Makalah di Tulis Oleh : MOHD HADIDI[1] |
[1] Makalah Ujian Akhir
Semister (UAS) Mata Kuliah Hukum Kontitusi Dan Demokrasi Prodi Magister Ilmu
Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.
|
1.1.Latar Belakang
Wacana perubahan
Amandemen ke lima UUD 1945 masih berlangsung yang pada garis besarnya dapat
petakan terbagi
tiga kelompok kelompok
pertama, kelompok atau arus
yang ingin kembali ke UUD 1945 yang asli.[1]
Kedua, kelompok atau arus
yang ingin mempertahankan UUD hasil amandemen[2] yang ada sekarang dan;
Ketiga, kelompok atau arus yang ingin melakukan perubahan atau amandemen
lanjutan yang di dalam Konvensi ini disebut Amandemen Kelima.[6]
Arus kedua pada umumnya
diikuti oleh (anggota-anggota) parpol yang memiliki kursi dominan di DPR dan
MPR, terutama mereka yang dulunya menjadi anggota Pantia Ad Hoc I MPR yang
bertugas menggodog perubahan UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.
Menurut mereka perubahan
lanjutan itu tidak perlu dilakukan karena hasil amandemen yang ada sekarang
sudah menyerap dan mengompromikan semua aspirasi yang berkembang di dalamm
masyarakat ketika itu. Menurut mereka harus disadari bahwa melakukan perubahan
atas UUD itu akan menguras energi yang sangat besar dan apa pun hasilnya pasti
akan ada yang mepersoalkan juga; diubah lagi pun pasti kelak akan ada yang
mempersoalkan atas hasil-hasilnya.
Upaya mengubah kembali UUD
berpotensi memancing konflik politik yang dapat mengganggu upaya atau
konsentrasi kita menyelenggarakan pemerintahan untuk memperbaiki nasib rakyat.
Maka bagi arus ini yang penting melaksanakan dulu isi UUD 1945 hasil amandemen
dengan sebaik-baiknya. Harus dikemukakan juga bahwa karena kuatnya wacana
perubahan lanjutan di dalam masyarakat, meski banyak anggotanya di MPR/DPR yang
tak setuju namun parpol-parpol pada umumnya mengatakan bahwa perubahan lanjutan
atas UUD 1945 dapat dilakukan tetapi timing-nya belum tepat jika dilakukan
sebelum tahun 2009.
Arus ketiga merupakan arus
yang paling kuat karena didukung oleh hampir semua akademisi hukum dan ilmuwan
politik di perguruan tinggi , lembaga studi Konstitusi, LSM-LSM pegiat hukum
dan Konstitusi, anggota-anggota Komisi Konstitusi, dan beberapa ormas besar.
Alasan perlunya perubahan lanjutan menurut pengikut arus ini karena dalam
kenyataanya UUD 1945 hasilperubahan memang mengandung beberapa kelemahan yang
harus diperbaiki kembali sebagai tuntutan yang wajar.
Adanya perbedaan arus sikap
yang dapat dikemukakan secara terbuka tanpa harus takut ditindak oleh penguasa,
seperti ekspressi yang dilakukan oleh pengikut ketiga arus itu, harus dicatat
sebagai kemajuan tersendiri dalam kehidupan berdemokrasi setelah dilakukannya
perubahan atas UUD 1945. Kita tak dapat membayangkan dapat mempersoalkan UUD
yang berlaku (yalni UUD 1945) pada dua orde sebelum reformasi yakni Orde Lama
(1959-1967) dan Orde baru (1967-1998). Pada kurun waktu yang panjang itu UUD
1945 diberhalakan sedemikian rupa sehingga tak boleh dipersoalkan.[9]
Arus pertama digerakkan atau
dikuti oleh beberapa tokoh terutama beberapa purnawirawan TNI yang dulunya
memang telah bersumpah untuk menjadi Sapta Margais yang setia pada Pancasila
dan UUD 1945.[7] Pendukung arus ini tidak banyak namun tetap ada, bahkan pada acara
seminar yang diselenggarakan oleh Anggota Watimpres tanggal 3 April 2008 yang
lalu masih ada yang menyesalkan perubahan UUD 1945 tersebut. Alasan pengikut
arus ini perubahan UUD 1945 telah kebablasan, mengkhianati amanat dan hasil
karya pada pendiri atau founding people, [8] emosional, terburu-buru, dan
tidak menyerap aspirsi masyarakat atau disosialisasikan secara proporsional.
Bagi pemakalah kedudukan dan
fungsi KY sebagaimana diatur di dalam UUD sekarang sudah tepat, namun perlu
penegasan kembali. Putusan MK bahwa KY hanyalah supporting institution dapat
benar dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman, tetapi dapat ditegaskan bahwa
sebagai lembaga pengawas eksternal kedudukan KY bukan supporting malinkan dapat
juga disebut sebagai main institution. Oleh sebab itu sebagai lembaga negara
kedudukan KY sejajar dengan MK maupun MA.
Amandemen atas UUD 1945
perlu dilakukan untuk menegaskan fungsi-fungsi tersebut yang pada pokoknya
mengarah pada penguatan KY sebagai lembaga pengawasan ekternal dalam kekuasaan
kehakiman yang selain mengawasi Hakim Agung dan hakim-hakim di lingkungan MA
juga mengawasi Hakim Konstitusi. Dengan pandangan ini maka pasal 24B yang
mengatur KY perlu diamandemen dan disinkronkan kembali dengan npasal 24A dan
pasal 24C.
II.
Rumusan Masalah
2.1 Perlukah
Amandemen UUD 1945 Untuk Pengutan Lembaga Negara?
2.2 Penguatan
seperti apa yang akan diusulkan untuk Komisi Yudisial pada Amandemen Kelima UUD
1945?
III.
Pembahasan
3.1 Wacana Amandemen
Kelima UUD 1945 Untuk Pengutan Lembaga Negara.
Perlunya perubahan atau
amandemen lanjutan atas UUD 1945 mengingat hasil amandemen dengan tetap
memberi catatan penting bahwa UUD 1945 hasil perubahan yang ada sekarang ini
sudah membawa kemajuan dalam kehidupan ketatanegaraan kita.[3]
Mengingat tak dapat dipungkiri, telah
banyak kemajuan yang diraih dalam kehidupan ketatanegaraan kita berdasar UUD
1945 hasil amandemen itu. Kehidupan bernegara kita jauh menjadi lebih
demokratis. Tak ada lagi sensor bagi pers, apalagi pembreidelan terhadap pers,
proses pemilu berjalan demokratis, pemerintah tidak bisa lagi bersikap otoriter
karena selalu dikontrol oleh pers, masyarakat, dan lembaga-lembaga politik
lainnya.
Di antara yang perlu diberi
catatan khusus tentang kemajuan ketatanegaraan kita adalah eksistensi dan
prestasi Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yudikatif baru. Pada masa
lalu banyak sekali UU yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah (dan DPR hanya
dijadikan semacam rubber stamp) tanpa bisa dibatalkan meski isinya
diindikasikan kuat melanggar UUD. Perubahan atas UU yang bermasalah pada masa
lalu hanyalah dapat dilakukan melalui legislative review yang dalam praktiknya
sangat ditentukan oleh pemerintah. Bahkan kasus perubahan RUU Penyiaran tahun
1997 menjadi noda hitam yang sulit dihapus dari sejarah perjalanan legislasi
kita.[4]
Saat itu RUU Penyiaran sudah
dibahas dan diperdebatkan dalam waktu yang lama di DPR sampai akhirnya
Pemerintah dan DPR menyetujui untuk diundangkan. Tetapi begitu disampaikan
kepada Presiden untuk ditandatangani dan diundangkan ternyata Presiden menolak
dan meminta dibahas kembali untuk diubah sebagian isinya. Masalah inilah yang
mendorong munculnya pasal 20 ayat (5) dalam UUD 1945 hasil amandemen sekarang
ini.
Dengan adanya MK semua UU
yang dinilai bertentangan dengan UUD dapat dimintakan judicial review
(pengujian yudisial) untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau
inkonstitusional sehingga tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dapat
dikemukakan bahwa MK telah tampil sebagai lembaga negara yang independen dan
cukup produktif mengeluarkan putusan-putusan yang sangat mendukung bagi
kehidupan ketatanegaraan yang demokratis.
Bayangkan saja, dalam
usianya yang belum mencapai lima tahun (dibentuk bulan Agustus 2003) MK sudah
melakukan dan memutus pengujian (judicial review) UU terhadap UUD sebanyak
lebih dari 140 kali. UU yang diuji memang berjumlah 63 UU, tetapi banyak UU
yang diuji lebih dari satu kali (bahkan ada yang diuji sampai tujuh kali, yaitu
UU tentang KPK) dengan materi pengujian yang berbeda-beda. Memang dari sekian
banyak putusan MK ada beberapa (sekitar empat atau lima) putusan yang
kontroversial karena dianggap melampaui batas kewenangan dan melanggar atau
masuk ke ranah legislatif.[5]
Pemakalah termasuk yang
mengritik keras kenyataan-kenyataan tersebut.[6] Tetapi harus diingat bahwa adanya
empat atau lima vonis yang kontroversial itu sangatlah kecil jika dibandingkan
dengan keseluruhan vonis yang berjunlah lebih dari 140 vonis. Selain itu harus
diingat pula bahwa sebuah vonis yang kontroversial itu belum tentu salah.
Lebih lanjut, Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga negara yang
dibentuk di dalam rumpun kekuasaan kehakiman, tetapi bukan lembaga pemegang
kekuasaan kehakiman. Menurut putusan MK No. 005/2006 lembaga ini merupakan
supporting institution yang khusus dibentuk sebagai lembaga pengawas eksternal
bagi lembaga kekuasaaan kehakiman. Menurut UUD lembaga ini berhak mengusulkan
calon hakim agung dan mempunyai wewenang lain untuk menjaga martabat,
kehormatan, dan perilaku hakim.
Namun dalam pelaksanaan
tugasnya ternyata langkah-langkah KY ditanggapi secara kontroversial. Bahkan
kewenangan lembaga ini dipangkas melalui putusan judicial review oleh MK
berdasar permohonan yang dialakukan oleh 30 orang hakim agung. Banyaknya laporan masyarakat
ke KY tentang perilaku hakim menyebabkan KY membaca vonis pengadilan bahkan
memanggil hakim untuk diperiksa. Langkah ini dianggap dapat mengganggu
kemandirian hakim dan dapat mempengaruhi proses perkara yang sedang berlangsung
di pengadilan.
Oleh sebab itu ada usulan
agar KY hanya menangani perilaku hakim dalam hal-hal yang tak ada hubungannya
dengan perkara, artinya KY hanya dapat menangani hal-hal yang terkait dengan
etika saja sebab urusan perkara sudah sepenuhnya diawasi oleh MA. Bahkan ada
yang mengusulkan agar KY ditempatkan di bawah MA, atau tetap mandiri tetapi
ketuanya dirangkap secara ex-officio oleh Ketua MA. Namun ada yang sebaliknya
mengusulkan agar Ketua KY lah yang secara ex officio berada di atas ketua MA.
Kontroversi tersebut sebenarnya lebih emosional daripada rasional.[7]
3.2 Usulan Penguatan
Lembaga Komisi Yudisial (KY) Pada Amandemen Kelima UUD 1945.
UUD RI 1945 pasca
amandemen telah mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan eratdengan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicative power) yaitu Komisi Yudisial. Dimana yang menjadi
latar belakang lahirnya Komisi Yudisial ini dilatarbelakangi olehkenyataan
bahwa pengawasan terhadap Mahkamah Agung, hakim-hakim agung, dansemua hakim
secara internal lemah, serta tidak ada lagi lembaga pengawasan internalyang
bisa dipercaya,
Setelah terbentuk
Komisi Yudisial sebagai Lembaga Negara yang diantaranya mempunyai tugas pengawasan hakim
ekternal, namun peran dan
fungsi KomisiYudisial terasa sangat dibatasi oleh ketentuan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2004Tentang Komisi Yudisial, adalah sebagai berikut :
Komisi Yudisial
yang dinyatakan dalam undang-undang Komisi Yudisial sebagai lembagayang
Independen, akan tetapi mulai proses pembentukan menunjukkan ketidak
independenan.
Proses pembentukan Komisi Yudisial yang tidak
independen terlihat adanya kewenanganDPR ikut serta memberikan pertimbangan
usulan kepada Presiden.
Batasan usia untuk
menjadi Angota KY berusia setinggi-tingginya 68 tahun (Pasal 26 c).Tugas KY
cukup berat, maka dipandang terlalu tua dan tidak produktif. Sruktur Komisi
Yudisial dalam melaksanakan tugas-tugasnya dibantu Sekretaris Jenderalyang
dijabat oleh pejabat pegawai negeri sipil, (Pasal 11 dan 12), sehingga KY
kehilanganeksistensinya dan terkendali oleh pemerintah.
. Komisi Yudisial
dalam melaksanakan wewenangnya melakukan pendaftaran dan seleksi penerimaan
calon Hakim Agung (Pasal 14) dan mengusulkan pengangkatan Hakim Agungkepada
DPR. (Pasal 13 a dan Pasal 14 d). Proses ilmiah dan akademisi (Pasal 18) akan
berubahmenjadi proses politik (Pasal 18 (5), Pasal 27), dan hakim Agung
tercipta kondisikan olehkepentingan kepentingan politik dan menjadi tangan
panjang partai politik.6. Komisi Yudisial dalam melaksanakan pengawasan
terhadap kinerja Hakim Agung danHakim-Hakim terasa jauh dari kemampun, (Pasal
22), karena jumlah personil KY dengan jumlah personil hakim jauh lebih banyak
personil hakim yang diawasi.
Komisi Yudisial dalam menjatuhkan sanksi
terhadap hakim agung dan hakim oleh KYdiserahkan kepada Mahkamah Agung (Pasal
23 (2) dan (3) ), Hal ini menghapuskan peran danfungsi KY yang esensial. Fungsi
esensial ini justru diserahkan pada MA.
Penjatuhan sanksi terhadap Hakim Agung dan
Hakim-Hakim oleh KY diserahkan kepadaMA, menunjukkan bahwa KY sebenarnya esensi
kewenangannya telah dihapus oleh undang-undang, dan kewenagan KY dibawah
kewenangan MA, KY tidak dapat melakukan peran danfungsinya dengan baik, karena
MA tidak tersentuh oleh KY.
Hakim yang akan
dijatuhi sanksi diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dihadapan
Majelis Kehormatan Hakim (Pasal 23 (4) ), kalau diterima oleh MKH, maka
hakimtidak dapat diajukan oleh MA dan atau MK ke presiden untuk dijatuhi
sanksi.
Kegiatan Komisi
Yudisial saat sekarang ini nampak pada kegiatan kegitan seminar-seminar dan kerjasama
dengan Perguruan Tinggi, sehingga lebih nampak sebagai lembaga ilmiahdaripada
lembaga Yudisial.
Lahirnya UU No.22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut didalam prakteknya telahmenimbulkan
ketegangan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Awal dan pokok persoalan yang memicu ketegangan tersebut
adalah perbedaan penafsiran terhadap yurisdiksitugas pengawasan perilaku hakim.
Pasal 20 UU nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisialmenegaskan bahwa, dalam
melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13huruf b Komisi
Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakimdalam
rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim.
Terhadap ketentuan
Pasal 13 huruf b dan Pasal 20 diatas, Komisi Yudisial menganggap bahwadalam
melakukan pengawasan terhadap hakim sudah barang tentu haruslah
berlandaskankekuasaan yang diberikan oleh Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil
Perubahan Ketiga) yangdijabarkan dalam Pasal 22 Ayat (1) UU nomor 22 Tahun 2004
Tentang Komisi Yudisial.
“Bahwa semua
pemeriksaan yang dilakukan Komisi Yudisial didasarkan pada UU npmpr 22
Tahun 2004 dan
Peraturan yang dibuat dan dibentuk Komisi Yudisial berdasarkan delegasi
atauatribusi kekuasaan, termasuk memasuki wilayah teknis-yudisial peradilan
dengan membaca danmengkaji putusan hakim yang bersangkutan, hal tersebut
sebagai pintu masuk (entry point)”.
Sebab secara
universal telah diterima oleh masyarakat beradab bahwa kehormatan dan
keluhuranmartabat seorang hakim dapat dilihat dari putusan yang dibuatnya.
Komisi Yudisial bukan sajamengawasi perilaku hakim di luar pengadilan tapi juga
mengawasi perilaku hakim dalammelaksanakan tugas peradilan agar tidak terjadi
mafia peradilan (judicial corruption) yang saatini menjadi masalah nasional yang
perlu diberantas.
Komisi Yudisial berpendapat bahwa objek pengawasan meliputi seluruh hakim.Tidak
terkecuali Hakim Agung dan Hakim MahkamahKonstitusi. Hal ini berdasarkan
ketentuan Pasal 20 dan Pasal 1 angka 5 UU No. 22 Tahun 2004Tentang Komisi Yudisial.12.
Mahkamah Agung menganggap bahwa secara universal kewenangan pengawasan
olehKomisi Yudisial tidak menjangkau hakim agung, karena Komisi Yudisial adalah
mitraMahkamah Agung dalam pengawasan terhadap para hakim pada lingkungan
badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dan pengawasan perilaku oleh
Komisi Yudisial tidak termasuk pengawasan atas putusan hakim (dan eksekusi
putusan). Pengawasan terhadap putusan (teknis yudisial)
adalah wewenang Mahkamah Agung. Sebab, jika hal tersebut dilakukan olehKomisi
Yudisial dapat mengancam independensi hakim. Menurut Mahakamah
Agung,“pengawasan terhadap perilaku Hakim” hanyalah merupakan media dengan
tujuan pokoknya adalah “dalam
rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
Hakim “. semestinya “ media pengawasan ” haruslah dilakukan dan didasarkan atas semangat itikad baik ( good faith), bukannya justru dijadikan
media untuk memasuki substansi/ wilayahtehnis penyelesaian perkara, yang bukan
menjadi tugasnya Komisi Yudisial, dan kemudianmerekomendasikan pemberhentian
Hakim, hal tersebut adalah merupakan bentuk perbuatan yang bukan saja
mengintervensi dan mengintimidasi bahkan cenderung telah merusak suatu sistem
(lembaga peradilan yang memiliki kemerdekaan yang dijamin oleh konstitusi dan
bersifatuniversal ).
Putusan Mahkamah Kostitusi No.005/
UUP.IV/2006, Mahkamah Konstitusi merenggutfungsi dari Komisi Yudisial yaitu
melalui putusan tersebut tentang pengawasan terhadap parahakim dan Hakim Agung
serta peradilan dibawah Mahkamah Agung dilakukan sendiri olehMahkamah Agung
secara internal. Hal ini membuat lembaga negara yang bernama KomisiYudisial ini
seperti mati suri. Menurut beberapa pihak dan pakar, keputusan
MahkamahKonstitusi ini bertentangan dengan pasal 24B UUD 1945 dan pasal 13
huruf b Undang-undang No.22 Tahun 2004. Mahkamah Konstitusi (MK) memangkas
kewenangan tersebut saat memutus permohonan judicial review UU No.22 Tahun 2004
Tentang Komisi Yudisial pada 23 Agustus2006.
Bahkan dalam
putusannya, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan diri sebagai lembaga „untouchable‟ di negeri ini dengan memutuskan bahwa hakim
konstitusi tidak termasuk sebagai pihak yang diawasi oleh Komisi Yudisial.
Putusan Mahkamah Konstitusi disatu sisi memangmemperlambat laju pembersihan
peradilan melalui Komisi Yudisial.
Ditengah kondisi
peradilanyang masih buruk rupa, dihilangkannya fungsi pengawasan eksternal
hakim jelas „membahagiakan‟
mafia peradilan. Tetapi disatu sisi, harus diakui bahwa putusan Mahkamah. Konstitusi memberikan peluang penguatan Undang-undang
tentang Komisi Yudisial yangmengandung begitu banyak kelemahan.
Daftar Pustaka
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu
Negara, CV Mandar Maju, Bandung, 1995.
Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy:
Theory and Practice in Europe and America, Weldham, Mass: Blaisdell Publishing
Conmpany, 5th edition, 19673.
Edward S. Corwin dan JW Peltason, Understanding Constitution,
Holt, Rinehart and Winston, Inc., New York, Chicago, San Fransisco, Toronto,
London, 1967.
Erwin Chemerinsky, Constitusional Law: Principles and
Policies, Aspen Law and Business, New York, 1997.
James A. Curry, Ricard B. Railey, dan Richard M. Battistoni,
Constitutional Government, The American Experince (1989),
Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di
Bebagai Negara, Konstitusi Pers, Jakarta, 2005.
KC Wheare, the Modern Constitutions, Oxford University Press,
3rd Impression, London-New York, Toronto, 1975.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan
Pemasyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Setjen
MPR-RI, Cet. III, Juni 2007.
Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang
Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum, disertasi Bidang
Ilmu Hukum di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1993.
Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi dalam Rangka Reformasi
Tata Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan
Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007.
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
Alumni, Bandung, cet. IV. 1978.
[1] Yang asli di
sini dimaksudkan sebagai UUD yang ditetapkan pertama kali oleh PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945 yang kemudian diberlakukan lagi dengan Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 setelah diantarai oleh berlakunya Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950.
[2] Istilah resminya adalah “perubahan” tetapi di dalam makalah
ini istilah perubahan dipergunakan secara sama dengan istilah amandemen sebab
secara istilah amandemen itu memang berarti perubahan.
[3] Baca Makalah yang isampaikan pada
Konvensi Hukum Nasional UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Grand Design
Sistem dan Politik Hukum Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional – Departemen Hukum dan HAM di Jakarta tanggal 15-16 April Tahun 2008.
[4] Baca Tulisan Moh.Mahfud MD Wacana Amandemen Ke-V UUD 1945 Guru Besar Fakultas Hukum UII dan Hakim Konstitusi pada Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia.
[5] Secara substansi
Bagian ini pernah disampaiakn dalam diskusi di Fraksi PKB MPR , tanggal 10 Januari
2008.
[6] Baca Saat fit and proper test
untuk seleksi calon Hakim Konstitusi tanggal 12 Maret 2008 yang lalu pemakalah
mengemuakan 10 rambu yang tidak boleh dilakukan oleh MK karena kesepuluh hal
yang dirambukan tersebut melanggar ke ranah legislatif atau melampaui batas
kewenangan MK sebagai lembaga yudisial.
[7] Adanya putusan MK yang
ternyata salah atau menimbulkan problem padahal putusan tersebut bersifat final
dan mengikat. Ada kasus sengketa hasil pemilu yang oleh MK gugatannya ditolak
tetapi ternyata pelakunya dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan umum karena
ternyata memang melakukan kecurangan. Contoh lain adalah putusan MK yang
mengeluarkan Hakim Konstitusi dari lingkup atau cakupan pengawasan oleh Komisi
Yudisial padahal kita, misalnya, menghendaki Hakim Konstitusi itu diawasi juga
oleh KY. Karena masalah ini merupakan materi muatan konstitusi maka
pembenahannya haruslah melalui amandemen konstitusi.