Conflik Management Dalam Membangun Keluarga Sakinah

Muhammad Hadidi, S.Sy.M.H./Pakar Manajemen Konflik
Keluarga Alumni Fakultas Agama Islam (FAI) Jurusan Hukum
Keluarga Universitas Muhammadiyah Malang

Pada zaman modern sekarang ini walaupun kemajuan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Komunikasi (IPTEK) dapat memberikan kemudahan bagi manusia, akan tetapi semuanya itu belum dapat menjamin kebahagiaan jiwa. Sebab seirama dengan semakin majunya peradaban dan kebudayaan, semakin kompleks pulalah kebutuhan manusia. Oleh karena itu, abad ke-21 M menurut Hana Djumhana Bastaman[1]  merupakan abad yang disebut sebagai abad kecemasan (the century of auxiety). Kecemasan tersebut ditimbulkan oleh jiwa yang sakit dan juga biasa ditimbulkan oleh badan yang sakit.
      Keduanya memiliki korelasi yang erat dalam menimbulkan kecemasan manusia, dalam cabang ilmu kedokteran yaitu psikosomatik disebutkan bahwa terdapat korelasi yang sangat erat antara psyche atau jiwa dan soma atau badan. Orang yang takut langsung kehilangan nafsu makan. Kalau dulu orang mengatakan bahwa mental yang sehat terletak dalam badan yang sehat, maka sekarang terbukti pula sebaliknya. Jadi, kebahagiaan hidup manusia mencakup dua aspek yaitu jasmani dan rohani.
Kebahagian hidup manusia dipengaruhi oleh konflik,  jika konflik dapat diatur dan di atasi, maka kebahagiaanpun tercapai dan juga sebaliknya. Setiap manusia tidak terlepas dari masalah/konflik, tinggal bagaimana mengelola konflik itu, apakah menjadi fungsional ataukah menjadi disfungsional. Oleh karena itu, jika suatu keluarga ingin mencapai konsep keluarga sesuai dengan tujuan perkawinan dalam islam yaitu keluarga sakinah. Maka mereka harus mampu mengelola segala problematika di dalam keluarga untuk dijadikan sebagai sarana mencapai musyawarah yang mengutamakan problem solving atas konflik yang ada bukan malah sebaliknya.

    Keluarga yang mampu membentuk seluruh anggotanya menjadi tentram, bahagia, sejahtera, aman, nyaman, serta memiliki kualitas sumber daya manusia yang tinggi tentunya diawali dari bagaimana mereka merespon dan mencari solusi atas konflik yang ada di dalamnya. Dengan demikian anggota keluarga salah satunya anak, akan sangat bergantung dari bagaimana orang tua mendidik, mengasuh dan memberikan alternatif pendidikan bagi mereka. Sebab keluarga itulah yang sangat menentukan ke arah mana anak akan dibentuk dan dididik. Namun demikian, watak dan kualitas anak selain ditentukan oleh keturunan atau pembawaan dari orang tuanya juga dipengaruhi oleh lingkungan dan rumah tangganya.
     Dalam teori pendidikan ada yang mengatakan bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh pembawaan dan lingkungan. Dalam psikologi behavioristik, pendapat ini mendekati dengan konsep Islam sebagaimana sabda Nabi s.a.w Artinya : “Setiap Anak lahir dalam keadaan suci, orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi,” (HR. Ahmad Thabrani, dan Baihaqi).[1]

    Dari hadits ini, bahwa keluarga sebagai organisasi terkecil memegang peranan yang sangat penting. Karena dari keluarga yang mapan, maju, berkualitas serta berilmu, berakhlak dan berperadaban, tentunya akan menghasilkan penerus bangsa dan masyarakat yang maju dan berperadaban pula. Dengan demikian, jika keluarga baik maka bangsa dan negara pun akan menjadi baik. Begitu pula sebaliknya, jika masing-masing keluarga jelek maka bangsa dan negara akan menjadi rusak dan mundur.
    Runtuhnya suatu bangsa diawali dari hancurnya tatanan rumah tangga, yang merupakan kelompok terkecil dari masyarakat, begitu pula sebaliknya, majunya peradaban suatu bangsa akan ditentukan dari bagaimana memajukan kualitas anggota keluarga. Keluarga yang tidak terjaga keutuhan susunan organisasi rumah tangganya akan melahirkan anak-anak yang tidak berkualitas, karena memperoleh pendidikan yang tidak tepat dari keluarganya. Maka dari itu tidak ada bangsa yang kokoh dan diberkahi Allah Swt. Tanpa diawali dari keluarga yang diberkahi pula oleh Allah Swt Keluarga sakinah menurut Depag RI merupakan salah satu tujuan dari perkawinan yang disyari’atkan agar manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia dunia dan akhirat dibawah naungan cinta kasih dan ridha ilahi. Hal ini senada dengan firman Allah Swt. dalam  QS. Ar Ruum: 21 yang berbunyi : Artinya : Dan diantara tanda-tanda (kebesaran-Nya) ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.[1]


       Sedangkan menurut Fuad Kauma dan Nipan keluarga sakinah adalah keluarga yang mampu menjalin persaudaraan yang harmonis dengan sanak famili dan hidup rukun bertetangga, bermasyarakat dan bernegara.[2] Adapun menurut pengamatan Aa Gym bahwa dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang merindukan terjalinnya keluarga sakinah, yaitu sebagai berikut:
“Begitu banyak orang yang merindukan berumah tangga menjadi sesuatu yang teramat indah, bahagia, penuh dengan pesona. Tetapi tidak sedikit kenyataan yang terdapat di kanan kiri kehidupan masyarakat, terdapat beberapa rumah tangga yang setiap hari hanyalah perpindahan dari kecemasan, kegelisahan, dan penderitaan, bahkan tak jarang diakhiri dengan kenistaan, perceraian dan juga derita, na’uudzubillaahi min dzaalik,”

   Dengan demikian, rumah tangga adalah awal dari timbulnya masalah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena semua makhluk yang hidup dan berinteraksi sosial pasti akan mengalami apa yang dinamakan konflik. Dengan konfik ini, keluarga bisa menjadi teratur (sakinah) dan bisa juga menjadi rusak, hal ini sangat tergantung bagaimana pengelolaan konflik yang ada dalam keluarga tersebut.[1]

     Sebenarnya manajemen konflik ini sudah sering dilakukan oleh banyak keluarga, terutama keluarga yang sudah mampu menangani berbagai masalah dan konflik keluarga secara dewasa, bersahaja, sabar, teliti dan penuh dengan pendekatan-pendekatan psikologis maupun sosiologis dan terutama lagi keluarga yang berpendidikan serta memahami ajaran agama. Hanya saja, perilaku manajemen konflik ini tidak disadari oleh mereka, atau bahkan ada istilah lain yang digunakan dalam membina keluarga yang harmonis (keluarga sakinah) tersebut.
       Manajemen konflik, istilah tersebut selama ini lebih sering dipakai oleh organisasi-organisasi perusahaan, organisasi masyarakat, maupun instansi pemerintah (kepolisian). Sedangkan di dalam keluarga (masyarakat secara umum) masih jarang digunakan atau bahkan tidak ada sama sekali. Pada perusahaan, aplikasi manajemen konflik biasanya untuk menyelesaikan permasalahan buruh dan karyawannya. Menurut Winardi[1] Konflik Perubahan dan Pengembangan. contoh konflik dalam perusahaan: 1) ketidaksesuaian paham antara serikat-serikat dan organisasi-organisasi yang mempekerjakan anggota anggota mereka. 2) Konflik sering timbul antara organisasi-organisasi yang mensuplai bahan mentah kepada mereka.
      Dalam suatu negara, manajemen konflik digunakan untuk mengatasi konflik pertikaian kelompok, suku, ras, agama, (SARA) bahkan menajemen konflik digunakan untuk mengatasi perselisiahan dengan negara-negara lain. Sedangkan di dalam keluarga (sebagai organisasi terkecil) adalah bagaimana konflik (internal dan eksternal) itu dikelola dengan baik, supaya konflik tersebut menjadi fungsional dan dapat melahirkan inovasi-inovasi baru, rasa tentram maupun kenyamanan, untuk kemajuan seluruh anggota keluarga itu sendiri. Kemudian, pada akhirnya nanti yang di dapat adalah adanya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam setiap keluarga.
merugikan. Sebenarnya sikap orang tua (suami Istri)  tentang konflik di dalam rumah tangga harus dirubah dengan berlangsungnya waktu. Karena pandangan yang berlaku sekarang (modern) adalah bahwasanya konflik-konflik di dalam keluarga merupakan hal yang tidak dapat dihindari, dan bahkan konflik-konflik itu sangat diperlukan. Hanya saja diperlukan bagaimana metode pendekatan dalam memenej konflik tersebut sehingga setiap konflik yang ada di dalam keluarga  dapat berfungsi positif.
     Selain itu pada keluarga, aplikasi manajemen konflik bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan antara suami dan istri maupun dengan anak-anak mereka. Serta jika kita kaitkan dengan teori  Winardi diatas, konflik dalam kelurga bisa di contohkan seperti terjadinya ketidak sesuaian paham antara suami dan istri dan anak-anak mereka sehingga menimbulkan konflik. Selanjutnya konflik sering timbul disebabkan adanya pihak ketiga yaitu dari luar kelurga baik dari pihak keluarga suami maupun keluarga dari pihak istri sehingga menyebabkan konflik.
   Sejatinya suami atau istri telah  memahami  terlebih dahulu penyebab konflik di atas sehingga memudahkan mereka dalam mewujudkan keluarga yang harmonis, serta efektif-inovatif, yang sering kita sebut dengan “keluarga sakinah,” yang merupakan dambaan  setiap manusia dalam berumah tangga. Lebih lanjut Menurut Winardi[1] konflik secara inheren tidak bersifat fungsional atau disfungsional, ia hanya memiliki potensi untuk memperbaiki atau menghalangi pekerjaan organisatoris. Jadi tergantung pada bagaimana konflik tersebut dimenej. Konflik dikatakan disfungaional atau distruktif jika menimbulkan kerugian bagi individu atau individu-individu, organisasi atau organisasi-organisasi yang terlibat di dalamnya.

     Contoh dalam konflik dua orang pada keluarga antara suami dan istri yang menjadikan sikap permusuhan (konflik emosional destruktif), tidak tercapainya kesesuaian paham tentang tujuan (konflik substantive destruktif). Konflik dikatakan konstruktif atau fungsional bila konflik menyebabkan keuntungan bagi individu, organisasi yang terlibat di dalamnya. Contoh keuntungan konflik dalam keluarga yang berhasil di menej adalah timbulnya kreatifitas dan inovasi, ikatan kuat, serta berkurangnya ketegangan antara  suami dan istri dalam keluarga. Hal ini dapat di wujudkan apabila pemahaman suami dan istri dalam keluarga sudah terbangun sehingga mereka menyadari peran dan fungsinya masing-masing  untuk mengelolah konflik dalam keluarga sehingga setiap konflik yang ada dapat dimenej.
     Catatan: Bertolak dari sudut pandang Winardi tentang konflik diatas, maka tugas para orang tua (suami dan istri) bukanlah menekan atau memecahkan (menghilangkan sama sekali) semua konflik, tetapi mereka perlu memenejnya sedemikian rupa, artinya, konflik suatu saat dibutuhkan untuk membangkitkan suatu kesemangatan, dan hal ini tergantung konteksnya,  sehingga aspek yang merugikan dapat diminimasi dan aspek yang menguntungkan dapat dimaksimasi.


[1] Ibid.hal 6
     Namun disisi lain, dalam keluarga, biasanya sering menolak adanya konflik. Hal ini disebabkan karena memang belum tahu bahwa konflik itu tidak selamanya jelek. Sebagaimana pandangan tradisional tentang konflik adalah bahwa konflik itu merupakan hal yang tidak perlu dan bahwasanya ia merupakan suatu yang


[1] Winardi, Manajemen Konfilik  :  Konflik Perubahan dan Pengembangan.  (Bandung : 1994). hal 11


[1]  AbdullahaGimnastiar., Membangun Keluarga Sakinah.. (Bandung:  2000). hal 8.



[1] Departemen Agama Republik Indonesia. Buku Nikah, (Jakarta: 1978 ), hal 2
[2] Nipan, Fuad Kauma. Membimbing Istri Mendampingi Suami (Yogyakarta: 1996). hal  7.

[1] Muhammad bin Hibban Abu  Hatim  al Tamimiy, Shihih Ibnu Hiban (Juz 1)  (Bairut : 1993) hal 336.



[1] Hana DJumhana Bastaman  Psikologi Kejiwaan ( Jakarta : 1997), hal.192.