Qanun Aceh Harus Terintegrasi Dalam Satuan Hukum Nasional

Penerapan Qanun Jinayah

Menurut para ahli sejarah, pelaksanaan syari’at Islam di Provinsi Aceh dimulai sejak berdirinya kerajaan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (1516-1530). Beliau berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang sebelumnya telah ada seperti kerajaan Peureulak, Samudera Pasai, Pidie, Daya, dan  Linge.
Pada perkembangan selanjutnya kerajaan Aceh Darussalam tercatat sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di dunia. Masa keemasan kerajaan Aceh Darussalam berada pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa ini, Aceh mencapai kemajuan luar biasa dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan agama. Sultan Iskandar Muda berhasil menjadikan ibu kota kerajaan Aceh Darussalam sebagai kota kosmopolitan.[1]
Pada waktu itu, di kerajaan Aceh telah berlaku hukum Islam, sesuai dengan agama yang dianut oleh masyarakat Aceh. Hal ini dapat dilihat dengan adanya kodifikasi hukum- hukum Islam yang dibuat oleh para ulama yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang (Qanun) yang berlaku di kerajaan Aceh Darussalam. Di antara Qanun tersebut adalah Qanun al-Asy yang disebut juga Adat Meukuta Alam, Sarakata Sultan Syamsul Alam, dan Kitab Safînah al-Hukkâm fî Takhlîsh al-Khashshâm.
Dalam masyarakat Aceh dikenal empat istilah yang berkaitan dengan hukum yaitu: hukum, adat, uruf dan reusam. Hukum adalah hukum Islam, adat diartikan sebagai hukum tidak tertulis dan mempunyai sanksi, berlaku untuk siapa saja dengan tanpa pandang bulu.Sedangkan  uruf adalah pendapat ulama dalam menjalankan negara, namun tidak disandarkan kepada agama, akan tetapi disandarkan kepada adat, sedangkan reusam diartikan sebagai bekas hukum.[2]
Berjalannya adat pada masa kerajaan Aceh Darussalam dapat dilihat sewaktu Sultan Iskandar muda (1607-1636) menghukum mati anaknya Meurah Peupok anak lelaki satu- satunya yang telah diangkat sebagai putera mahkota, karena berbuat zina dengan isteri seorang pejabat (1621), maka para ulama ketika itu memprotesnya, karena berlawanan dengan hukum Islam. Sultan dengan tegas menjawabnya: “matee aneuk muphat jeurat, matee adat ho tamita”. Jadi istilah adat dalam ungkapan tersebut tidak bisa diartikan lain, selain dari suatu hukum.[3]
Atas saran para ulama supaya dilakukan perubahan atas aturan-aturan dalam adat, akhirnya Sultan memerintahkan cendikiawan dan ulama untuk mengkodifikasikan aturan- aturan yang berlaku. Apabila terdapat aturan yang berlawanan dengan hukum Islam, supaya dihapus atau dibuat yang lain. Sehingga hadih maja “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” lahir pada waktu itu.[4]
Selain itu ada lagi penegasan dari Sultan, bahwa bila suatu saat kelak lahir adat (hukom) yang baru apabila bertentangan dengan hukum Islam (hukom), maka hukum baru tersebut tidak dapat disebut sebagai adat. Oleh karena itu harus ditolak keberadaannya. Kemudian dinyatakan lagi bahwa seluruh “hukom” langsung menjadi “adat”. Antara keduanya tidak boleh dipisahkan dan harus menyatu seperti zat dengan sifat. Maka ungkapan “adat ngon hukom hanjeut crei, lagee zat ngon sifeut” (adat dengan hukum tidak boleh dipisah, seperti zat dengan sifat), juga lahir pada masa itu.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum yang berlaku dalam kerajaan Aceh Darussalam ketika itu ada dua, yaitu: hukum asli dari adat itu sendiri dan “hukom” yang berasal dari hukum Islam. Kemudian keduanya menyatu dan tidak dapat dipisahkan seperti ungkapan hadih maja di atas. Berdasarkan keterangan di atas bahwa hukum Islam itu baru benar-benar berlaku dengan kekuatan real dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dalam kerajaan Aceh Darussalam, setelah adanya penetapan sultan (adat). Hal itu berarti, pada masa-masa sebelumnya hukum Islam inilah yang dimaksud dengan pernyataan seperti zat dengan sifat antara kedua hukum tersebut.
Pelaksanaan syari’at Islam di Aceh merupakan persoalan yang sangat penting untuk dicermati, karena para pemerhati hukum di Indonesia memandang bahwa hal ini baru pertama sekali terjadi pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini juga akan menimbulkan beberapa tantangan dan hambatan ketika menerapkan suatu hukum yang baru, sedangkan di Indonesia berlaku hukum positif.
Masalah penerapan syari’at di Aceh, bukanlah suatu hal yang dapat mengejutkan atau dengan kata lain bukan lagi menjadi rahasia umum di nusantara ini, bahkan telah terkenal di beberapa daerah tetangga seperti Malaysia, karena syari’at Islam memang sudah menyatu dan mendarah daging dalam tubuh masyarakat Aceh.
Dari kajian penelitian penulis dalam tesis ini menurut hemat penulis bahwa pelaksaan syari’at Islam di Aceh masih bersifat  formalisasi (formalitas), hal ini bisa di lihat berdasarkan alasan sosiologis pada masyarakat Aceh yang sangat akrab dan kental dengan pemahaman tentang agama Islam. Namun pemaknaan Syari’at Islam masih belum kepada substansi nilai-nilai Islam yang seseunggnya. Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian Daut Rasid[5]
Setelah Indonesia memerdekakan diri dari jajahan Belanda, Aceh waktu itu menyatakan keinginan untuk bergabung dengan RI dengan syarat bahwa di Aceh diberlakukan syari’at Islam dan bahkan beberapa kali tokoh Aceh Daud Beureueh menuntut kepada presiden Soekarno. Tuntutan itu tidak dipenuhi oleh pemerintah, kemudian begitu juga yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto.[6]

Tak dapat dipungkiri lagi, bahwa masyarakat Aceh selama berada dalam kekuasaan pemerintahan RI merasa tidak diperhatikan dan diperlakukan seperti orang asing di Indonesia. Maka wajarlah ketika orang Aceh yang pemahaman religiusnya sangat kental dan memegang adat istiadat yang kuat membentuk suatu gerakan untuk menuntut kembali kejayaan Islam yang dulu, yaitu dengan memberlakukan syari’at Islam yang bukan hanya sebuah formalisasi, tetapi sampai kepada penerapan dalam kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, pengertian Qanun sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikenal Kanun yang artinya adalah: undang-undang, peraturan, kitab undangundang, hukum dan kaidah.[7] Adapun pengertian Qanun menurut kamus Bahasa Arab adalah: undang-undang, kebiasaan atau adat.[8] Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Qanun adalah: suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum yang berlaku di suatu daerah (dalam hal ini di provinsi Aceh).

Masyarakat Aceh penyebutan Qanun terhadap suatu aturan hukum atau untuk penamaan suatu adat telah lama dipakai dan telah menjadi bagian dari culture adat dan budaya Aceh. Aturan-aturan hukum dan juga adat yang dikeluarkan oleh Kerajaan Aceh banyak yang dinamakan dengan Qanun. Qanunbiasanya berisi aturanaturan syariat Islam yang telah beradaptasi menjadi adat istiadat Aceh. Ketentuan tentang Qanun terdapat di dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu:
1)      Qanun Aceh adalah: peraturan perundang-undangan sejenis[9]peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.[10]. Qanunkabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh;
2)      Qanunkabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh. [11]
Istilah qanun sudah digunakan sejak lama sekali dalam bahasa atau budaya Melayu. Kitab“ Undang-Undang  Malaka”  yang  disusun  pada  abad  ke  lima  belas  atau  enam  belas Masehi telah mengunakan istilah ini. Menurut Liaw Yock Pengistilah ini dalam budaya Melayu digunakan  semakna  dengan  adat  dan  biasanya  dipakai  ketika  ingin  membedakan  antara hukum yang tertera dalam adat dengan hukum yang tertera dalam kitab fiqih. (Liaw Yock Fang 1975:178).
Serta kemungkinan besar istilah ini masuk kedalam budaya melayu dari bahasa Arab  karena  mulai  digunakan  bersamaan  dengan  kehadiaran  agama  Islam  dan penggunaan bahasa Arab Melayu di Nusantara dalam literatur Barat pun istilah ini sudah digunakan sejak lama, diantaranya merujuk kepada hukum kristen (Canon Law) yang sudah ada sejak sebelum zaman Islam.
Dalam bahasa Aceh istilah ini relatif sangat populer dan tetap digunakan di tengah masyarakat, karena salah satu pepatah adat yang menjelaskan hubungan adat dan syari’at yang tetap hidup dan bahkan sangat sering dikutip mengunakan istilah ini. Dalam literature Melayu Aceh, istilah qanun sudah digunakan sejak lama, dan diartikan sebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat.
Salah satu naskah tersebut berjudul Qanun Syara ‘Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek pada tahun 1257 H, atas perintah Sultan Alauddin Mansur Syah yang wafat pada tahun 1870 M. Naskah pendek ini berisikan tentang berbagai hal di bidang hukum tatanegara, pembagian kekuasaan, berbagai badan peradilan dan kewenangan mengadili, fungsi kepolisian dan kejaksaan serta aturan protokoler dalam berbagai upacara kenegaraan.
Dapat disimpulkan dalam arti sempit, qanun merupakan suatu aturan yang dipertahankan dan diperlakukan oleh seorang sultan dalam wilayah kekuasaanya yang bersumber pada hukum Islam, sedangkan dalam arti luas, qanun serupa dengan istilah hukum atau adat. Didalam perkembangannya boleh juga disebutkan bahwa  qanun  merupakan  suatu  istilah  untuk  menjelaskan  aturan  yang  berlaku  di  tengah  masyarakat yang merupakan penyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebih lanjut atas ketentuan didalam fiqih yang ditetapkan oleh Sultan.
Sekarang ini Qanun digunakan sebagai istilah untuk “Peraturan Daerah Plus” atau lebih  tepatnya  Peraturan  Daerah  yang  menjadi  peraturan  pelaksaaan  langsung  untuk undang-undang (dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 8 “Ketentuan Umum” dalamUndang-Undang Nomor 18 Tahun 2001.
Sedangkan Qanun yang pertama kali diperkenalkan oleh UU No. 18/2001, memiliki kedudukan yang signifikan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah di Aceh.  Sebab, Qanun dijadikan perangkat hukum utama bagi penyelenggaraan pemerintahan di Aceh pasca penandatanganan MoU Damai. Apalagi  UU  No. 18/2001 dan lahirnya UUPA No 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh mengisyaratkan  bahwa  Provinsi Aceh menyebutkan Qanun sebagai peraturan Daerah sehingga tidak  ada  lagi sebutan peraturan  daerah (perda) di provinsi Aceh.
Selanjutnya, Propinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang termasuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara geografis, Aceh adalah daerah yang terletak diujung paling barat wilayah Indonesia. Sejak proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Aceh menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bagian dari Propinsi Sumatera Timur, meliputi wilayah Sumatera Utara dan Aceh.
Sejak lahirnya Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 8/Desember/WK.PM/1949, tanggal 17 Desember 1949, Aceh mendapat kedudukan tersendiri sebagai suatu Propinsi. Akan tetapi pada tahun 1950 peraturan Perdana Menteri tersebut dibatalkan, sehingga Propinsi Aceh yang telah berjalan lebih kurang satu tahun dihapuskan dengan Peperpu Nomor 5 Tahun 1950 dan Aceh kembali menjadi salah satu keresidenan dari Propinsi Sumatera Utara.[12]
Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan ulama dan masyarakat Aceh, sehingga melahirkan perlawanan-perlawanan. Perlawanan pertama terjadi pada tanggal 21 September 1953 di bawah bendera DI/TII yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh.
Beberapa faktor yang menimbulkan terjadinya pemberotakan itu antara lain; 1) Pembubaran Propinsi Aceh; 2) Pemerintah menghalangi syari’at Islam; 3) Dilikuidasinya divisi dan teritorium Aceh dan; 4) Penangkapan terhadap para pejuang Aceh yang notabene adalah para pejuang kemerdekaan. Perlawanan ini akhirnya dapat diselesaikan dengan misi Hardi, 26 Mei 1959 yang melahirkan dua keputusan politik yaitu; 1) Aceh diberikan status sebagai daerah otonom; 2) Predikat keistimewaan di bidang keagamaan, peradatan, dan pendidikan.
Landasan pelaksanaan Qanun Syari’at Islam di provinsi Aceh adalah berangkat dari Al-Qur’an dan Sunnah yang bersifat universal dan abadi adalah sumber utama legislasi hukum Islam.[13] Karena sifatnya yang demikian, maka guna memenuhi tuntutan perubahan waktu dan kondisi, al-Qur’an dan Sunnah dijabarkan dalam bentuk fiqh yang praktis dan kondisional.
 Artinya tidak hanya berpangku pada apa yang telah ada di dalam al- Qur’an sebagai pedoman hidup, akan tetapi perlu kepada pemahaman atau penafsiran yang lebih praktis dalam rangka menjawab tantangan zaman yang sedang mengalami perkembangan. Karena itu hukum tidak pernah statis, selalu dinamis sesuai dengan kaedah fiqih yaitu; hukum itu akan selalu berubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu dan keadaan.
Pada proses selanjutnya, agar mempunyai kekuatan hukum memaksa (menurut teori hukum modern), fiqh yang disusun oleh para fuqaha diundangkan oleh pihak pemerintah. Dengan demikian, fiqh yang diijtihadkan oleh para fuqaha menjadi memaksa dan bersifat publik, tidak lagi individual. Dengan cara seperti inilah fiqh Islam dimasukkan ke dalam sebuah perundang-undangan. Fiqh sudah menjadi siyâsah syar’iyyah yang harus dijalankan untuk mengatur kehidupan dalam masyarakat agar terwujud keamanan ketentraman dan kesejahteraan.
Secara umum hukum Islam dapat dibagi menjadi dua bagian besar yakni:  Ibadah, yang meliputi: thahârah, shalat, puasa, zakat, haji yang disebut ibadah mahdhah. Kemudian ibadah-ibadah lain yang disebut ibadah ghayr mahdhah dan jihad yang menjadi bagian tersendiri; dan  Muamalah, yang mengatur hubungan sesama manusia. Bagian ini dapat dibagi dua ditinjau dari sudut kepentingannya yang mengatur kepentingan perseorangan (privat) dan yang mengatur kepentingan umum (publik). Hukum privat dibagi kepada tiga bagian yakni hukum keluarga, hukum waris, dan hukum perikatan. Hukum publik dibagi kepada tiga bagian yakni hukum pidana, hukum tata negara, dan hukum peradilan.
Berlakunya suatu hukum Islam mempunyai kaidah-kaidah atau asas-asas yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an, Sunnah maupun Ijtihad para ahli hukum. Apabila ditinjau dari tujuan ditetapkannya hukum, maka dapat disimpulkan bahwa tujuannya adalah untuk menjaga kemaslahatan manusia. Paling tidak ada lima tujuan syara’ dalam menetapkan hukum yang disebut dengan istilah al-Maqâshid al-Khamsah, yaitu: Memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,  memelihara keturunan, dan memelihara harta benda dan kehormatan.[14]
Mengenai pelaksanaan syari’at Islam di Aceh, telah dimulai sejak dibentuk beberapa undang-undang sebagai dasar atau landasan pemberlakuan syari’at Islam di Aceh, diantaranya yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor1103; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893; dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pada intinya peraturan tersebut diatas mengakui  bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi yang bersumber  dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam  yang melahirkan budaya Islam yang kuat,sehingga  Aceh  menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kehidupan masyarakat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat, dan menempatkan ulama (ilmuan) pada peran yang sangat terhormat hal ini perlu dilestarikan dan dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Namun disisi lain Pro-kontra penerapan syariat Islam di Aceh tidak semudah seperti apa yang dibayangkan, salah satunya karena masih adanya kontroversi di kalangan masyarakat Aceh sendiri[15]. Munculnya polemik di level pemikiran para intelektual muda Aceh, merupakan realitas yang cukup positif bagi pencerdasan masyarakat Aceh untuk mendalami keberadaan Islam baik dalam tataran pemikiran maupun terapannya di tengah-tengah masyarakat dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Keragaman pendapat justru membawa rahmat tersendiri sepanjang masih dapat saling menghargai perbedaan di antara masing-masing pandangan. Perbedaan pendapat menyangkut syariat Islam, sebenarnya tidak hanya terjadi di Aceh, secara umum perbedaan pandangan telah muncul di kalangan umat Islam. Hanya saja, karena Aceh yang notabene secara hukum diberikan status khusus, pro-kontra penerapan syariat Islam menjadi lebih mengemuka.
Dalam kaitan ini, perbedaan pendapat tentang penerapan syariat Islam, terfregmentasi dalam dua pandangan, yaitu kalangan moderat yang berpendapat bahwa syariat Islam tidak perlu diformalisasikan. Sedangkan kalangan konservatif melihat bahwa syariat Islam mutlak harus diformalisasikan. Dengan demikian, secara tidak langsung kedua pendapat tersebut memunculkan pertanyaan tentang perlu tidaknya penerapan syariat Islam melibatkan kekuasaan negara. Atau dengan kata lain, apakah negara turut campur untuk mengurus dan mengatur umat Islam dalam menjalankan syariatnya atau tidak.[16]
Pelaksanaan Syari’at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah (Perda/Qanun) Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Dalam Bab II, tujuan dan Fungsi pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa: “Keberadaan agama lain di luar agama Islam tetap diakui di daerah ini, pemeluknya dapat menjalankan ajaran agamanya masing-masing[17]. Syariat Islam yang dicanangkan berlaku di bumi Aceh pada tanggal 1 Muharram 1423 hijriyah adalah syariat Islam secara kaffah ( menyeluruh/ sempurna ). Timbul pertanyaan mengapa harus ditambah kata-kata “ kaffah “.
Bukankah ketika kita berikrar melaksanakan syariat Islam berarti kita harus melaksanakan secara sempurna dan menyeluruh, meskipun tanpa menyebut kata-kata kaffah seperti tertera dalam al­-Qur’an surat al-Baqarah ayat 208. Penyebutan kata-kata kaffah dianggap perlu dan penting secara politis, karena akan menentukan bagaimana peranan dan keterlibatan negara (Pemerintah Daerah) dalam upaya pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Dengan demikian terlaksananya syariat Islam di Aceh bukan hanya urusan pribadi pemeluk Agama Islam, tetapi telah menjadi tugas dan tanggung jawab Negara (Pemerintah Daerah).[18]
Presiden BJ Habibi menandatangani UU Nomor 44 tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan, dan peranan ulama. Penyelenggara kehidpan beragama di daerah ini diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari'at Islam bagi pemeluknya. syari'at Islam didefenisikan dengan tuntunan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan.[19] Menurut pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 ada empat bidang keistimewaan yang diberikan kepada Daerah Aceh, yaitu[20]
1.    Penyelenggaraan kehidupan beragama;
2.   Penyelenggaraan kehidupan adat;
3.   Penyelenggaraan pendidikan, dan
4.    Peran Ulama dalam Penetapan Kebijakan Daerah.
Sementara itu pada tanggal 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani UU Nomor 18 Tahun 2001, yang lebih dikenal dengan UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Terlepas dari plus minusnya UU tersebut, yang terpenting mengenai penerapan Syariat Islam adalah membenarkan pembentukan Mahkamah Syar'iyah, baik pada tingkat rendah (Sagoe) atauapun tingkat tinggi (Nanggroe) yang wewenangnya dapat meliputi seluruh bidang syari'at yang berkaitan dengan peradilan. Kedudukan peradilan tersebut sama dengan tiga saudaranya yang lain, yaitu, Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Administarsi Negara, yang pembinaan yudisialnya dilakukan oleh Mahkamah Agung.[21]
Untuk penerapan UU tersebut, sudah ditetapkan Perda Nomor 43 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama atas Perda Nomor 3 tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tatakerja MPU, Qanun Nomor 33 Tahun 2001 tentang Pembentukan Susunan dan Tatakerja Dinas Syari'at Islam Propinsi Daerah Istiewa Aceh, Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan syari'at Islam. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi'ar Islam, dan Qanun Nomor 23 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.[22]
Saat ini pelaksanaan syariat Islam di Aceh masih sebatas lip service, masih sibuk dengan kulit dan melupakan isi, karena pada umumnya masih sebatas razia jilbab terhadap kaum wanita, dan belum menyentuh subtansi dasar dari pelaksanaan syariat Islam itu sendiri secara kaffah. Masyarakat masih menunggu keseriusan Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Maka sudah saatnya Qanun Jinayah seperti hukuman potong tangan buat koruptor diundangkan. Tentu ini menjadi lebih bermakna buat masyarakat. Nampaknya memang butuh kerja keras yang lebih padu dan lebih bersinergi lagi dari pihak-pihak yang terkait untuk penegakan syariat Islam di Aceh, walau masyarakat sendiri juga harus punya kesadaran juga tentang pentingnya penerapan syariat Islam ini, karena penegakan syariat Islam tidak hanya kewajiban Dinas Syariat Islam tapi juga kesadaran individu.[23]
Landasan pelaksanaan Qanun di provinsi Aceh diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Pasal 270 berbunyi:
1)      Kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional dan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah diatur dengan peraturan perundangundangan.
2)      Kewenangan Pemerintah Aceh tentang pelaksanaan Undang-Undang ini diatur dengan Qanun Aceh.
3)      Kewenangan pemerintah kabupaten/kota tentang pelaksanaan Undang-Undang ini diatur dengan qanun kabupaten/kota.[24]
Dari pasal 279 UUPA diatas diatas dapat disimpulkan, bahwa peraturan pelaksanaan yang termaktub dalam Undang-Undang Otonomi Khusus menjadi legitimasi kewenangan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan Syari’at Islam di Aceh lewat peraturan Qanun Aceh atau Qanun Kabupaten/Kota). Sehingga adanya UUPA No 11 Tahun 2006 ini akan mengenyampingkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang  Pemerintahan Daerah bahkan adanya Qanun Pelaksanan Syari’at Islam Aceh akan mengesampingkan Peraturan Presiden Qanun adadalah peraturan Otonomi Khusus Aceh karena menjadi kewenangan pemerintah Aceh atau Pemerintah Kabupaten/Kota.



[1] Luthfi Aunie, (2001). Transformasi Politik dan Ekonomi Kerajaan Islam Aceh (1641-1699), dalam Pranata Islam di Indonesia: Pergulatan Sosial, Politik, Hukum dan Pendidikan, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, hal. 142. Lihat juga dalam Teuku Iskandar, (1966). Bustanus Salatin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, hal. 22-23.
[2] T. Juned, (2001). Penerapan Sistim dan Asas-Asas Peradilan Hukum Adat dalam Penyelesaian Perkara, dalam Pedoman Adat Aceh; Peradilan dan Hukum Adat. Banda Aceh: LAKA Provinsi NAD, hal . 12-15
[3] Mustafa Ahmad, (1999). Syari’at Tanpa Dukungan Adat Susah Berjalan. Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry, hal. 1.
[4] Ibid. Uraian yang lebih lengkap mengenai Hadih Maja lihat A. Hasjmy, dkk, (1999) 50 Tahun Aceh Membangun. Banda Aceh: MUI Aceh, hal. 22.
[5] Daud Rasyid, 92001). Syari’at Islam Yes-Syari’at Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945. Jakarta: Paramadina, hal. 217.
[6] Ibid, hal 218
[7] Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 442
[8] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,PT Hidakarya Agung, Jakarta, 1989, hlm. 357.
[9] Menurut kamus besar bahasa Indonesia,  kata Kanun sejenis perda dan dapat diartikan dengan sebangsa,semacam atau serupa. Ibid hal. 411
[10] Pasal 1 angka 21 UU No. 11 Tahun 2006
[11] Pasal 1 angka 22 UU No. 11 Tahun 2006
[12] Misran (2012)”Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh Mahasiswa Program Doktor IAIN Ar-Raniry dimuat dalam LEGITIMASI, Vol.1 No. 2, Edisi Januari-Juni,hal 14
[13] Istilah hukum Islam sering dipahami dengan syari’at, al-hukm, syar’i, dan fiqh. Secara terminologi syari’at berarti semua tata kehidupan yang telah ditetapkan Allah meliputi akidah, syari’ah, akhlak, dan muamalah maupun sistim kehidupan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sedangkan fiqh adalah syari’at dalam arti khusus. Dalam tulisan ini yang dinamakan hukum Islam adalah fiqh. Mannâ’ Khalîl al- Qattân, al-Tasyrî’ wa al-Fiqh fi al-Islâm Târikhan wa Manhâjan, Cet. IV, (Bayrût: Muassasah al-Risâlah, 1985), hal. 121. Dalam Mohammad Daud Ali (1996), Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Indonesia, Cet. V, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 42-50.
[14] Ismail Muhammad Syah, dkk (1992), Filsafat Hukum Islam, Cet. II, Jakarta: Bumi Aksara), hal. 67-101.
[15]Aulia Baihaqi, (2012). Wajah Syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah, http://www.pelita.or.id/baca.php?id=29076 (diakses pada tanggal 11 Juni 2016).
[16] Aulia Baihaqi, (1997). Wajah Syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah.hal 32
[17] Marzuki Abubakar, “Syariat Islam di Aceh: Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sos,Sebuah Model Kerukunan Dan Kebebasan Beragama”, hal.157.
[18] Armia Ibrahim (2012). Peraturan Perundang Undangan Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh , hal. 1.
[19] Saidurrahman, (2006). Siyasah Syar’iyyah di NAD  (Sejak Kemerdekaan RI Hingga Lahirnya UU NO: 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh), Mannual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 – 4 November 2010 (ACIS) Ke - 10 . hal.7.
[20]  Armia Ibrahim (2012). Peraturan Perundang Undangan Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh. Banda Aceh: hal. 2.
[21]  Saidurrahman,  Siyasah Syar’iyyah di NAD ,.hal 8.
[22]   Saidurrahman,  Siyasah Syar’iyyah di NAD ,.hal 8.

 

[24] Pasal 270 undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh