Muhammad Hadidi.S.Sy.MH Dosen Ilmu Hukum (Syariah) dan Ekonmomi Islam (Perbankan Syariah) STAIN TDM MBO Ketua Yayasan Pembangunan Perguruan Tinggi Siemulue Aceh Indonesia (YPPTSIAI) |
Peran signifikan
partai politik tidak lepas dari sejarah demokrasi modern yang menekankan pada
perwakilan. Partai politik mendapat mandate kosntitusional untuk mengajukan
calon-calon wakil rakyat baik di legislatif maupun eksekutif. Dibandingkan
dengan kelompok kepentingan dan kelompok masyarakat sipil, partai politik
memiliki peran sentral yang mencakup dua dimensi.
Dalam Agus (2015: 242 dikutip dari teori McKelvey Hampir setiap orang, punya keleluasaan
membentuk organisasi, hanya dengan cara bergabung atau bersekutu dengan orang
lain. Semua tergantung pada misi, tujuan, struktur dan prosedur bekerjanya organisasi
tersebut Schein
Arikunto (2013:
257). Tidak setiap negara memberi kebebasan
kepada warganya untuk dapat berkumpul, bersyerikat dalam organisasi politik
Werlin dikutip dalam effendi (2013: 145). Sistem politik pada setiap negara
sangat menentukan ruang untuk berorganisasi. Semakin demokratis sebuah sistem
politik, maka kesempatan untuk berorganisasi juga semakin besar. Sebaliknya,
semakin otoritarian sebuah sistem politik, kebebasan untuk berorganisasi juga
semakin terbatas.
Dalam perjalanannya, partai politik berkembang dengan beberapa
tipologi. Literatur dalam ilmu politik secara umum membagi
tipologi ini ke dalam tiga: (1) partai elit (elite party), yakni partai yang dibentuk dan merepresentasikan kepentingan
kelompok elit (di masa lalu adalah bangsawan); (2) partai massa (mass party), yang dibentuk oleh
kelompok masyarakat untuk mengaspirasikan kepentingan
masyarakat di akar rumput (grassroot). Kedua tipe partai politik ini merepresentasikan dua
nilai yang berbeda. Partai elit umumnya menganut nilai-nilai lama (konservatif dan liberal), sedangkan partai massa menganut
nilai-nilai baru (sosialisme dan komunis). Pasca perang dunia kedua,
yang kemudian dilanjutkan lebih signifikan lagi setelah vperang dingin berakhir, dua ideologi ini tidak lagi menjadi
dominan satu sama lain di masyarakat sehingga dua ideologi kontras ini
sudah mulai jarang dijadikan platform untuk menarik dukungan pemilih oleh partai-partai politik.
Dari konteks ini kemudian muncul satu
tipologi baru yang biasanya disebut dengan (3) catch-all party, atau
partai lintas kelompok.3 Partai lintas
kelompok ini juga didasarkan pada pemikiran bahwa masyarakat memiliki banyak pilihan dalam kehidupan sehari-hari yang lebih memajukan pilihan rasional daripada ideologi yang klasik. Isuisu dan kepentingan berkembang secara majemuk, dan partai politik ada dalam posisi untuk mengakomodir kemajemukan tersebut jika ingin memenangkan kekuasaan. Karenanya, ciri khas partai ini adalah inklusifitas, pluralis, nonsectarian, dan nondiskriminatif Ichlasul (2016:71-90)
kelompok ini juga didasarkan pada pemikiran bahwa masyarakat memiliki banyak pilihan dalam kehidupan sehari-hari yang lebih memajukan pilihan rasional daripada ideologi yang klasik. Isuisu dan kepentingan berkembang secara majemuk, dan partai politik ada dalam posisi untuk mengakomodir kemajemukan tersebut jika ingin memenangkan kekuasaan. Karenanya, ciri khas partai ini adalah inklusifitas, pluralis, nonsectarian, dan nondiskriminatif Ichlasul (2016:71-90)
Pilihan bahwa
mana yang lebih baik diantara dua sistem politik tersebut, amat tergantung pada
negaranya masing-masing. Namun satu hal yang pasti, bahwa setiap negara apapun
sistem politiknya memerlukan kehadiran partai politik Hutington sebagaimana
dikutip Bachtiar (2013:262). Bahkan pada negara yang sangat totaliter
sekalipun.
Partai politik
adalah manifestasi sebuah organisasi. Dinamika masyarakat modern bergerak
teratur, terarah dan sistematis jika berhimpun dalam sebuah organisasi Kochler
dikutip dalam Marta (2013: 26).
Organisasi yang mewadahi setiap kepentingan rakyat dalam interaksinya dengan
negara adalah partai politik Hutington dalam budi harjho (2012:262). Konstruksi relasional keduanya
bersifat simbiosis. Negara memerlukan partai politik, dan partai politik
memerlukan pengakuan negara.
Diantran
tugas partai politik adalah menerima dan menampung semua aspirasi masyrakat dan
mengaturnya sedemikian rupa untuk mengurangi kesimpang siuran pendapat yang beredar
dalam masyarakat. Setelah itu dirumuskan dan diajukan usul kebijakansanaan.
Usul kebijaksanaan diajukan kepada pemerintah sebagai program partai. Dengan
demikian, tuntutan dan kepentingan masyarakat yang disampaikan kepada
pemerintah oleh partai politik dijadikan kebijaksanaan umum, itulah sebabnya
partai politik dipandang sebagai media prantara antara rakyat dengan pemerintah
atau dengan kata lain partai politik sebagai sarana komunikasi politik antara
pihak yang memerintah dan pihak yang diperintah. Meriam budi harjo (2013:198).
Sosialisasi
Politik dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui
mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang
umumnya berlaku dalam masyarkat dimana mereka berada. Biasanya proses berjalan
berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dia dewasa. Sosilisasi politik
juga mencakup proses penyampaian norma-norma dan nilai-nilai oleh masyrakat
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses sosialisasi ini bisa diperoleh
dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masayarakat, dan
lingkungan sosial lainnya selama dia masih hidup di dunia. Oleh karena itu,
partai politik harus berperan aktif menanamkan norma-norma atau nilai-nilai
yang berlaku di dalam masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat memahami
hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Partai
politik merupakan kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai
orientasi, nilai, cita-cita yang sama. Tujuannya adalah dalam rangka meraih kekuasaan
politik dan merubut kedudukan politik guna melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka, Inilah mengapa setiap partai po litik mempunyai idiologi, cita-cita,
yang selanjutnya diimplementasikan dalam bentuk program kerja. Program-program
kerja inilah yang ditawarkan kepada masyarakat agar mendukungnya dalam
pemilihan umum. Dalam kaitan ini, partai politik membantu sistem politik dalam
mensosialisasikan sistem politik dan mendidik anggota-angtonya menjadi manusia
yang sadar dan bertanggung jawab terhadap kepentingan sendiri dan kepentingan
nasional. Budi Harjo (2013: 299)
Secara definitive, Carl J. Friedrich dalam Budi
Harjo (2013:234) mendefinisikan partai politik sebagai kelompok manusia yang
terorganisir untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan, dengan maksud
mensejahterakan anggotanya, baik untuk kebijaksaanaan keadilan, maupun untuk
hal-hal yang bersifat materil. Sementara itu, R. H. Soltau mengemukakan
definisinya tentang partai politik sebagai kelompok warga negara terorganisasi
dan bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan
kekuasaannya untuk memilih, dengan tujuan untuk menguasai pemerintahan dan
menjalankan kebijakan umum yang mereka buat Ahmad Heryawan dalam Basyar (2012: 112).
Sebuah partai
politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau
dibentuk dengan tujuan khusus. Menurut Budi Harjo, Maryam (2013: 199) Definisi
paratai politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.Tujuan kelompok ini
ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka.
Jenis-jenis
partai politik dikategorikan bermacam-macam oleh para ahli politik. Misalanya
menurut Max Weber mengkategorikan partai politik menjadi 2 jenis, yakni pertama Partai Elit dan kedua Partai Massa. Secara tidak
langsung, Max Weber dalam Meriam budi Harjo (2012: 220) mengkategorikannya berdasar dari model
pembiayaan partai, yang secara otomatis menunjukkan pemilihnya. Partai elit
didefinisikan sebagai partai yang didukung oleh kalangan elit dalam system
masyarakat, semisal pengacara, doctor, pengusaha, dan lain-lain. Partai massa
didefinisikan sebagai partai yang didukung oleh kalangan masyarakat bawah.
Sedangkan
menurut Franz Neumann mengkategorikan partai politik menjadi 2 jenis, yakni pertamademocratic integrative party dan keduathe totalitarian integrative party.
Franz Neumann mengkategorikannya berdasar pada usaha partai dalam
mengintegrasikan nilai-nilai politiknya. Democratic
integrative party didefinisikan sebagai partai yang melakukan usaha-usaha
pencapaian tujuan politik secara demokratis. Sedangkan Totalitarian integrative partydidefinisikan sebagai partai yang
melakukan usaha-usaha pencapaian tujuan politik tanpa melalui demokratis Dalam János Simon dikutip Budi Harjo (2013: 247).
Secara peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang Partai Politik di Indonesia sejak masa merdeka adalah: Maklumat X Wakil
Presiden Muhammad Hatta (1945), Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1959 tentang
Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1960
tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-Partai Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang
Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya , Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
,Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik
menyebutkan bahawa, partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh
sekelompok warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat,
bangsa, dan Negara melalui pemilihan umum. Berikut beberapa pengertian Partai
Politik dalam buku A. Rahman H. dalam Marta (2013: 2015).
Dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang khusus
mengatur tentang Aceh bahwa, penduduk Aceh dapat membentuk partai lokal oleh
warga sekurang-kurangnya 50 warga Negara Indonesia yang berusia 21 Tahun dan
telah berdomisili tetap di Aceh dengan mempertahatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%. Partai Lokal adalah suatu organisasi politik yang
didirikan atas dasar persamaan cita-cita, nilai, dan orientasi yang sama dalam
lingkup kedaerahan, partai politik lokal ini dibentuk sebagai wadah dalam
menyerap dan menghimpun aspirasi masyrakat daerah (lokal) sebagai partisipasi
politik ditingkat daerah.
Tujuan yang diharapkan dalam mendirikan dan mengembangkan partai politik
adalah sebagai struktur politik, partai politik tentu memiliki fungsi-fungsi
tertentu. Ada beberapa fungsi dari partai politik itu dilahirkan, fungsi ini
akan sangat berguna dalam keberadaan partai tersebut di tengah-tengah
masyarakat, fungsi utama partai politik itu adalah untuk menjadi wadah
aktaulisasi diri bagi warga Negara yang memiliki kesadaran tinggi untuk ikut
serta dalam partisipasi politik, untuk menjadi wadah agregasi kepentingan
masyarakat, untuk menjadi sarana dalam upaya meraih dan mempertahankan
kekuasaan politik. Untuk menjadi wadah berhimpun bagi masyarakat atau kelompok
yang memiliki idiologi dan kepentingan yang sama.
Maka partai
politik yang sehat mutlak harus terefleksi pada kehidupan organisasi yang
sehat. Aktor politik atau politisi di Parlemen adalah figur sentral dalam
mewarnai kiprah organisasi sebagai sebuah lembaga. Ditinjau dari paradigma
politik maka eksistensi partai politik bermuara pada orientasi kepentingan
untuk mencari dan merebut kekuasaan Deutsch dikutip Nugroho (2013: 2015).
Semakin sehat dan mapannya organisasi partai politik, peluang untuk merebut
akses kekuasaan pasti terbuka lebar.
Menurut Meriam
Budiarjo organisasi Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang
anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita cita yang sama tujuan
kelompok ini adalah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
melalui cara yang konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan yang mereka
miliki.
Menurut Carl
J. Friedrich organisasi Partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secra stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan
terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini
memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun
materiil.
Menurut R. H.
Soultau Organisasi Partai politik adalah sekelompok warga yang sedikit banyak
terorganisir, yang bertindak suatu kesatuan politik dan yang dengan
memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan pemerinythan dan
melaksanakan kebijksanaan umum mereka.
Menurut Sigmund Neumann Organisasi Partai politik adalah
dari aktivis-aktivis politik yang berusaha menguasai pemerintah serta merebut
dukungan rakyat atas dasar golongan-golongan atau golongan-golongan lain yang
mempunyai pandangan berbeda.
Sementara itu, paparan partai politik Indonesia yang dianalisis
oleh KOMPAS menyimpulkan bahwa sebagian partai
politik masuk dalam genus partai elit (elite-based parties) dan partai electoral (electoralist parties) Nainggolan,
(2016: 13). Partai elit memiliki struktur organisasi yang tidak kuat, dan
cenderung mengandalkan kekuatan elit bersama kelompoknya
dalam satuan wilayah tertentu.
dalam satuan wilayah tertentu.
Hubungan patron-klien sangat kental,
dan partai-partai ini tidak memiliki platform ideologi yang jelas,
Sementara itu, partai elektoral juga tidak memiliki struktur organisasi yang kuat. Namun, partai jenis ini
menyandarkan kekuatan tokohnya dalam upaya penguasaan massa pemilihnya (personalistic
parties).
Partai ini kemudian menjadi kendaraan yang dibangun untuk mengantarkan individu tertentu
menjadi penguasa. Disamping itu, ada juga partai politik yang masuk
dalam genus partai elektoral yang bersifat lintas kelompok (catch-all
parties). Partai ini bersifat plural dan moderat yang berupaya menghimpun sebanyak mungkin kelompok-kelompok sosial Nainggolan, (2016:
13-15).
Pengecualian diberikan
kepada PKS, yang dalam tipologi ini masuk dalam genus partai massa (mass-based parties) terutama jenis hybrid
antara partai fundamentalis agama (fundamentalist-religious parties) dan partai denominasi (denominational
parties), dengan kecenderungan klientalisme dan pragmatism di dalam penentuan kandidat politik Tomsa, (2016:
13-14).
Mencermati semua itu, ternyata
penelitian tentang organisasi yang secara khusus terfokus pada resolusi konflik
terutama untuk partai politik yang menjalankan fungsinya sebagai kekuatan
‘check and balances’ partai berkuasa (the rulling party) masih belum
banyak dilakukan. Terlebih lagi jika kajian tersebut dilakukan dengan studi
komparasi pada dua organisasi politik dari dua negara dengan pendekatan phenomenography
merupakan kajian yang relatif baru dalam ranah komunikasi organisasi dan
komunikasi politik.
Untuk itu, hakekat
dari organisasi partai politik adalah menyatukan heterogenitas
kepentingan-kepentingan politik. Itu sebabnya pada tahap pertama penelitian ini
melakukan identifikasi pengetahuan informan tentang konflik dan tipologi
konflik. Melalui pengetahuan identifikasi dan tipologi konflik pada organisasi
politik, maka mudah dirumuskan model atau pola resolusi konflik seperti apa
yang yang relevan dan diperlukan oleh organisasi politik tersebut.
Meskipun harus
diakui bahwa tidak mudah membangun organisasi politik tanpa konflik internal
organiasi. Hampir seluruh partai politik dalam perjalanan perjuangannya pernah
mengalami friksi, fragmentasi kepentingan hingga bermuara pada terjadinya
konflik bahkan perpecahan organisasi. Itu sebabnya jika konflik apapun bentuknya
jka tidak sejak awal dikelola, diantisipasi, dicegah dan bahkan ditemukan model
resolusinya, maka berakibat fatal bagi ‘survival’
organisasi tersebut. Fenomena itu harus menjadi perhatian serius, sebab
eksistensi partai politik di negara demokrasi adalah asset yang perlu dijaga.
Pada akhirnya
nanti, pada tinjauan teori organisasi politik ini adalah diorientasikan
peruntukannya untuk merekayang terlibat secara khusus dalam pergulatan
sekaligus pengelolaan urusan keorganisasianpolitik atau paratai politik maupun
untuk kauam elit politik.Tetapi juga bisa dijadikan pegangan mahasiswa dalam
penelitian tesis untuk bahan referensi ilmiah dalam
kaitan konsep organisasi politik ditinjau dari manajemen organisasi politik termasuk pada peranan paratai politik dalam melakukan programnya untuk pemberdayaan mesyarakat.
kaitan konsep organisasi politik ditinjau dari manajemen organisasi politik termasuk pada peranan paratai politik dalam melakukan programnya untuk pemberdayaan mesyarakat.
Lebih lanjut,
bahwa Partai politik merupakan fenomena khas negara modern. Tidak satupun
negara di dunia ini yang tidak memiliki partai politik sebagai penyangga
mekanisme sistem politik yang dianut. Baik di negara yang demokratis atau
otokratis sekalipun eksistensi partai politik adalah sebuah keniscayaan
sejarah. Bahkan Merelman1 mengibaratkan, politisi modern tanpa partai politik
sama dengan ikan yang berada di luar air. Banyak cara untuk memahami apa dan
bagaimana sebenarnya partai politik dan kelompok kepentingan tersebut.
Sebagaimana
tijauan secara terminologi atau kebahasaan Partai berasal dari bahasa Latin partire
yang berarti memisahkan. Bahkan ‘partire’ belum masuk dalam kosa kata
ilmu politik hingga abad 17, oleh sebab konotasinya disamakan
dengan sekte yang juga berasal dari bahasa Latin secare yang berarti pelayan, memotong dan memisahkan. Sementara dalam bahasa Inggris, Jerman, Itali, Spanyol dan Perancis dapat ditelusuri bahwa jejak kata tersebut berakar dari ‘part’ (parteger - Perancis dan partaking - Inggris). Olehnya itu sejak awal partai itu memiliki dua makna yakni memisahkan dan bersekutu untuk mengambil bagian atau ‘sharing’. Namun dalam perkembangan selanjutnya
makna kedua inilah yang lebih banyak digunakan Richard M.Merelman
dengan sekte yang juga berasal dari bahasa Latin secare yang berarti pelayan, memotong dan memisahkan. Sementara dalam bahasa Inggris, Jerman, Itali, Spanyol dan Perancis dapat ditelusuri bahwa jejak kata tersebut berakar dari ‘part’ (parteger - Perancis dan partaking - Inggris). Olehnya itu sejak awal partai itu memiliki dua makna yakni memisahkan dan bersekutu untuk mengambil bagian atau ‘sharing’. Namun dalam perkembangan selanjutnya
makna kedua inilah yang lebih banyak digunakan Richard M.Merelman
Dalam Miraim Budiharjo (2013: 205).
Bertolak dari
diskursus awal seperti itu, partai atau tepatnya partai politik kemudian
diberikan banyak variasi terminologis. Namun ujung-ujungnya tetap mengacu
kepada pemaknaan yang terakhir tersebut. Partai politik menurut Frederich
adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut
atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya
dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan
yang bersifat idiil maupun materiil.
Atau mengikuti definisi Saltou, partai politik diartikan
sebagai sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisisr yang
bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan
kekuasaannya untuk memilih- bertujuan menguasai pemerintahandan melaksanakan
kebijaksanaan umum mereka.
Jika demikian
halnya mengapa partai politik di masa lalu tidak berkembang disbanding di masa
sekarang? Menurut Blondel dalam Budi Harjo (2012: 231). Paling kurang ada tiga faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama,
adanya persepsi tentang konflik yang serba hadir dalam masyarakat modern.
Kedua, kebutuhan untuk memerintah dikaitkan dengan pertambahan jumlah penduduk.
Ketiga, adanya keyakinan politik bahwa persatuan berati kekuatan.
Namun begitu
Hutington pun mencatat bahwa dalam perkembangan awal masyarakat modern di
Eropapun menolak kehadiran partai politik. Hal ini didasarkan oleh tiga
keberatan. Pertama, kalangan konservatif memandang kehadiran partai
politik hanya mengganggu stabilitas struktur sosial belaka. Jika partai politik
diterima sebagai unit politik resmi maka tantangan terhadap kelangsungan
struktur sosial yang bersifat hirarkhis terancam.
Partai dengan
demikian dilihat sebagai ancaman terhadap kemapanan kalangan konservatif. Kedua,
munculnya pandangan pemerintah-pemerintah kerajaan dalam hal ini raja,
menuduh partai sebagai kekauatan pemecah belah. Partai dipandang merintangi
usaha besar raja dalam memperluas basis kesatuan dan iktiar modernisasi bangsa.
Sejalan dengan
pandangan demikian, maka kekuatan penentang partai politik datang dari kalangan
yang tidak jauh dari kerajaan yakni birokrasi pemerintah. Menurut mereka,
partai sangat berpotensi mengganggu dinamika kerja birokrasi. Ini didasarkan
atas sifat birokrasi yang rasional dan efisien. Maka kehadiran banyak komponen
yang ada dalam masyarakat justru bertentangan dengan sifat tersebut.
Sebab
bagaimanapun partai meningkatkan partisispasi masyarakat luas yang pada
gilirannya mengurangi kadarrasionalitas dan efisiensi terlebih jika muncul pula
konflik akibat persaingan antar partai politik. Ketiga, munculnya
oposisi dari elit populis modern yang berpendapat bahwa masyarakat tanpa partai
lebih efektif menyelesaikan maslah daripada masyarakat berpartai. Para elite
masyarakat ini yakin bahwa partai politik adalah gejala yang tidak relevan
dengan proses pembangunan politik yang sedang mereka garap.
Bahkan George Washinton berpendapat jika partai politik
itu hanya mengacaukan masyarakat serta mengadu domba satu kelompok dengan
kelompok lainnya. Partai juga seringkali mengundang campur tangan asing dengan
menumbuhkan budaya korupsi dalam tubuh pemerintahan atau anggota parlemen yang sudah
duduk dengan dasar pemikiran untuk bisa memilihara basis dukungan secara riil.
Di negara majupun hal itu bisa terjadi Bambang Basyar (2015: 112).
Kasus
munculnya Partai Hijau - Les Verts (Perancis) atau Partai Die Grunen (Jerman)
adalah contoh betapa sebetulnya kelompok-kelompok kecil yang memiliki kesadaran
politik tinggi namun kepentingannya tidak terserap oleh partai yang ada
membangun solidaritas kelompok dan mengagregasi kepentinganya melalui partai
tersendiri. Bahkan Die Grunen secara mengejutkan dengan programnya yang
anti eksplotasi alam, penggunaan nuklir atau pengendalian polusi lingkungan
mampu menyalip kekuatan politik yang sudah mapan seperti FDP (Freedom
Democratic Party) diurutan ketiga.
Pembentukan
berdasarkan situasi historis. Partai politik dibentuk akibat perubahan struktur
sistem politik yang ada dari tradisional ke modern. Implikasinya melahirkan
tiga macam krisis yakni legitimasi, integrasi dan partisipasi. Jelas bahwa
ketika terjadi perombakan terhadap keseluruhan komponen penyangga mekanisme
sistem politik pasti memunculkan gugatan balik terhadap legitimasi yakni atas
dasar kewenangan diperoleh, integrasi yakni dengan maksud masyarakat harus
berintegrasi serta partisipasi yakni untuk mereka terlibat dalam
penyelenggaraan sistem politik. Kaji ulang atas ketiga hal tersebut
menstimulasi agar partai politik sebagai fondasi bekerjanya sistem politik
harus dibentuk atau direstrukturisasi.
Lebih dari
itu, tidak hanya perubahan dari tradisional ke modern yang meniscayakan
pembentukan partai baru, tetapi juga bisa melalui perubahan dari sistem politik
lama (otokrasi ataupun totaliter) ke demokrasi. Indonesia misalnya, tentu tidak
mau dikatakan bahwa sebelumnya adalah negara tradisional dengan jumlah partai
yang hanya tiga.
Tetapi arus
reformasi yang berlangsung (1996-1998) menjungkir-balikan seluruh tatanan lama
dan bergerak kearah perubahan yang signifikan. Partai yang semasa Orba
(1966-1998) hanya diperbolehkan tiga (khususnya sejak fusi parati politik tahun
1973) ketika kran kebebasan dibuka meledak lebih dari 100 parpol lahir namun
yang diijinkan ikut pemilu Juni 1999 hanya 48 parpol. Itu saja sudah
membuktikan bahwa pembentukan parpol baru juga dimungkinkan oleh perubahan
sistem politik.
Pembentukan partai politik berdasarkan
kemajuan sosial ekonomi. Artinya dimanapun kemajuan sosial ekonomi masyarakat
selalu memungkinkan pergeseran-pergeseran atau bahkan memunculkan
kebutuhan-kebutuhan baru. Korelasi logis-rasional ini diperkuat dengan adanya
tuntutan masyarakat bahwa semestinyalah organisasi-organissi sosial-politik
diselaraskan dengan dinamika perkembangan jaman. Partai politik dibentuk antara
lain juga atas dasar pertimbangan yang demikian Basyar (2015: 102).
Terlepas
dari apakah itu refleksi kesungguhan atau sekedar ornamen demokrasi, itu lain
persoalan. Kasus kemajuan ekonomi Mexico misalnya, ketika sudah mampu mengatasi
krisis ekonomi tahun 1929 PRI (Partido
Revolucionario Institicional) dan terus memegang kendali pemerintahan
terlama di kawasan Amerika Latin (66 tahun) ternyata juga tidak mau
terus-terusan sendirian. PRI pun dengan sadar memberi peluang dibentuknya
partai politik lainnya yakni PARM dan PPS (berhaluan kiri). Namun dalam
prakteknya, dua partai ini lebih cenderung bertindak sebagai partner ketimbang
rival politik. Oposisi secara agak sungguhan dimainkan oleh partai lainnya
yakni PAN (Partai Aksi Nasional).
Terkait
fungsi organisasi Partai Politik Belum ada kesamaan persepsi terhadap apa-apa
fungsi dari partai politik tersebut. Budiardjo menyebutkan hanya empat yakni
sebagai komunikasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen politik dan
pengatur konflik. Surbakti menyebutkan tujuh fungsi partai politik yakni
sosialisasi politik, rekruitmen politik, partisipasi politik, pemadu
kepentingan, komunikasi politik, pengendalian konflik dan kontrol politik.
Sementara Haryanto menyebut enam fungsi partai politik yaknii komunikasi
politik, artikuilasi dan agregasi kepentingan, sosialisasi politik, rekruitmen
politik, pembuatan keputusan dan pengatur konflik.
Tentu saja
masing-masing ilmuwan tersebut memiliki paradigma sendiri-sendiri ketika
menjelaskan fungsi-fungsi partai politik tersebut. Dengan tidak bermaksud
mengecilkan yang lain, pembahasan fungsi partai politik di sini lebih
difokuskan kepada lima hal yakni sebagai sarana sosialisasi politik, rekruitmen
politik, komunikasi politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, serta
pengendalian konflik politik.
1)
Sarana
Sosialisasi Politik
Adalah
proses pentransferanan nilai-nilai dalam rangka pembentukan watak dan sikap
dari elite partai kepada masa pendukungnya. Sebagai sebuah proses dia tidak
pernah berhenti pada satu titik, melainkan terus berlangsung seumur hidup. Itu
sebabnya dia dibedakan berdasarkan kesadaran sendiri yang bisa berlangsung
secara formal, non formal dan informal atau tanpa disadari yakni melakukan
percakapan atau pergaulan sehari-hari.
Media
penyampaian pesan melalui pendidikan dan indoktrinasi. Pendidikan lebih berorientasi
kepada terjalinnya komunikasi dua arah antara pendidik dan anak didik. Terang
di sini orientasi utamanya adalah penyampaian pesan visi dan misi partai agar
terbangun gambaran yang baik terhadap partai yang bersangkutan. Brand image yang
baik jelas menguntungkan dalam perebutan suara di pemilu nantinya. Sosialisasi
melalui pendidikan ini bisa dilakukan pada temu kader, penataran, latihan
kepemimpinan, acara partai dan lain-lainnya.
Sementara
indoktrinasi lebih terfokus kepada penyampaian pesan yang sifatnya satu arah,
tidak ada fedback atau dialog. Indoktrinasi tidak sepenuhnya monopoli
partai komunis. Kapan penyampaian pesan-pesan politik yang sangat ideologis dan
tanpa adanya komunikasi dua arah, pada dasarnya praktek indoktrinasipun sedang
dijalankan.
2)
Rekruitmen
Politik
Prinsip dasar rekruitmen ini adalah ‘political
survive’ artinya kesinambungan hidup partai politik adalah yang utama.
Seleksi anggota atau merekruit anggota muda untuk berperan aktif selain untuk
kepentingan jangka pendek tetapi juga dalam rangka memberi nafas terhadap
kelangsungan hidup partai di masa depan. Dengan cara demikian, vitalitas partai
saat ini tetap terjaga sekaligus antisipasi ke depan juga sudah dilakukan.
Politisi
tua cepat atau lambat tidak mungkin dapat dipertahankan selamanya. Itu sebabnya
manejemen partai politik yang baik selalu memberi titik berat kepada kaum muda
untuk ambil bagian. Harapan kedepannya, estafet kepemimpinan secara gradual
sudah berlangsung tanpa memunculkan gejolak yang berdampak kepada instabilitas
kepengurusan.
Seleksi
kader partai siapa dan untuk posisi apa, sangat memerlukan kehati-hatian sebab
selain pertimbangan karir politik, juga implisit di sana nuansa distribusi
pendapatan. Jika hal ini tidak dikelola dengan cermat, pasti memunculkan
letupan-letupan ketidak harmonisan yang memungkinkan terjadinya pembelotan
politik.
3)
Komunikasi
Politik
Adalah proses penyampaian pesan dari pemerintah kepada masyarakat ataupun
dari masyarakat kepada pemerintah. Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan
pemerintah disalurkan melalui partai politik. Tentu jika fungsi ini dapat
dijalankan, berarti pula sudah membantu pemerintah dalam hal pendistribusian
informasi.
Dilihat dari dan ke arah mana pesan disampaikan, sudah menggambarkan
posisi partai politik. Pesan dari pemerintah kepada masyarakat akan efektif
jika disalurkan melalui aparataparat partai yang memerintah (governance
party). Sebaliknya pesan dari masyarakat kepada pemerintah justru kurang
efektif jika dijalankan oleh governance party terlebih bila isi pesan
tersebut banyak kritik atau ketidakpuasan masyarakat diabaikan begitu saja.
Karenanya posisi tersebut sungguh berhasil guna bila dijalankan oleh partai oposisi.
4)
Artikulasi
dan Agregasi Kepentingan
Bagi
partai politik fungsi ini sebetulnya sangat operasionalistik. Artinya political
sensitifity sangat penting sebab sejauhmana partai politik mau menghimpun
suara-suara penderitaan atau perlakuan yang tidak adil oleh penguasa kepada
rakyatnya betul-betul dijalankan. Kemampuan partai politik menerjemahkan
kepentingan masyarakat kendatipun sangat bermanfaat untuk rakyat tetapi justru
merupakan poin tersendiri bagi partai politik yang bersangkutan.
Terlebih jika kepentingan tersebut tidak sebatas dihimpun melainkan juga
ditindaklanjuti untuk diperjuangkan, pasti nilai pluspun diperoleh. Kebanyakan
partai politik terjebak kepada regulasi-regulasi baku kampanye yang hanya boleh
dilakukan sebelum pemilu. Padahal investasi politik bisa dilakukan kapan saja
ketika partai politik tersebut mau merespon apa-apa yang menjadi keluhan dan
kepentingan masyarakat untuk diperjuangkan.
5)
Pengendalian
Konflik Politik
Partai politik
adalah tempat persaingan politik. Tujuan utamanyapun adalah perebutan
kekuasaan. Sebab itu, pertikaian dan konflik adalah dua hal yang melekat pada
partai politik. Pertentangan pendapat, perbedaan persepsi jika tidak bisa
diatasi tidak mustahil melahirkan konflik politik bahkan fisik.
1. Teori
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan
masyarakat yang bisa dilakukan oleh partai politik yaitu dengan menjadikan
partai politik mempunyai program mewujudkan masyarakat madani lewat pembuatan
kebijakan dan pelaksanaannya dan partisipasinya dalam menberdayakan masyarakat
oleh partai tersebut, mengingat umumnya beberapa kelompok pengaruh muncul dalam
masyarakat seturut dengan alur kepentingan dan nilai yang tumpang tindih antara
berbagai kelompok kepentingan, parpol, dan masyarakat madani.
Proses
pengkonsentrasian suana pada suatu sistem kepantaian bisa dipercepat dan
ditumbuhkembangkan dengan undang-undang pemilihan umum. Batas jumlah suara
minimum yang diperoleh suatu partai politik dalam pemilu untuk bisa mendapatkan
kursi di parlemen (Quorum) 3% atau 5% bagi partai politik untuk
mendapatkan kursi di parlemen bisa membatasi agar partai yang dogmatis dan
bertujuan tunggal tidak masuk dalam proses politik.
Hal ini juga
bisa mendidik perilaku para pemilih dalam pemilu. Dengan sistem tersebut
masyarakat supaya belajar bahwa agar Suara atau pilihan (Vote) mereka
Berdaya guna, berhasil mencapai tujuan (Efektif) maka mereka harus
mengkonsentrasikan vote mereka untuk partai politik yang benar-benar
berkemampuan untuk mendapatkan quorum dan mendapat kursi di panlemen. Para aktivis politikatau elit politik juga
harus berusaha menghimpun parpol-parpol dengan profl dan kepentingan yang
hampir sama.
Lebih lanjut,
dengan pemebrdayaan masyarakat oleh partai politik hal juga bisa dilihat dari
partisipasi partai politik terhadap masyarakat bisa dikajih dari Studi klasik
mengenai partisipasi politik diadakan oleh Huntington dan Nelson dalam karya
penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing
Countries. Lewat penelitian mereka, memberikan suatu catatan: Partisipasi
yang bersifat mobilized termasuk ke dalam kajian partisipasi politik.
Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam
melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat
paksaan (contentious).
Bagi
Huntington and Nelson (1976:
76), perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada
dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya
baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
Ruang bagi
partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki
pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian.
pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian.
Bahkan, di
negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan,
seperti yang Luengo dalam Miriam Budi Harjo
(2012: 267)
dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political
Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia,
Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang
negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
Banyak ahli
memberikan pengertian mengenai konsep partisipasi. Bila dilihat dari asal
katanya, kata partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris “participation”
yang berarti pengambilan bagian, pengikutsertaan Echols & Shadily dalam
Miriam Budi Harjo (2012: 319).
Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses
pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan
memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta
ikut memanfaatkan dan menikmati hasil- hasil pembangunan.
Pengertian tentang partisipasi dikemukakan
oleh Rafael, Raga, Maran Rafael, Raga, Maran, dalam Miriam Budi Harjo (2012: 302). Dimana partisipasi dapat juga berarti
bahwa pembuat keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat
dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat, barang, keterampilan, bahan dan
jasa. Partisipasi dapat juga berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka
sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya.
Triwarti Arsal, Triwarti Arsal dalam Basyar (2013: 157) mengungkapkan partisipasi adalah sebagai
wujud dari keinginan untuk mengembangkan demokrasi melalui proses
desentralisasi dimana diupayakan antara lain perlunya perencanaan dari bawah (bottom-up)
dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan
masyarakatnya.
Definisi
partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Mirriam Mirriam
Budiarjo, (2012: 184)
partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan
politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun
memaksa.
Menurut
Sundariningrum dalam Sugiyah, Sugiyah
dalam basyar (2012: 138)
mengklasifikasikan partisipasi menjadi 2 (dua) berdasarkan cara
keterlibatannya, yaitu:
1)
Partisipasi Langsung
Partisipasi
yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan tertentu dalam proses
partisipasi. Partisipasi ini terjadi apabila setiap orang dapat mengajukan
pandangan, membahas pokok permasalahan, mengajukan keberatan terhadap keinginan
orang lain atau terhadap ucapannya
2)
Partisipasi
tidak lansung
Partisipasi
yang terjadi apabila individu mendelegasikan hak partisipasinya. Cohen dan
Uphoff yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D, dalam Basyar (2012:163),
membedakan patisipasi menjadi empat jenis, yaitu: Pertama, partisipasi
dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini terutama berkaitan dengan
penentuan alternatif dengan masyarakat berkaitan dengan gagasan atau ide yang
menyangkut kepentingan bersama. Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan
meliputi menggerakkan sumber daya dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan
penjabaran program.. Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat.
Partisipasi dalam pengambilan manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan yang
telah dicapai baik yang berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas. Keempat, partisipasi dalam evaluasi.
Partisipasi dalam evaluasi ini berkaitan dengan pelaksanaan pogram yang sudah
direncanakan sebelumnya. Partisipasi dalam evaluasi ini bertujuan untuk
mengetahui ketercapaian program yang sudah direncanakan sebelumnya. Berdasarkan
beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah
keterlibatan suatu individu atau kelompok dalam pencapaian tujuan dan adanya
pembagian kewenangan atau tanggung jawab bersama.
Landasan
partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan
kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam Harjo (2014: 279) membagi landasan partisipasi politik ini
menjadi Individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
Kelompok atau komunal individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa,
atau etnis yang serupa.
Menurut Waime dalam
Harjo (2014: 287) menyatakan
bahwa yang menyebabkan timbulnya pergerakan ke arah partisipasi yang lebih luas
dalam proses politik yaitu:
1)
Moderenisasi
disegala bidang, berimplikasi pada komersialisme pertanian, industri, perbaikan
pendidikan, pengembangan metode masa, dan sebagainya.
2)
Terjadinya
perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Perubahan strukturkelas baru itu
sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja batu yang semakin
meluas dalam era industrialisasi dan moderenisasi.
3)
Pengaruh
kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi masa merupakan faktor meluasnya
komunikasi politik masyarakat. Ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisasi
membagkitkan tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
Adanya konflik diantara pemimpin-pemimpin politik, Pemimpinan politik yang
bersaing memperebutkan kekuasaan sering kali untuk mencapai kemenangan
dilakukan dengan cara mencari dukungan massa. Dengan demikian pertentangan dan
perjuangan kelas menengah kekauasaan mengakibatkan perluasan hak pilih rakyat.
4)
Adanya
keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan
kebudayaan.Menurut Davis partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi
penguasa baik dalam arti memperkuat maupun dalam pengertian menekannya sehingga
mereka memperhatikan atau memenuhi kepentingan pelaku partisipasi. Tujuan
tersebut sangat beralasan karena sasaran partisipasi politik adalah
lembaga-lembaga politik atau pemerintah yang memiliki kewenangan dalam
pengambilan keputusan politik. Jadi partisipasi politik sangatlah penting bagi
masyarakat maupun pemerintah. Bagi masyarakat dapat sebagai sarana untuk
memberikan masukan, kritik, dan saran terhadap pemerintah dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan, sedangkan bagi pemerintah partisipasi politik
merupakan sebuah mekanisme pelaksanaan fungsi kontrol terhadap pemerintah dan
pelaksanaan kebijakan.
Model partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi
politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional.
Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan
kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya
sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi
politik yang tumbuh
seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan terror.
seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan terror.
Lobby yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik
dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu; Kegiatan
Organisasi yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota
maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Contacting
yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan
pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan Tindakan
Kekerasan (violence) yaitu tindakan individu atau kelompok guna
mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik
manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta,
pembutuhan politik (assassination),
revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah
menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak
membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi
politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan
sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif
lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik
seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang
berlangsung di dalam skala subyektif individu. Samuel P. Hu ntington menyebutkan bentuk-bentuk
partisipasi politik dapat meliputi: Pertama,
opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif
politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini
mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung. Kedua, polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik warganegara menemui manifestasinya.
politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini
mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung. Kedua, polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik warganegara menemui manifestasinya.