Penulis :Mohd Hadidi, S.Sy. MH Dosen Hukum dan Ekonomi Islam STAIN TDM MBO |
Proses
pengkonsentrasian suana pada suatu sistem kepantaian bisa dipercepat dan
ditumbuhkembangkan dengan undang-undang pemilihan umum. Batas jumlah suara
minimum yang diperoleh suatu partai politik dalam pemilu untuk bisa mendapatkan
kursi di parlemen (Quorum) 3% atau 5% bagi partai politik untuk
mendapatkan kursi di parlemen bisa membatasi agar partai yang dogmatis dan
bertujuan tunggal tidak masuk dalam proses politik.
Hal ini juga
bisa mendidik perilaku para pemilih dalam pemilu. Dengan sistem tersebut
masyarakat supaya belajar bahwa agar Suara atau pilihan (Vote) mereka
Berdaya guna, berhasil mencapai tujuan (Efektif) maka mereka harus
mengkonsentrasikan vote mereka untuk partai politik yang benar-benar
berkemampuan untuk mendapatkan quorum dan mendapat kursi di panlemen. Para aktivis politikatau elit politik juga
harus berusaha menghimpun parpol-parpol dengan profl dan kepentingan yang
hampir sama.
Lebih lanjut,
dengan pemebrdayaan masyarakat oleh partai politik hal juga bisa dilihat dari
partisipasi partai politik terhadap masyarakat bisa dikajih dari Studi klasik
mengenai partisipasi politik diadakan oleh Huntington dan Nelson dalam karya
penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing
Countries. Lewat penelitian mereka, memberikan suatu catatan: Partisipasi
yang bersifat mobilized termasuk ke dalam kajian partisipasi politik.
Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam
melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat
paksaan (contentious).
Bagi
Huntington and Nelson (1976:
76), perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada
dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya
baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
Ruang bagi
partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki
pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian.
pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian.
Bahkan, di
negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan,
seperti yang Luengo dalam Miriam Budi Harjo
(2012: 267)
dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political
Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia,
Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang
negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
Banyak ahli
memberikan pengertian mengenai konsep partisipasi. Bila dilihat dari asal
katanya, kata partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris “participation”
yang berarti pengambilan bagian, pengikutsertaan Echols & Shadily dalam
Miriam Budi Harjo (2012: 319).
Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses
pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan
memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta
ikut memanfaatkan dan menikmati hasil- hasil pembangunan.
Pengertian tentang partisipasi dikemukakan
oleh Rafael, Raga, Maran Rafael, Raga, Maran, dalam Miriam Budi Harjo (2012: 302). Dimana partisipasi dapat juga berarti
bahwa pembuat keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat
dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat, barang, keterampilan, bahan dan
jasa. Partisipasi dapat juga berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka
sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya.
Triwarti Arsal, Triwarti Arsal dalam Basyar (2013: 157) mengungkapkan partisipasi adalah sebagai
wujud dari keinginan untuk mengembangkan demokrasi melalui proses
desentralisasi dimana diupayakan antara lain perlunya perencanaan dari bawah (bottom-up)
dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan
masyarakatnya.
Definisi
partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Mirriam Mirriam
Budiarjo, (2012: 184)
partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan
politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun
memaksa.
Menurut
Sundariningrum dalam Sugiyah, Sugiyah
dalam basyar (2012: 138)
mengklasifikasikan partisipasi menjadi 2 (dua) berdasarkan cara
keterlibatannya, yaitu:
1)
Partisipasi Langsung
Partisipasi
yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan tertentu dalam proses
partisipasi. Partisipasi ini terjadi apabila setiap orang dapat mengajukan
pandangan, membahas pokok permasalahan, mengajukan keberatan terhadap keinginan
orang lain atau terhadap ucapannya
2)
Partisipasi
tidak lansung
Partisipasi
yang terjadi apabila individu mendelegasikan hak partisipasinya. Cohen dan
Uphoff yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D, dalam Basyar (2012:163),
membedakan patisipasi menjadi empat jenis, yaitu: Pertama, partisipasi
dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini terutama berkaitan dengan
penentuan alternatif dengan masyarakat berkaitan dengan gagasan atau ide yang
menyangkut kepentingan bersama. Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan
meliputi menggerakkan sumber daya dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan
penjabaran program.. Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat.
Partisipasi dalam pengambilan manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan yang
telah dicapai baik yang berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas. Keempat, partisipasi dalam evaluasi.
Partisipasi dalam evaluasi ini berkaitan dengan pelaksanaan pogram yang sudah
direncanakan sebelumnya. Partisipasi dalam evaluasi ini bertujuan untuk
mengetahui ketercapaian program yang sudah direncanakan sebelumnya. Berdasarkan
beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah
keterlibatan suatu individu atau kelompok dalam pencapaian tujuan dan adanya
pembagian kewenangan atau tanggung jawab bersama.
Landasan
partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan
kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam Harjo (2014: 279) membagi landasan partisipasi politik ini
menjadi Individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
Kelompok atau komunal individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa,
atau etnis yang serupa.
Menurut Waime dalam
Harjo (2014: 287) menyatakan
bahwa yang menyebabkan timbulnya pergerakan ke arah partisipasi yang lebih luas
dalam proses politik yaitu:
1)
Moderenisasi
disegala bidang, berimplikasi pada komersialisme pertanian, industri, perbaikan
pendidikan, pengembangan metode masa, dan sebagainya.
2)
Terjadinya
perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Perubahan strukturkelas baru itu
sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja batu yang semakin
meluas dalam era industrialisasi dan moderenisasi.
3)
Pengaruh
kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi masa merupakan faktor meluasnya
komunikasi politik masyarakat. Ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisasi
membagkitkan tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
Adanya konflik diantara pemimpin-pemimpin politik, Pemimpinan politik yang
bersaing memperebutkan kekuasaan sering kali untuk mencapai kemenangan
dilakukan dengan cara mencari dukungan massa. Dengan demikian pertentangan dan
perjuangan kelas menengah kekauasaan mengakibatkan perluasan hak pilih rakyat.
4)
Adanya
keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan
kebudayaan.Menurut Davis partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi
penguasa baik dalam arti memperkuat maupun dalam pengertian menekannya sehingga
mereka memperhatikan atau memenuhi kepentingan pelaku partisipasi. Tujuan
tersebut sangat beralasan karena sasaran partisipasi politik adalah
lembaga-lembaga politik atau pemerintah yang memiliki kewenangan dalam
pengambilan keputusan politik. Jadi partisipasi politik sangatlah penting bagi
masyarakat maupun pemerintah. Bagi masyarakat dapat sebagai sarana untuk
memberikan masukan, kritik, dan saran terhadap pemerintah dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan, sedangkan bagi pemerintah partisipasi politik
merupakan sebuah mekanisme pelaksanaan fungsi kontrol terhadap pemerintah dan
pelaksanaan kebijakan.
Model partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi
politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional.
Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan
kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya
sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi
politik yang tumbuh
seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan terror.
seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan terror.
Lobby yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik
dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu; Kegiatan
Organisasi yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota
maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Contacting
yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan
pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan Tindakan
Kekerasan (violence) yaitu tindakan individu atau kelompok guna
mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik
manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta,
pembutuhan politik (assassination),
revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah
menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak
membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi
politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan
sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif
lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik
seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang
berlangsung di dalam skala subyektif individu. Samuel P. Hu ntington menyebutkan bentuk-bentuk
partisipasi politik dapat meliputi: Pertama,
opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif
politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini
mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung. Kedua, polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik warganegara menemui manifestasinya.
politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini
mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung. Kedua, polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik warganegara menemui manifestasinya.
3.Teori Sumber Daya Manusia
Sumber daya
Manusia (SDM) salah satunya berangkat dari tingkat pengetahuan elit politik
dalam sebuah organisasi partai politik menurut Mc Quail dalam Basyar (2013: 189) selalu terkait dengan kesadaran terhadap
suatu fenomena. Kesadaran melibatkan intensitas interaksi yang mendasari sikap
atau tindakan yang dilakukan. Maka individu yang memiliki kesadaran adalah
individu yang dapat mengontrol perilakunya secara terukur. Persoalannya menjadi
agak rumit ketika individu tidak lagi hanya berpikir untuk dirinya an sich,
namun sudah merupakan bagian dari sebuah organisasi atau kelompok.
Tindakan
atau perilakunya mesti pula diorientasikan untuk kepentingan organisasi. Studi
yang dilakukan Andersson dalam Golan (2016: 193)
menemukan bahwa kehendak individu bahkan sudah diganti oleh kehendak pemimpin.
Itu sebabnya pemimpin menurut Edmoson dalam Sedar Mayanti (2013: 195) adalah representasi dari organisasi.
Bahkan
kerapkali dinamika organisasi selalu dikaitkan dengan perilaku pemimpinnnya.
Jika elite atau level pimpinan organisasi sering berkonflik, penilaian publik
pun menyimpulkan bahwa organisasi itu tidak sehat karena konflik internal sudah
dibuka menjadi konsumsi publik. Penelitian Ahmed dalam Sedarmayanti (2013: 292) menegaskan bahwa pemimpin harus disiplin
dalam ‘self control’ agar persepsi publik yang minor terhadap penilaian atas postur
organisasi dapat dihindari.
Pengelolaan
Sumber Daya Manusia dalam suatu perusahaan atau organisasi menjadi hal yang
bersifat sangat penting dan tidak mudah bagi suatu
Perusahaan wajib mendukung terwujudnya proses sumber daya manusia yang
berkualitas. Peran manajemen sumber daya manusia tidak kecil, karena
sebagai pusat pengelola dan penyedia sumber daya manusia untuk departmen
lainnya. Adapun beberapa pengertian dari manajemen sumber daya manusia.
Perusahaan wajib mendukung terwujudnya proses sumber daya manusia yang
berkualitas. Peran manajemen sumber daya manusia tidak kecil, karena
sebagai pusat pengelola dan penyedia sumber daya manusia untuk departmen
lainnya. Adapun beberapa pengertian dari manajemen sumber daya manusia.
Menurut
Yani dalam Nugroho (2013: 104), “Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) dapat
diartikan sebagai ilmu yang mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja secara
efektif dan efisien sehingga tercapai tujuan organisasi atau perusahaan.”
Sedangkan
menurut Rivai dan Sagala dalam Priansa dalam Nugroho (2014: 121),
“Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan salah satu bidang dari
manajemen umum yang meliputi segi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengendalian.”
manajemen umum yang meliputi segi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengendalian.”
Namun Flippo
dalam Priansa (2014:121) secara lebih spesifik
mengatakan bahwa, “Manajemen Sumber Daya Manusia adalah perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian dari pengadaan,
pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemberhentiaan pegawai dengan maksud terwujudnya tujuan perusahaan,
individu, pegawai dan masyarakat.”
mengatakan bahwa, “Manajemen Sumber Daya Manusia adalah perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian dari pengadaan,
pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemberhentiaan pegawai dengan maksud terwujudnya tujuan perusahaan,
individu, pegawai dan masyarakat.”
Dari
beberapa pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
dengan kata lain Manajemen Sumber Daya Manusia memiliki pengertian
sebagai kegiatan perencanaan, pengembangan, pemeliharaan dan penggunaan
sumber daya manusia sesuai dengan pekerjaan yang tepat dalam upaya
mencapai tujuan individu ataupun organisasional agar efektif dan efisien.
dengan kata lain Manajemen Sumber Daya Manusia memiliki pengertian
sebagai kegiatan perencanaan, pengembangan, pemeliharaan dan penggunaan
sumber daya manusia sesuai dengan pekerjaan yang tepat dalam upaya
mencapai tujuan individu ataupun organisasional agar efektif dan efisien.
Beberapa pendekatan dalam manajemen
sumber daya manusia
menurut Yani dalam Priansya (2013: 125) yaitu: Pertama, pendekatan SDM Pendekatan yang menekankan pada pengelolaan dan pendayagunaan yang memperhatikan hak azasi manusia. Kedua, pendekatan Manajerial Pendekatan yang menekankan pada tanggung jawab menyediakan danmelayani kebutuhan sumber daya manusia departemen lain, Kedtiga, Pendekatan Sistem Pendekatan yang menekankan pada tanggung jawab subsistem dalamorganisasi. Keempat, pendekatan Proaktif Pendekatan yang menekankan pada kontribusi terhadap karyawan, manajer, dan organisasi dalam memberikan pemecahan masalah.
menurut Yani dalam Priansya (2013: 125) yaitu: Pertama, pendekatan SDM Pendekatan yang menekankan pada pengelolaan dan pendayagunaan yang memperhatikan hak azasi manusia. Kedua, pendekatan Manajerial Pendekatan yang menekankan pada tanggung jawab menyediakan danmelayani kebutuhan sumber daya manusia departemen lain, Kedtiga, Pendekatan Sistem Pendekatan yang menekankan pada tanggung jawab subsistem dalamorganisasi. Keempat, pendekatan Proaktif Pendekatan yang menekankan pada kontribusi terhadap karyawan, manajer, dan organisasi dalam memberikan pemecahan masalah.
Menurut Priansa dalam Priansya (2014: 121), “Fungsi merupakan kegiatan pokok yang dilakukan
dalam suatu organisasi. Fungsi operasional adalah fungsi yang lebih didominasi
oleh kegiatan fisik.”
Berikut
adalah fungsi fungsi operasional manajemen sumber daya manusia Pertama, Pengadaan pegawai Fungsi ini
berkaitan dengan penentuan kebutuhan pegawai, penarikannya, seleksi dan
penempatannya. Penentuan kebutuhan pegawai berkaitan dengan mutu dan jumlah
pegawai. Sedangkan seleksi dan penempatan menyangkut masalah memilih dan
menarik pegawai, pembahasan pada formulir di surat lamaran, dan tes psikologis.
Kedua, pengembangan
Fungsi ini berkaitan dengan pegawai baru yang perlu dibina dan dikembangkan. Tujuan dari pengembangan ini adalah untuk meningkatkan keterampilan melalui latihan yang diperlukan untuk dapat menjalankan pekerjaan dengan baik kompensasi.
Fungsi ini berkaitan dengan pegawai baru yang perlu dibina dan dikembangkan. Tujuan dari pengembangan ini adalah untuk meningkatkan keterampilan melalui latihan yang diperlukan untuk dapat menjalankan pekerjaan dengan baik kompensasi.
Ketiga,
Fungsi ini sangat besar bagi karyawan. Kompensasi adalah sebagai pemberian
penghargaan kepada pegawai sesuai dengan sumbangan
mereka untuk mencapai tujuan organisasi. Kompensasi ini biasanya
diterima pegawai dalam bentuk uang dan tunjangan.
mereka untuk mencapai tujuan organisasi. Kompensasi ini biasanya
diterima pegawai dalam bentuk uang dan tunjangan.
Keempat, Pengintegrasian adalah penyesuaian sikap sikap, keinginan
pegawai,
dengan keinginan organisasi masyarakat. Dalam hal ini, pegawai diminta mengubah kebiasaan dan sikap sikap lainnya yang kurang
menguntungkan bagi organisasi sehingga ada niat dan kemauan untuk menyesuaikan dengan keinginan serta tujuan organisasi.
dengan keinginan organisasi masyarakat. Dalam hal ini, pegawai diminta mengubah kebiasaan dan sikap sikap lainnya yang kurang
menguntungkan bagi organisasi sehingga ada niat dan kemauan untuk menyesuaikan dengan keinginan serta tujuan organisasi.
Kelima, pemeliharaan Pemeliharaan adalah usaha untuk
mempertahankan dan meningkatkan kondisi yang telah ada. Apa yang sudah diterima
dan pernah dinikmati pegawai hendaknya tetap dipertahankan.
Keenam, Pensiun Pemeliharaan adalah fungsi terakhir
dari manajemen kepegawaian. Fungsi ini berhubungan dengan pegawai yang sudah
lama bekerja pada organisasi. Fungsi ini menjamin pegawai pegawai yang pensiun.
Organisasi yang sudah berukuran besar menyediakan dana bagi pegawai yang sudah
pensiun.
Menurut Chan dalam Priansa (2014: 276), “Pelatihan merupakan
pembelajaran yang disediakan dalam rangka meningkatkan kinerja terkait
dengan pekerjaan saat ini.” Dalam pengertian tersebut dimuat dua implikasi. Implikasi yang pertama adalah kinerja saat ini perlu ditingkatkan karena
adanya kesenjangan antara pengetahuan dan kemampuan pegawai saat ini. Implikasi yang kedua adalah pembelajaran bukan untuk memenuhi kebutuhan
masa depan, namun untuk dimanfaatkan dengan segera.
pembelajaran yang disediakan dalam rangka meningkatkan kinerja terkait
dengan pekerjaan saat ini.” Dalam pengertian tersebut dimuat dua implikasi. Implikasi yang pertama adalah kinerja saat ini perlu ditingkatkan karena
adanya kesenjangan antara pengetahuan dan kemampuan pegawai saat ini. Implikasi yang kedua adalah pembelajaran bukan untuk memenuhi kebutuhan
masa depan, namun untuk dimanfaatkan dengan segera.
Biech dalam Priansa
(2014: 276) juga menyatakan bahwa, “Pelatihan
adalah tentang perubahan, tenatang transformasi, tentang pembelajaran.
Pelatihan adalah proses yang dirancang untuk membantu pegawai
mempelajari keterampilan, pengetahuan, atau sikap baru. Akibatnya, pegawai
tersebut membuat perubahan atau transformasi yang meningkatkan
kinerjanya.
adalah tentang perubahan, tenatang transformasi, tentang pembelajaran.
Pelatihan adalah proses yang dirancang untuk membantu pegawai
mempelajari keterampilan, pengetahuan, atau sikap baru. Akibatnya, pegawai
tersebut membuat perubahan atau transformasi yang meningkatkan
kinerjanya.
Selain itu,
Sjafri Mangkuprawira dalam Priansya (2014: 182)
menambahkan bahwa, “Pelatihan bagi karyawan merupakan sebuah proses
mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar.”
mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar.”
Dari
beberapa definisi yang diuraikan diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pelatihan adalah suatu proses pembelajaran bagi karyawan
untuk meningkatkan kinerja agar karyawan semakin terampil dalam
melaksanakan pekerjaan dan tanggung jawabnya. Pelatihan memudahkan pegawai untuk mengisi kekosongan jabatan dalam suatu organisasi, sehingga perencanaan pegawai dapat dilakukan sebaik – baiknya. Keempat, Moral (Morale) diharapkan dengan adanya pelatihan.
kesimpulan bahwa pelatihan adalah suatu proses pembelajaran bagi karyawan
untuk meningkatkan kinerja agar karyawan semakin terampil dalam
melaksanakan pekerjaan dan tanggung jawabnya. Pelatihan memudahkan pegawai untuk mengisi kekosongan jabatan dalam suatu organisasi, sehingga perencanaan pegawai dapat dilakukan sebaik – baiknya. Keempat, Moral (Morale) diharapkan dengan adanya pelatihan.
4. Teori Kepemimpinan
Teori
kepemimpinan dikenal berbagai teori diantaranya seperti Teori Great Man dan
Teori Big Bang atau Teori Sifat (Karakteristik) Kepribadian, Teori Perilaku (Behavior Theories), Teori Kontingensi
atau Teori Situasional. Teori Great Man misalanya menyatakan bahwa Kepemimpinan
merupakan bakat atau bawaan sejak seseorang lahir.
Menurut
Bennis dan Nanus dalam Sigit (2013: 134)
menjelaskan bhw teori ini berasumsi pemimpin dilahirkan bukan diciptakan adalah
Kekuasaan berada pd sejumlah org tertentu, yang melalui proses pewarisan
memiliki kemampuan memimpin atau karena keberuntungan memiliki bakat untuk
menempati posisi sebagai pemimpin seprti “Asal Raja Menjadi Raja” (Anak raja
pasti memiliki bakat untuk menjadi raja sebagai pemimpin rakyatnya.
Dalam teori
Big Bang mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu peristiwa besar
menciptakan seseorang menjadi pemimpin yang mengintegrasikan antara situasi dan
pengikut dalam Situasi merupakan peristiwa besar seperti revolusi,
kekacauan/kerusuhan, pemberontakan, reformasi dan Pengikut itu sendiri adalah
orang yang menokohkan seseorang dan bersedia patuh dan taat.
Lebih lanjut,
dalam teori Sifat atau Karakteristik Kepribadian (Trait Theories) mengemukakan Seseorg dapat menjadi pemimpin
apabila memiliki sifat yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin yaitu Titik tolak
pada teori kepemimpinaan ini ialah keberhasilan seorang pemimpin ditentukan
oleh sifat kepribadian baik secara fisik maupun psikologis. Sehingga
Keefektifan pemimpin ditentukan oleh sifat, perangai atau ciri kepribadian yang
bukan saja bersumber dari bakat, tapi dari pengalaman dan hasil belajar.
Karakteristik kepribadian
seoarang pemimpin menurut Cheser selalu berhubungan dengan Sifat-sifat Pribadi
: Fisik, kecakapan (skill),
teknologi, daya tanggap (perpection),
pengetahuan (knowledge), daya ingat (memory), imajinasi (imagination) serta Sifat-sifat pribadi yang merupakan watak yang
lebih subyektif,yakni keunggulan seorang pemimpin dalam keyakinan, ketekunan,
daya tahan, keberanian.
Sedangkan
Karakteristik kepribadian seoarang pemimpin menurut Davis adalah Adanya empat
sifat umum yang efektif yaitu Kecerdasan, Kedewasaan dan keluasan pandangan
sosial, Motivasi diri dan dorongan dan Sikap-sikap hubungan sosial.
Kemudian
Karakteristik kepribadian seoarang pemimpin menurut Collons dalam A Dale Tempe dalam
pamungkas Sidik (2013: 229)
mengatakan bahwa Sifat yg harus dimiliki pemimpin agar dapat mengefektifkan
organisasi adalah Kelancaran berbicara, Kemampuan memecahkan masalah, Pandangan
ke dalam masalah kelompok (organisasi), keluwesan, kecerdasan, kesediaan merima
tanggung jawab, mempunyai Keterampilan sosial, adanya Kesadaran akan diri
sendiri dan lingkungannya.
Sementara,
karakteristik kepribadian, seoarang pemimpin menurut Yulk dalam Hersey dan
Blanchard Pamungkas (2013: 390)
seoarang pemimpin mempunyai Karakteristik pemimpin sukses terdiri yaitu Cerdas,
terampil secara konseptual Kreatif, Diplomatis dan taktis, Lancar berbicara,
Memiliki pengetahuan tentang tugas kelompok, Persuasive, Memiliki keterampilan
sosial. Sedangkan Robins Pamungkas (2013: 282)
mengatakan bahwa teori ini adalah teori yang mencari ciri-ciri kepribadian
sosial, fisik atau intelektual yang membedakan pemimpin dan yang bukan
pemimpin.
Karakteristik
kepribadian seoarang menurut Bennis dalam Hersey dan Blanchard dalam Warsito
(2015: 390). Management
of Attention
(kemampuan mengkomunikasikan tujuan atau arah yg dapat menarik perhatian
anggota), Management of Meaning
(kemampuan menciptakan dan mengkomunikasikan makna tujuan secara jelas). Management of Trust (kemampuan untuk
dipercaya dan konsisten) Management of
Self (kemampuan mengendalikan diri dalam batas kekuatan dan kelemahan).
Jadi dapat
disimpulkan terkait dengan kepemimpinan dilihat dari Teori Sifat seorang
pemimpin tersebut seharusnya mempunyai Intelegensi (kecerdasan) Kematangan dan
keluasan pandangan sosial, memiliki motivasi dan keinginan berprestasi,
memiliki hubungan manusiawi. Namun kelemahan pada Kelemahan Teori Sifat
kepemimpinan ini Tidak mungkin ada seorang pun pemimpin yang memiliki
keseluruhan sifat baik manusia, kecuali para nabi dan Rasul menurut sudut
pandang agama masing-masing.Tidak selalu ada relevansi antara sifat-sifat yang
dianggap unggul dengan efektivitas kepemimpinan. Situasi dan kondisi tertentu
yang ternyata memerlukan sifat tertentu pula berbeda dari yang lain.
Kemudian dalam
Teori Perilaku Behavior Theories
mengemukakan bahwa Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung pada
perilakunya dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan Gaya atau perilaku
kepemimpinan tampak dari cara melakukan pengambilan keputusan, cara memerintah
(instruksi), cara memberikan tugas, cara berkomunikasi, cara mendorong semangat
bawahan, cara membimbing dan mengarahkan, cara menegakkan disiplin, cara
memimpin rapat, cara menegur dan memberikan sanksi.
Dalam Teori X
dan Y mengemukakan Teori ini diperkenalkan oleh Mc Gregor di dalam buku The Human Side of Enterprise dalam Warsito (2013: 315) teori X berasumsi:
bahwa pada hakikatnya manusia itu memiliki perilaku pemalas, penakut, dan tidak
bertanggung jawab. Sebaliknya teori Y berasums: manusia itu memiliki perilaku
bertanggung jawab, motivasi kerja, kreativitas dan inisiatif serta mampu
mengawasi pekerjaan dan hidupnya sendiri. Teori X (Perilaku kepemimpinan
otoriter) dan Teori Y (Perilaku kepemimpinan demokratis).
Hasil Studi kepemimpinan
yang dilakukan oleh Universitas IOWA Studi yang dilakukan di universitas IOWA.
Menurut Lippit dan white dalam Sutarto (2013: 293) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, Authoritarian atau dictactorial yaitu Perilaku pemimpin dalam
mempengaruhi karyawanmenuntut agar bekerja/bekerja sama dengan semua cara yang
diputuskan oleh seorang pemimpin. Kedua,Democratic
yaitu Gaya kepemimpinan dalam mempengaruhi orang lain agarbersedia bekerja samadalam
melaksanakan pekerjaan termasuk juga antara pimpinan dan anggota organisasi.Ketiga, Laisser faire atau free reinKemampuan
mempengaruhi orang lain dengan menyerahkan semua wewenang kepada bawahan atau
karyawan.
Dalam studi
lanjutan terkait dengan Kepemimpinanan yang dilakukan di Universitas OHIO Studi
Kepemimpinan yang dilakuakan Universitas OHIO oleh Stephen P Robbins menyimpulkan
ada dua dimensi perilaku kepemimpinan yang efektif yakni: Dimensi struktur
tugas / prakarsa struktur (initiating struktur). Mengutamakan tercapainya
tujuan, produktifitas yang tinggi, dan penyelesaian tugas yang sesuai jadwal
yang telah ditetapkan.Pertama, dimensi
pertimbangan/tenggang rasa (consideration)
Perilaku kepemimpinan consideration memiliki ciri ciri seperti, memperhatikan
kebutuhan bawahan, menciptakan suasana saling percaya, dan hargamenghargai,
simpati pada ide dan perasaan bawahan. Kedua perilaku initiating structure dan
consideration merupakan prilaku kepemimpinan yang tidak saling mempengaruhi
atau tidak saling ketergantungan, tetapi masing masing berdiri sendiri.
Studi
Kepemimpinan Universitas Michigan Menurut Stephen P Robbins dalam Sutarto (2013: 282) Universitas Michigan dalam penelitian
perilaku menemukan 2 jenis perilaku yang terdiri dari Orientasi kepada bawahan
(employee oriented), Orientasi produktivitas (production oriente, Dengan
demikian jelas bahwa penelilitian dari tiga universitas yang berbeda
menghasilkan perilaku kepemimpinan yang sama.
Sedangkan
menurut Managerial Grid Menurut Blake dan Mounton di dalam fred luthans dikutip
Sutarto (2013: 473) mengetengahkan suatu usaha untuk
mengidentifikasi gaya atau perilaku kepemimpinan yang efektif di dalam
manajemen. Pendekatan ini berdasarkan pada perilaku kepemimpinan yang memiliki
dua dimensi yaitu dimensi mengutamakan produksi (concern for production) ditempatkan pada sumbu horizontal, dan
dimensi mengutamakan karyawan (concern
for people) ditempatkan pada sumbu vertical. Tinggi rendahnya perilaku
tersebut dinyatakan dengan angka satu (1) sampai sembilan (9).
Ada Empat
sistem manajemen kepemimpinan menurut Rensis Likert di dalam Fred Luthans dikutip
Sutarto (2013: 462) menyusun teorinyabertolak dari dua jenis
perilaku kepemimpinan sebagaiman telah diuraikan terdahulu, yakni perilaku kepemimpinan
yang berorientasi pada anggota organisasi. Likert membagi perilaku dan gaya
kepemimpinan menjadi empat sistem yaitu:
Pertama, sistem
Exploitative autocratic Perilaku atau gaya kepemimpinan ditunjukan oleh
pemimpin sebagai pihak yangberhak menyelesaikan masalah-masalah organisasi
sebagai satu satunya pengambilkeputusan dan memberikan perintah dan pimpinan
tidak menaruh kepercayaandan karenanya tidak melimpahkan sedikitpun wewenang
pada bawahan.
Kedua, sistem
Benovelent autaocratic Perilaku atau gaya kepemimpinan ini ditunjukan dengan
sudah memberikan kesempatan kepada bawahan/anggota organisasi untuk
menyampaikan komentarterhadap keputusan dan perintah pimpinan sebagai atasan.
Pendapat kadang kadang diterima dan lebih banyak ditolak.
Ketiga, Sistem Participative Perilaku atau gaya kepemimpinan ini
ditunjukan dengan memberikan kesempatanpada anggota organisasi/bawahan ikut
serta dalam menerapkan tujuan, membuatkeputusan dan mendiskusikan perintah perintah.
Keempat, Sistem Democratic Perilaku atau gaya kepemimpinan ini
ditunjukan dengan pemecahan masalahpekerjaan dan organisasi secara bersama sama
antara pimpinan sebagai atasan dengan anggota organisasi sebagai bawahan.
Sebelum membuat keputusanpimpinan selalu mempertimbangkan pendapat bawahan.
Kemudian
menurut Teori kepemimpinan Kontingensi atau Teori Situasional Resistensi atas
teori kepemimpinan yang telah diuraikan sebelumnya memberlakukan asas-asas umum
untuk semua situasi. Hal ini tidak mungkin setiap organisasi hanya dipimpin
dengan gaya kepemimpinan tunggal untuk segala situasi terutama apabila
organisasi terus berkembang atau jumlah anggotanya semakin besar. Respon atau
reaksi yang timbul berfokus pada pendapat bahwa dalam menghadapi situasi yang
berbeda diperlukan gaya kepemimpin yg berbeda beda pula.
Selanjutnya,
Model Kepemimpinan Kontingensi atau Situasional Model Kepemimpinan Situasional
dari Fiedler Model Kepemimpinan Situasional Tiga
Dimensi dari Reddin Model Kepemimpinan Situasional dari
Tannenbaum dan Schmidt Model Kepemimpinan Situasional dari Hersey dan Blanchard
dalam Sutarto (2013; 238).
Model
Kepemimpinan Situasional dari Fiedler Menurut Fiedler di dalam kreitner dan
kiniki dalam Sidik (2013: 382)
mengatakan bahwa ada tiga dimensi di dalam situasi yang dihadapi pemimpin Pertama, hubungan pemimpin anggota (the leader member relationship). Adanya
hubungan baik pimpinan dengan anggota. Kedua,
derajat dari susunan tugas (the degree of
task structure). Adanya susunan tugas setiap anggota organisasi tersusun
secara jelas. Ketiga, posisi
kekuasaan pemimpin (the leader’s
positions power). Adanya kewenangan /kekuasaan formal yang dimilki oleh
pemimpin.Situasi tiga dimensi tersebut di atas adalah situasi yang
mengungtungkan dalam menjalankan kepemimpinan.
Model
kepemimpinan situasional tiga dimensi dari Reddin. Menurut reddin Di dalam Wahjosumidjo
dalam Sidik (2013:343) dinyatakan ada tiga
pola dasar yang dapat digunakan unuk menetapkan pola perilaku kepemimpinan yang
terdiri dari: Berorientasi pada tugas (task
oriented), Berorientasi pada hubungan (relationship oriented), Berorientasi
pada efektifitas (effectiveness oriented)
Tolak ukur dari tiga dimensi dar Redin adalah Kepemimpinan yang efek dan tidak
efektif.
Kepemimpinan tidak efektif gaya kepemimpin deserter (pembelot),
Miiisionary ( pelindung dan penyelamat) , Autocrat (Otokrasi ), Compromiser
(Kompromis) Kepemimpinan tidak efektif : Gaya kepemimpinan Bureaucrat (birocrat), Developer
(pembangun), Benevolent autocrat
(Otokrasi yang lunak didempurnakan ) , Axecitutive
(eksekutif ).
Model
kepemimpinan Situasional dari Tannenbaum dan Schmidt. Perilaku atau gaya
kepemimpinan menurut kontinum dari schmidt memiliki tiga faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam merealisasikan kepemimpinan yang efektif ketiga faktor
tersebut adalah: Pertama, Kekuatan
pemimpin yaitu kondisi dari seorang pemimpin yang mendukung dalam melaksanakan
kepemimpinanya. Kedua, kekuatan
anggota yaitu kondisi yang pada umumnya yang melaksanakan kepemimpinan seorang
pemimpin bertanggung jawab dalam bekerja. Ketiga,
kekuatan situasi yaitu situasi dalam interaksi antarapemimpin dengan anggota
organisasi sebagai bawahan seperti suasana organisasi secarakeseluruhan
termasuk budaya orgaisasi dan tekanan waktu dalam bekerja.
Model
kepemimpinan situasional dari hersey dan Blanchard Teori ini menyatakan bahwa
keefektifan kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh tingkat kemampuan (kesiapan
dan kematangan) bawahan dalam menerima atau menolak pemimpin. Berdasarkan
tingkat kematangan dan kesiapan perilaku aau gaya kepemimpinandibagi menjadi
empat jenis yaitu :
Pertama,Telling style (gayamengatakan/memerintah/mengarahkan) Perilaku atau gaya kepemimpinan
ini berorientasi tinggi pada tugas dan rendah pada hubungan dengan anggota
organisasi atau bawahan. Kedua,selling
style (gaya menawarkan/menjual) Perilaku atau gaya kepemimpinan ini
dilaksanakan dengan perilaku orientasi tugas dan hubungan yang kedua –duanya
tinggi. Ketiga, participating style
(Gaya partisipasi) Perilaku atau gaya kepemimpinan ini dilaksanakan dengan
orientasi pada tugas rendah dan orientasi hubungan dengan anggota organisasi
tinggi. Keempat, delegating style
(Gaya pendelegasian wewenang). Perilaku atau gaya kepemimpinan ini dilaksanakan
dengan orientasi tugas rendahdan hubungan dengan anggota organisasi rendah
Dalam suatu
masyarakat baik pada masyarakat modern maupun pada
masyarakat primitif selalu terdapat sekelompok kecil yang berkuasa. Kelompok
kecil ini biasanya dianggap sebagai pemberi legitimasi dan menjadi panutan sikap dan acuan tindakan, mereka ini biasanya disebut kelompok elit Keller dalam Sutarto (2012: 226).
masyarakat primitif selalu terdapat sekelompok kecil yang berkuasa. Kelompok
kecil ini biasanya dianggap sebagai pemberi legitimasi dan menjadi panutan sikap dan acuan tindakan, mereka ini biasanya disebut kelompok elit Keller dalam Sutarto (2012: 226).
Elit adalah mereka yang menduduki posisi puncak di masyarakat baik dalam
kekuasaan maupun dalam kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang
menjalankan otoritas, pengaruh, kekuasaan dan pengawasan terhadap sumbersumber daya yang sangat penting. Mereka dapat merumuskan kebijaksanaan, memimpin kegiatan, dan memutuskan masalah masalahpemerintahan yangpenting, pendidikan, hukum, politik dan sebagainya.
kekuasaan maupun dalam kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang
menjalankan otoritas, pengaruh, kekuasaan dan pengawasan terhadap sumbersumber daya yang sangat penting. Mereka dapat merumuskan kebijaksanaan, memimpin kegiatan, dan memutuskan masalah masalahpemerintahan yangpenting, pendidikan, hukum, politik dan sebagainya.
Dari batasan kelompok elityang paling berpengaruh saat
ini adalah elit politik. Para elit politik dalam sistempemerintahan dan
pembangunan dapat diperhitungkan sebagai pembuat kebijakan, penentu kebijakan,
mengamil keputusan serta sebagai pengontrol di dalam sistempemerintahan.
Diantara elit politik yang dominan adalah elit politik dewanperwakiln rakyat
daerah.
Mereka
adalah elit yang muncul bukan secara kebetulantetapi keberadaan meeka di bentuk
dari proses yang panjang, dari berbagai latarbelakang seperti kelompok etnis,
agama, cendekiawan, politisi, birokrat, ekonommaupun dari kelompok massa atau
masyarakat biasa sehingga partai politik tidak hanya menjadi kelompok pemburu kekuasaan namun juga berperan dan berkontribusi untuk pemberdayaan masyarakat kita...Sekian...!