Call for Paper Summit Natinal of Law Post Granduite University Muhammadiyah of Malang

MEKANISME PENGAWASAN QANUN ACEH
OLEH PEMERINTAH PUSAT MENURUT UUPA NO 11 TAHUN 2006
Mohd Hadidi
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Tata Negara Hukum Administrasi Negara Pascasarjana  Universitas Muhammadiyah Malang
Abstrak. Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Qanun merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di provinsi Aceh yang isinya harus berlandaskan pada syariat Islam yang menjadi kekhususan dari Aceh. Pada pembuatan, pelaksanaan serta pengawasannya Qanun dibagi menjadi dua katagori yaitu: Qanun Umum berisi tentang ketentuan-ketentuan umum dalam hal penyelenggaraan pemerintahan seperti di bidang: pajak, retribusi, APBA, RUTR, dan semua urusan yang diberikan pusat kepada daerah diluar urusan atau kewenangan pusat. Qanun Khusus mengatur kehidupan beragama di Aceh yang harus dilandasi oleh ajaran Islam, meliputi masalah Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam. Mekanisme pengawasannya Qanun Aceh oleh Pemerintah Pusat dapat dialakukan dengan cara represif dan preventif berupa menangguhkan atau membatalkan terhadap Qanun Aceh jika tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UUPA No 11 Tahun 2006.
Kata Kunci: Qanun Aceh,Pemerintah Pusat, Pengawasan

1.      Pendahuluan
Hubungan penyelenggaraan pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat menjadi UUD NKRI 1945), Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten/kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten atau kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya pada Pasal 18B UUD 1945 ayat (1) disebutkan Negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. [1]
Pengaturan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sudah diatur Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang diperbaharui melalui Undang-undang Nomor 9 tahun 2015. Namun untuk provinsi Aceh secara khusus memakai Undang-undang Pemerintahan Aceh No 11 Tahun 2016 (yang kemudian di di sebut UUPA No 11 Tahun 2006) [2]
UUUPA No 11 Tahun 2006 mengatakan kekhususan dan keistimewaan Aceh mempunyai pertimbangan sebagai berikut. Terdapat dalam poin b). menimbang bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi dan poin c) bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam  yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kekhususan dan keistimewaan Provinsi Aceh juga dapat di pahami bahwa Aceh  memiliki  karakter  tersendiri  jika dibandingkan dengan daerah lainnya perbedaan dengan daerah lain Aceh diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menjalankan syari’at Islam dalam semua aspek kehidupan yang diatur dalam bentuk Qanun syari’at Islam sebagai legal formal  yang mengikat bagi seluruh masyarakat Aceh.
Sedangkan pelaksanaan syaria’at Islam di Aceh diatur dalam pasal 125 UUPA No 11 Tahun 2006 berbunyi.
1)      Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak.
2)      Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal al syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh. Pasal 126.
Sedangakan yang di maksud Qanun disini sebagaimana yang diatur dalam UUPA No 11 Tahun 2006, yaitu[3]:  Dalam Pasal (1). Qanun Aceh adalah: peraturan perundang-undangan sejenis.[4] Peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh, dan; Pasal (2). Qanun kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh.
Qanun Aceh juga merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Aceh yang isinya harus berlandaskan pada syariat Islam yang menjadi kekhususan dari Aceh[5], hal ini berbeda dengan daerah lain yang aturan-aturan dalam perdanya tidak harus berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Selain itu perbedaam dengan Perda daerah lain di Indonesia, teradapat pada aturan-aturan Qanun yang berisikan aturan-aturan hukum tentang hukum acara materiil dan formil di Mahkamah Syar’iah.
Pada pembuatan, pelaksanaan serta pengawasannya Qanun dibagi menjadi dua katagori yaitu: Qanun Umum dan Qanun Khusus. Pembagian Qanun menjadi dua katagori ini dikarenakan: Pertama, isi dari Qanun yang berbeda antara Qanun Umum dan Qanun Khusus.  Qanun Umum, yaitu Qanun yang berisi aturan-aturan tentang penyelenggaraan pemerintahan secara umum. Isi Qanun umum ini berisi tentang ketentuan-ketentuan umum dalam hal penyelenggaraan pemerintahan seperti di bidang: pajak, retribusi, APBA, RUTR, dan semua urusan yang diberikan pusat kepada daerah diluar urusan atau kewenangan pusat.
Sedangkan Qanun khusus adalah mengatur kehidupan beragama di Aceh yang harus dilandasi oleh ajaran Islam berupa kehidupan hukum, adat-istiadat, penyelenggaraan pendidikan haruslah berlandaskan ajaran Islam. Serta melibatkan peran Ulama sebagai pemuka agama, karena itu Ulama harus di ikut serta dalam pembuatan Qanun, agar kebijakan yang dibuat tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menjadi jiwa bangsa dari rakyat Aceh.
Pada dasarnya mekanisme pengawasan pusat terhadap Qanun sama dengan pengawasan pusat terhadap Perda di daerah lainnya. Dimulai dari pembuatan Qanun sampai dengan pelaksanaan Qanun, tetapi yang menjadi persoalan adalah pengawasan terhadap produk Qanun di provinsi Aceh baik yang berupa Qanun Umum maupun Qanun khusus masih belum dilakukan pemerintah secara maksimal. Sehingga tidak sedikit Qanun yang sudah diperundangkan di provinsi Aceh menuai protes atau bermasalah contoha salah salah satunya Qanun No 3 Tahun 2013 taeang Bendera dan Lamabang Aceh. Yang masih dalam perdebatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh samapai sekarang Untuk itu dalam penelitian paper ini menulis akan memetakan mekanisme pengawasan Qanun Aceh oleh Pemerintah Pusat  menurut UUPA No 11 Tahun 2006.
2.      Permaslahan
1.      Bagaimana mekanisme pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Qanun Aceh Menurut UUPA No 11 Tahun 2006?
2.      Apa konsekuensi hukum dari pengawasan Pemerintah Pusat terhadap  Qanun Aceh.?
3.      Metode Penelitian
Penelitian  ini  merupakan   penelitian    hukum   yuridis   normatif   dengan   data  sekunder  sebagai  data   utama,    yang    diambil    melalui   studi  kepustakaan   dengan  menggunakan bahan  hukum primer, sekunder dan tersier. Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan Perundang-undangan (Statute  Approach)[6]  yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Untuk memperoleh deskripsi analisis mekanisme pengawasan Qanun Aceh oleh Pemerintah Pusat menurut UUPA No 11 Tahun 2006. Analisis   data   menggunakan  deskriptif   kualitatif   yaitu menguraikan data  yang terkumpul yang disajikan dengan menggunakan kalimat yang disusun secara sistematis untuk kemudian diambil suatu kesimpulan.



4.      Pembahasan
4.1  Mekanisme Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Qanun Aceh Menurut UUPA No 11 Tahun 2006
Pada pembuatan, pelaksanaan sera pengawasannya, Qanun Aceh dapat dibagi menjadi dua katagori yaitu: Qanun Umum dan Qanun Khusus. Pembagian Qanun menjadi dua katagori ini dikarenakan : Pertama, isi dari Qanun yang berbeda antara Qanun umum dan Qanun khusus. (1) Qanun Umum, yaitu Qanun yang berisi aturan aturan tentang penyelenggaraan pemerintahan secara umum. Isi Qanun umum berupa ketentuan-ketentuan umum dalam hal penyelenggaraan pemerintahan seperti di bidang: pajak, retribusi, APBA, RUTR, dan semua urusan yang diberikan pusat kepada daerah diluar urusan atau kewenangan Pemerintah Pusat.
Perbedaannya Qanun dengan peraturan daerah (Perda) di daerah lain di Indonesia adalah: bahwa setiap isi Qanun tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam. (2) Qanun Khusus, yaitu Qanun yang berisi aturan-aturan tentang penyelenggaraan kekhususan pemerintahan daerah Aceh. Kriteria Qanun khusus yaitu: a. kehidupan beragama di Aceh harus dilandasi oleh ajaran Islam, b. kehidupan hukum adat haruslah berlandaskan ajaran Islam.c. penyelenggaraan pendidikan haruslah berdasarkan ajaran Islam. d. Peran Ulama sangat penting sebagai pemuka agama, karena itu Ulama harus di ikut sertakan dalam pembuatan Qanun, agar kebijakan yang dibuat tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menjadi Volksgeistatau jiwa bangsa dari masyarakat Aceh.
Pengawasan terhadap Qanun menurut UUPA No. 11 Tahun 2006 adalah (1) pengawasan pemerintah terhadap Qanun dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pemerintah dapat membatalkan Qanun yang bertentangan dengan: kepentingan umum, antar Qanun dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kecuali di atur lain dalam undang-undang ini. (3) Qanun dapat diuji oleh Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (4) Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengatur tentang pelaksanaan syari’at Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung. (5) Sebelum disetujui bersama antara Gubernur dan DPRA serta bupati/walikota dan DPRK, pemerintah mengevaluasi rancangan Qanun tentang APBA dan Gubernur mengevaluasi rancangan APBK. (6) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat mengikat Gubernur dan bupati/walikota untuk dilaksanakan.[7]
Dari ketentuan di atas bahwa Pemerintah Pusat tidak dapat membatalkan pemberlakuan suatu Qanun yang bersifat khusus yang berisi pelaksanaan syariat Islam. Hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri, karena konsekuensi dari suatu pengawasan adalah berupa revisi, penangguhan atau pembatalan suatu Qanun. Semestinya pengawasan Pemerintahan Pusat terhadap Qanun harus diperlukan, agar penyelenggaraan pemerintahan di Aceh dapat berjalan dengan baik dan lancar, oleh karenanya itu seharusnya diperlukan kajian perubahan terhadap Pasal 235 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2006 yaitu yang mengatakan: Qanun yang mengatur tentang pelaksanaan syari’at Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materiil oleh Mahkamah Agung, karenanya perlu dibuat suatu mekanisme pengawasan terhadap Qanun khusus, agar fungsi pengawasan yaitu sebagai pembatas terhadap kekuasaan daerah dapat berjalan dengan baik.
Berdasarkan hasil penelitian ini, di dapat suatu rumusan mekanisme pengawasan terhadap Qanun khusus ini yaitu: mekanisme pengawasan represif. Pengawasan represif dianggap terbaik bagi pusat untuk mengawasi Qanun khusus ini didasari pertimbangan bahwa: (1) Walaupun pada dasarnya pemerintah Aceh menginginkan bila yang dapat membatalkan pemberlakuan Qanun khusus itu hany Mahkamah Agung saja, tetapi harus menjadi perhatian bahwa daerah Aceh masuk dalam wilayah NKRI, karena itu pengawasan pusat terhadap Qanun mutlak harus ada. Hal ini didasari karena bentuk negara yang dipilih di Indonesia adalah negara kesatuan. Dalam negara kesatuan pelaksanaan penyelenggaraan otoritas tertinggi berada dalam satu kekuasaan Pemerintahan Pusat.
Mengingat hakikat negara kesatuan sendiri adalah negara yang kedaulatannya yang tidak terbagi. Demikian pula dalam pengawasan terhadap Qanun, harus dilakukan oleh pusat sebagai konsekuensi dari negara kesatuan. (2) Pengawasan represif ini dianggap lebih baik, karena Aceh masih dapat membuat Qanun khusus tersebut tanpa harus menunggu penilaian dari pusat terlebih dahulu, sehingga Aceh tidak merasa di intervensi oleh pusat. Hal ini perlu diperhatikan oleh pemerintah pusat, karena pada dasarnya pemerintah Aceh masih mempunyai sifat curiga kepada pusat atas dominasi adan terlalu banyaknya campur tangan Pemerintah Pusat terhadap regulasi Qanun di provinsi Aceh.
4.2  Konsekuensi Hukum Dari Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Qanun Aceh
Ketentuan tentang pengawasan dan konsekuensi hukum yang timbul dari
pengawasan Pusat terhadap Qanun tercantum dalam Pasal 235 UUPA No. 11 Tahun 2006: (1) pengawasan pemerintah terhadap Qanun dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pemerintah dapat membatalkan Qanun yang bertentangan dengan: kepentingan umum, antar Qanun dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi kecuali di atur lain dalam undang-undang ini. (3) Qanun dapat diuji oleh Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (4) Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengatur tentang pelaksanaan syari’at Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung. (5) Sebelum disetujui bersama antara Gubernur dan DPRA serta bupati/walikota dan DPRK, pemerintah mengevaluasi rancangan Qanun tentang APBA dan Gubernur mengevaluasi rancangan APBK (6) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat mengikat Gubernur dan bupati/walikota untuk dilaksanakan.
Dari ketentuan Pasal di atas ada beberapa hal menarik yang dapat dicermati yaitu: (1) indikator dari pembatalan Qanun adalah apabila bertentangan dengan: kepentingan umum, apabila bertentangan dengan antar Qanun dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kecuali di atur lain dalam undang-undang ini. (2) pada ketentuan ayat (4) disebutkan bahwa terhadap Qanun yang berisikan ketentuan tentang kekhususan yaitu mengatur pelaksanaan syariat Islam hanya dapat dibatalkan melalui hak uji material oleh Mahkamah Agung. Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota dan penyelenggaraan tugas pembantuan.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Aceh berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah lainnya, dimana Aceh mendapat kekhususan dalam hal menjalankan syariat Islam. Karenanya dalam pembuatan Qanundi Aceh dibedakan dalam dua bagian, yaitu: (1) Qanun yang memuat kebijakan-kebijakan penyelenggaraan pemerintahan secara umum (untuk selanjutnya disebut Qanun Umum), dalam artian sama dengan perda lainnya di Indonesia dan, (2) Qanun yang berisi kebijakan-kebijakan penyelenggaraan pemerintahan secara khusus (untuk selanjutnya disebut Qanun Khusus) yang diberikan kepada provinsi Aceh.
Dari ketentuan Pasal 235 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 terlihat bahwa pengawasan terhadap Qanun dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi dapat ditegaskan di sini bahwa Pemerintah yang mengawasi pelaksanaan dari Qanun, baik itu Qanun umum atau Qanun khusus. Konsekuensi dari pengawasan menurut peraturan perundang-undangan adalah berupa: evaluasi, revisi, penangguhan, sampai dengan pembatalan Qanun.
Pengawasan Qanun dilakukan oleh Pemerintah, karenanya sudah seharusnya bila pemerintah dapat memberikan konsekuensi hukum terhadap Qanunyang diawasinya. Tetapi yang menjadi kerancuan dalam tata cara berfikir hukum tata negara dalam UU No. 11 Tahun 2006 adalah, bahwa untuk Qanunkhusus, konsekuensi hukum yang berupa pembatalan hanya dapat dilakukan melalui hak uji material di Mahkamah Agung. Terlihat di sini bahwa pemerintah pusat tidak dapat membatalkan Qanun khusus.
Seharusnya, pemerintah pusat dapat membatalkan Qanun yang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan, apapun bentuk Qanun itu, apakah berbentuk Qanun khusus ataupun berbentuk Qanun umum, hal ini berkaitan dengan bentuk pemerintahan yang di pilih bangsa Indonesia yaitu berbentuk negara kesatuan. Konsekuensi dari pertanggung jawaban itu adalah dapat diterima atau tidaknya kebijakan penyelenggaraan pemerintahan itu. Jadi sudah sewajarnya bila pemerintah pusat dapat memberikan sanksi-sanksi hukum kepada daerah berupa revisi, penanguhan atau pembatalan suatu Qanun. Jika Aceh tidak berkenan dengan pembatalan Qanun tersebut, dapat pengajukan keberatannya kepada Mahkamah Agung melalui mekanisme pengujian secara material.
Di Indonesia terjadi dualisme pengaturan penilaian atau pengujian terhadap Peraturan Daerah (dan juga Qanun), yaitu pengujian yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai badan administrasi dan pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai badan yudisial. Pada dasarnya pengawasan terhadap suatu peraturan daerah adalah wewenang dari pemerintah pusat sebagai lembaga eksekutif untuk mengawasinya, adapun Mahkamah Agung adalah lembaga yudisial yang hanya dapat melakukan pengujian setelah dimintakan pendapatnya melalui permintaan untuk melakukan hak uji material.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, konsekuensi dari adanya suatu pengawasan pusat terhadap Qanun baik Qanun umum dan Qanun khusus adalah berupa: kewenangan pusat untuk merevisi, menangguhkan atau membatalkan suatu Qanun yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, serta Qanun yang bertentangan dengan ajaran Islam yang menjadi jiwa bagi masyarakat Aceh.
4.3  Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan ketentuan dalam UUPA No. 11 Tahun 2006, isi Qanun dibagi menjadi dua, yaitu Qanun Umum dan Qanun Khusus.
1.   Mekanisme pengawasan terhadap Qanun Umum adalah berupa pengawasan represif dan preventif.
a.    Pengawasan represif yaitu dengan meneliti atau memeriksa Qanun yang disampaikan pemerintahan Aceh kepada pusat, dalam hal ini dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Pemerintah Pusat dapat melimpahkan pengawasan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah terhadap Qanun yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota setelah berkoordinasi dengan instansi terkait.
b.   Pengawasan preventif. Bentuk pengawasan preventif ini selain dalam hal mengesahkan atau tidak mengesahkan Perda, juga dalam hal bimbingan, petunjuk dan rambu-rambu, sehingga pemerintahan provinsi Aceh dapat menghasilkan Qanun yang dapat diterima oleh semua kalangan, baik pusat maupun masyarakat Aceh.
2.      Adapun mekanisme pengawasan terhadap Qanun Khusus adalah : pengawasan represif. Hal ini didasarkan kepada pertimbangan sebagai berikut :
a.    Dalam negara kesatuan pelaksanaan penyelenggaraan otoritas tertinggi berada dalam satu kekuasaan pusat. Hakikat negara kesatuan sendiri adalah negara yang kedaulatannya yang tidak terbagi. Demikian pula dalam pengawasan terhadap Qanun, harus dilakukan oleh pusat sebagai konsekuensi dari negara kesatuan.
b.   Pengawasan represif ini dianggap lebih baik, karena provinsi Aceh dapat membuat Qanun khusus tersebut tanpa harus menunggu penilaian dari pusat terlebih dahulu, sehingga Aceh tidak merasa di intervensi oleh pusat.
c.    Fungsi pengawasan terhadap Qanun khusus dapat berjalan dengan baik bila dibuat suatu lembaga atau badan pengawas yang mengawasi dari mulai pembuatan Qanun sampai dengan pelaksanaan Qanun khusus, agar sesuai dengan tujuan NKRI yaitu negara kesejahteraan.
d.   Konsekuensi dari adanya pengawasan Pusat terhadap Qanun, baik Qanun Umum atau Qanun Khusus adalah berupa: kewenangan Pusat untuk merevisi, menangguhkan atau membatalkan suatu Qanun yang dianggap bertentangan dengan: kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, serta Qanun yang bertentangan dengan ajaran Islam yang menjadi jiwa bagi masyarakat Aceh.

3.   Saran
Saran dalam makalah ini terkait Mekanisme Pengawasan Qanun Aceh Oleh Pemerintah Menurut UU No 11 Tahun 2006 diharapkan setiap peraturan Qanun Aceh yang akan dibuat, diundangkan, dan di impelementasikan di provinsi Aceh Pemerintah Pusat harus diterus meningkatkan pengawasannya baik secara represif maupun secara preventif sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Sehingga seluruh produk perundang-undangan berupa Qanun di Aceh akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan tidak ada permasalahan hukum di kemudian hari.
Daftar Pustaka
Irawan Soejito (1990).Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, Jakarta: Rineka Cipta
Jimly Asshiddiqie, (2002).”Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,Pusat Studi Hukum Tata Negara Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Jimly Asshiddiqie, (2002).”Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH UI
Jum Anggraini, (2011) “Kedudukan Qanun Dalam Sistem Pemerintahan Daerah Dan Mekanisme Pengawasannya. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, FH UII, No.3 Vol. 18.
Muhammad Alim, (2010).“Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya dengan Konstitusi”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, FH UII, No.1 Vol. 17.
Melisa Fitria Dini (2014).”Urgensi Pengawasan Preventif Terhdap Qanun No.3 Tahun 2013 Tentang Bendera Dan Lambang Aceh” Jurnal Hukum. Hukum Ius Quia Iustum No.I Vol. 21.
Peter Mahmud Marzuki (2005). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.


[1] Lihat Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasca Amandemen Ke-IV
[2] Lihat Undang-Undang  Republik indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tantang Pemerintahan Aceh
[3] Pasal 1 angka 21 UU No. 11 Tahun 2006.
[4] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),  hlm. 411, kata sejenis dapat diartikan dengan sebangsa, semacam atau serupa.
[5] Lihat Pasal 125 UUPA Nomor 11 Tahun 2006
[6] Peter Mahmud Marsuki,” Penelitian Hukum” Jakarta: 2005, hal 96.
[7] Pasal 235 UU No. 11 Tahun 2006