Pada tahun 1965, era orde lama telah
berakhir, dengan kepemimpinan Soeharto maka berganti nama menjadi orde baru.
Pemilu pertama masa orde baru dilaksanakan pada tanggal 3 juli 1971 yang
diikuti oleh sepuluh kontestan, yakni; GOLKAR, PNU, PNI, PARMUSI, PSII, PERTI,
PARKINDO, MURBA, IPKI, dan Partai Katholik. Dari banyak kontestan tersebut
GOLKAR memperoleh suara 62, 80 %, PNU 18 %, PNI 7 %, PARMUSI 7 %, PSII 7 %,
PERTI, PARKINDO, MURBA, IPKI dan Partai Katholik masing-masing memperoleh 2
%.
Namun demikian, hubungan politik antara negara dan Islam sudah lama mengalami
jalan buntu. Baik pemerintahan presiden Soekarno maupun Soeharto yang memandang
partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang
potensial, yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis.
Terutama
karena alasan ini, sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintahan di
atas berupaya untuk melemahkan dan menjinakkan partai-partai Islam. Akibatnya,
tidak saja para pemimpin dan aktivitas Islam politik gagal menjadikan Islam
sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945 (menjelaskan Indonesia
merdeka) dan lagi, pada akhir 1950-an (dalam perdebatan-perdebatan di majelis
konstituante mengenai masa depan konstitusi Indonesia), tetapi Islam juga
mendapatkan berkali-kali disebut "kelompok minoritas" atau kelompok
luar. Pendek kata, seperti telah dikemukakan para pengamat lain, Islam politik
telah berhasil dikalahkan baik secara konstitusional, fisik, birokratis. Lewat
pemilihan umum maupun secara simbolik.
Umat Islam selalu berjuang tanpa henti untuk menyalurkan aspirasinya lewat jalur politik, ini ada sejak penjajahan Belanda, bahkan paska kemerdekaan umat Islam kembali terjun ke dalam kancah politik yakni dengan mendirikan partai Masyumi (1945).1 Namun dalam meniti perjalanan waktu partai Islam ternyata lebih banyak terpinggirkan bahkan cenderung banyak mengalami konflik, ini terjadi pada tahun 1945 – 1957, di mana hubungan partai Islam dengan pemerintah kurang harmonis, serta pecahnya partai Islam Masyumi menjadi beberapa partai (partai NU dan PSII).
Namun demikian, hubungan politik antara negara dan Islam sudah lama mengalami jalan buntu. Baik pemerintahan presiden Soekarno maupun Soeharto yang memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial, yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Terutama karena alasan ini, sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan menjinakkan partai-partai Islam.
Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivitas Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945 (menjelaskan Indonesia merdeka) dan lagi, pada akhir 1950-an (dalam perdebatan-perdebatan di majelis konstituante mengenai masa depan konstitusi Indonesia), tetapi Islam juga mendapatkan berkali-kali disebut “kelompok minoritas” atau kelompok luar. Pendek kata, seperti telah dikemukakan para pengamat lain, Islam politik telah berhasil dikalahkan baik secara konstitusional, fisik, birokratis. Lewat pemilihan umum maupun secara simbolik.
Dalam kasus pemilu orde baru dimensi menuju pluralitas ternyata sangat tidak menggembirakan. Dalam masa pelaksanaan enam kali pemilu, terdapat banyak kecurangan dan sikap berat sebelah dari pemerintah. Nuansa kedilan untuk beraktifitas sama sekali tidak pernah dirasakan oleh semua partai politik, fakta memperlihatkan bahwa selama orde baru Golkar selalu dominan.
Pada masa inipun partai Islam tetap terpinggirkan, bahkan dengan strategi kediktatoran Soeharto semua aspirasi masyarakat Islam di pasung, bahkan pada tahun 1973 sistem kepartaian juga dirubah menjadi tiga partai; Golongan karya, PPP, dan PDI. Tidak berhenti sampai disitu, tahun 1983 semua partai telah di introduksikan oleh ideologi negara dengan wajib menggunakan pancasila sebagai azas tunggal bagi semua partai, tentu saja ini sangat menyudutkan partai Islam yang mempunyai ideologi Islam.
Upaya subversi tidak langsung terhadap partai dan simbol Islam kemudian direalisasikan dalam bentuk undang-undang, sehingga dikeluarkanlah Undang-Undang No.3/1985 tentang partai politik dan golongan Karya, yakni; semua organisasi politik berasazkan pancasila sebagai azas tunggal. 5 Ini mungkin sebagai konsekuensi logis terhadap partai yang berbeda platform dengan pemerintah.
Bagaimanapun juga partai Islam hanya sebagai simbol dari golongan Islam dan dijadikan alat politik Orde baru, ini terjadi sampai dengan 1998. Era diktator soharto telah tumbang, reformasi telah digulirkan, pemilihan umum 7 juni 1999 telah usai, namun partai Islam senantiasa tidak ada kemajuan yang signifikan. Padahal pemilihan umum 7 juni 1999 partai Islam merupakan kontestan terbanyak jumlahnya yakni 89 persen dari semua peserta.
Kekalahan partai-partai yang berazazkan islam benar-benar telak. Hanya partai persatuan pembangunan (PPP) yang meraih suara signifikan dan masuk lima besar; perolehan parati bulan bintang (PBB) jauh dibawah perkiraan, meski membentuk fraksi tersendiri di DPR dengan 13 anggota. Partai keadilan (PK) hanya memetik 7 kursi di DPR, gagal memenuhi ketentuan perolehan minimal dua persen dari total, dan dengan demikian terlikuidasi untuk pemilu 2004. Lebih lebih pada pemilu Tahun 2019 ini kebanykan partai Islam Gulung Tikar hanya beberapa partai yang masih bertahan seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kabangkitan Bangsa (PKB).
Pada pemilu pertama, muncul empat besar, yaitu; Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdhatul Ulama dan Parti Komunis Indonesia. Bahkan PNI dan Masyumi menjadi “juara bersama,” dengan masing-masing mengantungi 57 kursi. Empat puluh lima tahun kemudian, jurang perbedaan menganga lebar. PDI-P, yang bisa dikatakan “reinkarnasi” PNI, menduduki 153 kursi.8 Sementara itu PBB yang mengkaim diri “reinkarnasi” dari Masyumi hanya menempati 13 kursi, malah, dua partai yang secara terang menggunakan nama Masyumi (Partai Masyumi Baru dan Partai Politik Islam Masyumi) terpuruk total, tanpa meraih satu kursipun. Selanjutnya pada penelitian lanjutan.....