Sudah Jalankah Pemberdayaan Masyarakat yang dilakukan Oleh Partai Politik..?


   
Penulis :Mohd Hadidi, S.Sy. MH
Dosen Hukum dan Ekonomi Islam STAIN TDM MBO
Pemberdayaan masyarakat yang bisa dilakukan oleh partai politik yaitu dengan menjadikan partai politik mempunyai program mewujudkan masyarakat madani lewat pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya dan partisipasinya dalam menberdayakan masyarakat oleh partai tersebut, mengingat umumnya beberapa kelompok pengaruh muncul dalam masyarakat seturut dengan alur kepentingan dan nilai yang tumpang tindih antara berbagai kelompok kepentingan, parpol, dan masyarakat madani.
      Proses pengkonsentrasian suana pada suatu sistem kepantaian bisa dipercepat dan ditumbuhkembangkan dengan undang-undang pemilihan umum. Batas jumlah suara minimum yang diperoleh suatu partai politik dalam pemilu untuk bisa mendapatkan kursi di parlemen (Quorum) 3% atau 5% bagi partai politik untuk mendapatkan kursi di parlemen bisa membatasi agar partai yang dogmatis dan bertujuan tunggal tidak masuk dalam proses politik.
       Hal ini juga bisa mendidik perilaku para pemilih dalam pemilu. Dengan sistem tersebut masyarakat supaya belajar bahwa agar Suara atau pilihan (Vote) mereka Berdaya guna, berhasil mencapai tujuan (Efektif) maka mereka harus mengkonsentrasikan vote mereka untuk partai politik yang benar-benar berkemampuan untuk mendapatkan quorum dan mendapat kursi di panlemen.  Para aktivis politikatau elit politik juga harus berusaha menghimpun parpol-parpol dengan profl dan kepentingan yang hampir sama.
     Lebih lanjut, dengan pemebrdayaan masyarakat oleh partai politik hal juga bisa dilihat dari partisipasi partai politik terhadap masyarakat bisa dikajih dari Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Huntington dan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Lewat penelitian mereka, memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious).
        Bagi Huntington and Nelson (1976: 76), perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
     Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki
pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian.
     Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang Luengo dalam Miriam Budi Harjo
(2012: 267) dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
       Banyak ahli memberikan pengertian mengenai konsep partisipasi. Bila dilihat dari asal katanya, kata partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris “participation” yang berarti pengambilan bagian, pengikutsertaan Echols & Shadily dalam Miriam Budi Harjo (2012: 319). Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil- hasil pembangunan.
     Pengertian tentang partisipasi dikemukakan oleh Rafael, Raga, Maran Rafael, Raga, Maran, dalam Miriam Budi Harjo (2012: 302). Dimana partisipasi dapat juga berarti bahwa pembuat keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat, barang, keterampilan, bahan dan jasa. Partisipasi dapat juga berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya. Triwarti Arsal, Triwarti Arsal dalam Basyar (2013: 157) mengungkapkan partisipasi adalah sebagai wujud dari keinginan untuk mengembangkan demokrasi melalui proses desentralisasi dimana diupayakan antara lain perlunya perencanaan dari bawah (bottom-up) dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan masyarakatnya.
     Definisi partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Mirriam Mirriam Budiarjo, (2012: 184) partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.

     Menurut Sundariningrum dalam Sugiyah, Sugiyah dalam basyar (2012: 138) mengklasifikasikan partisipasi menjadi 2 (dua) berdasarkan cara keterlibatannya, yaitu:

1)      Partisipasi Langsung
    Partisipasi yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan tertentu dalam proses partisipasi. Partisipasi ini terjadi apabila setiap orang dapat mengajukan pandangan, membahas pokok permasalahan, mengajukan keberatan terhadap keinginan orang lain atau terhadap ucapannya
2)      Partisipasi tidak lansung
     Partisipasi yang terjadi apabila individu mendelegasikan hak partisipasinya. Cohen dan Uphoff yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D, dalam Basyar (2012:163), membedakan patisipasi menjadi empat jenis, yaitu: Pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini terutama berkaitan dengan penentuan alternatif dengan masyarakat berkaitan dengan gagasan atau ide yang menyangkut kepentingan bersama. Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan meliputi menggerakkan sumber daya dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan penjabaran program.. Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat. Partisipasi dalam pengambilan manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan yang telah dicapai baik yang berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas.      Keempat, partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi dalam evaluasi ini berkaitan dengan pelaksanaan pogram yang sudah direncanakan sebelumnya. Partisipasi dalam evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui ketercapaian program yang sudah direncanakan sebelumnya. Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah keterlibatan suatu individu atau kelompok dalam pencapaian tujuan dan adanya pembagian kewenangan atau tanggung jawab bersama.
       Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam Harjo (2014: 279) membagi landasan partisipasi politik ini menjadi Individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa. Kelompok atau komunal individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.
    Menurut Waime dalam Harjo (2014: 287) menyatakan bahwa yang menyebabkan timbulnya pergerakan ke arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik yaitu:
1)      Moderenisasi disegala bidang, berimplikasi pada komersialisme pertanian, industri, perbaikan pendidikan, pengembangan metode masa, dan sebagainya.
2)      Terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Perubahan strukturkelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja batu yang semakin meluas dalam era industrialisasi dan moderenisasi.
3)      Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi masa merupakan faktor meluasnya komunikasi politik masyarakat. Ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisasi membagkitkan tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan Adanya konflik diantara pemimpin-pemimpin politik, Pemimpinan politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan sering kali untuk mencapai kemenangan dilakukan dengan cara mencari dukungan massa. Dengan demikian pertentangan dan perjuangan kelas menengah kekauasaan mengakibatkan perluasan hak pilih rakyat.
4)      Adanya keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan.Menurut Davis partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi penguasa baik dalam arti memperkuat maupun dalam pengertian menekannya sehingga mereka memperhatikan atau memenuhi kepentingan pelaku partisipasi. Tujuan tersebut sangat beralasan karena sasaran partisipasi politik adalah lembaga-lembaga politik atau pemerintah yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan politik. Jadi partisipasi politik sangatlah penting bagi masyarakat maupun pemerintah. Bagi masyarakat dapat sebagai sarana untuk memberikan masukan, kritik, dan saran terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, sedangkan bagi pemerintah partisipasi politik merupakan sebuah mekanisme pelaksanaan fungsi kontrol terhadap pemerintah dan pelaksanaan kebijakan.
   Model partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh
seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan terror.
       Lobby yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu; Kegiatan Organisasi yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Contacting yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan Tindakan Kekerasan (violence) yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
       Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini. Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Samuel P. Hu  ntington menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi politik dapat meliputi: Pertama, opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif
politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini
mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung. Kedua, polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik warganegara menemui manifestasinya.
        3.Teori Sumber Daya Manusia
        Sumber daya Manusia (SDM) salah satunya berangkat dari tingkat pengetahuan elit politik dalam sebuah organisasi partai politik menurut Mc Quail dalam Basyar (2013: 189) selalu terkait dengan kesadaran terhadap suatu fenomena. Kesadaran melibatkan intensitas interaksi yang mendasari sikap atau tindakan yang dilakukan. Maka individu yang memiliki kesadaran adalah individu yang dapat mengontrol perilakunya secara terukur. Persoalannya menjadi agak rumit ketika individu tidak lagi hanya berpikir untuk dirinya an sich, namun sudah merupakan bagian dari sebuah organisasi atau kelompok.
       Tindakan atau perilakunya mesti pula diorientasikan untuk kepentingan organisasi. Studi yang dilakukan Andersson dalam Golan (2016: 193) menemukan bahwa kehendak individu bahkan sudah diganti oleh kehendak pemimpin. Itu sebabnya pemimpin menurut Edmoson dalam Sedar Mayanti (2013: 195) adalah representasi dari organisasi.
        Bahkan kerapkali dinamika organisasi selalu dikaitkan dengan perilaku pemimpinnnya. Jika elite atau level pimpinan organisasi sering berkonflik, penilaian publik pun menyimpulkan bahwa organisasi itu tidak sehat karena konflik internal sudah dibuka menjadi konsumsi publik. Penelitian Ahmed dalam Sedarmayanti (2013: 292) menegaskan bahwa pemimpin harus disiplin dalam ‘self control’ agar persepsi publik yang minor terhadap penilaian atas postur organisasi dapat dihindari.
        Pengelolaan Sumber Daya Manusia dalam suatu perusahaan atau organisasi menjadi hal yang bersifat sangat penting dan tidak mudah bagi suatu
Perusahaan wajib mendukung terwujudnya proses sumber daya manusia yang
berkualitas. Peran manajemen sumber daya manusia tidak kecil, karena
sebagai pusat pengelola dan penyedia sumber daya manusia untuk departmen
lainnya. Adapun beberapa pengertian dari manajemen sumber daya manusia.
         Menurut Yani dalam Nugroho (2013: 104), “Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) dapat diartikan sebagai ilmu yang mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja secara efektif dan efisien sehingga tercapai tujuan organisasi atau perusahaan.”
       Sedangkan menurut Rivai dan Sagala dalam Priansa dalam Nugroho (2014: 121), “Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan salah satu bidang dari
manajemen umum yang meliputi segi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengendalian.”
     Namun Flippo dalam Priansa (2014:121) secara lebih spesifik
mengatakan bahwa, “Manajemen Sumber Daya Manusia adalah perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian dari pengadaan,
pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemberhentiaan pegawai dengan maksud terwujudnya tujuan perusahaan,
individu, pegawai dan masyarakat.”
         Dari beberapa pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
dengan kata lain Manajemen Sumber Daya Manusia memiliki pengertian
sebagai kegiatan perencanaan, pengembangan, pemeliharaan dan penggunaan
sumber daya manusia sesuai dengan pekerjaan yang tepat dalam upaya
mencapai tujuan individu ataupun organisasional agar efektif dan efisien.
         Beberapa pendekatan dalam manajemen sumber daya manusia
menurut Yani dalam Priansya (2013:
125) yaitu: Pertama, pendekatan SDM Pendekatan yang menekankan pada pengelolaan dan pendayagunaan yang memperhatikan hak azasi manusia. Kedua, pendekatan Manajerial Pendekatan yang menekankan pada tanggung jawab menyediakan danmelayani kebutuhan sumber daya manusia departemen lain, Kedtiga, Pendekatan Sistem Pendekatan yang menekankan pada tanggung jawab subsistem dalamorganisasi. Keempat, pendekatan Proaktif Pendekatan yang menekankan pada kontribusi terhadap karyawan, manajer, dan organisasi dalam memberikan pemecahan masalah.
Menurut Priansa dalam Priansya (2014: 121), “Fungsi merupakan kegiatan pokok yang dilakukan dalam suatu organisasi. Fungsi operasional adalah fungsi yang lebih didominasi oleh kegiatan fisik.”
      Berikut adalah fungsi fungsi operasional manajemen sumber daya manusia Pertama, Pengadaan pegawai Fungsi ini berkaitan dengan penentuan kebutuhan pegawai, penarikannya, seleksi dan penempatannya. Penentuan kebutuhan pegawai berkaitan dengan mutu dan jumlah pegawai. Sedangkan seleksi dan penempatan menyangkut masalah memilih dan menarik pegawai, pembahasan pada formulir di surat lamaran, dan tes psikologis. Kedua, pengembangan
Fungsi ini berkaitan dengan pegawai baru yang perlu dibina dan dikembangkan. Tujuan dari pengembangan ini adalah untuk meningkatkan keterampilan melalui latihan yang diperlukan untuk dapat menjalankan pekerjaan dengan baik kompensasi.
          Ketiga, Fungsi ini sangat besar bagi karyawan. Kompensasi adalah sebagai pemberian penghargaan kepada pegawai sesuai dengan sumbangan
mereka untuk mencapai tujuan organisasi. Kompensasi ini biasanya
diterima pegawai dalam bentuk uang dan tunjangan.
Keempat, Pengintegrasian adalah penyesuaian sikap sikap, keinginan pegawai,
dengan keinginan organisasi masyarakat. Dalam hal ini, pegawai diminta mengubah kebiasaan dan sikap sikap lainnya yang kurang
menguntungkan bagi organisasi sehingga ada niat dan kemauan untuk menyesuaikan dengan keinginan serta tujuan organisasi.
Kelima, pemeliharaan Pemeliharaan adalah usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi yang telah ada. Apa yang sudah diterima dan pernah dinikmati pegawai hendaknya tetap dipertahankan.
 Keenam, Pensiun Pemeliharaan adalah fungsi terakhir dari manajemen kepegawaian. Fungsi ini berhubungan dengan pegawai yang sudah lama bekerja pada organisasi. Fungsi ini menjamin pegawai pegawai yang pensiun. Organisasi yang sudah berukuran besar menyediakan dana bagi pegawai yang sudah pensiun.
Menurut Chan dalam Priansa (2014: 276), “Pelatihan merupakan
pembelajaran yang disediakan dalam rangka meningkatkan kinerja terkait
dengan pekerjaan saat ini.” Dalam pengertian tersebut dimuat dua implikasi. Implikasi yang pertama adalah kinerja saat ini perlu ditingkatkan karena
adanya kesenjangan antara pengetahuan dan kemampuan pegawai saat ini. Implikasi yang kedua adalah pembelajaran bukan untuk memenuhi kebutuhan
masa depan, namun untuk dimanfaatkan dengan segera.
       Biech dalam Priansa (2014: 276) juga menyatakan bahwa, “Pelatihan
adalah tentang perubahan, tenatang transformasi, tentang pembelajaran.
Pelatihan adalah proses yang dirancang untuk membantu pegawai
mempelajari keterampilan, pengetahuan, atau sikap baru. Akibatnya, pegawai
tersebut membuat perubahan atau transformasi yang meningkatkan
kinerjanya.
     Selain itu, Sjafri Mangkuprawira dalam Priansya (2014: 182) menambahkan bahwa, “Pelatihan bagi karyawan merupakan sebuah proses
mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar.”
          Dari beberapa definisi yang diuraikan diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pelatihan adalah suatu proses pembelajaran bagi karyawan
untuk meningkatkan kinerja agar karyawan semakin terampil dalam
melaksanakan pekerjaan dan tanggung jawabnya. Pelatihan memudahkan pegawai untuk mengisi kekosongan jabatan dalam suatu organisasi, sehingga perencanaan pegawai dapat dilakukan sebaik – baiknya. Keempat, Moral (Morale) diharapkan dengan adanya pelatihan.
4. Teori Kepemimpinan
       Teori kepemimpinan dikenal berbagai teori diantaranya seperti Teori Great Man dan Teori Big Bang atau Teori Sifat (Karakteristik) Kepribadian, Teori Perilaku (Behavior Theories), Teori Kontingensi atau Teori Situasional. Teori Great Man misalanya menyatakan bahwa Kepemimpinan merupakan bakat atau bawaan sejak seseorang lahir.
      Menurut Bennis dan Nanus dalam Sigit (2013: 134) menjelaskan bhw teori ini berasumsi pemimpin dilahirkan bukan diciptakan adalah Kekuasaan berada pd sejumlah org tertentu, yang melalui proses pewarisan memiliki kemampuan memimpin atau karena keberuntungan memiliki bakat untuk menempati posisi sebagai pemimpin seprti “Asal Raja Menjadi Raja” (Anak raja pasti memiliki bakat untuk menjadi raja sebagai pemimpin rakyatnya.
       Dalam teori Big Bang mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu peristiwa besar menciptakan seseorang menjadi pemimpin yang mengintegrasikan antara situasi dan pengikut dalam Situasi merupakan peristiwa besar seperti revolusi, kekacauan/kerusuhan, pemberontakan, reformasi dan Pengikut itu sendiri adalah orang yang menokohkan seseorang dan bersedia patuh dan taat.
       Lebih lanjut, dalam teori Sifat atau Karakteristik Kepribadian (Trait Theories) mengemukakan Seseorg dapat menjadi pemimpin apabila memiliki sifat yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin yaitu Titik tolak pada teori kepemimpinaan ini ialah keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat kepribadian baik secara fisik maupun psikologis. Sehingga Keefektifan pemimpin ditentukan oleh sifat, perangai atau ciri kepribadian yang bukan saja bersumber dari bakat, tapi dari pengalaman dan hasil belajar.
     Karakteristik kepribadian seoarang pemimpin menurut Cheser selalu berhubungan dengan Sifat-sifat Pribadi : Fisik, kecakapan (skill), teknologi, daya tanggap (perpection), pengetahuan (knowledge), daya ingat (memory), imajinasi (imagination) serta Sifat-sifat pribadi yang merupakan watak yang lebih subyektif,yakni keunggulan seorang pemimpin dalam keyakinan, ketekunan, daya tahan, keberanian.
    Sedangkan Karakteristik kepribadian seoarang pemimpin menurut Davis adalah Adanya empat sifat umum yang efektif yaitu Kecerdasan, Kedewasaan dan keluasan pandangan sosial, Motivasi diri dan dorongan dan Sikap-sikap hubungan sosial.
    Kemudian Karakteristik kepribadian seoarang pemimpin menurut Collons dalam A Dale Tempe dalam pamungkas Sidik (2013: 229) mengatakan bahwa Sifat yg harus dimiliki pemimpin agar dapat mengefektifkan organisasi adalah Kelancaran berbicara, Kemampuan memecahkan masalah, Pandangan ke dalam masalah kelompok (organisasi), keluwesan, kecerdasan, kesediaan merima tanggung jawab, mempunyai Keterampilan sosial, adanya Kesadaran akan diri sendiri dan lingkungannya.
   Sementara, karakteristik kepribadian, seoarang pemimpin menurut Yulk dalam Hersey dan Blanchard Pamungkas (2013: 390) seoarang pemimpin mempunyai Karakteristik pemimpin sukses terdiri yaitu Cerdas, terampil secara konseptual Kreatif, Diplomatis dan taktis, Lancar berbicara, Memiliki pengetahuan tentang tugas kelompok, Persuasive, Memiliki keterampilan sosial. Sedangkan Robins Pamungkas (2013: 282) mengatakan bahwa teori ini adalah teori yang mencari ciri-ciri kepribadian sosial, fisik atau intelektual yang membedakan pemimpin dan yang bukan pemimpin.
     Karakteristik kepribadian seoarang menurut Bennis dalam Hersey dan Blanchard dalam Warsito (2015: 390). Management of Attention (kemampuan mengkomunikasikan tujuan atau arah yg dapat menarik perhatian anggota), Management of Meaning (kemampuan menciptakan dan mengkomunikasikan makna tujuan secara jelas). Management of Trust (kemampuan untuk dipercaya dan konsisten) Management of Self (kemampuan mengendalikan diri dalam batas kekuatan dan kelemahan).
    Jadi dapat disimpulkan terkait dengan kepemimpinan dilihat dari Teori Sifat seorang pemimpin tersebut seharusnya mempunyai Intelegensi (kecerdasan) Kematangan dan keluasan pandangan sosial, memiliki motivasi dan keinginan berprestasi, memiliki hubungan manusiawi. Namun kelemahan pada Kelemahan Teori Sifat kepemimpinan ini Tidak mungkin ada seorang pun pemimpin yang memiliki keseluruhan sifat baik manusia, kecuali para nabi dan Rasul menurut sudut pandang agama masing-masing.Tidak selalu ada relevansi antara sifat-sifat yang dianggap unggul dengan efektivitas kepemimpinan. Situasi dan kondisi tertentu yang ternyata memerlukan sifat tertentu pula berbeda dari yang lain.
    Kemudian dalam Teori Perilaku Behavior Theories mengemukakan bahwa Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung pada perilakunya dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan Gaya atau perilaku kepemimpinan tampak dari cara melakukan pengambilan keputusan, cara memerintah (instruksi), cara memberikan tugas, cara berkomunikasi, cara mendorong semangat bawahan, cara membimbing dan mengarahkan, cara menegakkan disiplin, cara memimpin rapat, cara menegur dan memberikan sanksi.
     Dalam Teori X dan Y mengemukakan Teori ini diperkenalkan oleh Mc Gregor di dalam buku The Human Side of Enterprise  dalam Warsito (2013: 315) teori X berasumsi: bahwa pada hakikatnya manusia itu memiliki perilaku pemalas, penakut, dan tidak bertanggung jawab. Sebaliknya teori Y berasums: manusia itu memiliki perilaku bertanggung jawab, motivasi kerja, kreativitas dan inisiatif serta mampu mengawasi pekerjaan dan hidupnya sendiri. Teori X (Perilaku kepemimpinan otoriter) dan Teori Y (Perilaku kepemimpinan demokratis).
     Hasil Studi kepemimpinan yang dilakukan oleh Universitas IOWA Studi yang dilakukan di universitas IOWA. Menurut Lippit dan white dalam Sutarto (2013: 293) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, Authoritarian atau dictactorial yaitu Perilaku pemimpin dalam mempengaruhi karyawanmenuntut agar bekerja/bekerja sama dengan semua cara yang diputuskan oleh seorang pemimpin. Kedua,Democratic yaitu Gaya kepemimpinan dalam mempengaruhi orang lain agarbersedia bekerja samadalam melaksanakan pekerjaan termasuk juga antara pimpinan dan anggota organisasi.Ketiga, Laisser faire atau free reinKemampuan mempengaruhi orang lain dengan menyerahkan semua wewenang kepada bawahan atau karyawan.
   Dalam studi lanjutan terkait dengan Kepemimpinanan yang dilakukan di Universitas OHIO Studi Kepemimpinan yang dilakuakan Universitas OHIO oleh Stephen P Robbins menyimpulkan ada dua dimensi perilaku kepemimpinan yang efektif yakni: Dimensi struktur tugas / prakarsa struktur (initiating struktur). Mengutamakan tercapainya tujuan, produktifitas yang tinggi, dan penyelesaian tugas yang sesuai jadwal yang telah ditetapkan.Pertama, dimensi pertimbangan/tenggang rasa (consideration) Perilaku kepemimpinan consideration memiliki ciri ciri seperti, memperhatikan kebutuhan bawahan, menciptakan suasana saling percaya, dan hargamenghargai, simpati pada ide dan perasaan bawahan. Kedua perilaku initiating structure dan consideration merupakan prilaku kepemimpinan yang tidak saling mempengaruhi atau tidak saling ketergantungan, tetapi masing masing berdiri sendiri.
     Studi Kepemimpinan Universitas Michigan Menurut Stephen P Robbins dalam Sutarto (2013: 282) Universitas Michigan dalam penelitian perilaku menemukan 2 jenis perilaku yang terdiri dari Orientasi kepada bawahan (employee oriented), Orientasi produktivitas (production oriente, Dengan demikian jelas bahwa penelilitian dari tiga universitas yang berbeda menghasilkan perilaku kepemimpinan yang sama.
    Sedangkan menurut Managerial Grid Menurut Blake dan Mounton di dalam fred luthans dikutip Sutarto (2013: 473) mengetengahkan suatu usaha untuk mengidentifikasi gaya atau perilaku kepemimpinan yang efektif di dalam manajemen. Pendekatan ini berdasarkan pada perilaku kepemimpinan yang memiliki dua dimensi yaitu dimensi mengutamakan produksi (concern for production) ditempatkan pada sumbu horizontal, dan dimensi mengutamakan karyawan (concern for people) ditempatkan pada sumbu vertical. Tinggi rendahnya perilaku tersebut dinyatakan dengan angka satu (1) sampai sembilan (9).
      Ada Empat sistem manajemen kepemimpinan menurut Rensis Likert di dalam Fred Luthans dikutip Sutarto (2013: 462) menyusun teorinyabertolak dari dua jenis perilaku kepemimpinan sebagaiman telah diuraikan terdahulu, yakni perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada anggota organisasi. Likert membagi perilaku dan gaya kepemimpinan menjadi empat sistem yaitu:
Pertama, sistem Exploitative autocratic Perilaku atau gaya kepemimpinan ditunjukan oleh pemimpin sebagai pihak yangberhak menyelesaikan masalah-masalah organisasi sebagai satu satunya pengambilkeputusan dan memberikan perintah dan pimpinan tidak menaruh kepercayaandan karenanya tidak melimpahkan sedikitpun wewenang pada bawahan.
       Kedua, sistem Benovelent autaocratic Perilaku atau gaya kepemimpinan ini ditunjukan dengan sudah memberikan kesempatan kepada bawahan/anggota organisasi untuk menyampaikan komentarterhadap keputusan dan perintah pimpinan sebagai atasan. Pendapat kadang kadang diterima dan lebih banyak ditolak.
Ketiga, Sistem Participative Perilaku atau gaya kepemimpinan ini ditunjukan dengan memberikan kesempatanpada anggota organisasi/bawahan ikut serta dalam menerapkan tujuan, membuatkeputusan dan mendiskusikan perintah perintah.
Keempat, Sistem Democratic Perilaku atau gaya kepemimpinan ini ditunjukan dengan pemecahan masalahpekerjaan dan organisasi secara bersama sama antara pimpinan sebagai atasan dengan anggota organisasi sebagai bawahan. Sebelum membuat keputusanpimpinan selalu mempertimbangkan pendapat bawahan.
       Kemudian menurut Teori kepemimpinan Kontingensi atau Teori Situasional Resistensi atas teori kepemimpinan yang telah diuraikan sebelumnya memberlakukan asas-asas umum untuk semua situasi. Hal ini tidak mungkin setiap organisasi hanya dipimpin dengan gaya kepemimpinan tunggal untuk segala situasi terutama apabila organisasi terus berkembang atau jumlah anggotanya semakin besar. Respon atau reaksi yang timbul berfokus pada pendapat bahwa dalam menghadapi situasi yang berbeda diperlukan gaya kepemimpin yg berbeda beda pula.
    Selanjutnya, Model Kepemimpinan Kontingensi atau Situasional Model Kepemimpinan Situasional dari Fiedler Model Kepemimpinan Situasional Tiga
Dimensi dari Reddin Model Kepemimpinan Situasional dari Tannenbaum dan Schmidt Model Kepemimpinan Situasional dari Hersey dan Blanchard dalam Sutarto (2013; 238).
      Model Kepemimpinan Situasional dari Fiedler Menurut Fiedler di dalam kreitner dan kiniki dalam Sidik (2013: 382) mengatakan bahwa ada tiga dimensi di dalam situasi yang dihadapi pemimpin Pertama, hubungan pemimpin anggota (the leader member relationship). Adanya hubungan baik pimpinan dengan anggota. Kedua, derajat dari susunan tugas (the degree of task structure). Adanya susunan tugas setiap anggota organisasi tersusun secara jelas. Ketiga, posisi kekuasaan pemimpin (the leader’s positions power). Adanya kewenangan /kekuasaan formal yang dimilki oleh pemimpin.Situasi tiga dimensi tersebut di atas adalah situasi yang mengungtungkan dalam menjalankan kepemimpinan.
     Model kepemimpinan situasional tiga dimensi dari Reddin. Menurut reddin Di dalam Wahjosumidjo dalam Sidik  (2013:343) dinyatakan ada tiga pola dasar yang dapat digunakan unuk menetapkan pola perilaku kepemimpinan yang terdiri dari: Berorientasi pada tugas (task oriented), Berorientasi pada hubungan (relationship oriented), Berorientasi pada efektifitas (effectiveness oriented) Tolak ukur dari tiga dimensi dar Redin adalah Kepemimpinan yang efek dan tidak efektif.
           Kepemimpinan tidak efektif gaya kepemimpin deserter (pembelot), Miiisionary ( pelindung dan penyelamat) , Autocrat (Otokrasi ), Compromiser (Kompromis) Kepemimpinan tidak efektif : Gaya kepemimpinan Bureaucrat (birocrat), Developer (pembangun), Benevolent autocrat (Otokrasi yang lunak didempurnakan ) , Axecitutive (eksekutif ).
    Model kepemimpinan Situasional dari Tannenbaum dan Schmidt. Perilaku atau gaya kepemimpinan menurut kontinum dari schmidt memiliki tiga faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merealisasikan kepemimpinan yang efektif ketiga faktor tersebut adalah: Pertama, Kekuatan pemimpin yaitu kondisi dari seorang pemimpin yang mendukung dalam melaksanakan kepemimpinanya. Kedua, kekuatan anggota yaitu kondisi yang pada umumnya yang melaksanakan kepemimpinan seorang pemimpin bertanggung jawab dalam bekerja. Ketiga, kekuatan situasi yaitu situasi dalam interaksi antarapemimpin dengan anggota organisasi sebagai bawahan seperti suasana organisasi secarakeseluruhan termasuk budaya orgaisasi dan tekanan waktu dalam bekerja.
     Model kepemimpinan situasional dari hersey dan Blanchard Teori ini menyatakan bahwa keefektifan kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh tingkat kemampuan (kesiapan dan kematangan) bawahan dalam menerima atau menolak pemimpin. Berdasarkan tingkat kematangan dan kesiapan perilaku aau gaya kepemimpinandibagi menjadi empat jenis yaitu :
  Pertama,Telling style (gayamengatakan/memerintah/mengarahkan) Perilaku atau gaya kepemimpinan ini berorientasi tinggi pada tugas dan rendah pada hubungan dengan anggota organisasi atau bawahan. Kedua,selling style (gaya menawarkan/menjual) Perilaku atau gaya kepemimpinan ini dilaksanakan dengan perilaku orientasi tugas dan hubungan yang kedua –duanya tinggi. Ketiga, participating style (Gaya partisipasi) Perilaku atau gaya kepemimpinan ini dilaksanakan dengan orientasi pada tugas rendah dan orientasi hubungan dengan anggota organisasi tinggi. Keempat, delegating style (Gaya pendelegasian wewenang). Perilaku atau gaya kepemimpinan ini dilaksanakan dengan orientasi tugas rendahdan hubungan dengan anggota organisasi rendah
      Dalam suatu masyarakat baik pada masyarakat modern maupun pada
masyarakat primitif selalu terdapat sekelompok kecil yang berkuasa. Kelompok
kecil ini biasanya dianggap sebagai pemberi legitimasi dan menjadi panutan sikap dan acuan tindakan, mereka ini biasanya disebut kelompok elit Keller
dalam Sutarto (2012:  226).
      Elit adalah mereka yang menduduki posisi puncak di masyarakat baik dalam
kekuasaan maupun dalam kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang
menjalankan otoritas, pengaruh, kekuasaan dan pengawasan terhadap sumbersumber daya yang sangat penting. Mereka dapat merumuskan kebijaksanaan, memimpin kegiatan, dan memutuskan masalah masalahpemerintahan yangpenting, pendidikan, hukum, politik dan sebagainya.
Dari batasan kelompok elityang paling berpengaruh saat ini adalah elit politik. Para elit politik dalam sistempemerintahan dan pembangunan dapat diperhitungkan sebagai pembuat kebijakan, penentu kebijakan, mengamil keputusan serta sebagai pengontrol di dalam sistempemerintahan. Diantara elit politik yang dominan adalah elit politik dewanperwakiln rakyat daerah.
         Mereka adalah elit yang muncul bukan secara kebetulantetapi keberadaan meeka di bentuk dari proses yang panjang, dari berbagai latarbelakang seperti kelompok etnis, agama, cendekiawan, politisi, birokrat, ekonommaupun dari kelompok massa atau masyarakat biasa sehingga partai politik tidak hanya menjadi kelompok pemburu kekuasaan namun juga berperan dan berkontribusi untuk pemberdayaan masyarakat kita...Sekian...!