UJIAN AKHIR SEMISTER (UAS) MATA KULIAH PENUNJANG TESIS (MKPT II) Landasan Teori Penelitian Tesis

LANDASAN TEORI TESIS
Kedudukan Qanun Aceh Dalam Hierarki Tata Hukum Indonesia dan Meknaisme pengawasannya Oleh Pemerintah
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jenis nilai nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekotruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.[1] Adapun teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:
Teori Hierarki Norma Hukum (Stufen Theorie) Menurut Hans Kelsen[2]Dalam kaitannya dengan hierarki Norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teori mengenai jenjang Norma hukum (Stufentheori). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu Norma yang lebih tinggi, Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu Norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma dari norma lainnya digambarkan  sebagai  hubungan  ‘superordinasi’,  kesatuan  norma-norma  ini  ditunjukkan  oleh  fakta  bahwa pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh  norma  lain yang  lebih tinggi,  dan bahwa regressus ini diakhiri oleh suatu norma dasar, oleh karena menjadi dasar tertinggi validitas keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum”.

Norma dasar yang merupakan Norma tertinggi dalam suatu sistem Norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu Norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan Presupposed.
Teori jenjang Norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu Norma hukum itu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz). Untuk itu, dalam mengkajih kedudukan hierarki Qanun Aceh dalam perundang-undangan hukum Indonesia dalam tesis penulis menggunakan teori Hans Kelsen ini[3] Dalam pembentukannya sendiri karena suatu Norma hukum menentukan mekanismeNorma hukum yang lain.
Karena hukum yang satu valid lantaran dibuat dengan mekanisme yang ditentukan oleh suatu Norma hukum yang lain ini menjadi landasan validitas dari Norma hukum yang disebut pertama. Hubungan antara Norma yang mengatur pembentukan Norma lain dengan Norma yang lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan antara superordinasi dan subordinasi yang merupakan kiasan keruangan. Norma yang menentukan Norma lain adalah Norma yang lebih tinggi, sedangkan Norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah Norma yang lebih rendah.
Tatanan hukum terutama tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk negara, bukanlah sistem Norma yang satu dengan yang lain harus dikoordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat, melaikan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kesatuan Norma yang satu, yakni Norma yang lebih rendah ditentukan oleh Norma yang lebih tinggi, yang ditentukan oleh Norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regresus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu Norma dasar yang tertinggi, yang karena menjadi dasar tertinggi lagi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum ini.
Esensi teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen diatas terkait hirarki peraturan perundang-undangan yang dibuat, meliputi peraturan perundang undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi; dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi lagi dalam hal ini undang-undangan dasar (konstitusi).
Bisa dicontohkan seperti pembuatan perda atau qanun untuk provinsi Aceh. Rancangan atau rumusan Qanun yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undangan Nomor 11 Tahun 2006 tantang Pemerintahan Aceh. Apabila Qanun bertentangan dengan Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Perturan Perundang-Undangan di Indonesia atau UUPA No 11 Tahun 2006 Tentang landasan pembentukan Qanun Aceh. Maka qanun itu harus di evaluasi atau dibatalkan.
Begitu juga halnya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tantang Pemerintah Aceh tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Apabila hal itu bertentangan maka undang-undangan ini harus dibatalkan. Untuk menguji, apakah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD 1945 maka harus di uji melalui lembaga Mahkamah Agung (MA) bahkan bisa Mahkamah Kontitusi (MK) jika bertentang dengan UUD 1945.
Teori Herarki Norma Hukum Negara (Die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen)  Menurut Teori Hans Nawiasky.[4]Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang Norma dalam kaitannya dengan suatu Negara. Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul ‘Allgemeine Rechtslehre’ mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen, maka suatu Norma hukum dari Negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. 
Selain Norma hukum itu berlapis-lapis, berjenjang-jenjang, juga berkelompok-kelompok. Kelompok-kelompok Norma hukum dalam suatu negara terdiri atas empat kelompok besar, yang meliputi[5]:
Kelompok I
Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara)
Kelompok II
Staatsgrundgesezt (aturan dasar negara)
Kelompok III:
Formel Gesezt (undang-undang formal);
Kelopok IV
Verordnung dan autonome satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).
Struktur Norma Hukum Negara (Norm Struktur dan Institutional Struktur)   Menurut Teori Benyamin Akzin[6]Dalam  membahas  masalah  struktur  norma  dan  struktur  lembaga  terdapat  teori  yang dikemukakan oleh Benyamin Akzin yang ditulis dalam bukunya yang diberi judul  ‘law, state, and International Legal Order’. Benyamin Akzin mengemukakan bahwa pembentukan norma-norma hukum publik itu berbeda dengan pembentukan norma-norma hukum privat.
Apabila dilihat pada struktur norma (Norm Struktur), hukum  publik   itu  berada  diatas  hukum  privat,  sedangkan  apabila  dilihat  dari  struktur  lembaga (Institusional Struktur) maka lembaga-lembaga negara (Public Authorities) terletak diatas masyarakat (Population).
Dalam hal pembentukannya, norma-norma hukum Publik itu dibentuk oleh lembaga-lembaga Negara (Penguasa Negara, wakil-wakil rakyat) atau disebut juga supra struktur, sehingga dalam hal ini terlihat  jelas  bahwa  norma-norma  hukum  yang  diciptakan  oleh  lembaga-lembaga  Negara  ini mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada norma hukum yang dibentuk omasyarakat atau disebut juga infra struktur.
Oleh karena Norma hukum publik itu dibentuk oleh lembaga-lembaga Negara, maka sebenarnya dalam pembentukannya harus dilakukan secara lebih berhati-hati, sebab norma-norma hukum public ini harus dapat memenuhi kehendak serta keinginan masyarakat, jadi berbeda dengan pembentukan norma-norma hukum privat.
Norma-norma dalam hukum  Privat  itu  biasanya  selalu  sesuai  dengan  kehendak/keinginan masyarakat  oleh  karena  hukum  privat  ini  dibentuk  oleh  masyarakat  yang  bersangkutan  dengan perjanjian atau transaksi yang bersifat perdata, sehingga masyarakat dapat merasakan sendiri apakah  norma hukum yang terdapat dalam perjanjian atau transaksi tersebut sesuai dengan kehendak dan keinginan masyarakat.
Teori Negara Hukum dan Asas-Asas Hukum di Indonesia
Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam negara hukum, kekuasaan negara dilaksanakan menurut prinsip dasar keadilan sehingga terikat secara konstitusional pada konstitusi. Hukum menjadi batas, penentu, dasar dan tindakan pemerintah serta segala instansi dalam mencampuri hak dan kebebasan warganegara. Atas dasar hukum pula negara hukum menyelenggarakan di tujuan negara. Jadi tidak masuk akal jika negara hukum diwujudkan dengan melawan hukum.[7]
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim dalam bukunya yang berjudul "Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia"[8] menyebutkan bahwa unsur-unsur Negara hukum dapat dilihat pada Negara hukum dalam arti sempit maupun formal. Dalam arti sempit, pada negara hukum hanya dikenal 2 (dua) unsur penting, yaitu: Perlindungan terhadap hak asasi manusia dan Pemisahan/pembagian kekuasaan. Sedangkan negara hukum dalam arti formal, unsur-unsurnya lebih banyak, yaitu mencakup antara lain: Perlindungan terhadap hak asasi manusia, pembagian/pemisahan kekuasaan, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundangundangan, serta Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiriKonsep tentang negara hukum, menurut Titik Triwulan dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Tata Negara disebutkan minimal ada dua prinsip dasar yaitu: Adanya paham konstitusi, dan sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat.[9]
Seperti kita ketahui juga, dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada Perubahan Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.[10]
Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai ‘the guardian’ dan sekaligus ‘the ultimate interpreter of the constitution’.
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi”yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”[11] jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Era modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:Perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan,pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:Supremacy of Law, Equality before the law, Due Process of Law.Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah:Negara harus tunduk pada hukum, Pemerintah menghormati hak-hak individu, Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Professor Utrecht membedakan antara Negara Hukum Formil atau Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiel atau Negara Hukum Modern.[12]Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti materiel yaitu ‘the rule of just law’.
Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif.
Karena itu, di samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang Negara Hukum di zaman sekarang.[13]
Menurut Arief Sidharta[14]Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal sebagai berikut:Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity), dan berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat.
Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat  bersifat ‘predictable’.Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan asas kepastian hukum itu adalah: Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan; Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-undang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak;Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan manusiawi;Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas; Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-undang atau UUD.
Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law)Dalam Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan. Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu:Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara berkala;Pemerintah bertanggungjawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh badan perwakilan rakyat;Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah;Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua pihak; Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat; Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif.
Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai berikut:Asas-asas umum peerintahan yang layak;Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan, khususnya dalam konstitusi;Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki tujuan yangn jelas dan berhasil guna (doelmatig). Artinya, pemerintahan itu harus diselenggarakan secara efektif dan efisien.
Muhammad Tahir Azhary,[15]dengan mengambil inspirasi dari sistem hukum Islam, mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu mengandung 9 (sembilan) prinsip, yaitu:Prinsip kekuasaan sebagai amanah;Prinsip musyawarah;Prinsip keadilan;Prinsip persamaan;Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;Prinsip peradilan yang bebas;Prinsip perdamaian;Prinsip kesejahteraan;Prinsip ketaatan rakyat.
Brian Tamanaha (2004), seperti dikutip oleh Marjanne Termoshuizen-Artz dalam Jurnal Hukum Jentera[16], membagi konsep ‘rule of law’ dalam dua kategori, “formal and substantive”. Setiap kategori, yaitu “rule of law” dalam arti formal dan “rule of law” dalam arti substantif, masing-masing mempunyai tiga bentuk, sehingga konsep Negara Hukum atau “Rule of Law” itu sendiri menurutnya mempunyai 6 bentuk sebagai berikut:
Pertama Rule by Law (bukan rule of law), dimana hukum hanya difungsikan sebagai “instrument of government action”. Hukum hanya dipahami dan difungsikan sebagai alat kekuasaan belaka, tetapi derajat kepastian dan prediktabilitasnya sangat tinggi,serta sangat disukai oleh para penguasa sendiri, baik yang menguasai modal maupun yang menguasai proses-proses pengambilan keputusan politik.
Kedua Formal Legality, yang mencakup ciri-ciri yang bersifat (i) prinsip prospektivitas (rule written in advance) dan tidak boleh bersifat retroaktif, (ii) bersifat umum dalam arti berlaku untuk semua orang, (iii) jelas (clear), (iv) public, dan (v) relative stabil. Artinya, dalam bentuk yang ‘formal legality’ itu, diidealkan bahwa prediktabilitas hukum sangat diutamakan.
Ketiga Democracy and Legality. Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum yang menjamin kepastian. Tetapi, menurut Brian Tamanaha, sebagai “a procedural mode of legitimation” demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang serupa dengan “formal legality[17]. Seperti dalam “formal legality”, rezim demokrasi juga  dapat menghasilkan hukum yang buruk dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu sistem demokrasi yang berdasar atas hukum dalam arti formal atau rule of law dalam arti formal sekali pun, tetap dapat juga timbul ketidakpastian hukum. Jika nilai kepastian dan prediktabilitas itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu dapat saja dianggap menjadi lebih buruk daripada rezmi otoriter yang lebih menjamin stabilitas dan kepastian. Keempat Substantive Views” yang menjamin “Individual Rights”. Kelima Rights of Dignity and/or Justice, dan Keenam Social Welfare, substantive equality, welfare, preservation of community.
















DAFTAR PUSTAKA
A. Hasjmy, (1985) “Semangat Merdeka, Jakarta: Bulan Bintang
A.Hamid Tamimi (1999), Cita Hukum dan Cita Negara dalam mimbar hukum, Jakarta: Yayasan Al Hikmah
BagirManan (1994), Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta:  Pustaka SinarHarapan
Farida Maria Indarati (2007) Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Konisius
Hans Kelsen, (2010) General Theory of Law and State (Teori umum tentang Hukum dan Negara) diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media
Jimly Asshiddiqie .(2006) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. JILID I Jakarta Pusat. KonstitusiPress.
JimlyAsshiddiqi. (2002), Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta, PusatStudi Hukum Tata Negara, FH UI
Jimly Asshiddiqqi dan M.Ali Safaat (2012), Teori Hans KelsenTentang Hukum, Jakarta Konpress
Jimly Assiddiqqie, (2006)Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press
SoewotoMulyosudarmo.(2004) Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui PerubahanKonstitusi. Malang: Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In-Trans media
Salam HS dan Erlies (2013), Penerapan teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada
Wilfred Cantwell Smith, (1959) “Islam In Modern History, The New American Library of World Literature, Inc., New York .



[1]Sacipto Rahardjo (1991) “Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya, hal 254
[2]Hans kelsen, General Theory of Law and State (Teori umum tentang Hukum dan Negara) diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm.179.
[3]Hans kelsen, General Theory of Law and State (Teori umum tentang Hukum dan Negara) diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm.179.
[4] Maria Farida Indrawati S, (2007)“Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,” Yogyakarta: Konisius, hal. 44-45
[5] Ibid. Hal. 44-49
[6] Teori Benyamin Akzin yang ditulis dalam bukunya yang diberi judul  ‘law, state, andInternational Legal Order’ Dalam Skripsi Jumadi Arahab Posisi, (2009) Qanun Nangroe Aceh Darussalam Dalam Hierarki Tata Hukum Indonesia, Malang: Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim. Hal 81.
[7] Budiyanto, (2000)Dasar-dasar Ilmu Tata Negara,”Jakarta: Erlangga. hal. 55
[8] Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, (1983) Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,Jakarta:Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal 156
[9] Titik Triwulan Tutik (2006), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara,”Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, hal. 120
[10] Jimly Asshiddiqie, Konsep negara Hukum Indonesia Makalah disampaikan pada Ceramah Umum dalam rangka Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas Jayabaya, di Jakarta, Sabtu, 23 Januari 2010. Hal 6.
[11] Lihat Plato: The Laws, Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi kata pengantar oleh Trevor J. Saunders.

[12] Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 9.
[13] Jimly Asshiddiqie(2010) “Negara Hukum Indonesia”Pendiri dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2003-2008) dan Ketua Dewan Pembina Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI), Ketua Dewan Penasihat ICMI, Penasihat KOMNASHAM, dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. Makalah disampaaikan pada Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas Jayabaya, di Jakarta, Sabtu, 23 Januari 2010. Diakses di website www.jimly.com
[14] B. Arief Sidharta, (2004) “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta,  edisi 3 Tahun II, November, hal.124-125.
[15] Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal. 64 dst.
[16] Brian Tamanaha (Cambridge University Press, 2004), lihat Marjanne Termoshuizen-Artz, “The Concept of Rule of Law”, Jurnal Hukum Jentera, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Jakarta, edisi 3-Tahun II, November 2004, hal. 83-92.
[17]Ibid hal. 86.