Muhammad Hadidi, S.S.Sy.MH Dosen Hukum dan Ekonomi Islam STAIN TDM Meulaboh |
Partai politik adalah
organisasi oleh sekelompok manusia yang melakukan kegiatan-kegiatan politik
dalam hal menjalankannya aktivitas politiknya sebagai pelaku maupun anggota
politik demi mencapai cita-cita yang diharapkan atas dasar persamaan kehendak.
partai politik juga dipahami sebagai “Organisasi social yang dibentuk oleh
sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat,
bangsa dan negara melalui pemilihan umum”.
Kegiatan seseorang
dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik mencakup semua
kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses
pemilihanpemilihan politik dan turut serta secara langsung ataupun dengan
wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu,
berkampanye dan menghadiri kelompok diskusi dan sebagainya.
berkampanye dan menghadiri kelompok diskusi dan sebagainya.
Kebalikan dari partisipasi politik adalah
“apatis”. Seseorang dinamakan apatis (secara politik) jika dia tidak ikut serta
dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas. Untuk itu, Peranan masyarakat sangat
penting untuk perbaikan mekanisme penyelenggaraan negara. Persaingan untuk
memenangkan kekuasaan, yang dilandasi dengan perebutan posisi jabatan public
merupakan hal yang penting dalam partai politik. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang
anggotaanggotanya mempunyai orientasi, nilainilai dan cita-cita yang sama
dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, menguasai pemerintahan dan
melaksanakan kebijaksanaan menurut peraturan yang dianut.
Peranan partai politik timbul pada akhir abad ke-18 dan 19 di Eropa Barat, sebagai buah dan usahausaha kelompok-kelompok di luar lingkungan
kekuasaan politik untuk bersaing memperebutkan jabatan pemerintahan dan mengendalikan kebijaksanaan pemerintahan. Ketika gerakan-gerakan kelas mengendalikan dan kelas buruh ini mulai mendesak kelas kelas
atas dan aristoktrat demi partisipasi dalam pembuatan keputusan, kelompok kelompok
yang menjalankan pemerintahan terpaksa mencari dukungan publik dalam rangka
mempertahankan pengaruh dominan mereka. Dengan
demikian partai-partai politik itu merupakan penghubung antara rakyat dengan
pemerintahan dan di dunia modern.
Sifat-sifat dan sistem kepartaian
suatu negara menentukan sifat dan hubungan ini.
Dalam sistem politik, partai politik adalah bagian dan infrastruktur
politik yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, baik berupa
dukungan, keluhan ataupun tuntutan. Infrastruktur politik adalah kehidupan politik
yang berlangsung melalui organisasi social politik (Miriam
Budiardjo, (2012: 405). Secara mendasar, partai politik di negara demokratis dan negara otoriter berbeda. Perbedaan pandangan tersebut
berimplikasi pada pelaksanaan tugas atau fungsi partai masing-masing Negara. Di negara demokrasi partai relatif dapat menjalankan fungsi sesuai hakikatnya pada saat kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya dihadapan penguasaan.
Budiardjo, (2012: 405). Secara mendasar, partai politik di negara demokratis dan negara otoriter berbeda. Perbedaan pandangan tersebut
berimplikasi pada pelaksanaan tugas atau fungsi partai masing-masing Negara. Di negara demokrasi partai relatif dapat menjalankan fungsi sesuai hakikatnya pada saat kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya dihadapan penguasaan.
Fenomena ini
disebabkan oleh beberapa faktor: organisasi masyarakat sipil memainkan peranan
yang sangat penting dalam memimpin perlawanan terhadap rejim rejim diktator di
Asia dan Eropa Utara disaat partai politik tidak dapat berfungsi secara benar;
munculnya reaksi penentangan terhadap partai politik dari masyarakat di
negara-negara yang menganut sistem satu partai; dan munculnya dukungan dari
negara negara yang mapan dalam demokrasi yang sebenarnya memiliki bayangan yang
salah mengenai sistem kepartaian dan kemudian menempatkan harapan-harapan
mereka dalam masyarakat sipil sebagai alat pembaharuan politik dan sosial.
Mereka yang
memuja pembangunan masyarakat sipil sebagai suatu cara untuk menyatakan
ketidakterlibatan politis dalam politik internal suatu negara tidak menyadari
keterbatasan dari pendekatan tersebut. Contoh pertama adalah, kelompok-kelompok
masyarakat sipil di negara-negara demokrasi-demokrasi baru terus berjuang
dengan yang sebenarnya merupakan isu-isu politik.
Menurut Sukarna (2013: 79) menyatakan bahwa: “Dalam setiap negara demokrasi terdapatnya
partai politik lebih dan sama merupakan syarat yang paling menonjol, meingat
rakyat mempunyai alternatif untuk memilih.
Tanpa adanya pilihan alternatif maka rakyat
sukar untuk mengeluarkan aspirasiaspirasinya yang paling cocok dengan dirinya.
Oleh karena itu, adanya wadah penyaluran pemikiran yang berbeda-beda merupakan
suatu conditiosince quanon atau suatu kondisi yang mau tidak mau harus ada.
Tanpa adanya partai politik yang lebih dari satu. Maka demokrasi dapat
ditegakkan.
Dengan demikian untuk melihat itu
demokrasi atau tidak salah satu aspeknya adalah dilihat dari kehidupan politik.
Jika kehidupan partai politik dapat tumbuh dengan subur dan rakyat menentukan
pilihannya secara bebas dan rahasia, maka menandakan bahwa negara tersebut
minimal mempunyai persyaratan untuk tegaknya demokrasi.
Maka
menurut Budiardjo (2013: 166_168) partai politik menyelenggarakan beberapa
fungsi yaitu: Partai sebagai sarana komunikasi
politik. Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam
pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengatur sedemikian rupa sehingga
kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Dalam masyarakat
modern yang begitu luas pendapat dan aspirasi seseorang tersebut atau suatu
kelompok hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir. Apabila tidak ditampung dan digabungkan dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (“interest
aggregation”). Sesudah digabung pendapat dan aspirasi ini diolah dan
dirumuskan “Perumusan Kepentingan”(interest articulation).
politik. Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam
pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengatur sedemikian rupa sehingga
kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Dalam masyarakat
modern yang begitu luas pendapat dan aspirasi seseorang tersebut atau suatu
kelompok hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir. Apabila tidak ditampung dan digabungkan dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (“interest
aggregation”). Sesudah digabung pendapat dan aspirasi ini diolah dan
dirumuskan “Perumusan Kepentingan”(interest articulation).
Partai Politik sebagai sarana sosialisasi politik. Partai politik
juga main peranan sebagai sarana sosialisasi politik (instrument of
political sosioauisation). Di dalam ilmu politik, sosialisasi politik
diartikan sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi
terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia
berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsurangsur dari masa
kanak-kanak sampai dewasa. Proses sosialisasi politik diselenggrakan melalui
ceramah-ceramah penerangan, kursus kader, kursus penataran dan sebagainya.
Partai
Politik sebagai sarana rekrutmen politik Partai politik juga berfungsi untuk
mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turun aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai (political recruitmen) dengan demikian
partai politik turut memperluaskan partisipasi politik. Caranya ialah melalui
kontak pribadi, persuasi dan lain-lain. Juga diusahakan untuk menarik golongan
muda untuk dididik menjadi kadernya yang di masa mendatang mengganti pimpinan
lama (selection of leadership).
Peranan Pendidikan politik, menurut
Sukarna (2014: 84) bahwa:
“Pendidikan politik (political education) merupakan condition quo non (suatu syarat mutlak) mengingat dalam pendidikan politik mendidik kesadaran bernegara dan berbangsa. Partai politik di negara yang belum merdeka sangat mengutamakan pendidikan politik ini sehingga anggota-anggota partai politik punya kader yang tinggi untuk mewujudkan negara merdeka. Dalam negara yang sudah merdeka, pendidikan politik harus tetap dilakukan agar kemerdekaan bangsa dan negara tidak hilang atau dijajah kembali dalam bentuk penjajahan yang lebih halus.”
“Pendidikan politik (political education) merupakan condition quo non (suatu syarat mutlak) mengingat dalam pendidikan politik mendidik kesadaran bernegara dan berbangsa. Partai politik di negara yang belum merdeka sangat mengutamakan pendidikan politik ini sehingga anggota-anggota partai politik punya kader yang tinggi untuk mewujudkan negara merdeka. Dalam negara yang sudah merdeka, pendidikan politik harus tetap dilakukan agar kemerdekaan bangsa dan negara tidak hilang atau dijajah kembali dalam bentuk penjajahan yang lebih halus.”
Dengan demikian dapat diketahui bahwa
partai politik memiliki beberapa fungsi, yang diantaranya adalah partai politik
sebagai pendidikan politik, rekrutmen politik dan sarana pengatur konflik.
Dalam hal ini penulis hanya meneliti fungsi partai politik sebagai pendidikan
politik, sehingga kelak dapat diketahui apakah partai politik telah menjalankan
salah satu fungsinya pada suatu wilayah yakni sebagai sarana pendidikan politik
kepada masyarakat.
Menurut Alfian dalam Kartono, (2015: 97) pernanan partai politik terhadap pemberdayaan masyarakat
menjelaskan: “termasuk Pendidikan politik (dalam arti yang lebih ketat) dapat
diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses pendidikan politik
masyarakat sehingga mereka
memahami dan menghayati betulbetul nilai-nilai yang terkandung
dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil
penghayatan ini akan melahirkan sikap dan tingkah laku politik baru
yang mendukung sistem politik yang ideal itu bersamaan dengan itu lahir
pulalah kebudayaan baru.”
memahami dan menghayati betulbetul nilai-nilai yang terkandung
dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil
penghayatan ini akan melahirkan sikap dan tingkah laku politik baru
yang mendukung sistem politik yang ideal itu bersamaan dengan itu lahir
pulalah kebudayaan baru.”
Dengan demikian pendidikan politik
masyarakat adalah merupakan rangkaian usaha untuk mewujudkan masyarakat adil
dan makmur berdasarkan pancasila, selama ini mengalami gelombang pasang surut
yang luar biasa. Pendidikan politik juga merupakan bagian proses pembaharuan
kehidupan politik bangsa Indonesia yang sedang dilakukan dewasa ini dalam
rangka menciptakan suatu sistem politik yang benar-benar demokratis, dinamis
dan efisien.
Dalam Arsito dan Kansil (2014:197) mengatakan
bahwa: Tujuan pendidikan politik ialah menciptakan generasi muda Indonesia yang
sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya yang
perwujudannya akan terlihat dalam perilaku hidup bermasyarakat.
Dalam konteks perjuangan politik lokal di di Aceh. Perjuangan politik
dimulai sebelum dan sesudah kemerdekaaan republik Indonesia diantaranya setelah
kemerdekaan Indonesia ada beberapa akibat yang di alami oleh rakyat Aceh yaitu kekecewaan rakyat Aceh kepada kebijaksanaan
Pemerintah Pusat, pada tanggal 21 September 1953 terjadi berbagai sebutan atau
nama antara lain, “Peristiwa Daud Beureuh”,
“Pemberontakan Daud Beureuh”
atau “Peristiwa Berdarah”. Dimana
pada tanggal tersebut
Tengku Muhammad Daud
Beureuh, selaku mantan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dan
juga seorang ulama yang sangat berpengaruh, melakukan pemberontakan terhadap
Pemerintah Pusat dengan
memproklamasikan sebagai bagian
dari Negara Islam
Indonesia (NII) yang didirikan oleh Kartosuwiryo pada tanggal 17 Agustus
1949.
Lewat
musyawarah antara Dewan Revolusi Darul Islam dengan misi
Pemerintah Pusat, pada tanggal 26 Mei 1959 Dewan Revolusi
Darul Islam telah menyetujui secara bulat usul-usul misi Pemerintah Pusat. Untuk
menyatakan perjanjian misi Pemerintah
Pusat, maka hal
tersebut dituangkan dalam
Surat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia tanggal 26 Agustus
1959, Nomor. 1/Misi/1959 dengan pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah didasarkan
pada faktor-faktor nyata, sesuai
dengan perkembangan daerah
Aceh serta kebutuhan
dan faktorfaktor nyata
dari masyarakat Aceh
itu sendiri dengan
sebutan sistem otonomi yang luas tapi riil.
Lebih
lanujut, pada tanggal 4
Desember 1976 muncullah
gerakan ideo-nasionalisme
Aceh Merdeka, atau
Atjeh-Sumatera National Leberation
Front (ASNLF), yang menuntut
pemisahan diri dari
Republik Indonesia, dipimpin
oleh Teungku Dr. Hasan
Muhammad di Tiro.
Cita-cita gerakan ini adalah mendirikan Negara atau Kerajaan Aceh
Sumatera. Arus utama ideologi yang dipakai merujuk pada perspektif historis
bahwa Aceh tidak pernah dijajah oleh Belanda atau sultan Aceh tidak pernah
menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda.
Oleh karena itu, penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik
Indonesia, seharusnya tidak termasuk wilayah Aceh.
Sejak Tahun 1976
itulah Aceh bergolak kembali.
Ketika itu Kodam I/Iskandar
Muda masih ada,
sehingga Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dapat dipadamkan
dan diredam dalam tempo yang relatif singkat dan Teungku Dr. Hasan Muhammad di
Tiro serta beberapa pengikutnya memilih berjuang di luar negeri Hamid (2012: 25). Akan tetapi
pada tahun 1989
GAM muncul kembali
di Aceh, yang
di daerah dipimpin oleh beberapa desertir TNI/Polri dan tokoh-tokoh
lokal, sebagai akibat dari sistem represif dan opresif yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru untuk memenangkan Golkar
(Partai Golongan Karya)
dalam Pemilihan Umum 1987,
yang sangat menekan
dan menyinggung rasa
keadilan rakyat, sehingga rakyat mudah
sekali terpicu untuk
bangkit kembali dalam
gerakan yang sebenarnya sudah
hampir-hampir mereka lupakan.
Provokasi
yang mudah merasuk ke
dalam pikiran sebagian
rakyat adalah ketidakadilan
ekonomi dan kesenjangan kehidupan,
termasuknya didalamnya pengangguran
dan ditutupnya pelabuhan bebas
sabang pada tahun
1984 serta dihapuskannya
tunjangan pensiunan
berdasarkan surat keterangan
berkas tentara (SKBT)
kepada mereka yang telah turut
berjuang selama revolusi fisik di awal kemerdekaan.
Sebelumnya, pada tahun
1985, Kodam I/Iskandar
Muda di likuidasi
ke dalam Kodam Bukit
Barisan di Medan.
Maka untuk menumpas
GAM, mulai tahun 1989
itu digelar sebuah
operasi yang lebih
luas, bernama Operasi
Jaring Merah, atau lebih dikenal sebagai pemberlakuan Daerah Operasi
Militer (DOM).
Komando
pemulihan keamanan Aceh
dipegang oleh Kodam
I/Bukit Barisan, dengan dua
korem yang berada
di Aceh, yakni
Korem 011/Liliwangsa di Lhokseumawe dan
Korem 012/Teuku Umar
di Banda Aceh.
Pada Juli 1990, Presiden Soeharto mengerahkan 6.000
pasukan tambahan, termasuk dua batalyon dari
Kopassus dan unit-unit
tentara lainnya seperti
Kujang Siliwangi, Kodam VII/Brawijaya, Arhanud Medan, Linud
Medan dan Brimob.
Semua kekuatan ini dikerahkan untuk
menghadapi sisa-sisa kekuatan
GAM atau GPK
(Gerakan Pengacau Keamanan), yang
pada tahun 1990
berjumlah 203 orang,
yaitu; 60 orang sisa
GAM angkatan pertama
(24 diantaranya didikan
luar negeri), 143 anggota baru didikan luar negeri (30
orang di Pidie, 83 di Aceh Utara, 24 di Aceh Timur dan 6 di Aceh Tengah).
Pada 26 Desember
2004 gempa bumi
8.9 skala rechter
terjadi di bawah laut Samudera Indonesia, kurang lebih
150 kilometer dari lepas pantai barat Aceh. Hanya dalam 45 menit kemudian,
gelombang tsunami melanda Aceh dan dalam waktu beberapa menit saja gelombang
maha dahsyat ini menyapu bersih daerah pesisir pantai Aceh sepanjang 800 kilometer. Akibat amukan alam ini, di Aceh saja tercatat
sebanyak 132.000 orang meninggal dunia dan 37.000 jiwa dinyatakan hilang. Infrastruktur
di daerah yang
di lewati tsunami
dapat di katakan
hancur total.
Sedangkan
pada tanggal 15 Agustus 2005 tercapai kesepakatan damai Memorandum of Unterstanding (MoU)
Helsinki di tandatangani
oleh ketua tim perunding pihak pemerintah Republik
Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM),
serta mediator Martti
Ahtisaari.
Tercapainya
kesepakatan damai dalam lima
tahap perundingan antara
pemerintah Republik Indonesia
dengan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) di Helsinki
merupakan berkah dari
musibah gelombang Tsunami akhir
tahun 2004, sebagaimana
di nyatakan dalam joint
statement delegasi pemerintah
Republik
Indonesia dan delegasi
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tanggal 17 Agustus 2005.
Tregedi tsunami telah menjadi satu faktor yang sangat memberikan kontribusi
besar untuk menyamakan keinginan dan persepsi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dan pemerintah Republik Indonesia dalam Hamid (2012: 125).
MoU Helsinki
Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM)
dalam butir (1).
Penyelenggaraan Pemerintah di Aceh di Poin (1.2). Partisipasi Politik, menjelaskan bahwa “Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih
dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini,
Pemerintah Republik Indonesia
menyepakati dan akan menfasilitasi pembentukan
partai-partai politik yang
berbasis di Aceh
yang memenuhi persyaratan nasional.
Cara
Partai Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) di dirikan
ternyata membuat faksi
junior menentang pembentukan Partai Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sebagai
bentuk protes terhadap pembentukan Partai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) faksi
junior tidak hadir dalam
kesempatan pembukaan resmi
kantor Partai Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) paling
lambat 18 bulan
sejak penandatanganan Nota
Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi
politik dan hukum
untuk pendirian partai
politik lokal di Aceh
dengan berkonsultasi dengan
Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR).
Pelaksanaan
Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi
maksud tersebut”.Pada awal 2007, persiapan untuk mendirikan sebuah kendaraan
politik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pun dimulai namun di iringi dengan perselisihan antara faksi
diaspora senior dengan
faksi lokal anggota
Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
junior.
Menurut Antje Missbach dalam ardiansyah (2015: 166) Kedua faksi
sama-sama berupaya memperkuat
basis dukungan masing-masing di banding bersatu
dan mengejar tujuan yang
sama. Dalam transformasi Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) menjadi partai politik lokal. Cara Partai
Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) di dirikan
ternyata membuat faksi
junior menentang pembentukan Partai Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sebagai
bentuk protes terhadap pembentukan Partai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) faksi
junior tidak hadir dalam
kesempatan pembukaan resmi
kantor Partai Gerakan
Aceh Merdeka (GAM).
Proses
transformasi politik Partai Aceh pada dasarnya
adalah sebuah proses
yang kompleks karena membutuhkan
konstribusi timbal balik
dari pihak yang
di transformasikan dan dari pihak yang hendak dituju oleh proses
tersebut.Mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai subjek yang diransformasikan
perlu di
dorong untuk mampu
mengambil kesempatan di
bidang pendidikan, ekonomi, politik,
sosial dan sebagainya.
Sedangkan masyarakat luas di dorong untuk membangun sikap-sikap
akomodatif sehingga sepenuhnya dapat menerima mantan anggota Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dan para tahanan politik lainnya kembali menjadi bagian dari
mereka Chaidar (2012: 124).
Pembentukan partai politik
lokal di Provinsi
Aceh merupakan bentuk kesadaran masyarakat Aceh
mengenai perlunya organisasi
modern yang
berbentuk partai-partai
politik sebagai wadah
perjuangan untuk memobilisasi
kekuatan rakyat (machts vorning) Aisya (2008: 117_179)
yang selanjutnya dapat
dimanfaatkan untuk memperbaiki sistem demokrasi
dalam perpolitikan nasional.
Dalam hal ini, merupakan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi
daerah secara nyata
dan riil sebagai bentuk
perkembangan demokrasi Provinsi
Aceh serta kebutuhan
dan faktor-faktor nyata dari masyarakat Aceh untuk membentuk partai
politik lokal.
Hal ini,
sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh,
menjelaskan bahwa penduduk
di Aceh dapat
membentuk partai politik lokal. Partai politik lokal tidak boleh
bertentangan dengan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Partai politik lokal dapat mencantumkan ciri tertentu yang
mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat dan filosofi kehidupan masyarakat
Aceh.
Melihat
kondisi peranan Partai Aceh dalam pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Nagan
Raya, sejauh ini belum terlalu maksimal dilakukan oleh Partai Aceh baik secara Partai
maupun secara induvidu elit partai Aceh belum melakukan secara maksimal dan fokus
terkait pemberdaayaan masyarakat di Kabupaten Nagan Raya. Meskipun dalam program
AD-ART Partai Aceh maupun program Partai PA memuat tentang pemberdayaan
masyarakat dan pendidikan politik kepada masyarakat.
Meskipun secara umum tingkat peranan Partai
Aceh terhadap Pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Nagan Raya sudah diucapkan
atau disampaikan bahkan didelarasikan menjadi sebuah janji-janji politik pada
setiap suksesi pemilu di daerah, namun pada tataran imlementasi pelaksanaanya
masih belum terlaksana dengan maksimal. Hal ini terlihat dari konsep
pemberdaayan msyarakat yang dilakukan oleh Partai Aceh belum mempunyai
rancangan pengelolaan dan konsep pelaksaaan yang matang dalam suatu gerakan
pemberdaayan masyarakat yang dilakukan oleh paratai lokal Politik Aceh.
Hal ini dapat dilihat dari
program-program kepartaian terkait pemberdayaan masyarakat miskin di kabupaten
Nagan Raya belum sepenuhnya dilakukan secara tersetruktuf, massif dan berkelanjutan
bahkan terlihat di dalam Partai Aceh khususnya anta relit partai Aceh masih
terjebak pada konflik dingin antar elit,meskipun tingkat partisipasi masyarakat
terhadap paratai Aceh di dikabupaten Nagan Raya cukup tinggi, namun realita di
lapangan membuktikan bahwa pemberdayaan masyarakat belum dilakukan secara
maksimal oleh elit paratai bahkan di tingkat elit politik Partai sendiri di
kabupaten Nagan Raya masih adanya oligarki.
Dimana kelompok “Teuku” yang dianggap sebagai keturunan raja dan
mempunyai kehormatan keluarga yang tinggi mendominasi para pemegang tampuk
kekuasaan baik kekuasaan di tingkat Partai maupun kekuasaan pada pemerintahan
Daerah. Sehingga pemberdayaan masyarakat
kecil sedikit tidak diperioritaskan karena karena elit sendiri masih mengutamankan
kesejahteraan kelompok kalangan elit ke atas sehingga masyarakat kecil
terlupakan pemberdayaannya karena terkesan yang bukan kalangan berdarah “Teuku”
sulit untuk mendapatkan jabatan atau kemudahan dalam urusan pelayanan public kapalagi
mendapatkan pemberdayaan dari partai dan elit partai.
Hal ini bisa dilihat dari perangai elit
partai yang sudah duduk dipemerintahan konsep pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan paratai Aceh belum sepenuhnya maksimal dari latar belakang permasalahan tersebut di
ataslah, dalam tesis ini peneliti sangat menarik untuk melakukan penelitian
lebih mendalam terkait sudah sejauh mana “Peranan Partai Aceh Terhadap Pemberdayaan Masyarakat
di Kabupaten Nagan Raya” Mengingat
Paratai Aceh (PA) di Kabupaten Nagan Raya merupakan salah satu partai politik
lokal di Aceh yang diperhitungkan dan merupakan hasil
dari konsepsi besar (grand
concept) Indonesia untuk
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sesuai amanah MoU Helsinki adalah memperbolehkan berdirinya partai lokal
salah satunya Partai Aceh (PA) untuk mengakomodir aspirasi masyarakat dan
melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat Aceh.