Judul Tesis
“Kedudukan Qanun Aceh
Dalam Hierarki Perundang-Undangan
Tata Hukum Indonesia
dan Mekanisme Pengawasannya Oleh Pemerintah”
Permasalahan yang penulis
angkat dalam judul tesis “Kedudukan Qanun Aceh Dalam hierarki Perundang-Undangan
Tata Hukum Indonesia dan Meknaisme Pengawasannya Oleh pemerintah” ini memang
tergolong masih termasuk hal yang baru, namun dalam penulisan ini penulis
merasa ada kesamaan wilayah penelitian terutama menyangkut dengan penelitian
yang mengunakan pendekataan perundang-undangan (statute approach) yang sebelumnya telah dilakukan penelitian baik
dalam bentuk penelitian disertasi, maupun tesis, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1.1. Judul Penelitian Disertasi Alwi “Legislasi dan
Masalah di Indonesia (Studi Implementasi Perda Bernuansa Syari’ah)
Dalam penelitian
disertasinya Alwi[1] dengan judul “Legislasi dan Masalah di Indonesia (Studi
Implementasi Perda Bernuansa Syari’ah), Program Pascasarjana Insitut
Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Tahun 2011, sekarang UIN Sunan Ampel
Surabaya. Adapun masalah yang diangkat dalam penelitiannya meliput,
a) Mengungkap dan menganalisis substansi dan jenis kewenangan dalam
perumusan peraturan daerah sesuai kondisi budaya dan konfigurasi politik,
sebgai upaya merealisasikan kemaslahatan manusia,
b) Mengetahui dan menganalisis
cerminan kearifan lokal demi kepentingan masyarakat, terutama yang terkait
dengan pengaplikasian maslahah sesuai
maqaid al shari’ah; dan memperoleh
gambaran keberhasilan political will
pemerintah daerah serta dampak penerapannya dalam perkembangan kehidupan
masyarakat.
Adapun hasil penelitian yang
dialkukan oleh Alwi adalah berikut ini: Pertama: Konfigurasi politik pada
masing-masing daerah sangat menentukan perumusan kebijakan publik yang
mencerminkan kebijakan lokal sesuai kondisi sosial budaya masyarakatnya sebagai
upaya merealisasikan kemaslahatan, dan sekaligus memelihara nilai-nilai lokal
guna membangun harmoni sosial, yang dalam konsepsi keilmuan Islam dikenal
dengan Istilah maslahah daruri, demi
tetap tegaknya kepentingan bersama (umat).
Kedua aktualisasi
aturan-aturan bernuansa syari’ah yang dikemas dalam peraturan daerah
benar-benar merealisasikan lima hal pokok (maslahah
daruri), yang dapat ditempuh dalam cara, yakni pertama, dilakukan dengan
cara aktif (melalui sebuah regulasi yang
subtansi muatan isinya mengarah pada dilaksanakannya sesuatu tindakan/kegiatan,
yang dalam kajian ilmu keislaman dikenal dengan menggunakan metode maslahah al-Mursalah, dan kedua
dilakukan dengan cara melalui sebuah regulasi yang substansi muatan isinya
mengarah pada pelarangan atau pembatasan sesuatu tindakan yang di dalam kajian
ilmu keislaman dikenal dengan menggunakan metode sad al-Dhari’ah.
Sesuai hasil kajian dalalam
penulisan ini yang membatasi pada pengungkapan nilai-nilai maslahah (manfaat)
atas keberadaan perda tentang minuman beralkohol pada beberapa kebupaten/kota
di Jawa Timur, sekalipun dirasakan berbagai manfaatnya oleh sebagian besar
masyarakat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan mereka, namun terkesan kental
muatan politis, lebih menonjolkan symbol-simbol sosial dan hanya memenuhi
keinginan segelintir elit lokal. Hal ini terlihat dari kurangnya perhatian
pemerintah kabuapaten/kota untuk mengoptimalkan keberadaan Perda tersebut,
terbukti dengan tidak dilengkapinya berbagai instrument yang diperlukan guna
mengimpelementasikan sebuah perda, utamaya perda inisiatif.[2]
Fokus penelitian disertasi
Alwi tersebut terkait pada penyusunan Peraturan daerah (Perda) yang bernuansa
Syaria’ah. Dari hasil penelitian Alwi menyipulkan bahwa kurangnya perhatian
pemerintah kabupaten/kota untuk mengoptimalkan keberadaan Perda tentang minuman
beralkohol pada beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur hal ini terbukti dengan
tidak dilengkapinya berbagai instrument yang diperlukan guna
mengimpelementasikan sebuah Perda, utamanya Perda inisiatif.
1.2. Penelitian disertasi Lukman Fadlun dengan
judul: “Pembatalan Peraturan Daerah Dan Implikasinya Terhadap Prakarsa Aspirasi
Masyarakat” [3]
Penelitian disertasi Lukman
Fadlun dengan judul: “Pembatalan
Peraturan Daerah Dan Implikasinya
Terhadap Prakarsa Aspirasi Masyarakat” [4], disertasi program doktor
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Tahun 2012. Adapun perumusan
masalahanya meliputi:
a) Bagaimana pembatalan Perda oleh pemerintah baik menyangkut soal
factor-faktor penyebab, mekanisme meupun bentuk pembatalannya.
b) Bagimana implikasi pembatalan peraturan daerah terhadap prakarsa dan
aspirasi masyarakat.
Penlitian ini merupkan
penelitian hukum normative yang mengkaji bahan-bahan hukum primer, sekunder dan
tersier, penggunakan yang digunakan meliputi: Pendekatan perundang-undangan (Statute approach), pendekatan konseptual
(Conceptual approach), pendekatan filsafat
(Philoshophical approach). Teknik
pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara studi dokumenter. Pengolahan
bahan melalui penalaran hukum (legal
reasoning) yang logis, sistemik dan runut. Alat analisis yang dipergunakan
adalah interpretasi hukum, yakni interpretasi sistematis dan gramatikal. Adapun
hasil penelitian Lukman Fadlun adalah:
Pertama: Sejak otonomi
daerah dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999, terlihat kecenderungan
kuatnya arus desentralisasi dimana pemda berdasarkan prakarsa dan aspirasinya
membuat banyak Perda. Dengan berlakunya
UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah terlihat kuatnya
kembali sentralisasi (resentralisasi),
mengakibatkan banyak Perda yang dibatalkan oleh pusat.
Mengenai faktor-faktor
penyebab Perda dibatalakan pada intinya bermuara secara normatif dianggap
bertentangan dengan kepentingan umum dan Pasal 136 dan Pasal 145 UU Nomor 32
Tahun 2004, sebagai tolak ukur yang digunakan pemerintah dalam pembatalan Perda
di maksud, namun adanya dualisme pemahaman tentang kepentingan umum dan
perundang-undangan yang lebih tinggi pembatalan Perda yang dilakukan pemerintah
tidak sesuai dan tidak menaati ketentuan Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004.
Pembatalan Perda seharusnya dengan Peraturan Presiden dalam praktik dengan
Keputusan Menteri Dalam Negeri. Selain itu, batas waktu pembatalan yang
dilakukan oleh pemerintah telah melampau batas waktu yaitu lebih dari pada 60
hari.
Kedua: Implikasi pembatalan
Perda terhadap perakarsa dan aspirasi masyarakat, terlihat kecendurungan
ketergantungan pemerintah daerah terhadap permerintah pusat dan kuatnya kontrol
pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah melalui pengawasan represif dalam
bentuk pembatalan Perda, membawa impikasi yang sangat luas terhadap
pengembangan dan pelaksanaan otonomi daerah.
Pemerintah daerah hamper
tidak memilikki peluang melakukan kreativitas dan terebosan-terobosan baru
dalam kebijakan pembangunan yang disesuaikan dengan kondisi nyata,
karakteristik, serta hal-hal yang bersifat spesifik lokal. Pada akhirnya dapat
mengaburkan makna dan tujuan otonomi daerah itu sendiri.
Tidak adaanya peluang atau
kesempatan peran serta masyarakat melakukan pengaturan untuk urusan rumah
tangganya sendiri lewat prakarsa dan aspirasinya, serta kecenderungan tidak
diberikan kemandirian dalam menata dan membangun daeranya.
Pembatalan Perda
intensitasnya semakin tinggi, tanpa ukuran nilai keadilan sosial, pada
masyarakat di daerah, maka akan mereduksi demokrasi pada tingkat lokal, dan
mamatikan kreativitas serta kemandirian masyarakat di daerah, karena itu
ketergantungan yang terlalu besar terhadap pemerintah pusat mengakibatkan
semakin berkurangnya kemandirian pemerintah daerah dalam melaksanakan
desentralisasi pembangunan di daerah yang pada akhirnya dapat menghambat cita-cita
otonomi daerah.
Seharusnya peran serta
masyarakat lewat perakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah otonom harus
ditumbuh kembangkan sebagai perwujutan otonomi yang seluas-luasnya bukankah
esensi otonomi daerah adalah untuk mensejahterakan masyarakat itu sendiri lewat
peran serta berupa prakarsa dan aspirasi dalam pembuatan Perda, yang pada
gilirannya juga berimplikasi pada keuangan di daerah. Impikasi terhadap
dinamika dinamika sosial dan politik di daerah, implikasi terhadap hubungan
pusat daerah dan implikasi hukum terhadap pembatalan Perda itu sendiri.
Sedangkan fokus penelitian
disertasi yang dilakukan Lukman Fadlun adalah faktor penyebab pembatalan
peraturan daerah oleh pemerintah pusat; faktor penyebab pembatalan Perda oleh
pemerintah Pusat tersebut adalah: a). Bertentangan dengan kepentingan umum; dan
b). Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.c).
Adapun mekanisme dan bentuk hukum pembatalan Perda yang dilakukan pemerintah
tidak sesuai dan tidak menaati ketentuan Pasal 145 UU Nomor 32 tahun 2004.
Pembatalan Perda seharusnya dengan peraturan Presiden dalam praktik dengan
keputusan Menteri dalam negeri. Selain itu batas waktu pembatalan, yaitu lebih
dari pada 60 hari.
1.3. Penelitian disertasi Saldi Isra dengan judul “Pergeseran Fungsi
Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945”,[5]
Saldi Isra lewat penelitian
disertasinya dengan judul “Pergeseran Fungsi
Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945”,[6] disertasi Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gatjah Mada, Yogyakarta, 2009 yang
menerapkan teori legislasi dalam penelitianya. Adapun masalah yang dikaji oleh
Saldi Isra, yang meliputi: a). Bagaimana pelaksanaan fungsi legislasi dalam
sistem pemerintahan Indonesia sebelum perubahan UUD 1945.b).Bagaimana gagasan
pergeseran fungsi legislasi dalam perubahan UUD 1945. c).Bagaimana hasil
perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 jika diletakkan dalam
pemurnian atau purifikasi sistem pemerintahan presidensial.d). Faktor-faktor
apakah yang mempengaruhi fungsi legislasi setelah perubahan UUD 1945.
Metode penelitian yang digunakan Saldi Isra
menggunakan bahan hukum berupa keputusan atau aturan hukum dan tulisan-tulisan
tentang fungsi legislasi, baik sebelum perubahan amuapun sesudah perunbahan UUD
1945. Sebagai sebuah penelitian hukum (legal
researce), bahan hukum hukum tersebut diolah dengan mengguunakan pendekatan
statute approach, conceptual approach, comparative approach, dan historical approach.
Hasil penelitian Saldi Isra menunjukan bahwa: Gagasan
mempertahankan sistem pemerintahan presidensial dengan melakukan pemurnian
sistem pemerintahan presidensial melalui perubahan UUD 1945 memang terjadi
untuk karakter-karakter umum yang terdapat dalam sistem pemerintahan
presidensial. Nmun, setelah perubahan UUD 1945 tidak terjadi pemurnian fungsi
legislasi dalam sistem pemerintahan Indonesia. Fungsi legislasi makin menjauh
dari model legislasi dalam sistempresidensial dan bergeser kea rah model fungsi
legislasi dalam sistem pemerintahan parlementer.
Pertama, sebelum dilakukan perubahan UUD 1945, fungsi
legislasi dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 5 (1), Pasal 20 dan Pasal 21
UUD 1945. Ketiga ketentuan tersebut ditafsirkan bahwa kekuasaan pembentukan
perundang-undangan berada atau dilakukan oleh Presiden, sedangkan DPR hanya
memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas suatu rancangan
undang-undang, Tafsir demikian dimaksudkan untuk menjaga atau mempertahankan
posisi Presiden sebagai episentrum kekuasaan dalam praktik penyelenggaraan
negara sesuai dengan Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan “Concentration of power and responsibility upon the president”.
Karena alasan konsentrasi kekuasaan itu, fungsi
legislasi dimaknai sedemikian rupa sehingga berada atau dilakukan oleh
Presiden. Meskipun di maknai berada atas dilakukan Presiden, proses pembuatan
rancangan undang-undang dilakukan bersama-sama oleh pemerintahan dan DPR.
Proses demikian tidak terlepas dari penjelasan Pasal 5
ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden bersama-sama dengan DPR
menjalankan legislative power dalam
negara”. Dalam praktik, pembahasan dan persetujuan dilakukan oleh pemerintah
dan DPR. Jika diletakkan dalam bingkai sistem pemerintahan, pembahasan dan persetujuan
bersama antara eksekutif dan legislative merupakan karakter proses pembentukan
undang-undang dalam sistem pemerintahan parlementer. Selain karena frasa
“bersma-sama” tersebut, ketika kembali ke UUD 1945, fungsi legislasi
dilaksanakan dengan peraturan tata tertib DPR yang secara substansi tidak jauh
berbeda dengan peraturan tata tertib yang digunakan dalam proses legislasi
selama di peraktikkanya sistem parlementer dalam kurun waktu 1945-1959.
Kedua, gagasan pergeseran fungsi legislasi dalam perubahan
UUD 1945 adalah memperkuat peran DPR dan mengurangi kewenangan Presiden.
Gagasan tersebut merupakan konsekuensi dari kesepakatan MPR untuk
mempertahankan atau melakukan purifikasi sistem pemerintahan Presidensial.
Untuk itu, MPR melakukan perubahan atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21
UUD 1945. Karena perubahan tidak diletakkan dalam pola legislasi dalam sistem
presidensial dan meragukan kemampuan anggota DPR untuk menerima konsekuensi
perubahan jika DPR diberikan amanat untuk melaksanakan fungsi legislasi. Yang
terjadi, hasil perubahan mengangkat praktik legislasi sebelum perubahan UUD
1945 ke dalam UUD 1945, yaitu dengan memperttahankan equilibrium DPR dan Presiden dalam pembentukan undang-undang.
Artinya, perubahan UUD 1945 mengangkat model legislasi ke dalam sistem
pemerintahan parlementer ke dalam UUD 1945.[7]
Ketiga, jika diletakkan dalam gagasan prufikasi sistem
pemerintahan presidensial, hasil perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD
1945 semakin memperkuat kewenangan Presiden dalam fungsi legislasi terlihat
jelas dari ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” dan Pasal 20
ayat (3) menyatakan “ Jika RUU tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”. Dengan adanya
ketentuan tersebut, posisi Presiden dama dengan DPR dalam proses pembahasan dan
persetujuan RUU.Selain gagalmemperkuat DPR dalam fungsi legislasi, dengan
adanya klausul “dibahas” dan “untuk mendapatkan” “persetujuan bersama”, hasil
perubahan UUD 1945 semakin semakin menegukan model fungsi legislasi yang
diperaktikkan sistem parlementer dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Sekalipun ketentuan yang dihasilkan dalam perubahan
UUD 1945 memperkuat Presiden, setelah perubahan terjadi pergeseran kearah
penguatan legislasi DPR. Pergeseran tersebut terjadi karena Undang-Undang Nomor
10 tahun 2004 tidak mengatur bagaimana bentuk keterlibatan Presiden dalam pemabahsan bersama sebuah rancangan
Undang-undangan dengan DPR. Bahkan,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, justru menyerahkan pengaturan pembahasan
bersama kepada peraturan tata tertib DPR. Dengan penyerahan tersebut, posisi
Presiden dalam pembahasan bersama sangat bergantung kepada peraturan tata
tertib DPR. Begitu juga halnya dengan persetujuan bersama penguatan Presiden
yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 tidak dijelaskan lebih lanjut
dalam UU No 10 tahu 2004.
Bahkan dari substansi yang ada Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004 menganggap tidak penting persetujuan bersama. Kekosongan pengaturan
mengenai persetujuan bersama tidak hanya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2014 tetapi juga
dalam peraturan tata tertib DPR mereduksi kekuasaan Presiden dalam pemabahasan dan persetujuan
bersama RUU.
Keempat, setelah perubahan UUD 1945 fungsi legislasi
tidak hanya menyangkut anatar hubungan Presiden dengan DPR saja. Setidaknya ada
empat factor yang mempengaruhi fungsi legislasi setalah perubahan UUD 1945,
yaitu (1) kehadiran DPD sebagai salah satu kamar (chamber) di lembaga legislative, (2) dinamika internal DPR sebagai
konsekkuensi berlakunya sistem multi partai, (3) pengakuan terhadap hak
masyarakat untuk berpartisipasi dalam peroses pembentukan undang-undang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004;, dan
(4) keberadaan Mahkama Konstitusi dengan wewenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap UUD.
Jadi, fokus penelitian disertasi Saldi Isra adalah
pergeseran fungsi legislasi setelah perubahan UUD 1945. Sebelum dilakukan
perubahan UUD 1945, fungsi legislasi dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 5
ayat (1). Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945. Ketiga ketentuan tersebut ditafsirkan
bahwa kekuasaan pembentukan undang-undang berda atau dilakukan oleh Presiden,
sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
atas suatu rancangan undang-undang. Setelah perubahan UUD 1945, terutama Pasal
5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (2) UUD 1945 bahwa posisi Presiden sama dengan DPR dalam proses pembahasan dan persetujuan RUU.
Selain itu, Sardi Isra, juga menyajikan bahwa fungsi
legislasi setelah perubahan UUD 1945, tidak hanya menyangkut hubungan antara
Presiden dan DPR saja. Setidaknya, ada empat faktor yang mempengaruhi fungsi
legislasi setelah perubahan UUD 1945, yaitu: a). Kehadiran DPD sebagai salah
satu kanar (chamber) di lembaga
legislative; b) Dinamika internal DPR sebagai konsekuensi berlakunya sistem
multipartai;c)Pengakuan terhadap hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam
proses pembentukan undang-undang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004; dan
c) Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan wewenang mengadili pada tingkat
pertama dan terkhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap UUD. Teori yang digunakapun menggunakan teori pembatas Negara.
1.4. Penelitian Disertasi Jum Anggriani berjudul “Pengawasan Terhadap Qanun
Sebagai Perwujudan Wewenang Pemerintah Pusat Terhadap Otanomi Khusus di Nangroe
Aceh Darussalam.[8]
Dalam penelitian disertasinya Jum Anggraini mengemukakan
bentuk negara Indonesia adalah kesatuan yang didesentralisasi. Untuk
menjalankan pemerintahan daerah dibentuklah daerah-daerah otonom yang bertugas
sebagai penyelenggara pemerintah di daerah. Diharapkan dengan dukungan
pemerintahan tingkat daerah, tujuan negara yaitu mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud. Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki
kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahannya memiliki peraturan daerah
(Perda) yang disebut Qanun.
Rumusan masalahpenelitian yang diangkat ada tiga poin
yaitu sebagai berikut:
a) Bagaimana kedudukan
Qanun Nangoroe Aceh Darussalam..?
b) Bagaimana mekanisme
Pengawasan pemerintah pusat terhadap Qanun Naroe Aceh Darussalam..?
c) Apakah konsekuensi
hukum dari pengawasan pemerintah pusat terhadap Qanun di Nanggroe Aceh
Darussalam..?
Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pelaksanaan
pengawasan pemerintah pusat terhadap Qanun menurut UU No. 11 Tahun 2006 dapat dilakukan
dengan menggunakan pengawasan represif dan pengawasan preventif. Pengawasan
represif ini terlihat dalam pembentukan peraturan daerah yang telah disetujui
oleh DPRD dan ditandatangani oleh kepala daerah dapat langsung diundangkan,
tanpa harus menunggu pengesahan dari pemerintahan pusat.
Kemudian dalam rangka pengawasan, pemerintah pusat
dapat menangguhkan atau membatalkan peraturan daerah, bila bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Sedangkan pengawasan preventif
dilakukan terhadap kebijakan pemerintahan daerah yang mengatur tentang APBD,
pajak daerah, retribusi, dan peraturan lain yang dapat menimbulkan ekonomi
biaya tinggi.
1.5.Penelitian tesis Agus
Budi Sutiyono dalam penelitian tesisnya dengan judul “Pembentukan Peraturan Hukum Daerah Yang Demokratis Oleh Pemerintah”,[9]
Penelitian tesis Agus Budi Sutiyono dalam penelitian
tesisnya dengan judul “Pembentukan
Peraturan Hukum Daerah Yang Demokratis Oleh Pemerintah”, Program Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2008. Ada dua
masalah yang diteliti oleh Agus Budi Sutiyono, yang meliputi: a).Bagaimana
penerapan asas-asas perundang-undangan yang demokratis dalam pembentukan hukum
daerah oleh pemerintah daerah? b).Bagaimana implementasi asas demokratis pada
pembentukan peraturan daerah. Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus
Budi Sutiono, menunjukan bahwa:
Pertama: Eksistensi peraturan hukum daerah dalam
pembentukannya oleh pemerintah daerah telah sesuai dengan asas-asas
perundang-undangan yang baik, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan
Kedua; Asas demokrasi telah di terapkan dalam pembentukan peraturan hukum
daerah yang terdapat pada, usulan rancangan peraturan daerah berasal dari
pemerintah Daerah maupun DPR; proses pembutan peraturan perundang-undangan
secara terencana, terpadu dan sistematis.
Sedangkan fokus penelitian tesis dari Agus Budi Setiyono
adalah pada implementasi asas demokratis pada pembentukan peraturan daerah.
Hasil penelitiannya menunjukan bahwa asas demokrasi telah diterapkan dalam
pembentukan peraturan hukum daerah oleh Kepala Daerah yang terdapat pada: a).
Usulan rancangan peraturan daerah berasal dari Pemerintah Daerah maupun DPRD;
dan b) Proses pembuatan peraturan perundang-undangan secara terencana, terpada
dan sistematis.[10]
II.
Analisis Penelitian Terhadulu Terhadap Penelitian
Tesis Kedudukan Qanun Aceh Dalam Hierarki Tata Hukum Indonesia dan Mekanisme Pengawasannya
Oleh Pemerintah.
Penelitian terdahulu yang sudah dilakukan oleh para peneliti diatas baik
dalam bentuk disertasi maupun dalam penelitiantesis penulis gunakan sebagai
bahan landasan kajian dan sumber referensi untuk melakukan penelitian lanjutan
yang tentunya dalam penelitian tesis ini melakukan penelitian lebih khusus dan
mendalam terkait Kedudukan Qanun Aceh Dalam Hierarki Tata Hukum Indonesia dan
Mekanisme Pengawasannya Oleh Pemerintah. Meskipun bila dikorelasikan dari
beberapa penelitian diatas ada beberapa keasamaan dalam wilayah penelitian
dalam hal ini terkait pendekatan penelitian yang digunakan sama-sama
menggunakan pendekatan penelitian perundang-undangan (statute approach).
Perbedaan penelitian yang sudah dilakukan oleh para peneliti terdahulu
dengan penelitian pada tesis ini terletak pada fokus penelitian yang terdapat
pada rumusan masalah pada penelitian tesis ini yaitu sebagai berikut:
a)
Bagaimana kedudukan Qanun Aceh dalam hierarki
perundang-undangan tata hukum Indoensia….?
b)
Bagaimana mekanisme pengawasan pemerintah serta
konsekuensi hukumnya terhadap Qanun Aceh…?
Selanjutnya juga terdapat pada batasan masalah dan
ruang lingkup penelitian yang secara khusus nantinya akan di bahas dalam tesis
ini yaitu pada kedudukan Qanun Aceh Dalam Herarki Perundang-Undangan tata hukum Indonesia yang akan
ditinajau dari kajian perundang-undangan yang terdapat dalam UU No.12 Tahun
2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-Undangan dan Undang-Undangan Nomor
11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh maupun yang terdapat dalam Qanun Aceh
Nomor 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun Aceh dan Mekanisme
Pengawasannya Qanun Aceh oleh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Pusat yang
diatur dalam UUPA No Tahun 2016.
Hal ini penting penulis
lakukan agar pembahasan penelitian ini agar tidak lepas dari objek dan tujuan penulis terhadap persoalan yang tidak ada
unsur-unsur relefansinya dengan isu hukum yang penulis inginkan sehingga ditakutkan akan mengaburkan fokus penelitian dan juga untk menghindari terjadinya terjadinya kesamaan penelitian
yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu.
Untuk lebih konkritnya
secara khusus dalam menelitian tesis ini mempunyai kerangkah penelitian adalah sebagai
berikut.
BAB I
PENDAHULUAN.
Berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, penegasan
istilah metode
penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEPSI: Dalam
Bab ini penulis menyajikan kerangka teori dan konsepsi sebagai landasan
penelitian berupa Teori Hierarki Norma Hukum (Stufen Theorie) menurut Hans Kelsen, Teori Herarki Norma Hukum (Die Theorie vom
Stufenordnung der Rechtsnormen) menurut Teori Hans Nawiasky, Teori
Struktur Norma
Hukum Negara (Norm Struktur dan Institutional Struktur) menurut Benyamin Akzin, Teori Norma Fundamental Negara dan Asas-Asas Hukum
di Indonesia, Hierarki
Perundang-undangan tata Hukum Indonesia. Serta
konsepsi berupa sejarah pembentukan Qanun Aceh
persepektif Politik Hukum, pengertian dan macam-macam Qanun, pelaksanaan Qanun Aceh
berdasarkan Otonomi Khusus, dan
menyajikan penelitian terdahulu.
BAB III : HASIL PENELITIAN Pada bab ini penulis akan menyajikan hasil penelitian dari pendekatan perundan-undangan tata hukum
Indonesia meliputi kedudukan
Qanun Aceh dalam hierarki perundang undangan tata hukum Indonesia dan mekanisme pengawasan Qanun Aceh serta konsekuensi hukumnya dari pengawasan
Pemerintah
BAB IV: ANALISIS HASIL PENELITIAN: Analisis kedudukan Qanun Aceh dalam hierarki perundang-undangan tata hukum
Indonesia dan mekanisme pengwasannya oleh Pemerintah.
BAB V: PENUTUP: Kesimpulan, kata penutup saran-saran
dan rekomendasi penelitian dari penulis.
Dengan Struktur penelitian
secara detail adalah sebagai berikut: BAB II: KERANGKA
TEORI DAN KONSEPSI: Kerangka
teori membahas teori hierarki norma hukum (Stufen Theorie) , menurut Hans Kelsen. Teori herarki Norma Hukum Negara (Die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen)
Menurut Teori Hans Nawiasky. Struktur Norma
Hukum Negara (Norm Struktur dan Institutional Struktur) Menurut Teori Benyamin
Akzin, serta Teori
Negara Hukum serta Asas-Asas Tata Hukum Indonesia.
Selanjutnya
penelitian terdahulu dan analisis korelasi dan perbedaan penelitian terdahulu dengan
penelitian tesis ini. Selanjutnya memabahas hierarki
Peraturan Perundang-Undangan Tata Hukum Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 Tantang
tentang jenis dan bentuk Peraturan perundang undangan Pemerintah Pusat.
Berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber
Tertib Hukum. Berdasarkan ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan. Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang pembentukan perundang-undangan
hierarki peraturan perundang-undangan. Berdasarkan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan Republik Indonesia.
Konsepsi menjelaskan sejarah
keistimewaan dan Otonomi Khusus (Otsus) Aceh. Pembentukan Qanun Aceh
Persepektif Politik Hukum.
Pengertian
Dan Macam-Macam Qanun Aceh. Pelaksanaan
Qanun Syari’at Islam di Aceh
BAB
III: HASIL PENELITIAN akan membahas kedudukan Qanun
Aceh Dalam Hierarki Perundang Undangan Tata Hukum Indonesia. Mekanisme
Pengawasan Qanun Aceh Dan Konsekuensi Hukumnya dari Pengawasan Pemerintah. BAB IV: ANALISIS HASIL
PENELITIAN Analisis
Kedudukan Qanun Aceh Dalam Hierarki Perundang-Undangan Tata Hukum Indonesia. Serta analisis mekanisme
oengawasan Qanun Aceh dan konsekuensi hukumnya dari pengawasan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, (2011) “Legislasi dan Masalah di Indonesia (Studi
Impelemtasi Perda Bernuansa Shari’ah)”, Dipublikasikan Program Pascasarjana
UIN Sunan Ampel Suarabaya.
Husni (2004).”Eksistensi Otonomi Khusus Nangroe Aceh
Darussalam Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945.Bandung Publikasi Disertasi PPS Unpad.
Lukman Fadlun
(2012) “Pembatalan Peraturan Daerah Dan
Impilkasinya Terhadap Prakarsa Dan Aspirasi Masyarakat”. Disertasi
dipublikasikan Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Malang.
Saldi Isra
(2009) “Pergeseran Fungsi Legislasi Dalam
Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945”, Disertasi dipublikasikan
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gatjah Mada, Yogyakarta.
Penelitian
Disertasi Jum Anggraini “Pengawasan Terhadap
Qanun Sebagai Perwujudan Wewenang Pemerintah Pusat Terhadap Otanomi Khusus di
Nangroe Aceh Darussalam” Dipublikasikan pada Sidang Terbuka Promosi Doktor di Ruang Sidang Gedung
Pascasarjana Universitas Padjajaran (UNPAD), Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung,
hari Rabu (11/08/2018). Diakses pada Senin tanggal 13 Juni 2016 lewat situs
website resmi Unpad http://www.unpad.ac.id
Agus Budi
Sutiyono (2008) “Pembentukan Peraturan
Hukum Daerah Yang Demokratis Oleh Pemerintah”, Semarang: dipublikasikan
Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Salam HS dan Erlies (2013), Penerapan teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan
Perundang undangan.
Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2007 Tentang Tata Cara
Pembentukan Qanun Aceh
[1] Disertasi Alwi, “Legislasi dan
Masalah di Indonesia (Studi Impelemtasi Perda Bernuansa Shari’ah)”, Program
Pascasarjana Insitut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Suarabaya, 2011. Dikutip
dalam buku Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, (2013) “Penerapan Penelitian
Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi,” Jakarta: Rajawali Pers. Hal 66-67.
[2] Alwi, (2011) “Legislasi dan
Masalah di Indonesia (Studi Impelemtasi Perda Bernuansa Shari’ah), Program
Pascasarjana Insitut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Suarabaya, hal.78.
[3] Lukman Fadlun (2012) “Pembatalan
Peraturan Daerah Dan Impilkasinya Terhadap Prakarsa Dan Aspirasi Masyarakat”,
disertasi program doctor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang,
hal.442-443
[4] Lukman Fadlun (2012) “Pembatalan
Peraturan Daerah Dan Impilkasinya Terhadap Prakarsa Dan Aspirasi Masyarakat”,
disertasi program doctor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang,
hal.442-443
[5] Saldi Isra (2009) “Pergeseran
Fungsi Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945”, Disertasi program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gatjah
Mada, Yogyakarta.hal 271-475.
[6] Saldi Isra (2009) “Pergeseran
Fungsi Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945”, Disertasi program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gatjah
Mada, Yogyakarta.hal 271-475.
[7] Saldi Isra (2009) “Pergeseran
Fungsi Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945”, Disertasi program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gatjah
Mada, Yogyakarta. Dalam Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani (2013)“ Penerapan
teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi”Jakarta: Rajawali Pers. hal
60-63
[8] Penelitian Disertasi Jum Anggraini “Pengawasan Terhadap
Qanun Sebagai Perwujudan Wewenang Pemerintah Pusat Terhadap Otanomi Khusus di
Nangroe Aceh Darussalam” Dipublikasikan pada Sidang
Terbuka Promosi Doktor di Ruang Sidang Gedung Pascasarjana Universitas
Padjajaran (UNPAD), Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, hari Rabu (11/08/2018).
Diakses pada Senin tanggal 13 Juni 2016 lewat situs website resmi http://www.unpad.ac.id
[9] Tesis Agus Budi Sutiyono (2008) “Pembentukan
Peraturan Hukum Daerah Yang Demokratis Oleh Pemerintah”, Semarang: Program
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Hal 91
[10] Agus Budi Sutiyono (2008) “Pembentukan
Peraturan Hukum Daerah Yang Demokratis Oleh Pemerintah”, Semarang: Program
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Dalam Salim HS
dan Erlies Septiana Nurbani (2013)“ Penerapan teori Hukum Pada Penelitian Tesis
dan Disertasi”Jakarta: Rajawali Pers. Hal 88