Menata Proses Seleksi Hakim Agung Republik Indonesia

  
Pelantikan Hakim Agung Republik Indonesia.
Makalah di Tulis  MOHD HADIDI[1]


[1] Makalah Ujian Akhir Semister (UAS) Mata Kuliah Hukum Dan Kelembagaan Negara Magister IlmuHukum Konsentrasi Hukum Tata Negara HukumAdministrasi Negara Pascasarjana UniversitasMuhammadiyah Malang.
1.1. Latar Belakang
Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaanneara modern. Dalam sistemnegaramoderm, cabang kekuasaankehakimanmerupakancabang yang diorganisasikan secarater sendiri.
Sehingga cabang kekuasaan kehakiman tetap bersifatin dependen daripengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Dalamkonteks Indonesia, adanya pemisahan kekuasaan yang membagi menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif, danyudikatif atau kekuasaan kehakiman menjadi salah satu bentuk prinsip negara hukum yang dianut. Dimanapun kekuasaan kehakiman itua dapada MahkamahAgung dan Mahkamah Konstitusi.

Prinsip negara hukum Indonesia dipertegasdalam era reformasidengandilakukannyaamandemenketigaditahun 2001. Pasal 1 Ayat (3) tersebut menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negarahukum, yang memberikan konsekuensi logissalah satunya adalah prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary).
Prinsip inidirasakansemakinmutlakdiperlukanolehsetiapnegarahukum yang demokrasis. Bahkanoleh the international commision of jurist, prinsip-prinsip penting yangb harus dianut oleh Negara hukuma dalah (1) negaraharustundukpadahukum, (2) Pemerintah menghargai hak-hakindividu, serta (3) peradilan yang bebas dan tidak memihak.[1]
Prinsip pemisahan kekuasaan dan independensi kekuasaan kehakiman tersebut menghendaki bahwa para hakim harus dapat bekerja secara independen dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Mahkamah Agung sebagai puncak dari badan-badan peradilan dibawahnya menempati posisi sentral selain Mahkamah Konstitusi. Berpijak dari hal tersebut, tentu saja posisi Hakim Agung merupakan posisi strategis dalam sistem Kekuasaan Kehakiman Indonesia. sehingga pengisian jabatan Hakim Agung merupakan awal dari terbentuknya sistem kekuasaan kehakiman ideal di Mahkamah Agung.Pentingnya mekanisme pemilihan hakim agung dalam konteks menjaga independensi peradilan terkait dengan bagaiamana mencegah masuknya kepentingan lain dan politisasi dalam pemilihan hakim agung.[2]
Pasal 24A Ayat (3) Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikanpersyaratanterkait hakim agungbahwa “Calon hakim agungdiusulkanKomisiYudisialkepadaDewanPerwakilan Rakyat untukmendapatkanpersetujuandanselanjutnyaditetapkansebagai hakim agungolehPresiden”. Akan tetapi, terjadiketidakkonsistetandariUndang-UndangMahkamahAgung yang menentukanhal lain. Dalampasal 8 Ayat (2) dan (3) menyebutkan bah wacalon Hakim Agungdipilih DPR, satudaritigapilihan yang diusulkanolehKomisiYudisial.
Ketentuan tersebut member kankonsekuen sibah waakan besar kemung kinanter jadi politik pengisian jabatan hakim agung serta inkon stitusionalitas kewenangan DPR. DPR bertindak diluarkewenangannya, karena “ia” mempunyai kewenangan memilih yang sama sekali tidak pernah diberikan konstitusi. Oleh karena itu, apakah mekanisme rekrutmen hakim agung itu konstitusional?
Praktik pengangkatan hakim agung saat ini sudah jauh menyimpang dari yang diamanatkan oleh UUD 1945 dan titah anggota DPR sebagai pemimpin politik. Lebih jauh lagi, ketentuan pengangkatan hakim agung dengan cara “dipilih” oleh DPR, baik langsung maupun tidak langsung telah merugikan hak-hak konstitusional warga negara untuk mendapat kepastian hukum menyangkut proses mekanisme pengangkatan hakim agung yang ada pada UU KY maupun UU MA.
    II.            Rumusan Masalah
2.1     Landasan Undang-Undang Dasar 1945tentang lembaganegara Mahkamah Agung?
2.2     Bagaimana manatamekanisme seleksi Hakim Agung Republik Indonesia?

 III.            Pembahasan
3.1  Standar internasional danlandasankontitusipengisian jabatan hakim agung
Ada beberapapengaturaninternasionalterkaitpengisianjabatan hakim, diantaranyaseperti United Nation basic principles on the independence of judiciary. Yang menyebutkan bahwa calon hakim harusseseorang yang mempunyaiintegritasdankemampuan di bidanghukumsertapelatihan yang layak. Proses seleksinyatidakmembeda-bedakanras, agama, jeniskelamin, asal-usulsosial, pandanganpilitik, status, ekonomi. Kandidat hakim haruslahseorang yang negarawan.
The universal charter of the judge jugamemberikanstandarbahwa proses rekrutmen hakim  Haruslah secara objektifm dan transparan sesuai dengan kualifikasi kepatutan dan profesionalitasnya. Proses rekrutmen melibatkan lembaga independen yang didalamnya terdapat peradilan dan profesi hukum yang adadidalamnya. IBA resolutions minimum standars of judicial independence jugamensyaratkanbahwa hakim bukananggota Partai Politik. Dari beberapastandarinternasionaltersebut,
Dapat ditarik kesimpulan bahwa berbagai standar internasional rekrutmen hakim menghendaki duahal, pertama terkait dengan objektif seseorangmenjadi hakim. Serta kedua, mekanisme seleksi dilakukandengan proses yang menghindarkanmasuknyadominasipolitik.
Semuapengaturandimaksudkanuntukmenciptakansebuahkekuasaankehakiman yang independen. Dimanaterlihat di beberapapengaturan yang mensyaratkan non-political appointments to a court. Hal initentusajauntukmencegahadanyakekuasaanpolitik yang di tubuhkekuasaankehakiman, sehinggamemberikanputusan yang memenuhi rasa keadilan.
Judex set lex laguens, sebuah adagium hukum yang bermakna bahwa hakim adalah hukum yang berbicara. Kedudukan hakim dalam sistem kekuasaan kehakiman akan memperlihatkan bagaimana kekuasaan kehakiman akan menegakkan hukum demi memberikan keadilan bagi masyarakat.  Good judges are not born but made, bahwa hakim yang baik adalah hakim yang memiliki profesionalitas, integritas dan kualitas bukanlah lahir dengan sendirinya, akan tetapi dibentuk. Proses pembentukan hakim tersebut diawali dari rekrutmen orang-orang yang layak untuk mengisinya.
Pengaturan Mahkamah Agung di Konstitusi dapat dijumpai di Pasal 24A. Seorang hakim agung dipersyaratkan memiliki integritasdan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Ayat selanjutnya menjelaskan secara expressives verbise bahwa calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Di ayat yang kelima, disebutkan bahwa ketentuan selanjutnya diatur dengan undang-undang, yakni undang-undang mahkamah agung.

3.2  Mekanismeseleksi Hakim Agungdan Proses Penataanya
Undang-undang nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menjelaskan ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acaranya.  Akan tetapi, terdapat perbedaan antara proses pengisian jabatan hakim agung yang diatur konstitusi dan undang-undang pelaksananya, yakni UU Mahkamah Agung. Konstitusi hanya memberikan DPR kewenangan “memberikan persetujuan”, sedangkan Undang-Undang Mahkamah Agung memberikan DPR bisa memilih.[3]
Perbedaan tersebut memberikan konsekuensi pada hasil akhir hakim agung yang didapat. Memberi persetujuan dapat diterjemahkan bahwa jumlah calon hakim yang diajukan sudah sesuai dengan kebutuhan, sehingga DPR tinggal memberi persetujuan atas calon hakim agung. Dimana sebelumnya telah ada proses uji seleksi calon hakim agung di Komisi Yudisial, sebagai lembaga yang bersifat mandiri atau independen. Sedangkan legal policy saat ini, memberikan DPR kewenangan memilih satu dari tiga calon yang diusulkan oleh KY.
Dengan demikian, hasil proses seleksi fit and proper test yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bisa tersia-siakan karena kewenangan memilih dari DPR. DPR bisa memilih siapa saja, dari tiga nama yang diusulkan untuk satu posisi hakim. Disinilah potensi terjadinya politisasi pengisian jabatan hakim agung, dimana DPR yang akan menjadi penentu akhir nama-nama hakim agung sebelum ditetapkan Presiden. DPR bisa memilih siapa saja, yang menurut mereka paling diangggap relevan. Sehingga proses seleksi oleh Komisi Yudisial yang lebih menitikberatkan pada kemampuan dan profesionalitas hakim di bidang hukum, terderogat oleh proses di DPR yang sarat akan kepentingan politik.
3.3  Tinjauan atas konstitusionalitas Legal policy rekrutmen hakim agung
Menilik  dari praktik pengisian jabatan hakim agung di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Pertama, ketidaksesuaian antara undang-undang mahkamah agung dengan konstitusi. Perbedaan “memberikan persetujuan”  dan ”dipilih” memberikan disparitas makna dan konsekuensi yang timbul akibat legal policy yang ada. Konstitusi yang merupakan hukum dasar yang menjadi pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi, menurut Miriam Budiarjo adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa.[4]Didalamnya terdapat berbagai aturan pokok yang berkaitan dengan kedaulatan, kelembagaan negara, pembagian kekuasaan, cita-cita dan ideologi bangsa.[5]Dengan demikian, maka terjadi ketidakkonsistenan akan supremasi konstitusi yang dijunjung tinggi selama ini.
Lebih lanjut, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tersebut menyalahi hierarki norma hukum. Hans Kelsen yang mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufenbautheorie) berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berasas dari norma hukum yang lebih tinggi dan seterusnya keatas hingga norma dasar. Undang-Undang Mahkamah Agung yang menentukan legal policy tersendiri dan berbeda , telah menyalahi norma hukum dari apa yang telah diamanatkan di Pasal 24A Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Kedua, proses rekrutmen yang tidak sesuai standar. Menilik kembali penjelasan sebelumnya bahwa suatu proses pengisian jabatan hakim haruslah dicegah dari kepentingan politik. Hal ini tidak lain untuk menciptakan independensi peradilan. Terlebih kemandirian hakim secara fungsional merupakan inti dalam proses penyelenggaraan peradilan. Indikator mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dai kemampuan hakim menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya dalam menjalankan amanat adanya campur tangan pihak lain dalam proses peradilan.[6]
Namun, terkait pemilihan hakim agung memang cukup sulit untuk menghindari upaya politisasi. Sebagaimana Christopher E Smith dalam Critical Judicial Nominationsand political change mengingatkan bahwa pencalonan hakim agung biasanya memicu munculnya berbagai kepentingan politik. Anthony blackshield dalam the appointment and removal of federal judges secara tegas menyatakan bahwa pemilihan hakim agung itu politis, Ada tiga pola politisasi.[7]
Pertama, pemerintah atau parlemen memilih hakim agung yang memiliki sikap politik yang sama dengan mereka. Kedua, calon hakim agungnya sendiri merupakan anggota parlemen dan aktif dalam partai politik. Ketiga, pemilihan hakim agung atas balas jasa politik. Tiga pola politisasiinilah yang menyebabkan independensi hakim dan peradilan terganggu. Hakim dan peradilan dibuat tunduk pada kepentingan politik,sehingga independensi dan imparsialitas hakim dalam memutus perkara akan dipertanyakan.[8]
Oleh karena itu, untuk memperkuat independensi kekuasaan kehakiman, maka mekanisme pemilihan hakim agung harus di desain untuk meminimalisasi upaya politisasi. Yakni prinsip transparansi dan akuntabilitas mutlak ditegakkan, serta memperhatikan juga berbagai prinsip-prinsip standar diberbagai instrumen internasional.
Pertama, yang dilakukan adalah merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung, DPR diberi kewenangan sesuai dengan kewenangan yang telah diatur dalam undang-undang. Yakni jumlah hakim yang diusulkan oleh Komisi Yudisial harus sesuai dengan kebutuhan hakim agung. Mekanisme pengusulan tiga orang hakim memberi konsekuensi bagi DPR hanya akan memilih satu. Padahal, DPR hanya berwenang memberi persetujuan, bukan memilih hakim agung. Dengan demikian, dapat terhindar dari upaya politisasi dalam rekrutmen hakim agung sesuai dengan international standars on judicial reform and judicial independence.
Kedua, mekanisme pengisian jabatan hakim agung dilakukan oleh komisi yudisial untuk kemudian diuji kepatutan dan kelayakannya serta diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan sebelum ditetapkan oleh Presiden. Dalam tahap ini, Komisi Yudisial harus secara tegas menentukan kriteria calon hakim agung dan prosesnya harus berpegang teguh pada prinsip transparansi dan akuntabilitas.
3.4  Kesimpulan
Mekanisme yang ada dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tidak sesuai dengan pengaturan rekrutmen hakim sebagaimana yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, harus diperbaiki guna mewujudkan kekuasaan kehakiman yang imparsial dan independen. Selain itu, mekanisme rekrutmen hakim harus seobjektif mungkin, dan dihindarkan dari segala macam upaya intervensi politik. Sebagaimana standar internasional pengisian jabatan hakim.







DAFTAR PUSTAKA
.
 Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya Pramita, 1996.
Asshiddiqie,  Jimly 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Setjen dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta.
Budiarjo,  Miriam 1989, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.
Huda,  Ni’matul 2007, Lembaga Negara dalam masa transisi demokrasi, UII Press, Yogyakarta.
Oce madril, Perbandingan Komisi Yudisial di Asia, dalam buku bunga rampai komisi yudisial, membumikan tekad menuju peradilan bersih, 2011, Gramedia, Jakarta.
Rishan, Idul 2013, Komisi Yudisial : suatu upaya mewujudkan wibawa peradilan, genta press, Yogyakarta.
Sirajuddin dan Zulkarnain, 2006, Komisi Yudisial dan eksaminasi publik,citra aditya, bandung.





[1]Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Setjen dan Kepaniteraan MK RI, hlm. 122
[2]Idul Rishan, 2013, Komisi Yudisial : suatu upaya mewujudkan wibawa peradilan, genta press, Yogyakarta, hlm. 32
[3]Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4985 )
[4]Miriam Budiarjo, 1989, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, hlm. 107
[5]Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara dalam masa transisi demokrasi, UII Press, Yogyakarta, hlm. 4
[6]Sirajuddin dan Zulkarnain, 2006, Komisi Yudisial dan eksaminasi publik,citra aditya, bandung, hlm. 34
[7]Anthony Blackshield, the appointment and removal of federal judges dalam Oce madril, Perbandingan Komisi Yudisial di Asia, dalam buku bunga rampai komisi yudisial, membumikan tekad menuju peradilan bersih, 2011, Gramedia, Jakarta,hlm.333
[8]Oce madril, op.cit., hlm. 333