Menurut Sutopo (2015: 82) dalam penelitiannya menganalisis prinsip-prinsip good governance pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
1. Transparansi
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia No. 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah Pasal 4
ayat 7 dikatakan transparan
adalah prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan
mendapatkan akses informasi
seluas-luasnya tentang keuangan
daerah. Transparansi menjamin akses atau
kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh
informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi
tentang kebijakan, proses
pembuatan dan pelaksanannya, serta hasil-hasil
yang dicapai. Keterbukaan
informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan
politik yang sehat,
toleran dan kebijakan
dibuat berdasarkan pada preferensi publik (Bappenas : 2003:13 ).
Implementasi prinsip transparansi dijabarkan
menjadi beberapa indikator agar dapat diukur. Indikator tersebut sebagai
berikut.
a.
Mekanisme yang menjamin sistem
keterbukaan dan standarisasi dari semua proses pelayanan publik;
b.
Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan
publik tentang berbagai kebijakan dan
pelayanan publik, maupun
proses-proses didalam sektor publik;
c.
Mekanisme yang
memfasilitasi pelaporan maupun
penyebaran informasi maupun penyimpangan
tindakan aparat publik
didalam kegiatan melayani (Bappenas : 2003: 13 ).
Sutopo (2015) menyatakan
bahwa prinsip transparansi
tidak dimuat secara eksplisit
dalam UU No. 6
Tahun 2014. Namun dari
asas-asas yang dijadikan dasar
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa
terdapat asas keterbukaan yang
pengertiannya mendekati konsep
transparansi.
Asas keterbukaan yang diatur
dalam undang-undang desa
memiliki makna yang lebih sempit dibanding dengan
prinsip transparansi. Makna asas
keterbukaan hanya berkaitan dengan keterbukaan informasi tentang penyelenggaraan
pemerintahan desa yang benar, jujur dan tidak diskriminatif.
Transparansi juga berkaitan dengan aspek
kemudahan masyarakat dan stakeholders
dalam mengakses informasi. Kriteria Informasi
yang disediakan demi
mendukung partisipasi
masyarakat, yaitu kemudahan
untuk dapat dipahami,
ketepatan waktu, dan kelengkapan informasi tentang penyelenggaraan
pemerintah desa.
2. Partisipasi
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia No. 37 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa,
partisipasi memakai kata
partisipatif, yaitu
keikutsertaan dan keterlibatan
masyarakat secara aktif
dalam proses pembangunan. Partisipasi menurut LAN
dan BPKP (2000)
adalah setiap warga negara
mempunyai suara dalam
pembuatan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui
intermediasi institusi legitimasi
yang mewakili kepentingannya.
Partisipasi ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta
berpartisipasi secara konstruktif.
Partisipasi masyarakat dapat ditinjau
dari dua aspek. Pertama, partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan
publik. Hal ini
dapat menjadi kekuatan pendorong
untuk mempercepat terpenuhinya
prinsip akuntabilitas dari penyelenggara
pemerintahan di desa.
Kedua, partisipasi masyarakat dalam penganggaran. Partisipasi masyarakat sangat penting untuk
mencegah kebijakan-kebijakan yang menyimpang. Prinsip dan indikator partisipasi
masyarakat menurut Sulistoni (2004: 60)
mencakup hal-hal berikut:
a.
Adanya akses bagi partisipasi aktif
publik dalam proses perumusan program dan pengambilan keputusan anggaran
b.
Adanya
peraturan yang memberikan
tempat ruang kontrol
oleh lembaga independen dan
masyarakat baik secara
perorangan maupun kelembagaan sebagai media check and balances
c.
Adanya
sikap proaktif pemerintah
daerah untuk mendorong partisipasi warga
pada proses penganggaran.
Hal ini mengingat kesenjangan yang tajam antara
kesadaran masyarakat tentang cara berpartisipasi yang
efektif dan cita-cita
mewujudkan APBD yang aspiratif
Dalam Sutopo (2015: 38) menyatakan bahwa
prinsip partisipasi sudah diatur dalam undang undang desa yakni dicantumkan
dengan asas partisipatif yang berarti mengikutsertakan kelembagaan desa dan
unsur masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Makna partisipatif yang dimuat dalam undang
undang desa masih bersifat umum sehingga untuk melihat pengaturan prinsip
partisipasi perlu dilihat pada pasal-pasal yang terkait.
Partisipasi masyarakat
dalam perumusan kebijakan
desa sudah diberi ruang
yang cukup dalam
bentuk voice dan
akses. Masyarakat dari seluruh lapisan
termasuk golongan masyarakat menengah ke bawah dilibatkan dalam perumusan
kebijakan-kebijakan desa yang mempengaruhi tata kelola pemerintahan desa. Namun
menurut peneliti masih
diperlukan
ketentuanketentuan lain yang
mendukung partisipasi masyarakat,
seperti penyediaan waktu yang
optimal dalam musyawarah,
serta adanya upaya pengurangan/pencegahan terjadinya
dominasi oleh elit
atau kelompok tertentu.
Partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan kebijakan sudah diberi ruang melalui pelibatannya dengan semangat gotong
royong. Namun diperlukan ketentuan-ketentuan lain
yang mengarah pada peningkatan
kapasitas dan penguatan modal
sosial masyarakat desa.
Hal ini dilakukan
agar peran masyarakat desa
tidak hanya menjadi
sarana mobilisasi pemerintah
desa dalam mendukung kelancaran dan keberhasilan program pembangunan
desa yang sudah ditetapkan.
Partisipasi masyarakat dalam
pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan desa
sudah diatur melalui
hak untuk melakukan
pemantauan terhadap
pelaksanaan kebijakan desa.
Namun pengawasan yang
dilakukan masyarakat rentan diabaikan
disebabkan karena tidak
adanya wewenang dalam melakukan
evaluasi kinerja pemerintah desa,
baik secara langsung maupun melalui
BPD. Jika didukung
dengan ketentuan yang
mewajibkan masyarakat desa untuk mengevaluasi kinerja maka kontrol yang
dimiliki oleh masyarakat desa akan
lebih efektif dalam mengawasi kinerja
pemerintah desa.
3. Akuntabilitas
Ratnawati (2006:42)
mengemukakan bahwa akuntabilitas
dapat dilihat sebagai faktor pendorong
yang menimbulkan tekanan
kepada aktor-aktor terkait untuk
bertanggung jawab atas pelayanan
publik dan jaminan adanya kinerja
pelayanan publik yang
baik. Akuntabilitas sering
disamakan dengan responsibilitas, pertanggungjawaban, tanggung gugat.
Akuntabilitas merupakan kewajiban
untuk menyajikan dan melaporkan segala kegiatan, terutama dalam bidang administrasi
keuangan kepada pihak yang lebih tinggi. Media pertanggungjawaban akuntabilitas
tidak terbatas pada laporan
pertanggungjawaban, akan tetapi
juga mencakup aspek-aspek kemudahan pemberi
mandat untuk mendapatkan
informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan
maupun tulisan (Sulistiyani, 2005: 32).
Teknis pertanggung jawaban yang dilakukan pemerintah daerah disampaikan
kepada DPRD. Hal ini
sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang
No 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan
Daerah, pertanggungjawaban yang dilakukan adalah sebagai berikut.
a.
Pertanggungjawaban akhir
tahun anggaran, yakni pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD yang didasarkan
pada penilaian program strategis yang dilaksanakan.
b.
Pertanggungjawaban akhir masa jabatan,
yakni pertanggungjawaban pada akhir masa
jabatan seorang kepala
daerah yang menentukan apakah seseorang
dapat dapat dicalonkan
kembali atau tidak sebagai kepala daerah.
c.
Pertanggung jawaban hal tertentu. Hal ini
berkaitan apabila terjadi dugaan pidana
yang dilakukan kepala
daerah sehingga menyebabkan
terkikisnya kepercayaan publik secara luas
Kinerja pemerintah dinilai dengan
parameter dan tolak ukur yang pasti. Hal ini dimaksudkan agar
kesinambungan pembangunan dan
pelayanan publik dapat dikontrol
dengan kriteria yang
terukur. Akuntabilitas dinilai berdasarkan
tiga aspek, ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut
a.
Parameter kinerja. Parameter
kinerja pemerintah harus
dijadikan acuan untuk menilai
apakah suatu program
yang direncanakan berhasil atau
tidak dan upaya
untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan yang telah dilaksanakan
pada periode tersebut.
b.
Tolak ukur yang objektif. Tolak ukur
yang objektif merupakan syarat penting dalam fmenilai keberhasilan suatu
program pemerintah. Hal ini terkait erat
dengan penilaian suatu pertanggungjawaban.
Oleh karena itu, tolak ukur keberhasilan pemerintahan harus
objektif dan jelas
c.
Tata cara yang terukur. Misalnya dalam penilaian laporan
pertanggungjawaban kepala daerah, harus dilakukan dengan metode yang sistematis
dan terukur (Sabarno, 2007: 24).
Sutopo (2015:12) mengemukakan bahwa prinsip akuntabilitas sudah diatur
secara jelas dalam undang-undang desa, dimana secara konseptual pengertian yang dicantumkan dalam
penjelasan undang-undang sudah sesuai dengan konsep akuntabilitas.
Pertanggungjawaban kinerja pemerintahan desa ditujukan kepada masyarakat desa
yang merupakan pemilik sebenarnya dari kekuasaan yang diberikan kepada
pemerintah desa.
Penerapan akuntabilitas pemerintah desa ditemukan lebih condong kearah
pemerintah supra desa dari pada kepada masyarakat desa. Padahal jika mengacu pada
pengertian yang disampaikan pada penjelasan undang undang desa pertanggung
jawaban harusnya lebih kepada masyarakat desa.
Selain itu, tidak ditemukan ketentuan yang mengatur kewajiban Pertanggung
jawaban anggota BPD. Padahal sebagai lembaga
yang dibentuk oleh masyarakat dan menjalankan
kewenangan sebagai wakil
dari masyarakat dengan posisi
yang sangat strategis
dalam tata kelola
desa, seharusnya BPD bertanggung
jawab sepenuhnya kepada
masyarakat yang diwakilinya.
4. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan pemerintah
untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun
agenda dan prioritas
pelayanan, serta mengembangkan
program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa
responsivitas ini mengukur daya tanggap pemerintah terhadap harapan, keinginan
dan aspirasi serta tuntutan publik (Ratminto, 2005: 32).
Dwiyanto (2006: 47) mendefinisikan responsivitas atau daya tanggap
adalah kemampuan organisasi untuk
mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, menyusun prioritas
kebutuhan, dan mengembangkannya dalam
berbagai program pelayanan. Pemerintah harus melakukan upaya untuk
mengenali apa saja kebutuhan masyarakat.
Hal tersebut menjadi agenda penting bagi pemerintah untuk mengembangkan
pemberian layanan, sehingga masyarakat dapat merasa puas.
Sedarmayanti (2004 : 39 ) menambahkan
bahwa salah satu dimensi
untuk menentukan kualitas
pelayanan adalah responsivitas
yang merupakan kesadaran atau
keinginan untuk membantu
konsumen dan memberikan pelayanan
yang cepat.
Sutopo (2015: 22) mengemukakan bahwa prinsip responsivitas tidak diatursecara
eksplisit dalam UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa. Pengaturan prinsip ini
dapat dilihat pada proses penyusunan perencanaan pembangunan desa. Melalui
forum ini pemerintah desa dapat mengidentifkasi permasalahan dan kebutuhan
masyarakat desa. Pelaksaan forum ini
perlu didukung oleh ketentuan dengan
memberikan waktu yang memadai
untuk menggali aspirasi dan
permasalahan masyarakat serta
mencegah dominasi oleh
elit dan kelompok tertentu agar
forum tersebut tidak hanya menjadi formalitas belaka.
Responsivitas BPD sebagai lembaga publik yang mewakili masyarakat desa
sudah diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014. Namun aturan tersebut belum dilengkapi
dengan mekanisme seperti apa yang bisa digunakan anggota BPD untuk dapat
mengidentfikasi kebutuhan dan
permasalahan yang dihadapi masyarakat desa.Responsivitas dijabarkan
menjadi beberapa indikator.
Implementasi responsivitas dikatakan terwujud jika memenuhi indikator
sebagai berikut.
1.
Merespon setiap usulan/keluhan yang
disampaikan oleh masyarakat.
2.
Petugas/aparatur melakukan pelayanan dengan
cepat. Pelayanan dengan cepat ini
berkaitan dengan kesigapan dan ketulusan penyedia layanan dalam menjawab
pertanyaan dan memenuhi permintaan.
3.
Petugas/aparatur melakukan
pelayanan dengan tepat,
yaitu tidak terjadi kesalahan dalam
melayani, artinya pelayanan
yang diberikan sesuai dengan keinginan masyarakat sehingga
tidak ada yang merasa dirugikan atas
pelayanan yang didapatnya.
4.
Petugas/aparatur melakukan pelayanan dengan
waktu yang tepat. Waktu yang tepat
berarti pelaksanaan pelayanan
kepada masyarakat dapatdiselesaikan dalam
waktu yang telah
ditentukan sehingga dapat memberikan kepastian pelayanan kepada
masyarakat (Zeithaml, 1990:25)
Pilar-pilar Good Governance pada Pemerintahan Desa
Pilar-pilar good governance
pada pemerintahan desa
merupakan penopang dan relasi
pemerintah desa untuk
mendukung pelaksanaan pemerintahan
yang baik. Pilar-pilar tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Pemerintah desa, pelaksananya adalah
kepala desa dan perangkatnya
2.
Masyarakat politik,
pelaksananya adalah Badan
Permusyawaratan Desa
(BPD)
3.
Masyarakat Sipil, pelaksananya adalah
institusi sosial, organisasi sosial dan warga masyarakat
4.
Masyarakat ekonomi
pelaksananya adalah personal
atau organisasi ekonomi
(Dwipayana, 2003: 9)
Pilar-pilar good governance pada
pemerintahan desa dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
1.
Elemen Governance yaitu negara,
masyarakat politik, masyarakat sipil, masyarakat ekonomi
2.
Actor adalah Kepala Desa dan Perangkatnya, Badan Permusyawaratan Desa
(BPD), intitusi sosial, warga masyarakat, pelaku dan organisasi ekonomui
3.
Area adalah control pada masyarakat
pengelolaan kebijakan keuangan dan pelayanan, perwakilan, sosialisasi, control,
keswasembadaan, kerjasama, gotong royong, jaringan sosial, produksi dan
distribusi.
4.
Isu
Rasional akuntabiltas,
transparansi, responsivitas, akuntabilitas dan responsivitas, partisipasi,
akses kebijakan akuntabilitas sosial Dwipayana
(2003:47)
2.1.5 Reformasi Birokrasi Pada
Pemerintahan Desa
Desa berasal dari bahasa Sansekerta, deca
yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Desa
atau village diartikan sebagai
“a
groups of hauses or
shops in a
country area, smaller
than a town”
jika ditinjau dari perspektif geografis. (Putriyanti 2012: 13). Selanjutnya Desa menurut UU No. 6 Tahun 2014
bahwa :“Desa adalah
desa dan desa
adat atau yang
disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut desa,
adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan/atau
hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.
Desa tumbuh dan
berkembang jauh mendahului
negara modern yang sekarang
ini dikenal dengan
Negara Republik Indonesia.
Desa didudukkan sebagai organ negara dalam tataran paling bawah. Selain
itu, dalam cara kerja birokrasi pemerintahan yang sangat hirarki selama ini,
desa berperan tidak lebih dari sekedar kaki tangan pemerintah.
Desa memiliki dua wajah. Pertama, desa adalah suatu institusi kemasyarakatan
yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat. Melalui desa ini
masyarakat setempat mengatur dan mengurus dirinya sendiri, termasuk melakukan
pengelolaan konflik dan mengembangkan kemaslahatan bersama. Kedua, desa didefinisikan sebagai suatu
masyarakat hukum ataupun entitas sosial politikyang
bukan hanya berhak
namun juga mampu
mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingannya
sendiri (Karim, 2003: 13).
Desa selama ini masih ditempatkan
sebagai objek atau sasaran pembangunan karena kewenangan yang serba terbatas.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, maka unit
pelaksana program dan pembangunan daerah
adalah pemerintah kabupaten/kota. Desa hanya merupakan unit pendukung
pemerintahan daerah guna menyukseskan otonomi daerah. Hal ini juga terlihat
dari ketentuan PP No. 72 Tahun 2005
tentang Desa yang menyatakan bahwa
perencanaan pembangunan desa
merupakan satu kesatuan dengan
sistem perencanaan pembangunan kabupaten/kota.
Perubahan yang
signifikan terjadi pada
18 Desember 2013
dengan ditetapkannya RUU Desa oleh DPR RI menjadi Undang-undang. Undang-undang
tersebut secara resmi diterbitkan pemerintah menjadi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 4 ayat (b) menjelaskan bahwa pengaturan desa
bertujuan untuk memberikan kejelasan
status dan kepastian
hukum atas desa
dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia demi mewujudkan
keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Pasal 4
ayat (i) dijelaskan
pula bahwa UU
Desa bertujuan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Pemerintahan desa
dapat didefinisikan dengan
membedakan terlebih dahulu istilah
pemerintah dan pemerintahan.
Pemerintah adalah perangkat (organ) negara yang menyelenggarakan
pemerintahan sedangkan pemerintahan adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh
perangkat negara, yaitu pemerintah. Dengan demikian, pemerintahan desa dapat
diartikan sebagai kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
yang dilaksanakan oleh perangkat atau organisasi pemerintahan, yaitu pemerintah
desa (Pambudi, 2001:24).
Surasih
(2002: 12) menyebutkan bahwa pemerintah desa merupakan bagian dari
pemerintah nasional yang penyelenggaraannya ditujukan kepada desa. Pemerintahan
desa adalah suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutan
dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat.
Undang Undang No. 6
Tahun 2014 tentang
Desa pasal 23
menegaskan bahwa
pemerintahan desa diselenggarakan oleh
pemerintah desa. Pasal 1 ayat
3 dirumuskan bahwa pemerintah
desa adalah kepala
desa atau yang
disebut
dengan nama
lain dibantu perangkat
desa sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan
desa. Pemerintah desa merupakan
organisasi penyelenggara pemerintahan desa yang terdiri atas sebagai berikut.
1. Unsur pimpinan, yaitu kepala desa
2. Unsur pembantu kepala desa (perangkat desa),
yang terdiri atas:
a. Sekretariat desa
b. Pelaksana kewilayahan
c. Pelaksana teknis.
Proses penyelenggaraan pemerintahan desa
salah satunya terkait penyusunan perencanaan pembangunan desa. Pasal 79 mengemukakan bahwa pemerintah desa
menyusun perencanaan pembangunan desa
sesuai dengan kewenangannya dengan
mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Perencanaan Pembangunan disusun secara
berjangka, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes)
untuk jangka waktu 6
tahun dan Rencana
Pembangunan Tahunan Desa
atau yang disebut Rencana Kerja
Pemerintah Desa (RKPDes)
merupakan penjabaran dari RPJMDes
untuk jangka waktu
1 tahun. RPJMDes dan RKPDes ditetapkan dengan
Peraturan Desa (Perdes).
RPJMDes
dan RKPDes merupakan
pedoman dalam penyusunan APBDes yang
diatur dalam Peraturan
Desa. Program pemerintah
dan/atau pemerintah daerah yang
berskala lokal desa
dikoordinasikan dan/atau
didelegasikan pelaksanaannya kepada desa. Perencanaan pembangunan desa ini
merupakan salah satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan
kabupaten/kota.
Sumber Referensi
Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional. (2003). Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi &
Partisipasi. Jakarta: BAPPENAS
Basri, Hasan.
(2015). Korupsi Dana Desa, Kades Di
Tahun Penjara
Yogyakarta: Sinar Cahaya
Dwipayana,
Aang Ari, dkk. (2003) Membangun
Good Governance di Desa Yogyakarta: IRE
Dwiyanto Indiahono (2009) Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy
Analysis. Yogyakarta: Gava Media.
Dwiyanto,
Agus. (2006). Mewujudkan Good Governance
Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Edwards, G. C. III (1980) Implementing Public Policy.Congressional
Washington: Quarterly Press.
Hardiyansyah.
(2011). Kualitas Pelayanan Publik: Konsep,
Dimensi, Indikator dan Implementasinya. Yogyakarta: Gaya Media.
Krina, Loina Lalolo.
(2003). Indikator
dan Alat Ukur Prinsip Transparasi, Partisipasi dan Akuntabilitas. Jakarta:
BAPPENAS
Islamy, M.I (2002) Prinsip-prinsip
Perumusan Kebijakan Negara.-Ed.2, Cet.11. Jakarta: Bumi Aksara.
Karim,
Abdul Gaffar. (2003).
Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Krina, Loina Lalolo. (2003). Indikator dan Alat Ukur Prinsip Transparasi, Partisipasi dan
Akuntabilitas. Jakarta : BAPPENAS
Lembaga
Administrasi Negara dan
Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan. (2000).
Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta
: LAN
Santosa, Pandji (2008) Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governace.-Cet.1.
Bandung: Rei ka Aditama
H. Abdul Latief,
(2005). Hukum Dan Peraturan Kebijakan
(Beleideregeles) Pada Pemerintahan Daerah. Yogyakarta: UII Press
Lexi J Moeleong, (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda Karya
Megantara Andie dkk
(2006) Manajemen
Perbendaharaan Pemerintahan Aplikasi Di Indonesia,
Lembaga Pengkajian keuangan
Publik dan Akuntansi Pemerintah Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan Departemen Keuangan RI, Jakarta.
Mardiasmo, (2002) Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah,
Penerbit Andi, Yogyakarta
Nasution, Abdul Haris. 2010.
Partisipasi Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Prasarana
Transportasi Darat. Skripsi.
Medan : Departemen Sosiologi Fakultas
Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik Universitas Sumatra Utara.
Pambudi, Himawan. (2001). Politik Pemberdayaan, Jalan Mewujudkan
Otonomi Desa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
2005. Jakarta: Sekertaris Negara Republik
Indonesia.
Putriyanti, Aprisiami. (2012).
Penerapan Otonomi Desa dalam Menguatkan Akuntabilitas Pemerintahan
Desa dan Pemberdayaan Masyarakat
di Desa Aglik, Kecamatan
Grabag, Kabupaten Purworejo. Skripsi.
Yogyakarta: Pendidikan Kewarganegaraan
Dan Hukum Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Sedarmayanti,
(2003) Reformasi Administrasi Publik
Reformasi Birokrasi Dan Kepemimpinan Masa Depan Bandung: Refika Aditama
Philipus. M.
Pudjon, (1997). Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia. Jogyakarta: Gadjahmada University Press
Sulistiyani, Ambar Teguh. (2005). Memahami Good Governance Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Gaya Media
Surasih,
Maria Eni (2006) Pemerintah Desa dan
Implementasinya
Jakarta: Erlangga
Sutopo,
Wawan. (2015). Mewujudkan Good
Village Governance (Analisis
Isi Prinsip-Prinsip:
Transparansi, Responsivitas, Akuntabilitas, dan Partisipasi Masyarakat
dalam Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 Tentang Desa). Tesis. Yogyakarta :
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
Gadjah Mada.
Tadikapury, Violetta
Jingga. 2011. Penerapan
Good Corporate Governance (GCG) pada
Pt Bank X
Tbk Kanwil X.
Skripsi. Makassar :
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin