Sterategi membangun sebuah Organisasi yang Amanah dan Profesional...


     
Muhammad Hadidi.S.Sy.MH
Dosen Ilmu Hukum (Syariah) dan Ekonmomi Islam (Perbankan Syariah) STAIN TDM MBO
Ketua Yayasan Pembangunan Perguruan Tinggi Siemulue Aceh Indonesia (YPPTSIAI)
     Terdapat ratusan bahkan ribuan jenis organisasi di dunia ini. Dari yang berskala kecil hingga raksasa diantaranya salah satu yang menarik adalah oragnisasi partai politik. Menurut 
Meyer (2014:28-29) sebagai bentuk organisasi politik yang menjembatani antara pemerintah dan masyarakat. Partai politik memastikan keterlibatan masyarakat dan akomodasi aspirasi dan kepentingan masyarakat luas dalam kebijakan yang nantinya kembali ke masyarakat untuk kemaslahatan bersama.
  Peran signifikan partai politik tidak lepas dari sejarah demokrasi modern yang menekankan pada perwakilan. Partai politik mendapat mandate kosntitusional untuk mengajukan calon-calon wakil rakyat baik di legislatif maupun eksekutif. Dibandingkan dengan kelompok kepentingan dan kelompok masyarakat sipil, partai politik memiliki peran sentral yang mencakup dua dimensi.
   Dalam Agus (2015: 242 dikutip dari teori McKelvey  Hampir setiap orang, punya keleluasaan membentuk organisasi, hanya dengan cara bergabung atau bersekutu dengan orang lain. Semua tergantung pada misi, tujuan, struktur dan prosedur bekerjanya organisasi tersebut Schein
      Arikunto (2013:  257). Tidak setiap negara memberi kebebasan kepada warganya untuk dapat berkumpul, bersyerikat dalam organisasi politik Werlin dikutip dalam effendi (2013: 145). Sistem politik pada setiap negara sangat menentukan ruang untuk berorganisasi. Semakin demokratis sebuah sistem politik, maka kesempatan untuk berorganisasi juga semakin besar. Sebaliknya, semakin otoritarian sebuah sistem politik, kebebasan untuk berorganisasi juga semakin terbatas.
           Dalam perjalanannya, partai politik berkembang dengan beberapa tipologi. Literatur dalam ilmu politik secara umum membagi tipologi ini ke dalam tiga: (1) partai elit (elite party), yakni partai yang dibentuk dan merepresentasikan kepentingan kelompok elit (di masa lalu adalah bangsawan); (2) partai massa (mass party), yang dibentuk oleh kelompok masyarakat untuk mengaspirasikan kepentingan masyarakat di akar rumput (grassroot). Kedua tipe partai politik ini merepresentasikan dua nilai yang berbeda. Partai elit umumnya menganut nilai-nilai lama (konservatif dan liberal), sedangkan partai massa menganut nilai-nilai baru (sosialisme dan komunis). Pasca perang dunia kedua, yang kemudian dilanjutkan lebih signifikan lagi setelah vperang dingin berakhir, dua ideologi ini tidak lagi menjadi dominan satu sama lain di masyarakat sehingga dua ideologi kontras ini sudah mulai jarang dijadikan platform untuk menarik dukungan pemilih oleh partai-partai politik.
       Dari konteks ini kemudian muncul satu tipologi baru yang biasanya disebut dengan (3) catch-all party, atau partai lintas kelompok.3 Partai lintas
kelompok ini juga didasarkan pada pemikiran bahwa masyarakat memiliki banyak pilihan dalam kehidupan sehari-hari yang lebih memajukan pilihan rasional daripada ideologi yang klasik. Isuisu dan kepentingan berkembang secara majemuk, dan partai politik ada dalam posisi untuk mengakomodir kemajemukan tersebut jika ingin memenangkan kekuasaan. Karenanya, ciri khas partai ini adalah inklusifitas, pluralis, nonsectarian, dan nondiskriminatif Ichlasul (2016:71-90)
      Pilihan bahwa mana yang lebih baik diantara dua sistem politik tersebut, amat tergantung pada negaranya masing-masing. Namun satu hal yang pasti, bahwa setiap negara apapun sistem politiknya memerlukan kehadiran partai politik Hutington sebagaimana dikutip Bachtiar (2013:262). Bahkan pada negara yang sangat totaliter sekalipun.
     Partai politik adalah manifestasi sebuah organisasi. Dinamika masyarakat modern bergerak teratur, terarah dan sistematis jika berhimpun dalam sebuah organisasi Kochler dikutip dalam Marta (2013: 26). Organisasi yang mewadahi setiap kepentingan rakyat dalam interaksinya dengan negara adalah partai politik Hutington dalam budi harjho (2012:262). Konstruksi relasional keduanya bersifat simbiosis. Negara memerlukan partai politik, dan partai politik memerlukan pengakuan negara.
       Diantran tugas partai politik adalah menerima dan menampung semua aspirasi masyrakat dan mengaturnya sedemikian rupa untuk mengurangi kesimpang siuran pendapat yang beredar dalam masyarakat. Setelah itu dirumuskan dan diajukan usul kebijakansanaan. Usul kebijaksanaan diajukan kepada pemerintah sebagai program partai. Dengan demikian, tuntutan dan kepentingan masyarakat yang disampaikan kepada pemerintah oleh partai politik dijadikan kebijaksanaan umum, itulah sebabnya partai politik dipandang sebagai media prantara antara rakyat dengan pemerintah atau dengan kata lain partai politik sebagai sarana komunikasi politik antara pihak yang memerintah dan pihak yang diperintah. Meriam budi harjo (2013:198).
    Sosialisasi Politik dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarkat dimana mereka berada. Biasanya proses berjalan berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dia dewasa. Sosilisasi politik juga mencakup proses penyampaian norma-norma dan nilai-nilai oleh masyrakat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses sosialisasi ini bisa diperoleh dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masayarakat, dan lingkungan sosial lainnya selama dia masih hidup di dunia. Oleh karena itu, partai politik harus berperan aktif menanamkan norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
      Partai politik merupakan kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai, cita-cita yang sama. Tujuannya adalah dalam rangka meraih kekuasaan politik dan merubut kedudukan politik guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka, Inilah mengapa setiap partai po litik mempunyai idiologi, cita-cita, yang selanjutnya diimplementasikan dalam bentuk program kerja. Program-program kerja inilah yang ditawarkan kepada masyarakat agar mendukungnya dalam pemilihan umum. Dalam kaitan ini, partai politik membantu sistem politik dalam mensosialisasikan sistem politik dan mendidik anggota-angtonya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab terhadap kepentingan sendiri dan kepentingan nasional. Budi Harjo (2013: 299)
     Secara definitive, Carl J. Friedrich dalam Budi Harjo (2013:234) mendefinisikan partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisir untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan, dengan maksud mensejahterakan anggotanya, baik untuk kebijaksaanaan keadilan, maupun untuk hal-hal yang bersifat materil. Sementara itu, R. H. Soltau mengemukakan definisinya tentang partai politik sebagai kelompok warga negara terorganisasi dan bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, dengan tujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat Ahmad Heryawan dalam Basyar (2012: 112).

      Sebuah partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Menurut Budi Harjo, Maryam (2013: 199) Definisi paratai politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

    Jenis-jenis partai politik dikategorikan bermacam-macam oleh para ahli politik. Misalanya menurut Max Weber mengkategorikan partai politik menjadi 2 jenis, yakni pertama Partai Elit dan kedua Partai Massa. Secara tidak langsung, Max Weber dalam Meriam budi Harjo (2012: 220) mengkategorikannya berdasar dari model pembiayaan partai, yang secara otomatis menunjukkan pemilihnya. Partai elit didefinisikan sebagai partai yang didukung oleh kalangan elit dalam system masyarakat, semisal pengacara, doctor, pengusaha, dan lain-lain. Partai massa didefinisikan sebagai partai yang didukung oleh kalangan masyarakat bawah.
     Sedangkan menurut Franz Neumann mengkategorikan partai politik menjadi 2 jenis, yakni pertamademocratic integrative party dan keduathe totalitarian integrative party. Franz Neumann mengkategorikannya berdasar pada usaha partai dalam mengintegrasikan nilai-nilai politiknya. Democratic integrative party didefinisikan sebagai partai yang melakukan usaha-usaha pencapaian tujuan politik secara demokratis. Sedangkan Totalitarian integrative partydidefinisikan sebagai partai yang melakukan usaha-usaha pencapaian tujuan politik tanpa melalui demokratis Dalam János Simon dikutip Budi Harjo (2013: 247).
       Secara  peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Partai Politik di Indonesia sejak masa merdeka adalah: Maklumat X Wakil Presiden Muhammad Hatta (1945), Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-Partai  Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya , Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik ,Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
     Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik menyebutkan bahawa, partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan Negara melalui pemilihan umum. Berikut beberapa pengertian Partai Politik dalam buku A. Rahman H. dalam Marta (2013: 2015).
 Dalam  Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang khusus mengatur tentang Aceh bahwa, penduduk Aceh dapat membentuk partai lokal oleh warga sekurang-kurangnya 50 warga Negara Indonesia yang berusia 21 Tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dengan mempertahatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Partai Lokal adalah suatu organisasi politik yang didirikan atas dasar persamaan cita-cita, nilai, dan orientasi yang sama dalam lingkup kedaerahan, partai politik lokal ini dibentuk sebagai wadah dalam menyerap dan menghimpun aspirasi masyrakat daerah (lokal) sebagai partisipasi politik ditingkat daerah.
  Tujuan yang diharapkan dalam mendirikan dan mengembangkan partai politik adalah sebagai struktur politik, partai politik tentu memiliki fungsi-fungsi tertentu. Ada beberapa fungsi dari partai politik itu dilahirkan, fungsi ini akan sangat berguna dalam keberadaan partai tersebut di tengah-tengah masyarakat, fungsi utama partai politik itu adalah untuk menjadi wadah aktaulisasi diri bagi warga Negara yang memiliki kesadaran tinggi untuk ikut serta dalam partisipasi politik, untuk menjadi wadah agregasi kepentingan masyarakat, untuk menjadi sarana dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan politik. Untuk menjadi wadah berhimpun bagi masyarakat atau kelompok yang memiliki idiologi dan kepentingan yang sama.
   Maka partai politik yang sehat mutlak harus terefleksi pada kehidupan organisasi yang sehat. Aktor politik atau politisi di Parlemen adalah figur sentral dalam mewarnai kiprah organisasi sebagai sebuah lembaga. Ditinjau dari paradigma politik maka eksistensi partai politik bermuara pada orientasi kepentingan untuk mencari dan merebut kekuasaan Deutsch dikutip Nugroho (2013: 2015). Semakin sehat dan mapannya organisasi partai politik, peluang untuk merebut akses kekuasaan pasti terbuka lebar.
     Menurut Meriam Budiarjo organisasi Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita cita yang sama tujuan kelompok ini adalah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik melalui cara yang konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan yang mereka miliki.
      Menurut Carl J. Friedrich organisasi Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secra stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
     Menurut R. H. Soultau Organisasi Partai politik adalah sekelompok warga yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan pemerinythan dan melaksanakan kebijksanaan umum mereka.
Menurut Sigmund Neumann Organisasi Partai politik adalah dari aktivis-aktivis politik yang berusaha menguasai pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar golongan-golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda.
    Sementara itu, paparan partai politik Indonesia yang dianalisis oleh KOMPAS menyimpulkan bahwa sebagian partai politik masuk dalam genus partai elit (elite-based parties) dan partai electoral (electoralist parties) Nainggolan, (2016: 13). Partai elit memiliki struktur organisasi yang tidak kuat, dan cenderung mengandalkan kekuatan elit bersama kelompoknya
dalam satuan wilayah tertentu.
          Hubungan patron-klien sangat kental, dan partai-partai ini tidak memiliki platform ideologi yang jelas, Sementara itu, partai elektoral juga tidak memiliki struktur organisasi yang kuat. Namun, partai jenis ini menyandarkan kekuatan tokohnya dalam upaya penguasaan massa pemilihnya (personalistic parties).
        Partai ini kemudian menjadi kendaraan yang dibangun untuk mengantarkan individu tertentu menjadi penguasa. Disamping itu, ada juga partai politik yang masuk dalam genus partai elektoral yang bersifat lintas kelompok (catch-all parties). Partai ini bersifat plural dan moderat yang berupaya menghimpun sebanyak mungkin kelompok-kelompok sosial Nainggolan, (2016: 13-15).
         Pengecualian diberikan kepada PKS, yang dalam tipologi ini masuk dalam genus partai massa (mass-based parties) terutama jenis hybrid antara partai fundamentalis agama (fundamentalist-religious parties) dan partai denominasi (denominational parties), dengan kecenderungan klientalisme dan pragmatism di dalam penentuan kandidat politik Tomsa, (2016: 13-14).
      Mencermati semua itu, ternyata penelitian tentang organisasi yang secara khusus terfokus pada resolusi konflik terutama untuk partai politik yang menjalankan fungsinya sebagai kekuatan ‘check and balances’ partai berkuasa (the rulling party) masih belum banyak dilakukan. Terlebih lagi jika kajian tersebut dilakukan dengan studi komparasi pada dua organisasi politik dari dua negara dengan pendekatan phenomenography merupakan kajian yang relatif baru dalam ranah komunikasi organisasi dan komunikasi politik.
      Untuk itu, hakekat dari organisasi partai politik adalah menyatukan heterogenitas kepentingan-kepentingan politik. Itu sebabnya pada tahap pertama penelitian ini melakukan identifikasi pengetahuan informan tentang konflik dan tipologi konflik. Melalui pengetahuan identifikasi dan tipologi konflik pada organisasi politik, maka mudah dirumuskan model atau pola resolusi konflik seperti apa yang yang relevan dan diperlukan oleh organisasi politik tersebut.
     Meskipun harus diakui bahwa tidak mudah membangun organisasi politik tanpa konflik internal organiasi. Hampir seluruh partai politik dalam perjalanan perjuangannya pernah mengalami friksi, fragmentasi kepentingan hingga bermuara pada terjadinya konflik bahkan perpecahan organisasi. Itu sebabnya jika konflik apapun bentuknya jka tidak sejak awal dikelola, diantisipasi, dicegah dan bahkan ditemukan model resolusinya, maka berakibat fatal bagi ‘survival’ organisasi tersebut. Fenomena itu harus menjadi perhatian serius, sebab eksistensi partai politik di negara demokrasi adalah asset yang perlu dijaga.
     Pada akhirnya nanti, pada tinjauan teori organisasi politik ini adalah diorientasikan peruntukannya untuk merekayang terlibat secara khusus dalam pergulatan sekaligus pengelolaan urusan keorganisasianpolitik atau paratai politik maupun untuk kauam elit politik.Tetapi juga bisa dijadikan pegangan mahasiswa dalam penelitian tesis untuk bahan referensi ilmiah dalam
kaitan konsep organisasi politik ditinjau dari manajemen organisasi politik termasuk pada peranan paratai politik dalam melakukan programnya untuk pemberdayaan mesyarakat.
      Lebih lanjut, bahwa Partai politik merupakan fenomena khas negara modern. Tidak satupun negara di dunia ini yang tidak memiliki partai politik sebagai penyangga mekanisme sistem politik yang dianut. Baik di negara yang demokratis atau otokratis sekalipun eksistensi partai politik adalah sebuah keniscayaan sejarah. Bahkan Merelman1 mengibaratkan, politisi modern tanpa partai politik sama dengan ikan yang berada di luar air. Banyak cara untuk memahami apa dan bagaimana sebenarnya partai politik dan kelompok kepentingan tersebut.
    Sebagaimana tijauan secara terminologi atau kebahasaan Partai berasal dari bahasa Latin partire yang berarti memisahkan. Bahkan ‘partire’ belum masuk dalam kosa kata ilmu politik hingga abad 17, oleh sebab konotasinya disamakan
dengan sekte yang juga berasal dari bahasa Latin secare yang berarti pelayan, memotong dan memisahkan. Sementara dalam bahasa Inggris, Jerman, Itali, Spanyol dan Perancis dapat ditelusuri bahwa jejak kata tersebut berakar dari ‘part’ (parteger - Perancis dan partaking - Inggris). Olehnya itu sejak awal partai itu memiliki dua makna yakni memisahkan dan bersekutu untuk mengambil bagian atau ‘sharing’. Namun dalam perkembangan selanjutnya
makna kedua inilah yang lebih banyak digunakan Richard M.Merelman
Dalam Miraim Budiharjo (2013: 205).
      Bertolak dari diskursus awal seperti itu, partai atau tepatnya partai politik kemudian diberikan banyak variasi terminologis. Namun ujung-ujungnya tetap mengacu kepada pemaknaan yang terakhir tersebut. Partai politik menurut Frederich adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
Atau mengikuti definisi Saltou, partai politik diartikan sebagai sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisisr yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih- bertujuan menguasai pemerintahandan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.
     Jika demikian halnya mengapa partai politik di masa lalu tidak berkembang disbanding di masa sekarang? Menurut Blondel dalam Budi Harjo (2012: 231). Paling kurang ada tiga faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama, adanya persepsi tentang konflik yang serba hadir dalam masyarakat modern. Kedua, kebutuhan untuk memerintah dikaitkan dengan pertambahan jumlah penduduk. Ketiga, adanya keyakinan politik bahwa persatuan berati kekuatan.
     Namun begitu Hutington pun mencatat bahwa dalam perkembangan awal masyarakat modern di Eropapun menolak kehadiran partai politik. Hal ini didasarkan oleh tiga keberatan. Pertama, kalangan konservatif memandang kehadiran partai politik hanya mengganggu stabilitas struktur sosial belaka. Jika partai politik diterima sebagai unit politik resmi maka tantangan terhadap kelangsungan struktur sosial yang bersifat hirarkhis terancam.
      Partai dengan demikian dilihat sebagai ancaman terhadap kemapanan kalangan konservatif. Kedua, munculnya pandangan pemerintah-pemerintah kerajaan dalam hal ini raja, menuduh partai sebagai kekauatan pemecah belah. Partai dipandang merintangi usaha besar raja dalam memperluas basis kesatuan dan iktiar modernisasi bangsa.
 Sejalan dengan pandangan demikian, maka kekuatan penentang partai politik datang dari kalangan yang tidak jauh dari kerajaan yakni birokrasi pemerintah. Menurut mereka, partai sangat berpotensi mengganggu dinamika kerja birokrasi. Ini didasarkan atas sifat birokrasi yang rasional dan efisien. Maka kehadiran banyak komponen yang ada dalam masyarakat justru bertentangan dengan sifat tersebut.
       Sebab bagaimanapun partai meningkatkan partisispasi masyarakat luas yang pada gilirannya mengurangi kadarrasionalitas dan efisiensi terlebih jika muncul pula konflik akibat persaingan antar partai politik. Ketiga, munculnya oposisi dari elit populis modern yang berpendapat bahwa masyarakat tanpa partai lebih efektif menyelesaikan maslah daripada masyarakat berpartai. Para elite masyarakat ini yakin bahwa partai politik adalah gejala yang tidak relevan dengan proses pembangunan politik yang sedang mereka garap.
Bahkan George Washinton berpendapat jika partai politik itu hanya mengacaukan masyarakat serta mengadu domba satu kelompok dengan kelompok lainnya. Partai juga seringkali mengundang campur tangan asing dengan menumbuhkan budaya korupsi dalam tubuh pemerintahan atau anggota parlemen yang sudah duduk dengan dasar pemikiran untuk bisa memilihara basis dukungan secara riil. Di negara majupun hal itu bisa terjadi Bambang Basyar (2015: 112).
            Kasus munculnya Partai Hijau - Les Verts (Perancis) atau Partai Die Grunen (Jerman) adalah contoh betapa sebetulnya kelompok-kelompok kecil yang memiliki kesadaran politik tinggi namun kepentingannya tidak terserap oleh partai yang ada membangun solidaritas kelompok dan mengagregasi kepentinganya melalui partai tersendiri. Bahkan Die Grunen secara mengejutkan dengan programnya yang anti eksplotasi alam, penggunaan nuklir atau pengendalian polusi lingkungan mampu menyalip kekuatan politik yang sudah mapan seperti FDP (Freedom Democratic Party) diurutan ketiga.
     Pembentukan berdasarkan situasi historis. Partai politik dibentuk akibat perubahan struktur sistem politik yang ada dari tradisional ke modern. Implikasinya melahirkan tiga macam krisis yakni legitimasi, integrasi dan partisipasi. Jelas bahwa ketika terjadi perombakan terhadap keseluruhan komponen penyangga mekanisme sistem politik pasti memunculkan gugatan balik terhadap legitimasi yakni atas dasar kewenangan diperoleh, integrasi yakni dengan maksud masyarakat harus berintegrasi serta partisipasi yakni untuk mereka terlibat dalam penyelenggaraan sistem politik. Kaji ulang atas ketiga hal tersebut menstimulasi agar partai politik sebagai fondasi bekerjanya sistem politik harus dibentuk atau direstrukturisasi.
        Lebih dari itu, tidak hanya perubahan dari tradisional ke modern yang meniscayakan pembentukan partai baru, tetapi juga bisa melalui perubahan dari sistem politik lama (otokrasi ataupun totaliter) ke demokrasi. Indonesia misalnya, tentu tidak mau dikatakan bahwa sebelumnya adalah negara tradisional dengan jumlah partai yang hanya tiga.
 Tetapi arus reformasi yang berlangsung (1996-1998) menjungkir-balikan seluruh tatanan lama dan bergerak kearah perubahan yang signifikan. Partai yang semasa Orba (1966-1998) hanya diperbolehkan tiga (khususnya sejak fusi parati politik tahun 1973) ketika kran kebebasan dibuka meledak lebih dari 100 parpol lahir namun yang diijinkan ikut pemilu Juni 1999 hanya 48 parpol. Itu saja sudah membuktikan bahwa pembentukan parpol baru juga dimungkinkan oleh perubahan sistem politik.
         Pembentukan partai politik berdasarkan kemajuan sosial ekonomi. Artinya dimanapun kemajuan sosial ekonomi masyarakat selalu memungkinkan pergeseran-pergeseran atau bahkan memunculkan kebutuhan-kebutuhan baru. Korelasi logis-rasional ini diperkuat dengan adanya tuntutan masyarakat bahwa semestinyalah organisasi-organissi sosial-politik diselaraskan dengan dinamika perkembangan jaman. Partai politik dibentuk antara lain juga atas dasar pertimbangan yang demikian Basyar (2015: 102).
         Terlepas dari apakah itu refleksi kesungguhan atau sekedar ornamen demokrasi, itu lain persoalan. Kasus kemajuan ekonomi Mexico misalnya, ketika sudah mampu mengatasi krisis ekonomi tahun 1929 PRI (Partido Revolucionario Institicional) dan terus memegang kendali pemerintahan terlama di kawasan Amerika Latin (66 tahun) ternyata juga tidak mau terus-terusan sendirian. PRI pun dengan sadar memberi peluang dibentuknya partai politik lainnya yakni PARM dan PPS (berhaluan kiri). Namun dalam prakteknya, dua partai ini lebih cenderung bertindak sebagai partner ketimbang rival politik. Oposisi secara agak sungguhan dimainkan oleh partai lainnya yakni PAN (Partai Aksi Nasional).
       Terkait fungsi organisasi Partai Politik Belum ada kesamaan persepsi terhadap apa-apa fungsi dari partai politik tersebut. Budiardjo menyebutkan hanya empat yakni sebagai komunikasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen politik dan pengatur konflik. Surbakti menyebutkan tujuh fungsi partai politik yakni sosialisasi politik, rekruitmen politik, partisipasi politik, pemadu kepentingan, komunikasi politik, pengendalian konflik dan kontrol politik. Sementara Haryanto menyebut enam fungsi partai politik yaknii komunikasi politik, artikuilasi dan agregasi kepentingan, sosialisasi politik, rekruitmen politik, pembuatan keputusan dan pengatur konflik.
   Tentu saja masing-masing ilmuwan tersebut memiliki paradigma sendiri-sendiri ketika menjelaskan fungsi-fungsi partai politik tersebut. Dengan tidak bermaksud mengecilkan yang lain, pembahasan fungsi partai politik di sini lebih difokuskan kepada lima hal yakni sebagai sarana sosialisasi politik, rekruitmen politik, komunikasi politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, serta pengendalian konflik politik.
1)      Sarana Sosialisasi Politik
        Adalah proses pentransferanan nilai-nilai dalam rangka pembentukan watak dan sikap dari elite partai kepada masa pendukungnya. Sebagai sebuah proses dia tidak pernah berhenti pada satu titik, melainkan terus berlangsung seumur hidup. Itu sebabnya dia dibedakan berdasarkan kesadaran sendiri yang bisa berlangsung secara formal, non formal dan informal atau tanpa disadari yakni melakukan percakapan atau pergaulan sehari-hari.
     Media penyampaian pesan melalui pendidikan dan indoktrinasi. Pendidikan lebih berorientasi kepada terjalinnya komunikasi dua arah antara pendidik dan anak didik. Terang di sini orientasi utamanya adalah penyampaian pesan visi dan misi partai agar terbangun gambaran yang baik terhadap partai yang bersangkutan. Brand image yang baik jelas menguntungkan dalam perebutan suara di pemilu nantinya. Sosialisasi melalui pendidikan ini bisa dilakukan pada temu kader, penataran, latihan kepemimpinan, acara partai dan lain-lainnya.
     Sementara indoktrinasi lebih terfokus kepada penyampaian pesan yang sifatnya satu arah, tidak ada fedback atau dialog. Indoktrinasi tidak sepenuhnya monopoli partai komunis. Kapan penyampaian pesan-pesan politik yang sangat ideologis dan tanpa adanya komunikasi dua arah, pada dasarnya praktek indoktrinasipun sedang dijalankan.
2)      Rekruitmen Politik
Prinsip dasar rekruitmen ini adalah ‘political survive’ artinya kesinambungan hidup partai politik adalah yang utama. Seleksi anggota atau merekruit anggota muda untuk berperan aktif selain untuk kepentingan jangka pendek tetapi juga dalam rangka memberi nafas terhadap kelangsungan hidup partai di masa depan. Dengan cara demikian, vitalitas partai saat ini tetap terjaga sekaligus antisipasi ke depan juga sudah dilakukan.
        Politisi tua cepat atau lambat tidak mungkin dapat dipertahankan selamanya. Itu sebabnya manejemen partai politik yang baik selalu memberi titik berat kepada kaum muda untuk ambil bagian. Harapan kedepannya, estafet kepemimpinan secara gradual sudah berlangsung tanpa memunculkan gejolak yang berdampak kepada instabilitas kepengurusan.
          Seleksi kader partai siapa dan untuk posisi apa, sangat memerlukan kehati-hatian sebab selain pertimbangan karir politik, juga implisit di sana nuansa distribusi pendapatan. Jika hal ini tidak dikelola dengan cermat, pasti memunculkan letupan-letupan ketidak harmonisan yang memungkinkan terjadinya pembelotan politik.
3)      Komunikasi Politik
       Adalah proses penyampaian pesan dari pemerintah kepada masyarakat ataupun dari masyarakat kepada pemerintah. Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah disalurkan melalui partai politik. Tentu jika fungsi ini dapat dijalankan, berarti pula sudah membantu pemerintah dalam hal pendistribusian informasi.
         Dilihat dari dan ke arah mana pesan disampaikan, sudah menggambarkan posisi partai politik. Pesan dari pemerintah kepada masyarakat akan efektif jika disalurkan melalui aparataparat partai yang memerintah (governance party). Sebaliknya pesan dari masyarakat kepada pemerintah justru kurang efektif jika dijalankan oleh governance party terlebih bila isi pesan tersebut banyak kritik atau ketidakpuasan masyarakat diabaikan begitu saja. Karenanya posisi tersebut sungguh berhasil guna bila dijalankan oleh partai oposisi.
4)      Artikulasi dan Agregasi Kepentingan
  Bagi partai politik fungsi ini sebetulnya sangat operasionalistik. Artinya political sensitifity sangat penting sebab sejauhmana partai politik mau menghimpun suara-suara penderitaan atau perlakuan yang tidak adil oleh penguasa kepada rakyatnya betul-betul dijalankan. Kemampuan partai politik menerjemahkan kepentingan masyarakat kendatipun sangat bermanfaat untuk rakyat tetapi justru merupakan poin tersendiri bagi partai politik yang bersangkutan.
    Terlebih jika kepentingan tersebut tidak sebatas dihimpun melainkan juga ditindaklanjuti untuk diperjuangkan, pasti nilai pluspun diperoleh. Kebanyakan partai politik terjebak kepada regulasi-regulasi baku kampanye yang hanya boleh dilakukan sebelum pemilu. Padahal investasi politik bisa dilakukan kapan saja ketika partai politik tersebut mau merespon apa-apa yang menjadi keluhan dan kepentingan masyarakat untuk diperjuangkan.
5)            Pengendalian Konflik Politik
     Partai politik adalah tempat persaingan politik. Tujuan utamanyapun adalah perebutan kekuasaan. Sebab itu, pertikaian dan konflik adalah dua hal yang melekat pada partai politik. Pertentangan pendapat, perbedaan persepsi jika tidak bisa diatasi tidak mustahil melahirkan konflik politik bahkan fisik.
1.   Teori Pemberdayaan Masyarakat
    Pemberdayaan masyarakat yang bisa dilakukan oleh partai politik yaitu dengan menjadikan partai politik mempunyai program mewujudkan masyarakat madani lewat pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya dan partisipasinya dalam menberdayakan masyarakat oleh partai tersebut, mengingat umumnya beberapa kelompok pengaruh muncul dalam masyarakat seturut dengan alur kepentingan dan nilai yang tumpang tindih antara berbagai kelompok kepentingan, parpol, dan masyarakat madani.
      Proses pengkonsentrasian suana pada suatu sistem kepantaian bisa dipercepat dan ditumbuhkembangkan dengan undang-undang pemilihan umum. Batas jumlah suara minimum yang diperoleh suatu partai politik dalam pemilu untuk bisa mendapatkan kursi di parlemen (Quorum) 3% atau 5% bagi partai politik untuk mendapatkan kursi di parlemen bisa membatasi agar partai yang dogmatis dan bertujuan tunggal tidak masuk dalam proses politik.
       Hal ini juga bisa mendidik perilaku para pemilih dalam pemilu. Dengan sistem tersebut masyarakat supaya belajar bahwa agar Suara atau pilihan (Vote) mereka Berdaya guna, berhasil mencapai tujuan (Efektif) maka mereka harus mengkonsentrasikan vote mereka untuk partai politik yang benar-benar berkemampuan untuk mendapatkan quorum dan mendapat kursi di panlemen.  Para aktivis politikatau elit politik juga harus berusaha menghimpun parpol-parpol dengan profl dan kepentingan yang hampir sama.
     Lebih lanjut, dengan pemebrdayaan masyarakat oleh partai politik hal juga bisa dilihat dari partisipasi partai politik terhadap masyarakat bisa dikajih dari Studi klasik mengenai partisipasi politik diadakan oleh Huntington dan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries. Lewat penelitian mereka, memberikan suatu catatan: Partisipasi yang bersifat mobilized termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Bolgherini yaitu bahwa dalam melakukan partisipasi politik, cara yang digunakan salah satunya yang bersifat paksaan (contentious).
        Bagi Huntington and Nelson (1976: 76), perbedaan partisipasi politik sukarela dan mobilisasi (diarahkan, senada dengan dipaksa) hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.
     Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki
pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian.
     Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang Luengo dalam Miriam Budi Harjo
(2012: 267) dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
       Banyak ahli memberikan pengertian mengenai konsep partisipasi. Bila dilihat dari asal katanya, kata partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris “participation” yang berarti pengambilan bagian, pengikutsertaan Echols & Shadily dalam Miriam Budi Harjo (2012: 319). Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil- hasil pembangunan.
     Pengertian tentang partisipasi dikemukakan oleh Rafael, Raga, Maran Rafael, Raga, Maran, dalam Miriam Budi Harjo (2012: 302). Dimana partisipasi dapat juga berarti bahwa pembuat keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat, barang, keterampilan, bahan dan jasa. Partisipasi dapat juga berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya. Triwarti Arsal, Triwarti Arsal dalam Basyar (2013: 157) mengungkapkan partisipasi adalah sebagai wujud dari keinginan untuk mengembangkan demokrasi melalui proses desentralisasi dimana diupayakan antara lain perlunya perencanaan dari bawah (bottom-up) dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan masyarakatnya.
     Definisi partisipasi politik yang cukup senada disampaikan oleh Mirriam Mirriam Budiarjo, (2012: 184) partisipasi politik adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan politik, yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara legal, konvensional, damai, ataupun memaksa.
     Menurut Sundariningrum dalam Sugiyah, Sugiyah dalam basyar (2012: 138) mengklasifikasikan partisipasi menjadi 2 (dua) berdasarkan cara keterlibatannya, yaitu:

1)      Partisipasi Langsung
    Partisipasi yang terjadi apabila individu menampilkan kegiatan tertentu dalam proses partisipasi. Partisipasi ini terjadi apabila setiap orang dapat mengajukan pandangan, membahas pokok permasalahan, mengajukan keberatan terhadap keinginan orang lain atau terhadap ucapannya
2)      Partisipasi tidak lansung
     Partisipasi yang terjadi apabila individu mendelegasikan hak partisipasinya. Cohen dan Uphoff yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D, dalam Basyar (2012:163), membedakan patisipasi menjadi empat jenis, yaitu: Pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi ini terutama berkaitan dengan penentuan alternatif dengan masyarakat berkaitan dengan gagasan atau ide yang menyangkut kepentingan bersama. Kedua, partisipasi dalam pelaksanaan meliputi menggerakkan sumber daya dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan penjabaran program.. Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat. Partisipasi dalam pengambilan manfaat tidak lepas dari hasil pelaksanaan yang telah dicapai baik yang berkaitan dengan kualitas maupun kuantitas.      Keempat, partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi dalam evaluasi ini berkaitan dengan pelaksanaan pogram yang sudah direncanakan sebelumnya. Partisipasi dalam evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui ketercapaian program yang sudah direncanakan sebelumnya. Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah keterlibatan suatu individu atau kelompok dalam pencapaian tujuan dan adanya pembagian kewenangan atau tanggung jawab bersama.
       Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson dalam Harjo (2014: 279) membagi landasan partisipasi politik ini menjadi Individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa. Kelompok atau komunal individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.
    Menurut Waime dalam Harjo (2014: 287) menyatakan bahwa yang menyebabkan timbulnya pergerakan ke arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik yaitu:
1)      Moderenisasi disegala bidang, berimplikasi pada komersialisme pertanian, industri, perbaikan pendidikan, pengembangan metode masa, dan sebagainya.
2)      Terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Perubahan strukturkelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja batu yang semakin meluas dalam era industrialisasi dan moderenisasi.
3)      Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi masa merupakan faktor meluasnya komunikasi politik masyarakat. Ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisasi membagkitkan tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan Adanya konflik diantara pemimpin-pemimpin politik, Pemimpinan politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan sering kali untuk mencapai kemenangan dilakukan dengan cara mencari dukungan massa. Dengan demikian pertentangan dan perjuangan kelas menengah kekauasaan mengakibatkan perluasan hak pilih rakyat.
4)      Adanya keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan.Menurut Davis partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi penguasa baik dalam arti memperkuat maupun dalam pengertian menekannya sehingga mereka memperhatikan atau memenuhi kepentingan pelaku partisipasi. Tujuan tersebut sangat beralasan karena sasaran partisipasi politik adalah lembaga-lembaga politik atau pemerintah yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan politik. Jadi partisipasi politik sangatlah penting bagi masyarakat maupun pemerintah. Bagi masyarakat dapat sebagai sarana untuk memberikan masukan, kritik, dan saran terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, sedangkan bagi pemerintah partisipasi politik merupakan sebuah mekanisme pelaksanaan fungsi kontrol terhadap pemerintah dan pelaksanaan kebijakan.
   Model partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh
seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan terror.
       Lobby yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu; Kegiatan Organisasi yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Contacting yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan Tindakan Kekerasan (violence) yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
       Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini. Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu. Samuel P. Hu  ntington menyebutkan bentuk-bentuk partisipasi politik dapat meliputi: Pertama, opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif
politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu. Opini publik ini
mengejawantah dalam bentuk lain partisipasi politik selanjutnya, berupa polling, pemilihan umum, dan demokrasi langsung. Kedua, polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik warganegara menemui manifestasinya.