prosedur Hukum Tata Ulang Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Negara Kesatuan Republik Indonesia Sesuai Dengan sistem Presidensi di Indonesia.
4.
Mengetahui dan mengkaji
konsekkuensi hukum rancangan GBHN Indonesia setelah dilakukan rekonstruksi dan
purifikasi sesuai dengan prosedur hukum tata negara di Indonesia.
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian
ini diharapakan dapat memberikan
sumbangan pemikiran berupa temuan-temuan yang bermanfaat bagi proses
pengembangan ilmu pengetahuan hukum secara teoritis dan spesifik
ada dua manfaat yang ingin penulis capai meliputi:
1.
Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazana keilmuan hukum secara
integral bagi insan akademisi dan masyarakat luas terkait hasil penelitian Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai
Sistem Presidensial di Indonesia, termasuk juga dapat mengatahui
sejarah rumusan awal, dan berlakunya, serta dampak positif dan negatif secara
hukum berlakunya GBHN di era orde baru dan tidak diberlakukannya GBHN pada era
reformasi sekarang ini sehingga secara keilmuan hukum dapat ditarik kesimpulan
manfaat hukumnya bila diberlakukan kembali GBHN di Indonesia sesuai dengan
sistem Presidensial kita sekarang ini.
2.
Secara praktis,
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai
Sistem Presidensial di Indonesia dan dapat mengefalusi bagimana peran dan fungsi GBHN pada sistem
presidensial di Indonesia
1.4 Tinjauan Pustaka
Jika kita mengkaji kilas balik kebijakan politik hukum
pembangunan nasional Rakernas PDIP pada Tahun 2016 yang lalu mengusulkan agar GBHN dihidupkan kembali, melalui skema
sebuah program cetak biru (blue print) Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). Selain itu
PDIP juga mengusulkan agar kedudukan MPR yang kini menjadi lembaga tinggi
negara, dikaji
ulang. PDIP berpandangan, kedudukan MPR harus dipulihkan sebagai
lembaga tertinggi negara dengan kembali mengamandemen UUD 1945. Megawati mengklaim, usulan yang diutarakan itu murni untuk kepentingan bangsa dan negara, tidak ada kepentingan politik praktis untuk partainya.
ulang. PDIP berpandangan, kedudukan MPR harus dipulihkan sebagai
lembaga tertinggi negara dengan kembali mengamandemen UUD 1945. Megawati mengklaim, usulan yang diutarakan itu murni untuk kepentingan bangsa dan negara, tidak ada kepentingan politik praktis untuk partainya.
Usulan meninjau kedudukan MPR dan menjadikan
GBHN sebagai pedoman pembangunan nasional, sebenarnya bukan sekali ini saja
disampaikan PDIP ke publik. Pada tahun 2012, Megawati juga mengusulkan agar
kedudukan MPR yang kini menjadi lembaga tinggi negara, ditinjau ulang melalui
amandemen UUD 1945. Namun Megawati memberikan catatan kritis terhadap sejumlah
pasal dalam UUD 1945 yang tidak bisa diubah, dengan alasan hal tersebut
menyangkut jatidiri bangsa Indonesia.
Salah satu tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia
adalah menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Hal tersebut tertera dalam
Pembukaan UUD 1945 yang dirumuskan para pendiri bangsa. Salah satu instrumen
yang bisa dilakukan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur adalah dengan
pembangunan, baik yang sifatnya mental maupun fsik. Dalam kaitannya dengan
dengan pembangunan nasional, setiap pemerintah memiliki kebijakan sendiri.
Kebijakan tersebut dirancang khusus dengan
tahapan dan sasaran pembangunan yang jelas. Presiden Soekarno dengan Demokrasi
Terpimpinnya, memiliki cetak biru pembangunan jangka pendek dengan durasi 8
tahun yang disebut dengan Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). Adapun
Presiden Soeharto, mengusung program pembangunan yang ditetapkan MPR dalam
GBHN.
Kebijakan politik hukum nasional dalam bidang
pembangunan sejatinya bisa dilacak sejak awal berdirinya bangsa Indonesia. Pada
tahun 1945 Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang diserahi tugas membantu
Presiden sebelum terbentuknya MPR dan DPR, mengusulkan kepada pemerintah agar
komite itu diserahi kekuasaan legislatif guna menetapkan GBHN. Usulan tersebut
disetujui pemerintah yang diwakili Wakil Presiden Mohammad Hatta yang
didampingi Sekretaris Negara.
AG. Pringgodigdo dengan menerbitkan Maklumat
Wakil Presiden No.X
tahun 1945 Dalam hubungannya dengan politik hukum nasional dalam bidang pembangunan nasional, Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam rentang waktu tahun 1947 hingga 1950, telah merumuskan pokok-pokok dan kebijakan politik hukum dalam bidang Pembangunan Nasional yang disebutnya “Plan Produksi Tiga Tahun RI.” Sayang, sampai tahun 1950, program yang dicanangkan Hatta tidak berjalan, karena Indonesia disibukkan dalam menghadapi agresmi militer Belanda yang membonceng tentara Sekutu yang masuk ke Indonesia.
tahun 1945 Dalam hubungannya dengan politik hukum nasional dalam bidang pembangunan nasional, Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam rentang waktu tahun 1947 hingga 1950, telah merumuskan pokok-pokok dan kebijakan politik hukum dalam bidang Pembangunan Nasional yang disebutnya “Plan Produksi Tiga Tahun RI.” Sayang, sampai tahun 1950, program yang dicanangkan Hatta tidak berjalan, karena Indonesia disibukkan dalam menghadapi agresmi militer Belanda yang membonceng tentara Sekutu yang masuk ke Indonesia.
Pada era Demokrasi Liberal (1950-1957)
kebijakan politik hukum pembangunan nasional juga sudah dirumuskan. Tepatnya
pada Kabinet Wilopo yakni sekitar tahun 1952 terbentuklah Biro Perancang Negara
di bawah Kementerian Negara Urusan Pembangunan yang diketuai Ir. H. Juanda.
Biro Perencanaan Negara berhasil menyusun konsep pembangunan untuk rentang 5
tahun.
Rencana pembangunan tahap pertama dirancang
untuk periode 1956-1960. Namun, lagi-lagi kegaduhan politik menggagalkan
terlaksananya program tersebut. Demokrasi Parlementer membuat pemerintah Indonesia
jatuh bangun, sehingga memicu mengerasnya hubungan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah. RPLT pun gagak dilaksanakan ketika itu.
Di masa
Demokrasi Terpimpin, program pembangunan nasional dirumuskan oleh Dewan
Perancang Nasional (Depernas) yang merupakan cikal bakal dari Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas). Depernas sendiri saat itu bekerja selama dua
tahun, yang diketuai Muhammad Yamin menyusun rencana pembangunan nasional.
Setelah bekerja keras akhirnya Depernas berhasil merumuskan pola pembangunan nasional
yang disebut Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). PNSB tahap pertama dicanangkan
selama 8 tahun terhitung sejak tahun 1961 hingga 1969.
PNSB tahap pertama adalah dokumen kolektif
nasional yang terdiri
atas 4 bab dan 10 pasal. Selama dua tahun Depernas merumuskan gagasan
PNSB. Untuk tahap pertama, PNSB menitikberatkan pembangunan dalam 8 bidang pembangunan, yaitu: pembangunan mental dan rohani, penelitian, kesejahteraan, pemerintahan, keamanan/pertahanan, produksi, distribusi dan keuangan.
atas 4 bab dan 10 pasal. Selama dua tahun Depernas merumuskan gagasan
PNSB. Untuk tahap pertama, PNSB menitikberatkan pembangunan dalam 8 bidang pembangunan, yaitu: pembangunan mental dan rohani, penelitian, kesejahteraan, pemerintahan, keamanan/pertahanan, produksi, distribusi dan keuangan.
Niat baik PNSB yang dirumuskan untuk tahap
pertama, lagilagi urung berjalan maksimal karena sedikit terhambat oleh
dinamika politik yang terjadi saat itu. Perjuangan merebut Irian Barat dari tangan
Belanda, timbulnya gerakan ganyang Malaysia dan puncaknya terjadi Peristiwa 30
September 1965, memecah konsentrasi dalam melaksanakan PNSB. Berbagai rentetan
peristiwa itu, memiliki kontribusi kuat dalam menghambat jalannya program
pembangunan yang sudah dicanangkan pemerintah.
Kebijakan politik hukum dalam bidang
pembangunan nasional mulai bisa tertata rapi, berjalan terarah dan
berkesinambungan saat tampilnya pemerintahan Orde Baru berada dalam pusat
kekuasaan. Terlepas dari adanya pro dan kontra di dalamnya, sejak tahun 1969
hingga 1998 rezim Orde Baru menjadikan GBHN sebagai pijakan dalam bidang
Pembangunan Nasional berencana. Selama 32 tahun berkuasa, ide dan sasaran
pembangunan dirumuskan oleh MPR dan dijalankan Presiden.
Model pembangunan juga dibagi-bagi dalam
beberapa tahap, mulai dari jangka pendek, menengah sampai panjang.13 Selama ini
banyak yang menyangka bahwa GBHN adalah produk pemerintahan Orde Baru sebagai
pedoman dalam Pembangunan Nasional yang terencana, sistematis, terarah dan berkesinambungan.
Perlu ditekankan di sini bahwa sejatinya GBHN bukanlah produk hukum dari
pemerintahan Orde Baru melainkan amanat para pendiri bangsa yang dituangkan
dalam UUD 1945.
Dalam pasal 3 UUD 1945 pra amandemen berbunyi
“Majelis Rakyat Menetapkan Undang-Undang Dasar dan GarisGaris Besar daripada
Haluan Negara.” Dalam pasal tersebut terlihat jelas bahwa GBHN adalah amanat
dari konstitusi sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan kesejahteraan,
masyarakat adil dan makmur. Tugas merumuskan dan membuat GBHN diemban oleh MPR
yang merupakan lembaga tertinggi negara di tanah air, yang mewakili semua
kelompok, golongan dan daerah dari seluruh Indonesia. Presiden sebagai
mandataris MPR dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak bisa berjalan dengan
visi dan misinya sendiri melainkan harus tunduk pada visi besar yang dibuat MPR
dan dijabarkan dalam GBHN.
Pasca tumbangnya pemerintahan Orde Lama dan
kemudian lahirnya pemerintahan Orde Baru, kebijakan politik hukum nasional
dalam bidang-bidang pembangunan juga direncanakan dengan rapi, matang dan sistematis. Proyek pembangunan nasional
dirumuskan dan ditetapkan MPR yang dituangkan dalam bentuk GBHN. Program
pembangunan di GBHN itu kemudian dijabarkan dalam bentuk pembangunan jangka
pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
Sejak tahun 1973 hingga 1998 Presiden
Soeharto (Orde Baru)
menempatkan GBHN sebagai landasan hukum dalam proses pembangunan
di tanah air. Hal itu tidak terlepas dari peran dan kedudukan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara, sehingga Ketetapan MPR (Tap) MPR No.IV/
MPR/1973 tentang GBHN praktis menjadi produk hukum pada sidang
umum MPR tahun 1973 Mahfu MD (2001:267).
menempatkan GBHN sebagai landasan hukum dalam proses pembangunan
di tanah air. Hal itu tidak terlepas dari peran dan kedudukan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara, sehingga Ketetapan MPR (Tap) MPR No.IV/
MPR/1973 tentang GBHN praktis menjadi produk hukum pada sidang
umum MPR tahun 1973 Mahfu MD (2001:267).
Di dalam GBHN tahun 1973 juga memuat diktum
hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah, yang berisi pencabutan otonomi
daerah yang sebelumnya diatur Tap MPRS No. XXI tahun 1966. Hal itu dicabut,
karena dinilai mengandung paham liberal, yang bisa menimbulkan sekaligus
membahayakan keutuhan dan persatuan bangsa. Pada masa pemerintahan Orde Baru,
proyek pembangunan dilakukan secara sistematis, berjalan terarah, dan disusun
rapi. Setiap program pembangunan dijalankan sesuai dengan cetak biru (blue
print) kebijakan politik hukum yang tertera dalam GBHN.
Sebagai sebuah dokumen kolektif yang berisi
cita-cita dan tujuan pembangunan nasional, GBHN dibuat dan dirumuskan oleh MPR.
Dalam merumuskan GBHN, MPR meninjau segala kebutuhan dan keperluan masyarakat.
Dalam membangun bangsa Indonesia, pemerintahan Orde Baru memiliki strategi
sendiri. Program pembangunan dibagi dalam beberapa tahap.
Tahapan
jangka pendek disebut dengan Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun
bahkan ada rencana pembangunan dua puluh lima tahun (1994-2019). Tiap repelita
memiliki target dan sasaran terukur. Repelita pertama yang dicanangkan tahun
1969 hingga 1974 menitikberatkan dalam bidang pertanian. Pada pertengahan tahun
1980- an Indonesia sudah mampu mencapai swasembada dalam persediaan beras. Pada
periode itu, perekonomian Indonesia tumbuh lebih dari 7 persen. Prestasi yang
bersifat rekor itu tidak ada presedennya dalam sejarah modern nusantara.
Keberhasilan Presiden Soeharto dalam
mempromosikan swasembada beras, menciptakan stabilitas politik, mengurangi
angka kemiskinan dan buta huruf, pada kenyataannya menjadi daya pikat
tersendiri. Banyak pemimpin dunia yang tertarik dengan sosoknya bahkan belajar dan berguru kepada dirinya
untuk menata negara dan bangsa yang mereka pimpin. Di tingkat internasional
Presiden Soeharto mendorong pengembangan kerjasama antar negara-negara ASEAN
dalam perdagangan dengan tujuan menguatkan sekaligus mencapai ketahanan
nasional.
Dalam panggung politik internasional
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok, Indonesia juga tampil sebagai negara
yang mendapat sambutan hangat. Presiden Soeharto juga berhasil memulihkan
hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Saat itu Soeharto adalah
pemimpin terkenal, bahkan mungkin bisa dikatakan sebagai tokoh dunia.
Para pemimpin dunia pun ingin belajar darinya
bagaimana menjalankan pemerintahan dan ia pun senang melayani mereka. Dalam
panggung politik internasional Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok,
Indonesia juga tampil sebagai negara yang mendapat sambutan hangat. Presiden
Soeharto juga berhasil memulihkan hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok
(RRT). Saat itu Soeharto adalah pemimpin terkenal, bahkan mungkin bisa
dikatakan sebagai tokoh dunia. Para pemimpin dunia pun ingin belajar darinya
bagaimana menjalankan pemerintahan dan ia pun senang melayani mereka.
Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun
memanglah bukan rezim yang sempurna. Sebagai sebuah barisan kekuasaan tentu
saja ada kekurangan yang terjadi pada era tersebut. Rezim Orde Baru yang mengidentikkan
diri dengan rezim pembangunan ditopang oleh stabilitas politik kuat. Di setiap
GBHN yang disahkan MPR kata “stabilitas politik” selalu diulang berkali-kali.
Dalam panggung politik internasional
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok, Indonesia juga tampil sebagai negara
yang mendapat sambutan hangat. Presiden Soeharto juga berhasil memulihkan
hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Saat itu Soeharto adalah
pemimpin terkenal, bahkan mungkin bisa dikatakan sebagai tokoh dunia.
Para pemimpin dunia pun ingin belajar darinya
bagaimana menjalankan
pemerintahan dan ia pun senang melayani mereka.16 Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun memanglah bukan rezim yang sempurna. Sebagai sebuah barisan kekuasaan tentu saja ada kekurangan yang terjadi pada era tersebut. Rezim Orde Baru yang mengidentikkan diri dengan rezim pembangunan ditopang oleh stabilitas politik kuat. Di setiap GBHN yang disahkan MPR kata “stabilitas politik” selalu diulang berkali-kali R.E. Elson (2001:487).
pemerintahan dan ia pun senang melayani mereka.16 Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun memanglah bukan rezim yang sempurna. Sebagai sebuah barisan kekuasaan tentu saja ada kekurangan yang terjadi pada era tersebut. Rezim Orde Baru yang mengidentikkan diri dengan rezim pembangunan ditopang oleh stabilitas politik kuat. Di setiap GBHN yang disahkan MPR kata “stabilitas politik” selalu diulang berkali-kali R.E. Elson (2001:487).
Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun memanglah bukan rezim
yang sempurna. Sebagai sebuah barisan kekuasaan tentu saja ada kekurangan yang
terjadi pada era tersebut. Rezim Orde Baru yang mengidentikkan diri dengan
rezim pembangunan ditopang oleh stabilitas politik kuat. Di setiap GBHN yang
disahkan MPR kata “stabilitas politik” selalu diulang berkali-kali.
Stabilitas politik pada masa Orde Baru
dibangun dengan membungkam lawan-lawan politik (seperti Ali Sadikin, AH
Nasution, HR Dharsono, Sri Bintang Pamungkas, HJ Princen, dll), membatasi
partisipasi publik yang berpotensi kuat mengganggu jalannya roda pemerintahan
dan pembangunan yang sudah dicanangkan. Dalam membangun stabilitas politik,
Orde Baru menjadikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan jajaran
birokratis sebagai penyokong utama kekuasaan.
Alat-alat negara inilah yang digunakan untuk
membungkam lawan
politik Presiden Soeharto sekaligus mengukuhkan eksistensinya dalam posisi puncak, sehingga rezim Orde Baru dituding sebagai rezim otoriter. Bahkan seorang pengacara kawakan Todung Mulya Lubis pada tahun 1983 pernah menyampaikan bahwa GBHN tiak secara tegas menyatakan keberpihakan kepada pengembangan hukum yang berkeadilan sosial. Hal yang terjadi hukum harus menjadi alat legitimasi bagi pembangunan ekonomi.
politik Presiden Soeharto sekaligus mengukuhkan eksistensinya dalam posisi puncak, sehingga rezim Orde Baru dituding sebagai rezim otoriter. Bahkan seorang pengacara kawakan Todung Mulya Lubis pada tahun 1983 pernah menyampaikan bahwa GBHN tiak secara tegas menyatakan keberpihakan kepada pengembangan hukum yang berkeadilan sosial. Hal yang terjadi hukum harus menjadi alat legitimasi bagi pembangunan ekonomi.
Problem GBHN dan RPJP:
komparasi politik hukum pembangunan Pasca 17 tahun berlalu, wacana kembali
menghidupakan GBHN sebagai haluan sekaligus pedoman pembangunan nasional
berencana dan terarah mulai terdengar. Lewat dialektika politik panjang usulan
tersebut datang dan mengemuka dari PDIP yang merupakan partai politik pemenang
pemilu tahun 2014.
Dalam
sebuah pidato nasional pada tanggal 18 Agustus 2015 dalam rangka perayaan Hari
Konstitusi di MPR, Megawati Soekarnoputri meminta agar kedudukan MPR ditinjau
ulang. Menurutnya kedudukan MPR sebagai lembaga tinggi negara, tidak cocok
dalam sistem tata negara Republik Indonesia. Para pendiri bangsa ini merancang
MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yang mewakili segala unsur golongan,
kelompok masyarakat dan utusan daerah. Kehadiran MPR sebagai lembaga tertinggi
negara merupakan implementasi/perwujudan sila keempat Pancasila: “Kerakyatan
yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Keadilan.”
Kedudukan MPR dalam sistem ketata-negaraan pada pra amandemen UUD 1945 adalah
lembaga tertinggi negara, yang berwenang menerbitkan produk perundang-undangan,
di antaranya GBHN.
Megawati berpandangan, kedudukan GBHN (PNSB)
penting sebagai kebijakan politik hukum nasional yang dijadikan pijakan,
pedoman sekaligus kerangka acuan dalam pembangunan bangsa Indonesia, baik
jangka pendek, menengah dan panjang. Untuk dapat mengembalikan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara, maka Megawati mengusulkan amandemen UUD 1945 dengan
secara hati-hati dan terbatas.
Namun demikian pasca reformasi tahun 1998 dan
terjadinya perubahan dalam UUD 1945, fungsi dan kewenangan MPR dalam menetapkan
GBHN sebagai politik hukum nasional direduksi. MPR tidak lagi sebagai lembaga
tertinggi negara yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam
pasal 3 hasil amandemen UUD 1945 hanya membahas tugas MPR dalam mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar, membahas pemberhentian Presiden dan Wakil
Presiden. Dalam hubungannya dengan kebijakan politik hukum bidang pembangunan
nasional, Orde Reformasi menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden terpilih.
Dalam hierarki aturan perundang-undangan
sebelum reformasi, produk hukum yang dikeluarkan MPR memiliki derajat nomor dua
di bawah langsung UUD 1945. Selama 32 tahun berkuasa rezim Orde Baru menjadikan GBHN sebagai pedoman sekaligus
kerangka acuan rencana pembangunan nasional. Selama lima tahun sekali MPR
bertugas merumuskan dan menetapkan GBHN sebagai politik hukum nasional.
Di masa Orde Baru GBHN sendiri dipandang
sebagai dokumen sakral yang berisi cita-cita bangsa Indonesia dalam mewujudkan
masyrakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.Visi nasional yang dituangkan
dalam GBHN kemudian dijabarkan dalam pembangunan jangka pendek, menengah dan
panjang bersifat dinamis mengikuti dinamika dan perkembangan zaman serta
kebutuhan nyata publik.
Dalam waktu yang kurang lebih sama, pandangan
positif disampaikan mantan Menteri Penerangan era Orde Baru, Harmoko. Menurut
Harmoko ide untuk menghidupkan kembali begitu penting agar bangsa Indonesia
memiliki pola pembangunan jangka panjang dan tidak hanya terbatas pada
visi-misi Presiden terpilih yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) yang sifatnya terbatas.
Harmoko menampik jika GBHN bukanlah produk
politik hukum dalam bidang pembangunan nasional Orde Baru melainkan amanat
konstitusi yang tertera dalam UUD 1945. Dalam UUD 1945 pasal 3 sebelum di
amandemen berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat Menetapkan Undang-Undang
Dasar dan Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara.” Di era pemerintahan Orde
Baru kebijakan pembangunan nasional ditetapkan dalam GBHN, kemudian pada era
pemerintahan Orde Lama kebijakan pembangunan nasional ditetapkan melalui
Program Pembangunan Semesta Berencana tahap pertama (1991-1969).
Dalam hubungannya dengan kebijakan politik
hukum pembangunan nasional, baik Orde Lama dan Orde Baru menciptakan program
cetak biru yang isinya adalah dokumen legal mengenai arah kebijakan pembangunan
bangsa Indonesia. Program pembangunan dicanangkan dan ditata demikian rapi.
Setiap program pembangunan memiliki tahapan dan periodisasi jelas, terukur dan
terarah. Cetak biru program pembangunan tersebut ditetapkan oleh MPR sebagai
lembaga tertinggi di tanah air. Karena sifatnya yang konstitusional maka setiap
Presiden wajib menjalankan amanat penderitaan rakyat (Ampera) tersebut.
Orde Lama maupun Orde Baru adalah potret
perjalanan bagi bangsa Indonesia dalam menata dan membangun negara dan bangsa.
Era Orde Lama menjadikan politik sebagai panglima dalam proses pembangunan
bangsa. Sedangkan Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima untuk membangun Indonesia. Setiap rezim yang
berkuasa memiliki corak dan karakteristiknya sendiri dalam bidang kebijakan
politik hukum pembangunan.
Pasca tumbangnya Orde Baru dan lahirnya Era
Reformasi pada tahun 1998, Indonesia memasuki fase baru. Banyak terjadi
perubahan signifkan dalam sistem politik dan tata negara. Dalam bidang politik
Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Konsekuensi logis dari hal tersebut
Presiden menjadi penentu arah kebijakan politik hukum nasional dalam bidang
pembangunan. Visi misi Presiden yang diterapkan dalam RPJP adalah pedoman dalam
bidang pembangunan nasional.
Era Reformasi dimulai saat naiknya BJ Habibie
dalam tampuk kekuasaan pada tahun 1999 silam. Sebagai pemimpin yang lahir di
era transisi, Habibie fokus mengendalikan stabilitas politik yang tengah
bergejolak. Pada periode Habibie inilah kebijakan politik hukum nasional dalam
bidang pembangunan yang dijabarkan dalam GBHN berakhir. MPR sebagai lembaga
tertinggi negara saat itu menolak pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie.
Praktis sesudah itu kebijakan politik hukum nasional dalam bidang pembangunan
tidak lagi mengenal istilah GBHN.
Salah satu cita-cita Reformasi tahun 1998
adalah mengupayakan
kehidupan layak bagi rakyat sesuai dengan asas kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemudian mengembangkan ekonomi rakyat yang memperhatikan pertumbuhan ekonomi dengan nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial dan perlakuan adil bagi seluruh masyarakat Indonesia. Lantas apakah cita-cita tersebut sudah terwujud?
kehidupan layak bagi rakyat sesuai dengan asas kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemudian mengembangkan ekonomi rakyat yang memperhatikan pertumbuhan ekonomi dengan nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial dan perlakuan adil bagi seluruh masyarakat Indonesia. Lantas apakah cita-cita tersebut sudah terwujud?
Menurut Scott Mainwaring (1993:119-120), pemerintahan presidensial dengan
sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis. Hal itu
terjadi jika presiden terpilih tak berasal dari partai politik yang memperoleh
kekuatan mayoritas di lembaga legislatif.Untuk mendapat dukungan di lembaga
legislatif, presiden berupaya membentuk pemerintahan koalisi dengan merangkul
sejumlah partai politik. Cara paling umum yang dilakukan presiden: membagikan posisi menteri kabinet kepada partai politik
yang memberikan dukungan kepada presiden.
Terjadinya fenomena koalisi ini memang tidak
terjadi begitu saja, menilik desain sistem pemilu presiden yang berlaku, sulit
menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945
membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, UU No. 42
Tahun 2008 tentang pemilihan presiden mengharuskan syarat dukungan paling
sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional
dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Menurut Mahfud MD
(1993:86). Menurut
Mahfud MD., kedudukan antara eksekutif dan legislatif adalah sejajar atau
sama-sama kuat.16Artinya kedua lembaga tersebut tidak boleh untuk saling
intervensi, apalagi kewenangan presiden yang diintervensi. Sebelum amandemen,
Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat undang-undang yang diatur dalam
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, sedangkan DPR hanya sebatas menyetujuinya sesuai
dengan Pasal 20 UUD 1945.
Waktu
itu Indonesia memang belum menganut separation of power sehingga
kekuasaan legislasi penuh yang seharusnya dimiliki DPR menjadi tidak terwujud.
Bukti lain dapat dilihat dari ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan “Susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan dengan undang undang”.Selain itu, sebelum amandemen cheks
and balances antar lembaga negara tidak terwujud. Keadaan ini pun berubah
setelah terjadinya reformasi konstitusi dari 1999 -- 2002.
Namun demikian, dalam praktiknya sama sekali
tidak sesuai dengan tujuan besar dilakukannya reformasi konstitusi tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari pendapat Ni’matul Huda yang mangatakan bahwa ketika
terjadi reformasi konstitusi terhadap UUD 1945, muncul beberapa kesepakatan
dasar dalam melakukan perubahan UUD 1945, antara lain mempertegas sistem
presidensial. Namun, dalam kenyataannya kesepakatan tersebut tidak ditaati
secara konsisten oleh MPR. Pembongkaran konstruksi presidensialisme dalam UUD 1945
signifikan pada perubahan pertama 1999, kemudian penguatan kelembagaan DPR pada
perubahan kedua 2000, bukannya melahirkan keseimbangan kekuasaan antara
Presiden dan DPR, tetapi justru menimbulkan ketidakjelasan sistem Presidensial
yang ingin dibangun melalui perubahan UUD 1945
DPR seakan menumpahkan seluruh dendam dan
serapahnya karena hampir 32 tahun (1966-1998) dikekang dan berada dibawah
komando eksekutif (Presiden). Lebih jelas yang dimaksud legislative heavy dapat
dilihat dari beberapa pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 yang mengindikasikan kekuasaan
DPR terlalu dominan. Di antaranya yaitu Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 13,
Pasal 14 ayat (2), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (5). Tidak hanya itu,
sangat banyak hak interpelasi yang digunakan legislatif untuk mengkritisi
kebijakan pemerintah. Kegiatan untuk meminta keterangan kepada Presiden yang
terangkum dalam hak interpelasi DPR tersebut menurut pendapat penulis
mengindikasikan adanya subordinate antara DPR dengan Presiden, sehingga
seolah-olah terkesan kedudukan DPR berada di atas Presiden.
Selain itu, dalam praktik sering kali
dijumpai bahwa hak prerogratif presiden dicekal oleh kekuatan parlemen. Seperti
pengangkatan Kepala Polri dan pengangkatan Panglima TNI. Sikap parlemen yang
mencampuri pemilihan Kepala Polri dan Panglima TNI, secara legalistik tidak ada
yang salah. Wakil rakyat itu memiliki dasar hukum, yaitu sesuai Pasal 11 UU No.
2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pengangkatan
dan pemberhentian Kepala Polri dilakukan Presiden atas persetujuan DPR. Pasal
13 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyebutkan,
Presiden memberhentikan dan mengangkat Panglima TNI setelah mendapatkan
persetujuan dari DPR.
Padahal, UUD 1945 termasuk perubahannya tidak
mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri dan Panglima TNI. Bahkan,
jika direnungkan, kebijakan pemberhentian dan pengangkatan Kepala Polri dan
Panglima TNI itu harus sepersetujuan DPR. Bukan hanya menggerogoti makna
Presidensialisme yang digunakan dalam sistem pemerintahan di negeri ini,
melainkan tidak sejalan dengan konstitusi. Pasal 10 UUD 1945 menyatakan Presiden memegang kekuasaan
yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Kerancuan pelaksanaan sistem presidensial
dalam pemerintahan di negeri ini, jika mengacu pada UUD 1945 setelah perubahan
pertama hingga keempat, kian nyata dengan memperhatikan Pasal 13. Konstitusi
hasil perubahan itu menyatakan, presiden berhak mengangkat duta dan konsul.
Untuk mengangkat duta presiden diminta memperhatikan pertimbangan dari
parlemen. Bahkan, untuk menerima penempatan duta dari negara lain, presiden
juga harus memperhatikan pertimbangan dewan. Selain itu, selama ini Presiden terkesan
menerima saja pertimbangan, bahkan penolakan yang diajukan parlemen.
Hal tersebut diamini oleh Syamsudin Haris
yang menyatakan bahwa masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah konstitusi
hasil amandemen tak sekadar mengadopsi sistem presidensial yang mendekati
”murni”, tetapi juga kian memperkuat otoritas DPR. Melalui otoritas legislasi
yang dimiliki, DPR bahkan memberi hak tunggal bagi diri sendiri guna menyeleksi
para pejabat publik, seperti pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala
Polri, serta pimpinan dan anggota komisi negara yang pembentukannya melalui
undang-undang.
Otoritas yang seharusnya melekat pada
presiden dalam skema presidesialisme menjadi peluang bagi DPR untuk
melembagakan
”gangguan” terhadap presiden. Desain konstitusi yang semula hendak menyeimbangkan kekuasaan eksekutif-legislatif akhirnya terperangkap pada situasi ”sarat DPR.
”gangguan” terhadap presiden. Desain konstitusi yang semula hendak menyeimbangkan kekuasaan eksekutif-legislatif akhirnya terperangkap pada situasi ”sarat DPR.
Terjadinya nomali sistem pemerintahan
presidensial pasca
amandemen UUD 1945 bukan terjadi begitu saja dan tanpa sebab apapun. Melainkan dipengaruhi oleh tiga faktor determinan yang menimbulkan anomali. Ada pun faktorfaktor tersebut adalah: terjadinya perpaduan antara sistem multi partai dengan sistem presidensial. Perpaduan kedua sistem ini bukanlah pasangan yang serasi untuk mengasilkan sistem presidensial yang efektif.
amandemen UUD 1945 bukan terjadi begitu saja dan tanpa sebab apapun. Melainkan dipengaruhi oleh tiga faktor determinan yang menimbulkan anomali. Ada pun faktorfaktor tersebut adalah: terjadinya perpaduan antara sistem multi partai dengan sistem presidensial. Perpaduan kedua sistem ini bukanlah pasangan yang serasi untuk mengasilkan sistem presidensial yang efektif.
Jika
terus dipaksakan maka sistem presidensial akan menjadi lemah dan memperburuk
kondisi pemerintahan. terciptanya koalisi dalam sistem pemerintahan
presidensial. Akibat dari diterapkannya sistem multi parti maka menyebabkan
lahirnya koalisi antar partai. Terlebih lagi koalisi
yang terbentuk adalah koalisi yang rapuh yang hanya ingin mencari kekuasaan.
yang terbentuk adalah koalisi yang rapuh yang hanya ingin mencari kekuasaan.
Sehingga koalisi hanya menjadi buah
simalakama dalam sistem presidensial.
reduksi kekuasaan presiden pasca amandemen. Lemahnya posisi presiden
akibat kewenangan yang dimiliknya direduksi menjadi bukti nyata terjadinya
anomali sistem presidendial. Sebab presiden merupakan aktor utama yang
memainkan jalannya sistem kepemerintahan. Jika kewenangan yang dimilikinya
direduksi maka presiden akan lemah dihadapan parlemen.
Menghidupkan
Kembali GBHN sebagaimana dalam prosenya tanpa terasa Reformasi tahun 1998 sudah
berjalan selama 18 tahun lebih. Orde reformasi memberikan kebebasan
berpendapat, partipasi warga negara, kebebasan pers dan partai politik untuk
tumbuh dan berkembang. Selama orde reformasi kehidupan demokrasi di tanah air
berkembang. Presiden hingga kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, tidak
lagi menggunakan MPR seperti di era Orde Baru.
Namun demikian demokrasi politik yang
berkembang tidak selalu sejalan dengan demokrasi ekonomi. Gerakan reformasi
yang hanya terfokus dalam bidang politik seolah melupakan pembangunan dalam
bidang ekonomi. Pada era reformasi kebijakan pembangunan nasional berjalan
tidak terarah, sporadis bahkan terkadang terjadi paradoks. Program pembangunan
nasional berpijak pada visi-misi Presiden terpilih yang paling banter hanya
bisa menjalankan program tersebut selama 10 tahun saja.
Begitu penguasa berganti, tidak ada kewajiban
bagi penguasa baru
untuk menjalankan program atau kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintahan terdahulu. Visi-misi Presiden yang dituangkan dalam RPJPN tidak selamanya berjalan konsisten, terkadang ditengah jalan terjadi inkonstensi, utamanya karena intervensi politik. Persoalan lain yang juga menjadi ganjalan adalah ketidaksinkronan pola pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah tingkat II yang dipilih langsung oleh rakyat terkesan tidak tunduk (membangkan) kepada pemerintah pusat.
untuk menjalankan program atau kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintahan terdahulu. Visi-misi Presiden yang dituangkan dalam RPJPN tidak selamanya berjalan konsisten, terkadang ditengah jalan terjadi inkonstensi, utamanya karena intervensi politik. Persoalan lain yang juga menjadi ganjalan adalah ketidaksinkronan pola pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah tingkat II yang dipilih langsung oleh rakyat terkesan tidak tunduk (membangkan) kepada pemerintah pusat.
Menurut Kusmito Gunawan, kesan pembangkangan
itu dapat
dilihat dari banyaknya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang tidak dilaporkan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Pusat Pada tahun 2007, sekitar 1.366 Raperda tentang pajak dan retribusi,m tidak dilaporkan ke pemerintah pusat (Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Keuangan).
dilihat dari banyaknya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang tidak dilaporkan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Pusat Pada tahun 2007, sekitar 1.366 Raperda tentang pajak dan retribusi,m tidak dilaporkan ke pemerintah pusat (Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Keuangan).
Sejak tahun 2001 hingga akhir 2007, tak
kurang dari 1.276 Perda tentang pajak, retribusi dan jenis pungutan lain,
dibatalkan Pemerintah Pusat. Ketidaktundukan Pemerintah Kabupaten/ Kota
terhadap pusat, hingga tahun 2016 masih terjadi yang ditandai dengan banyaknya
Raperda yang dibatalkan Menteri Dalam Negeri.
Sebagai contoh di Jawa Tengah, sebanyak 122
Peraturan Daerah (Perda) yang dinilai pusat bermasalah, dibatalkan oleh Menteri
Dalam Negeri. Namun semenjak 5 April 2007, Mahkamah Konstitusi mencabut kewenangan
Menteri Dalam Negeri mencabut Perda bermasalah.
Melihat berbagai persoalan seperti itu,
muncullah kerinduan untuk
kembali menghidupkan GBHN sebagai pedoman dalam pembangunan nasional terencana. Megawati menyadari, bahwa ide mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara, akan menimbulkan reaksi pro dan kontra. Namun demikian, Megawati berharap kepada publik di tanah air, supaya tidak berburuk sangka dan dapat mengedepankan dialog.
kembali menghidupkan GBHN sebagai pedoman dalam pembangunan nasional terencana. Megawati menyadari, bahwa ide mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara, akan menimbulkan reaksi pro dan kontra. Namun demikian, Megawati berharap kepada publik di tanah air, supaya tidak berburuk sangka dan dapat mengedepankan dialog.
Pasca tumbangnya pemerintahan Orde Baru dan
lahirnya pemerintahan Orde Reformasi telah terjadi perubahan radikal dalam
sIstem politik dan tata negara di tanah air. Kedudukan MPR yang semula lembaga
tertinggi negara kini sebatas lembaga tinggi negara yang sejajar dengan lembaga
eksekutif dan legislatif. Melalui amandemen UUD 1945, fungsi, kewenangan dan
kedudukan MPR dipangkas habis. Dalam kedudukan demikian, MPR tidak lagi
memiliki kewenangan sekokoh dahulu. MPR juga tidak bisa menerbitkan Produk hukum yang sifatnya
aturan perundang-undangan.
Putri Presiden Soekarno itu mengaku gelisah
dengan arah kebijakan dan pembangunan nasional yang terjadi di era Reformasi
ini. Kegelisahan ini terjadi lantaran tidak adanya kesinambungan pembangunan
antara pemerintahan yang tengah berkuasa dengan pemerintahan sebelumnya.
Inkonsistensi pembangunan nasional tentu saja secara tidak langsung
berimplikasi langsung terhadap kesejahteraan rakyat yang diamanatkan dalam
Pancasila dan UUD 1945.
Padahal salah satu tujuan didirikannya
Indonesia adalah untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan
Pancasila. Bagaimana masyarakat adil, makmur dan sejahtera bisa tercipka jika
proses pembangun berjalan tersendat-sendat dan tanpa pedoman jelas. Rentetan
kejadian itulah yang menjadi alasan bagi Presiden Kelima Republik Indonesia
untuk mengusulkan kembali menghidupkan GBHN.
Menghidupkan kembali GBHN dinilai penting
agar bangsa Indonesia memiliki pijakan dan pedoman nasional terencana,
terintegrasi dan terarah. GBHN yang merupakan dokumen kolektif nasional yang
berisi cita-cita rakyat Indonesia adalah strategi jitu dalam bidang pembangunan
nasional, bukan hanya sebatas 5 tahun semata melainkan pembangunan dalam jangka
panjang.
Beberapa fraksi di MPR pun melalui politisi senior mereka, dalam sebuah
acara bertajuk “Dialog Kenegaraan: Implementasi Janji Kebangsaan” yang diselenggarakan di MPR pada 17 November 2014, menyambut hangat usulan yang disampaikan PDIP, untuk mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dukungan itu muncul antara lain dari Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR Mohammad Jafar Hafsah dan Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Untuk mengembalikan posisi MPR, harus dilakukan melalui amandemen kelima UUD 1945.
acara bertajuk “Dialog Kenegaraan: Implementasi Janji Kebangsaan” yang diselenggarakan di MPR pada 17 November 2014, menyambut hangat usulan yang disampaikan PDIP, untuk mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dukungan itu muncul antara lain dari Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR Mohammad Jafar Hafsah dan Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Untuk mengembalikan posisi MPR, harus dilakukan melalui amandemen kelima UUD 1945.
Menurut Jafar Hafsah, MPR yang memiliki
kewenangan melantik pasangan presiden dan wakil presiden serta melakukan amendemen
konstitusi, hendaknya berkedudukan lebih tinggi dari lembaga tinggi negara
lain. Melalui amendemen kelima UUD 1945, bisa saja posisi dan kewenangan MPR
dikembalikan lagi menjadi lembaga tertinggi negara seperti amanah UUD 1945.
Pengembalian kedudukan MPR tersebut juga akan menguntungkan, karena MPR bisa
menjadi pengayom lembaga- lembaga tinggi negara. Apabila terjadi hubungan kurang harmonis di
antara lembaga-lembaga tinggi negara, maka MPR bisa menjadi penengah.
Baginya GBHN bukan identik dengan Orde Baru,
sebab GBHN adalah cita-cita para pendiri bangsa yang dirumuskan dalam UUD 1945
pra amandemen. Dalam pasal 3 UUD 1945 pra amandemen, MPR sebagai lembaga
tertinnggi negara memiliki tugas dan kewenangan merumuskan dan menetapkan GBHN
sebagai kebijakan politik hukum nasional, termasuk di dalamnya dalam bidang
pembangunan nasional.
Mantan Ketua DPR/MPR Harmoko juga setuju
dengan gagasan Megawati, dengan mengutip penjelasan ahli hukum Mr. Soepomo pada
rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sesaat sebelum UUD 1945
disahkan. Dalam rapat tersebut Soepomo menyebut MPR berwenang menetapkan GBHN,
Presiden tidak memiliki kebijakan politik sendiri melainkan menjalankan haluan
negara yang sudah ditetapkan MPR. Namun demikian Orde Reformasi melucuti peran
MPR dalam merumuskan dan menetapkan GBHN sebagai kompas dalam bidang
pembangunan nasional.
Pasca absennya GBHN dalam sistem tata negara
di tanah air, bangsa
Indonesia tidak memiliki arah dan pedoman jelas dalam merancang kebijakan pembangunan nasional yang terarah, berkesinambungan dan kontinyu. Setelah 17 tahun berlalu kini timbul kesadaran untuk kembali menghidupkan GBHN sebagai pegangan pembangunan nasional.
Indonesia tidak memiliki arah dan pedoman jelas dalam merancang kebijakan pembangunan nasional yang terarah, berkesinambungan dan kontinyu. Setelah 17 tahun berlalu kini timbul kesadaran untuk kembali menghidupkan GBHN sebagai pegangan pembangunan nasional.
Tantowi Yahya politikus Partai Golkar menilai
jalannya pembangunan di era reformasi berjalan tanpa arah jelas. Banyak
kebijakan penting dalam bidang pembangunan yang diambil secara reaktif tanpa
memikirkan matang-matang program tersebut. Pasca hilangnya GBHN sebagai pedoman
pembangunan nasional terencana pembangunan tidak lagi berjalan secara berkesinambungan.
Hal yang terjadi setiap ganti pemerintahan tentu saja kebijakan ikut diganti.
Tidak ada cetak biru (blue print) yang menjadi pedoman dalam membangun
bangsa Indonesia.
Tantowi menyebut proyek pembanguan Kereta
cepat JakartaBandung dan pembangunan pembangkit listrik 35.000 Mega Watt adalah
salah satu contoh nyata dari kejanggalan pembangunan yang tidak terencana
dengan baik. Dikatakan tidak memiliki rencana matang karena tidak ada cetak
biru dalam dua mega proyek tersebut. Berbeda dengan pemerintahan Orde Baru yang
memiliki cetak biru yang dijabarkan dalam GBHN, Orde Reformasi tidak memiliki
perencanaan jelas dalam pembangunan untuk masa depan.
Dalam prakteknya kebijakan pembangunan
nasional diserahkan kepada satu orang yaitu Presiden. Kebijakan politik hukum
pembangunan nasional tergantung dari sudut pandang Presiden terpilih yang juga
merupakan aktor dari beberapa kepentingan dibelakangnya yang memberikan
dukungan dalam pemilu Presiden. Berada dalam posisi demikian bukan tidak
mungkin kebijakan pembangunan nasional sifatnya adalah balas budi dengan
memberikan proyek kepada para pendukungnya pada pilpres silam, atau pembangunan
dilakukan dengan serabutan dan tambal sulam.
Meski demokratisasi di tanah air berjalan
pesat dan menjadi etalase dunia internasional, namun dalam kenyataanya
perkembangan demokrasi dan politik tidak berkelindan dengan demokrasi ekonomi.
Sejauh ini tidak ada persinggungan kuat antara kemajuan politik dengan ekononi,
bahkan tidak jarang keduanya saling menegasikan satu sama lain. Hal yang
terjadi dari penerapan demokrasi liberal di era Reformasi adalah meningkatnya
akumulasi kekayaan bagi segelintir elite tertentu. Sebaliknya sebagian besar
rakyat Indonesia tetap saja terjebak dalam kemiskinan dan pengangguran.
Berkaca dari situasi yang kompleks di atas,
saat ini muncul pemikiran
di parlemen untuk membangkitkan kembali GBHN sebagai solusi arah pembangunan guna mengejar ketertinggalan dari negara lain. Namun demikian bukan perkara mudah untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai haluan politik pembangunan nasional. Namun demikian bukan perkara mudah untuk mewujudkan hal tersebut. Langkah awal untuk kembali menghidupan GBHN adalah dengan mengembalikan fungsi dan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Stigmas GBHN sebagai produk Orde Baru harus dibuang jauhjauh. Partai-partai politik yang berada di parlemen harus mengikis egosentris dan memikirkan kehidupan bangsa dan negara dalam jangka
panjang.
di parlemen untuk membangkitkan kembali GBHN sebagai solusi arah pembangunan guna mengejar ketertinggalan dari negara lain. Namun demikian bukan perkara mudah untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai haluan politik pembangunan nasional. Namun demikian bukan perkara mudah untuk mewujudkan hal tersebut. Langkah awal untuk kembali menghidupan GBHN adalah dengan mengembalikan fungsi dan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Stigmas GBHN sebagai produk Orde Baru harus dibuang jauhjauh. Partai-partai politik yang berada di parlemen harus mengikis egosentris dan memikirkan kehidupan bangsa dan negara dalam jangka
panjang.
Dalam lintasan sejarah perjalanan bangsa
Indonesia, para pendiri
bangsa (founding father) sudah merumuskan kehadiran sebuah lembaga tertinggi di tanah air yang merupakan penjelamaan dari kedaulatan rakyat Indonesia. Gagasan pemebentukan MPR sebagai lembaga yang merupakan implementasi kedaulatan rakyat disampaikan Bung Karno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945.
bangsa (founding father) sudah merumuskan kehadiran sebuah lembaga tertinggi di tanah air yang merupakan penjelamaan dari kedaulatan rakyat Indonesia. Gagasan pemebentukan MPR sebagai lembaga yang merupakan implementasi kedaulatan rakyat disampaikan Bung Karno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945.
Di dalam rapat besar Badan Persiapan Usaha
Pra Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menguraikan dasar falsafah
negara (philosofsce gronslag) memasukan prinsip musyawarah dan mufakat.
Klausul tersebut dimasukkan sebab Indonesia berdiri sebagai sebuah negara bukan untuk kepentingan kelompok
tertentu saja melainkan untuk semua kelompok, golongan dan kepentingan.
Bung
Karno juga mengusulkan pembentukan sebuah lembaga khusus sebagai kristalisasi
ide tersebut. Singkat cerita terbentuklah sebuah lembaga bernama “Badan
Permusyawaratan.” Lembaga yang semula bernama Badan Permusyawaratan dalam perjalanannya
berganti nama menjadi “Majelis Permusyawaratan Rakyat” (MPR). Mr. Soepomo
seorang ahli hukum yang masuk dalam tim kecil BPUPKI yang diketuai Soekarno
pada tanggal 15 Juli 1945 menjelaskan bahwa MPR adalah bentuk atau wujud
tertinggi dari kedaulatan rakyat.
Sebagai penjelaan seluruh rakyat maka MPR
harus mewakili segala
unsur kekuatan kebangsaan senafas dengan semangat kekeluargaan dalam alam demokrasi permusyawaratan. Dengan demikian seluruh rakyat, seluruh golongan dan seluruh daerah akan memiliki wakil dalam MPR yang memegang penuh kedaulatan Rakyat.
unsur kekuatan kebangsaan senafas dengan semangat kekeluargaan dalam alam demokrasi permusyawaratan. Dengan demikian seluruh rakyat, seluruh golongan dan seluruh daerah akan memiliki wakil dalam MPR yang memegang penuh kedaulatan Rakyat.
Karena kedudukannya sebagai lembaga tertinggi
di tanah air, maka posisi MPR tidak sejajar dengan DPR. MPR sedikitnya dalam
lima tahun sekali bersidang. Di bawah MPR, Presiden adalah pemegang kekuasaan
tertinggi. Dalam UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, kedudukan
MPR sebagai lembaga tertinggi di Indonesia, kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. MPR juga berwenang menetapkan undang-undang
dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Di era Demokrasi Terpimpin, kedudukan MPR
masih tetap sebagai lembaga tertinggi negara. Pasca terbitnya Dekrit Presiden
pada tanggal 5 Juli 1959 dan keputusan membubarkan DPR dan Majelis Konstituaten
hasil pemilu tahun 1955, Presiden Soekarno membentuk Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementera (MPRS). Semua anggota MPRS diangkat oleh pemerintah dan mewakili
segala unsur kepentingan, golongan dan daerah, termasuk perwakilan dari Irian
Barat di dalamnya.
Selanjutnya pada tanggal 3 Desember 1960,
MPRS mengeluarkan Ketetapan No. II/MPRS/1960 yang memuat di dalamnya pedoman
Pola Pembangunan Semesta Nasional Berencana. Perumusan pembangunan nasional
sendiri dikerjakan oleh Dewan Perencanaan Nasional (Depernas) yang merupakan
cikal-bakal Bappenas. Pada tahun yang sama MPRS menetapkan Pembangunan Nasional
Semesta Berencana (PNSB) tahap pertama yang dicanangkan selama 8 tahun terhitung sejak tahun 1961
hingga 1969.
Setelah jatuhnnya Orde Lama dan naiknya Orde
Baru dalam
panggung kekuasaan. Presiden Soeharto dalam menjalankan roda
pemerintahan adalah sebagai pelaksana MPR. Sebagai lembaga tertinggi
di tanah air MPR memiliki kewenangan merumuskan dan menetapkan
kebijakan politik hukum nasional dalam bidang pembangunan yang
dijabarkan dalam GBHN.
panggung kekuasaan. Presiden Soeharto dalam menjalankan roda
pemerintahan adalah sebagai pelaksana MPR. Sebagai lembaga tertinggi
di tanah air MPR memiliki kewenangan merumuskan dan menetapkan
kebijakan politik hukum nasional dalam bidang pembangunan yang
dijabarkan dalam GBHN.
Sebagai mandataris MPR, Presiden Soeharto
yang berkuasa selama 32 tahun menjalankan program pembangunan yang berpijak
pada GBHN. Visi misi pembangunan dibagi dalam beberapa tahap. Tahapan jangka
pendek dengan rentang durasi waktu lima tahun, kemudian tahapan menengah dan
panjang dengan rentang waktu hingga 25 tahun. Dalam menjalankan roda
pemerintahan Presiden tidak berjalan dengan visimisinya sendiri melainkan
tunduk pada GBHN.
Setelah jatuhnya Orde Baru dan lahirnya Orde
Reformasi, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara dan kebijakan
politik hukum dalam bidang pembangunan juga tidak lagi mengacu kepada GBHN yang
dirumuskan MPR. Politik hukum dalam bidang pembangunan lebih bertumpu pada
pelaksanaan visi-misi Presiden terpilih, yang paling lama bisa menerapkan
gagasannya selama 10 tahun.
Ketidaksinkronan laju pembangunan nasional di
era reformasi rupanya menimbulkan kegelisahan di tanah air. Setelah melewati
dialektika politik yang cukup panjang dan terkadang melelahkan wacana menghidupkan
kembali GBHN sebagai pedoman sekaligus kerangka acuan dalam pembangunan nasional
berkesinambungan kembali terdengar. PDIP menjadi partai politik yang paling
getol menyuarakan wacana tersebut. Dalam pandangan PDIP GBHN adalah dokumen
legal berisi cita-cita pembangunan nasional yang terarah, terukur dan memiliki
kesinambungan. Karena sifatnya yang konstitusional maka setiap pemerintahan
wajib menjalankan program yang dirumuskan oleh MPR.
Untuk mengembalikan kedudukan MPR sebagai
lembaga tertinggi
di tanah air prosesnya juga tidak mudah, yaitu harus melewati siding istimewa. Berdasarkan pasal 37 UUD 1945 untuk melakukan perubahan pasal dalam UUD 1945 bisa diagendakan dalam siding MPR jika diajukan sekurang-kurangnya oleh 1/3 anggota. Dalam UUD 1945 pasca amandemen yang dimaksud dengan MPR adalah gabungan dari anggota DPR dan DPD.Jumlah anggota DPR dari 10 fraksi kini sebanyak 560 orang sedangkan anggota DPD sebanyak 132 orang. Jika di jumlah menjadi 692 orang. Dengan demikian klausul 1/3 anggota jika dikonversi dalam jumlah anggota sekitar 231 anggota.
di tanah air prosesnya juga tidak mudah, yaitu harus melewati siding istimewa. Berdasarkan pasal 37 UUD 1945 untuk melakukan perubahan pasal dalam UUD 1945 bisa diagendakan dalam siding MPR jika diajukan sekurang-kurangnya oleh 1/3 anggota. Dalam UUD 1945 pasca amandemen yang dimaksud dengan MPR adalah gabungan dari anggota DPR dan DPD.Jumlah anggota DPR dari 10 fraksi kini sebanyak 560 orang sedangkan anggota DPD sebanyak 132 orang. Jika di jumlah menjadi 692 orang. Dengan demikian klausul 1/3 anggota jika dikonversi dalam jumlah anggota sekitar 231 anggota.
Selanjutnya setiap usulan perubahan
pasal-pasal dalam UUD 1945 diajukan secara tertulis dan ditujukan dengan jelas
bagiamana yang diusulkan diubah disertai dengan alasannya. Kemudian untuk
merubah pasal-pasal dalam UUD 1945 setidaknya dihadiri oleh 2/3 anggota MPR
atau sekitar 426 anggota. Sedangkan keputusan mengubah pasal-pasal dalam UUD
1945 dilakukan dengan persetujuan 50% anggota ditambah 1 anggota MPR. Khusus
mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sama sekali tidak bisa
dilakukan perubahan, sebab hal tersebut adalah cita cita awal para pendiri
bangsa.
Maka untuk menghidupkan GBHN sebagai kerangka
acuan pembangunan bukan tanpa alasan, terlebih sejak era reformasi pembangunan
nasional berjalan sporadis, tanpa perencanaan matang dan tidak terarah. Padahal
tantangan dan dinamika yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini amat beragam dan
variatif. Lambatnya pembangunan nasional mau tidak mau menjadikan Indonesia
tertinggal dari negaranegara lain di Asia Tenggara, sebut saja Singapura dan
Malaysia. Padahal kedua negara tersebut belajar banyak dari Indonesia dalam
menata dan membangun sebuah bangsa dan negara.
Melihat rentetan fakta dan persoalan krusial
yang semakin kompleks
dan dinamis maka sudah saatnya segenap pemangku kepentingan melakukan konsolidasi nasional. Dikembalikannya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi di tanah air bukan hanya untuk menetapkan GBHN sebagai pedoman dalam pembangunan nasional, melainkan untuk memecah kebuntuan saat terjadi krisis konstitusi yang tidak diantisipasi dalam amandemen pasca reformasi.
dan dinamis maka sudah saatnya segenap pemangku kepentingan melakukan konsolidasi nasional. Dikembalikannya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi di tanah air bukan hanya untuk menetapkan GBHN sebagai pedoman dalam pembangunan nasional, melainkan untuk memecah kebuntuan saat terjadi krisis konstitusi yang tidak diantisipasi dalam amandemen pasca reformasi.
Dalam hubungannya dengan politik hukum
pembangunan nasional, RPJP yang merupakan visi misi Presiden terpilih dinilai
memiliki keterbatasan, sebab visi misi Presiden terpilih dibatasi oleh
kekuasaan yang paling lama hanya 10 tahun. Bukan hanya itu, karena sifatnya
yang politis tidak jarang visi-misi Presiden dibuat sesaaat hanya sekedar
mencari popularitas saja. Padahal untuk membangun Indonesia yang demikian luas
dan besar waktu 10 tahun tentu saja tidak cukup.
Berkaca dari hal itulah, cetak biru yang
berisi pedoman pembangunan
nasional yang sifatnya konstitusional, memaksa dan harus dijalankan oleh siapapun pemimpinnya harus segera dibuat dan dirumuskan. Terkait penggunaan nama tentu saja sifatnya dinamis. Orde Lama menggunakan istilah Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) sedangkan Orde Baru menggunakan istilah GBHN. Apapun istilah yang dipakai kita serahkan kepada pemangku kepentingan. Namun demikian cetak biru yang berisi pedoman pembangunan nasional yang dirumuskan dan dibuat MPR harus segera diwujudkan.
nasional yang sifatnya konstitusional, memaksa dan harus dijalankan oleh siapapun pemimpinnya harus segera dibuat dan dirumuskan. Terkait penggunaan nama tentu saja sifatnya dinamis. Orde Lama menggunakan istilah Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) sedangkan Orde Baru menggunakan istilah GBHN. Apapun istilah yang dipakai kita serahkan kepada pemangku kepentingan. Namun demikian cetak biru yang berisi pedoman pembangunan nasional yang dirumuskan dan dibuat MPR harus segera diwujudkan.
Dengan adanya cetak biru pembangunan nasional
tersebut maka arah pembangunan nasional tidak lagi bersifat sporadik,
inkonsisten namun memiliki panduan dan pedoman terukur dan terarah. Di situlah
pentingnya cetak biru pedoman pembangunan nasional sebagai kompas penunjuk arah
jalan pembangunan bangsa Indonesia, bukan hanya untuk 5 tahun namun untuk 100
tahun ke depan. Tentu saja proses bukan perkara mudah untuk mewujudkan hal
tersebut. Segenap kelompok politik yang duduk di parlemen harus melepas ego
sentrisnya masing-masing dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.
Proses amandemen kelima harus dilakukan dengan cermat, berhati-hati dan sejalan
dengan amanat Pancasila dan kepentingan umum.
Nemun Tidak perlu alergi kepada produk Orde Lama,
Orde Baru serta Orde Reformasi. Setiap zaman tentu sama memiliki kekurangan dan
kelebihan masing-masing. Segala hal yang sifatnya baik bagi kehidupan bangsa
dan negara dan pembangunan nasional bisa diramu dan dikombinasikan dengan
tujuan mempercepat masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat pancasila
dan UUD 1945.
Melihat situasi politik nasional yang terus
mengalami kegaduhan serta dinamika tantangan bangsa yang semakin kompleks, maka
sudah sepatutnya bangsa Indonesia perlu menggalang konsolidasi nasional. Salah satu tantangan di depan mata yang mau
tidak mau harus dihadapi adalah berlakunya komunitas Masyarakat Asean atau
Masyarat Ekonomi Asean (MEA). Dengan adanya konsensus tersebut maka Indonesia
masuk dalam komunitas ASEAN.
Keputusan tersebut bisa berdampak dua sisi.
Bisa berdampak baik
bagi bangsa Indonesia jika kesiapan bangsa Indonesia matang dalam menghadapi persaingan di era tersebut. Hanya dengan sumber daya manusia handal dan mumpuni serta soliditas dan konsolidasi nasional yang kuat dan kokoh Indonesia bisa tampil unggul dalam MEA. Sebaliknya jika bangsa Indonesia tidak siap dalam menghadapi persaingan tersebut, bukan tidak mustahil banyak penduduk Indonesia yang menjadi parasit politik dan ekonomi di negeri sendiri.
bagi bangsa Indonesia jika kesiapan bangsa Indonesia matang dalam menghadapi persaingan di era tersebut. Hanya dengan sumber daya manusia handal dan mumpuni serta soliditas dan konsolidasi nasional yang kuat dan kokoh Indonesia bisa tampil unggul dalam MEA. Sebaliknya jika bangsa Indonesia tidak siap dalam menghadapi persaingan tersebut, bukan tidak mustahil banyak penduduk Indonesia yang menjadi parasit politik dan ekonomi di negeri sendiri.
Berkaca dari persoalan tersebut sudah
sewajarnya pemerintah dan wakil rakyat agar memikirkan kepentingan politik
nasional jangka panjang, tidak lagi terjebak kepada kepentingan politik sesaat
atau kepentingan golongan, suku, ras dan agama. Pada periode inilah masa depan
bangsa Indonesia menjadi taruhannya.
1.5 Metode Penelitian
Pada hakikatnya masalah metode
dalam suatu studi
tidak terlepas dari apa
yang menjadi pertanyaan dasar atau perumusan masalah dan tujuan
penelitian. Hal ini akan memberikan sinyal kearah mana suatu penelitian akan
digarap dan pendekatan apa yang akan
diterapkan.[1]
Oleh sebab itu, berdasarkan
kerangka pemikiran dan permasalahan dalam penelitian ini,
selanjutnya akan dikemukakan mengenai : a).Pendekatan Penelitian; b)
Tipe Penelitian; c) Sumber data, d) Instrumen Penelitian, e)
Teknik Pengumpulan data, f) Metode pengolahan dan Analisis data.
a)
Pendekatan penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang penulis paparkan sebelumnya, serta sesuai dengan
jenis penelitiannya
maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan
(statute approoach), dan pendekatan
historis (historikal approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approoach) dilakukan untuk meneliti berbagai aturan dan
regulasi hukum yang menjadi fokus suatu penelitian. Dalam hal ini adalah Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai
Sistem Presidensial di Indonesia
Pendekatan historis juga perlu dilakukan dalam
kerangka pelacakan sejarah munculnya rumusan GBHN di Indonesia
Karena GBHN lahir mempunyai rumusan dan sejarah
panjanga untuk membuatnya dan diikuti oleh ketentuan perundang-undangan
memiliki latar belakang sejarah. Jadi penelitian normatif yang menggunakan
pendekatan ini memungkinkan seorang peneliti untuk memahami hukum secara mendalam
tentang suatu sistem, atau suatu pengaturan hukum tertentu sehingga dapat
memperkecil kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan GBHN atau
ketentuan hukum menurut amanah konstitusi Indonesia.
Sedangkan pendekatan analitis dilakukan untuk
mengetahui bagaimana Rekonstruksi
dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai Sistem Presidensial di Indonesia.
Hal ini dilakukan melalui dua pemeriksaan. Pertama, penulis
atau peneliti berusaha memahami GBHN, yang mengatur tata hukum negara terkait
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta melihat bagaimana pemberlakuan dan
penghapusan GBHN pada masa orde lama, ordebaru maupun pada masa reformasi.
Selanjutnya, dalam penelitian ini juga bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis bagaimana Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai
Sistem Presidensial di Indonesia.
Oleh karena itu metode pendekatan yang penulis pilih dalam penelitian ini
adalah pendekatan undang-undang (statute approach).
Pendekatan undang-undang (statute approach)[2]adalah
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan
tema penelitian dalam proposal disertasi ini. Mengingat penelitian dalam
disertasi ini sebagai penelitian untuk kepentingan peraktis dan akademik.
Penelitian kepentingan peraktis adalah pendengakatan undang-undang untuk
membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan
kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undangan lainnya atau
antara undang-undang dengan undang-undang dasar atau antara regulasi dengan undang-undang.
Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecah isu yang
sedang tejadi.
Penelitian kepentingan akademis adalah peneliti perlu mencari ratio
legis dan dasar antologis lahirnya GBHN tersebut. Dengan mempelajari ratio legis
dan antologis suatu undang-undang
dalam hal ini GBHN peneliti sebenarnya mampu mengungkap kandungan filosofi yang ada di belakang lahirnya GBHN itu. Maka untuk memehami filosofi yang ada
di belakang GBHN itu, peneliti dapat menyimpulkan terkait ada tidaknya benturan
filosofis antara GBHN dengan sistem presidensial di Indonesia sekarang.[3]
b)
Tipe Penelitian
Pada dasarnya tipe
penelitian dibagi menjadi
2 macam yaitu :
(1) Metode penelitian kuantitatif, dapat diklasifikasikan menjadi 7 kategori yaitu penelitian
deskriptif, penelitian perkembangan penelitian tindakan, penelitian perbandingan
kausal penelitian korelasional, penelitian
eksperimental semu, dan penelitian eksperimental.
(2) Metode penelitian kualitatif meliputi 7 jenis yaitu: penelitian fenomenologikal, penelitian grounded,
penelitian etnografi, penelitian historis,
penelitian kasus, penelitian
filosofikal, dan penelitian
teori kritik sosial. Penelitian deskriptif, perkembangan dan
tindakan dapat saja dilakukan
dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Berdasarkan tipe penelitian tersebut, maka dalam tesis ini digunakan
tipe penelitian kualitatif (penelitian yuridis normatif).
Menurut Kirk dan Miller
mendefenisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan yang secara fundamental bergantung dari
pengamatan pada manusia baik
dalam kawasannya maupun
dalam peristilahannya.[4]
Adapun Danim mengungkapkan bahwa,
metode penelitian
kualitatif bersifat deskriptif analisis yaitu: data
yang terkumpul berbentuk
kata- kata, gambar, bukan angka-angka. Kalaupun ada angka-angka,
sifatnya hanya sebagai penunjang. Data
yang diperoleh meliputi transkip interview, catatan lapangan, foto,
dokumen pribadi dan lainnya.[5]
(2) Jenis dan Sumber Data
Menurut sumbernya, data
yang digunakan dalam
penelitian dibedakan menjadi
dua, yaitu:
a) Sumber data primer dalam penelitian ini adalah bersumber dari kajian
normatif dari sejarah lahirnya GBHN Indonesia yang berdasarkan amanah
Konstitusi ada baik yang dalam UUD 1945 (UUD NKRI 1945) maupun dalam landasar dasar bernegara yaitu
Pancasila
b)
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen resmi Undang-Undang, buku, diseratsi, jurnal, majalah ilmiah,
diperoleh dari data-data
yang ada sebelumya
baik berupa catatan-catatan, koran,
undang-undang, dokumen,
laporan, dan sumber-sumber lain yang
berhubungan dengan judul penelitian dalam tesis, disertasi dll.
c)
Teknik pengumpulan data
Setelah pengumpulan
data dilakukan yang
meliputi data sekunder
melalui konstitusi UUD 1945, GBHN dan catatan-catatan, koran,
laporan, makalah, jurnal, prosiding,
dan sumber-sumber lain
yang berhubungan dengan judul tesis ini.
d). Instrumen
Penelitian
Instrumen penelitian adalah
peneliti sendiri menggunakan logika dan berfikir analitik sehingga mampu
mengverifikasi atau menyimpulkan fenomena yang dikaji, dan peneliti juga
bertindak sebagai perencana, pelaksana dalam pengumpul data, melakukan
analisis, menafsirkan data,
dan melakukan laporan penelitian..
e). Teknik pengolahan dan analisis data
Dalam penelitian ini, penulis berupaya menggunakan konsep analisa yang
mangacu pada pendekatan Perundang-undangan (statute
approach) dan sejarah GBHN
dalam Konstitusi Indonesia. Supaya mempermudah dalam Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai
Sistem Presidensial di Indonesia
Maksud utama analisis tersebut adalah untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam
aturan GBHN secara konsepsional, sekaligus mengetahui cara merekonstruksi
dan mempurifikasi GBHN sesuai dengan kedudukanya. . [6]
1.6 Sistematika
Penulisan
Dalam
penulisan Tesis ini penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN.
Berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka , metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pengertian GBHN dan kedudukanya menurut istilah bahasa
dan kajian teori dan lahirnya GBHN dari aspek teori hukum berupa pendapat ahli
maupun dari aturan dan regulasi yang dijadikan pisau analisa dalam membahas
objek penelitian kutipan hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan dengan
judul disertasi ini. Serta sekilas sejarah lahirnya GBHN dari masa masa atau
priode pemerintahan Indonesia yang di penulis gali dari berbagai reverensi
ilmiah maupun penelitian terdahulu
BAB III : PENERAPAN PENELITIAN
Pada bab ini penulis akan mengemukakan atau pengkaji hasil penelitian bagaimana Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai
Sistem Presidensial di Indonesia.
BAB IV: ANALISIS HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini analisis hasil penelitian Rekonstruksi dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai Sistem
Presidensial di Indonesia. Baik aspek sejarah lahirnya
GBHN dan cara merekonstruksi dan mempurifikasi yang bisa dilakukan oleh
pemerintah pusat, serta mengkajih dan menganalisis bagaimana konsekuensi
hukumnya atas Rekonstruksi
dan Purifikasi Ulang GBHN Sesuai Sistem Presidensial di Indonesia.
BAB V: PENUTUP
Kesimpulan, kata penutup saran-saran dan rekomendasi penelitian
dari penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimly, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH
UI, Jakarta, 2002
Abdul Rasyid
Thalib, (2006). Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti
Achmad
Ali, (2002). Menguak Tabir Hukum.
Jakarta: PT Toko Gunung Agung
Achmad
Ruslan, (2011). Teori Dan Panduan Praktek Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Yogyakarta: Rangkang Education
Amiruddin dan
Zainal, (2004). Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
A.Hamid
Tamimi, (1999). Cita Hukum dan Cita
Negara Dalam Mimbar Hukum, Jakarta: Yayasan Al Hikmah
Bagir Manan, (1994). Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Bagir
Manan, (2004). Teori Dan politik
Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press
Hans
Kelsen, (2010) General Theory of Law and
State (Teori umum tentang Hukum dan Negara) diterjemahkan oleh Raisul
Muttaqien, Bandung: Nusa Media.
Hans Kelsen, (1973). General Theory of Law and State, Russel, New York
H.R. Sri Soemantri, (2006). Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: PT. Alumni.
H.
Abdul Latief, (2005). Hukum Dan Peraturan
Kebijakan (Beleideregeles) Pada Pemerintahan Daerah. Yogyakarta: UII Press
Hans
Kelsen, (1995) Teori Hukum Murni:
Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Deskriptif. Jakarta: Rimdi Press
Hans
Kelsen, (2004). General Laws, Theori and
State, Sari Kuliah Hukum Tata Negara Oleh Prof.Dr.Philipus M.Hadjon.
Surabaya: FH Unair
Hamidi,
Jazim, (2006) Revolusi Hukum Indonesia. Konstitusi Press Jakarta; Citra Media.
Jimly
Asshiddiqie, (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.
JILID I Jakarta
Pusat. Konstitusi Press.
Jimly
Asshiddiqie, (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Jimly Asshiddiqi, (2002). Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI
Jimly
Asshiddiqqi dan M.Ali Safaat, (2012). Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konpress
Jimly
Assiddiqqie, (2006). Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press
Jimly
Assiddiqqie, (2005). Hukum Tata Negara
dan Pilar Pilar Demokrasi Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan Ham.
Jakarta: Konstitusi Press
Lexi
J Moeleong, (2007).
Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT. Rosda Karya
Leonard W.
Levy. (terj. Eni Purwaningsi),
(2005) Judicial review:
Sejarah kelahiran, wewenang dan
fungsinya dalam negara
demokrasi. Bandung: Penerbit Nusamedia
Lili Rosjidi, (1995). Dasar Dasar Filsafat Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
Maria Farida Indrati, (2007). Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan.
Yogyakarta: Konisius
Maria Farida Indrati Soeprapto (2006). Ilmu Perundang undangan:Dasar Dasar dan
Pembentukannya, cet. XI. Yogyakarta:
Kanisius
Muhammad Siddiq Armia, M. Ya’kub AK, (2009). Epistimologi Perundang Undangan Studi Legislasi Hukum Nasional Dan
Hukum Internasional Edisi Revisi. Banda Aceh: Yayasan PeNA.
M Nur
Sholikin dkk (2011), Laporan
Kajian Implementasi Pengawasan Perda oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung. Pusat
Kajian Hukum dan
Kebijakan Indonesia.
Marsillam Simajuntak, (1997). Pandangan Negara Integralistik. Jakarta: Garfiti
Peter
Mahmud Marzuki,
(2009). Penelitian Hukum. Cet ke V Maret. Jakarta: Kencana
Purnadi
Purbacaraka dan M Chidir Ali, (1990). Disiplin Hukum.
Cetakan keempat, Bandung: Citra Aditya Bakti
Pipin Sarifin, (1998). Pengantar Hukum Indonesia.
Bandung: Setia
Soewoto Mulyosudarmo, (2004). Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi. Malang: Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In-Trans
media
Sri
Soemantri Martosoewignjo, (2008). Lembaga Negara dan
State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan menurut UUD 1945, dalam Siti
Sundari Rangkuti “Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan,
Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti, Surabaya:
Airlangga Press
Sudikno
Mertokusumo, (2009). Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar. Cetakan Keenam. Yogyakarta: Liberty
Salam HS dan Erlies (2013), Penerapan teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada
Titik Triwulan
Tutik, (2006). Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara Indonesia. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher
Widodo Ekatjahjana dan Totok Sudaryanto, (2001) Sumber Hukum Tata Negara Formal di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Zainal
Arifin Hoesein, (2009). Judicial Review di Mahkamah Agung Republik
Indonesia: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang undangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Konstitusi
Press, Jakarta, 2006.
_______,“Institute
Peradaban dan Gagasan Penguatan Sistem Pemerintahan”,disampaikan sebagai orasi ilmiah dalam rangka peluncuran Institute Peradaban di Jakarta, 16 Juli 2012, diakses
darihttp://www.jimly.com/makalah/namafile/123/SISTEM_PRESIDENTIL.pdf pada hari
Senin 20 Mei 2019
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia,
Jakarta, 1778.
Huda, Ni’matul, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, FH UII Press,
Yogyakarta, 2003.
Hanan, Djayadi, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia, Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis Dalam Konteks Indonesia, penerjemah: Maufur, MA, Al-Mizan,
Bandung, 2014.
Horowitz, Donald L. Perubahan Konstitusi dan Demokrasi di Indonesia, Penerjemah Daryatno, Pustaka Pelajajar, Yogyakarta,
2014.
Haris, Syamsudin,
Presidesialisme Cita Rasa Parlementer, Opini Kompas,
28 November 2008. Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam
Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
_______, Simalakama
Koalisi Sistem Presidensial, Opini Kompas,
27 November 2008.
Indrayana, Denny, Negara Antara Ada dan Tiada, Kompas,
Jakarta, 2008.
Kristanto, Tri Agung,Presidensialisme Masih Tetap Setengah Hati, dalam buku Tinjauan Kompas Menatap Indonesia 2014, Tantangan, Prospek, dan Ekonomi Indonesia, Kompas, Jakarta, 2014.
Amiruddin
dan Asikin, Zainal (2004) Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Asshiddiqie
Jimly. (2006) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. JILID I S eptember. Konstitusi Press. Jakarta Pusat.
Asshiddiqqi
Jimly, M.Ali Safaat (2012), Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress, Jakarta.
Alim,
Muhammad, “Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya dengan Konstitusi”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, FH UII, No.1 Vol. 17
Januari 2010.
Assiddiqqie Jimly, (2006) Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta.
Farida Maria Indarati S, (2007) Ilmu
Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Konisius, Yogyakarta.
Hans Kelsen, (2010) General Theory of Law and State (Teori umum tentang Hukum dan
Negara) diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung.
Tamimi A.Hamid (1999), Cita Hukum dan Cita Negara
dalam mimbar hukum, Yayasan Al Hikmah, Jakarta.
Manan, Bagir (1994), Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
Marzuki, Peter Mahmud. (2009) Penelitian Hukum. Cet ke V
Maret. Kencana, Jakarta.
Moeleong, Lexi J (2007) Metode Penelitian Kualitatif ,
Bandung: PT. Rosda Karya.
Lijphart, Arend,
Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, diterjemahkan oleh Ibrahim R. dkk, Cet.1, PT Grafindo Persada,
Jakarta, 1995.
Soekarno, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari: Kenangan 100 tahun Bung
Karno (Seri pemikiran Bung Karno). Jakarta. Grasindo.2001.
Elson, Edward R. Suharto Sebuah Biograf Politik. Jakarta.Minda Utama.2001.
Karno (Seri pemikiran Bung Karno). Jakarta. Grasindo.2001.
Elson, Edward R. Suharto Sebuah Biograf Politik. Jakarta.Minda Utama.2001.
_______, The Ide of Indonesia, Jakarta.Serambi Pustaka
Utama.2006.
Emerson K Donald, Indonesia Beyond Soeharto, Jakarta. Kompas Pustaka Gramedia. 2001.
Emerson K Donald, Indonesia Beyond Soeharto, Jakarta. Kompas Pustaka Gramedia. 2001.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Jalan
Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan. Jakarta.Puspijak.2013.
Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan. Jakarta.Puspijak.2013.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas
Pancasila. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 2001.
Pancasila. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 2001.
Lev, Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia. Jakarta. LP3ES.
1990.
Maarif, Ahmad Syafi. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta.
LP3ES. 1985.
Mahfud, Moh MD. Demokrasi dan Konstitusi Indonesia. Yogyakarta.
Liberty 1993.
[1] Paulus Hadisuprapto, “Ilmu Hukum
dan Pendekatannya”,
(Semarang:2006), hal 18.
[2] Peter Mahmud
Marzuki,”Penelitian Hukum,” (Jakarta: 2005), hal.94-95
[3] Ibid hal
24
[4] Lexy J.
Moeleong, “Metode Penelitian Kualitatif,”(Bandung, 2008), hal. 4
[5] Sudarwan
Danim, ’Menjadi Peneliti Kualitatif,”
(Bandung: 2002), hal. 39-40.