Manata Kewenagan Komisi Yudisial (KY) Sebagai Lembaga Negara Menuju Amandemen Kelima UUD 1945

     
Makalah di Tulis Oleh : MOHD HADIDI[1]



[1] Makalah Ujian Akhir Semister (UAS) Mata Kuliah Hukum Kontitusi Dan Demokrasi Prodi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.
1.1.Latar Belakang
Wacana perubahan Amandemen ke lima UUD 1945 masih berlangsung yang pada garis besarnya dapat petakan terbagi tiga kelompok kelompok pertama, kelompok atau arus yang ingin kembali ke UUD 1945 yang asli.[1]
Kedua, kelompok atau arus yang ingin mempertahankan UUD hasil amandemen[2] yang ada sekarang dan; Ketiga, kelompok atau arus yang ingin melakukan perubahan atau amandemen lanjutan yang di dalam Konvensi ini disebut Amandemen Kelima.[6]
Arus kedua pada umumnya diikuti oleh (anggota-anggota) parpol yang memiliki kursi dominan di DPR dan MPR, terutama mereka yang dulunya menjadi anggota Pantia Ad Hoc I MPR yang bertugas menggodog perubahan UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002.
Menurut mereka perubahan lanjutan itu tidak perlu dilakukan karena hasil amandemen yang ada sekarang sudah menyerap dan mengompromikan semua aspirasi yang berkembang di dalamm masyarakat ketika itu. Menurut mereka harus disadari bahwa melakukan perubahan atas UUD itu akan menguras energi yang sangat besar dan apa pun hasilnya pasti akan ada yang mepersoalkan juga; diubah lagi pun pasti kelak akan ada yang mempersoalkan atas hasil-hasilnya.
Upaya mengubah kembali UUD berpotensi memancing konflik politik yang dapat mengganggu upaya atau konsentrasi kita menyelenggarakan pemerintahan untuk memperbaiki nasib rakyat. Maka bagi arus ini yang penting melaksanakan dulu isi UUD 1945 hasil amandemen dengan sebaik-baiknya. Harus dikemukakan juga bahwa karena kuatnya wacana perubahan lanjutan di dalam masyarakat, meski banyak anggotanya di MPR/DPR yang tak setuju namun parpol-parpol pada umumnya mengatakan bahwa perubahan lanjutan atas UUD 1945 dapat dilakukan tetapi timing-nya belum tepat jika dilakukan sebelum tahun 2009.

Arus ketiga merupakan arus yang paling kuat karena didukung oleh hampir semua akademisi hukum dan ilmuwan politik di perguruan tinggi , lembaga studi Konstitusi, LSM-LSM pegiat hukum dan Konstitusi, anggota-anggota Komisi Konstitusi, dan beberapa ormas besar. Alasan perlunya perubahan lanjutan menurut pengikut arus ini karena dalam kenyataanya UUD 1945 hasilperubahan memang mengandung beberapa kelemahan yang harus diperbaiki kembali sebagai tuntutan yang wajar.
Adanya perbedaan arus sikap yang dapat dikemukakan secara terbuka tanpa harus takut ditindak oleh penguasa, seperti ekspressi yang dilakukan oleh pengikut ketiga arus itu, harus dicatat sebagai kemajuan tersendiri dalam kehidupan berdemokrasi setelah dilakukannya perubahan atas UUD 1945. Kita tak dapat membayangkan dapat mempersoalkan UUD yang berlaku (yalni UUD 1945) pada dua orde sebelum reformasi yakni Orde Lama (1959-1967) dan Orde baru (1967-1998). Pada kurun waktu yang panjang itu UUD 1945 diberhalakan sedemikian rupa sehingga tak boleh dipersoalkan.[9]
Arus pertama digerakkan atau dikuti oleh beberapa tokoh terutama beberapa purnawirawan TNI yang dulunya memang telah bersumpah untuk menjadi Sapta Margais yang setia pada Pancasila dan UUD 1945.[7] Pendukung arus ini tidak banyak namun tetap ada, bahkan pada acara seminar yang diselenggarakan oleh Anggota Watimpres tanggal 3 April 2008 yang lalu masih ada yang menyesalkan perubahan UUD 1945 tersebut. Alasan pengikut arus ini perubahan UUD 1945 telah kebablasan, mengkhianati amanat dan hasil karya pada pendiri atau founding people, [8] emosional, terburu-buru, dan tidak menyerap aspirsi masyarakat atau disosialisasikan secara proporsional.

Bagi pemakalah kedudukan dan fungsi KY sebagaimana diatur di dalam UUD sekarang sudah tepat, namun perlu penegasan kembali. Putusan MK bahwa KY hanyalah supporting institution dapat benar dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman, tetapi dapat ditegaskan bahwa sebagai lembaga pengawas eksternal kedudukan KY bukan supporting malinkan dapat juga disebut sebagai main institution. Oleh sebab itu sebagai lembaga negara kedudukan KY sejajar dengan MK maupun MA.
Amandemen atas UUD 1945 perlu dilakukan untuk menegaskan fungsi-fungsi tersebut yang pada pokoknya mengarah pada penguatan KY sebagai lembaga pengawasan ekternal dalam kekuasaan kehakiman yang selain mengawasi Hakim Agung dan hakim-hakim di lingkungan MA juga mengawasi Hakim Konstitusi. Dengan pandangan ini maka pasal 24B yang mengatur KY perlu diamandemen dan disinkronkan kembali dengan npasal 24A dan pasal 24C.
    II.            Rumusan Masalah
2.1     Perlukah Amandemen UUD 1945 Untuk Pengutan Lembaga Negara?
2.2     Penguatan seperti apa yang akan diusulkan untuk Komisi Yudisial pada Amandemen Kelima UUD 1945?

 III.            Pembahasan
3.1  Wacana Amandemen Kelima UUD 1945 Untuk Pengutan Lembaga Negara.
Perlunya perubahan atau amandemen lanjutan atas UUD 1945 mengingat hasil amandemen dengan tetap memberi catatan penting bahwa UUD 1945 hasil perubahan yang ada sekarang ini sudah membawa kemajuan dalam kehidupan ketatanegaraan kita.[3]
Mengingat tak dapat dipungkiri, telah banyak kemajuan yang diraih dalam kehidupan ketatanegaraan kita berdasar UUD 1945 hasil amandemen itu. Kehidupan bernegara kita jauh menjadi lebih demokratis. Tak ada lagi sensor bagi pers, apalagi pembreidelan terhadap pers, proses pemilu berjalan demokratis, pemerintah tidak bisa lagi bersikap otoriter karena selalu dikontrol oleh pers, masyarakat, dan lembaga-lembaga politik lainnya.
Di antara yang perlu diberi catatan khusus tentang kemajuan ketatanegaraan kita adalah eksistensi dan prestasi Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yudikatif baru. Pada masa lalu banyak sekali UU yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah (dan DPR hanya dijadikan semacam rubber stamp) tanpa bisa dibatalkan meski isinya diindikasikan kuat melanggar UUD. Perubahan atas UU yang bermasalah pada masa lalu hanyalah dapat dilakukan melalui legislative review yang dalam praktiknya sangat ditentukan oleh pemerintah. Bahkan kasus perubahan RUU Penyiaran tahun 1997 menjadi noda hitam yang sulit dihapus dari sejarah perjalanan legislasi kita.[4]
Saat itu RUU Penyiaran sudah dibahas dan diperdebatkan dalam waktu yang lama di DPR sampai akhirnya Pemerintah dan DPR menyetujui untuk diundangkan. Tetapi begitu disampaikan kepada Presiden untuk ditandatangani dan diundangkan ternyata Presiden menolak dan meminta dibahas kembali untuk diubah sebagian isinya. Masalah inilah yang mendorong munculnya pasal 20 ayat (5) dalam UUD 1945 hasil amandemen sekarang ini.
Dengan adanya MK semua UU yang dinilai bertentangan dengan UUD dapat dimintakan judicial review (pengujian yudisial) untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional sehingga tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dapat dikemukakan bahwa MK telah tampil sebagai lembaga negara yang independen dan cukup produktif mengeluarkan putusan-putusan yang sangat mendukung bagi kehidupan ketatanegaraan yang demokratis.
Bayangkan saja, dalam usianya yang belum mencapai lima tahun (dibentuk bulan Agustus 2003) MK sudah melakukan dan memutus pengujian (judicial review) UU terhadap UUD sebanyak lebih dari 140 kali. UU yang diuji memang berjumlah 63 UU, tetapi banyak UU yang diuji lebih dari satu kali (bahkan ada yang diuji sampai tujuh kali, yaitu UU tentang KPK) dengan materi pengujian yang berbeda-beda. Memang dari sekian banyak putusan MK ada beberapa (sekitar empat atau lima) putusan yang kontroversial karena dianggap melampaui batas kewenangan dan melanggar atau masuk ke ranah legislatif.[5]
Pemakalah termasuk yang mengritik keras kenyataan-kenyataan tersebut.[6] Tetapi harus diingat bahwa adanya empat atau lima vonis yang kontroversial itu sangatlah kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan vonis yang berjunlah lebih dari 140 vonis. Selain itu harus diingat pula bahwa sebuah vonis yang kontroversial itu belum tentu salah.
Lebih lanjut, Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga negara yang dibentuk di dalam rumpun kekuasaan kehakiman, tetapi bukan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman. Menurut putusan MK No. 005/2006 lembaga ini merupakan supporting institution yang khusus dibentuk sebagai lembaga pengawas eksternal bagi lembaga kekuasaaan kehakiman. Menurut UUD lembaga ini berhak mengusulkan calon hakim agung dan mempunyai wewenang lain untuk menjaga martabat, kehormatan, dan perilaku hakim.
Namun dalam pelaksanaan tugasnya ternyata langkah-langkah KY ditanggapi secara kontroversial. Bahkan kewenangan lembaga ini dipangkas melalui putusan judicial review oleh MK berdasar permohonan yang dialakukan oleh 30 orang hakim agung. Banyaknya laporan masyarakat ke KY tentang perilaku hakim menyebabkan KY membaca vonis pengadilan bahkan memanggil hakim untuk diperiksa. Langkah ini dianggap dapat mengganggu kemandirian hakim dan dapat mempengaruhi proses perkara yang sedang berlangsung di pengadilan.
Oleh sebab itu ada usulan agar KY hanya menangani perilaku hakim dalam hal-hal yang tak ada hubungannya dengan perkara, artinya KY hanya dapat menangani hal-hal yang terkait dengan etika saja sebab urusan perkara sudah sepenuhnya diawasi oleh MA. Bahkan ada yang mengusulkan agar KY ditempatkan di bawah MA, atau tetap mandiri tetapi ketuanya dirangkap secara ex-officio oleh Ketua MA. Namun ada yang sebaliknya mengusulkan agar Ketua KY lah yang secara ex officio berada di atas ketua MA. Kontroversi tersebut sebenarnya lebih emosional daripada rasional.[7]

3.2  Usulan Penguatan Lembaga Komisi Yudisial (KY) Pada Amandemen Kelima UUD 1945.
UUD RI 1945 pasca amandemen telah mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan eratdengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicative power) yaitu Komisi Yudisial. Dimana yang menjadi latar belakang lahirnya Komisi Yudisial ini dilatarbelakangi olehkenyataan bahwa pengawasan terhadap Mahkamah Agung, hakim-hakim agung, dansemua hakim secara internal lemah, serta tidak ada lagi lembaga pengawasan internalyang bisa dipercaya,
Setelah terbentuk Komisi Yudisial sebagai Lembaga Negara yang diantaranya mempunyai tugas pengawasan hakim ekternal, namun peran dan fungsi KomisiYudisial terasa sangat dibatasi oleh ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004Tentang Komisi Yudisial, adalah sebagai berikut :
Komisi Yudisial yang dinyatakan dalam undang-undang Komisi Yudisial sebagai lembagayang Independen, akan tetapi mulai proses pembentukan menunjukkan ketidak independenan.
 Proses pembentukan Komisi Yudisial yang tidak independen terlihat adanya kewenanganDPR ikut serta memberikan pertimbangan usulan kepada Presiden.
Batasan usia untuk menjadi Angota KY berusia setinggi-tingginya 68 tahun (Pasal 26 c).Tugas KY cukup berat, maka dipandang terlalu tua dan tidak produktif. Sruktur Komisi Yudisial dalam melaksanakan tugas-tugasnya dibantu Sekretaris Jenderalyang dijabat oleh pejabat pegawai negeri sipil, (Pasal 11 dan 12), sehingga KY kehilanganeksistensinya dan terkendali oleh pemerintah.
. Komisi Yudisial dalam melaksanakan wewenangnya melakukan pendaftaran dan seleksi penerimaan calon Hakim Agung (Pasal 14) dan mengusulkan pengangkatan Hakim Agungkepada DPR. (Pasal 13 a dan Pasal 14 d). Proses ilmiah dan akademisi (Pasal 18) akan berubahmenjadi proses politik (Pasal 18 (5), Pasal 27), dan hakim Agung tercipta kondisikan olehkepentingan kepentingan politik dan menjadi tangan panjang partai politik.6. Komisi Yudisial dalam melaksanakan pengawasan terhadap kinerja Hakim Agung danHakim-Hakim terasa jauh dari kemampun, (Pasal 22), karena jumlah personil KY dengan jumlah personil hakim jauh lebih banyak personil hakim yang diawasi.
 Komisi Yudisial dalam menjatuhkan sanksi terhadap hakim agung dan hakim oleh KYdiserahkan kepada Mahkamah Agung (Pasal 23 (2) dan (3) ), Hal ini menghapuskan peran danfungsi KY yang esensial. Fungsi esensial ini justru diserahkan pada MA.
 Penjatuhan sanksi terhadap Hakim Agung dan Hakim-Hakim oleh KY diserahkan kepadaMA, menunjukkan bahwa KY sebenarnya esensi kewenangannya telah dihapus oleh undang-undang, dan kewenagan KY dibawah kewenangan MA, KY tidak dapat melakukan peran danfungsinya dengan baik, karena MA tidak tersentuh oleh KY.
Hakim yang akan dijatuhi sanksi diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim (Pasal 23 (4) ), kalau diterima oleh MKH, maka hakimtidak dapat diajukan oleh MA dan atau MK ke presiden untuk dijatuhi sanksi.
Kegiatan Komisi Yudisial saat sekarang ini nampak pada kegiatan kegitan seminar-seminar dan kerjasama dengan Perguruan Tinggi, sehingga lebih nampak sebagai lembaga ilmiahdaripada lembaga Yudisial.
Lahirnya UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut didalam prakteknya telahmenimbulkan ketegangan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Awal dan pokok  persoalan yang memicu ketegangan tersebut adalah perbedaan penafsiran terhadap yurisdiksitugas pengawasan perilaku hakim. Pasal 20 UU nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisialmenegaskan bahwa, dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakimdalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Terhadap ketentuan Pasal 13 huruf b dan Pasal 20 diatas, Komisi Yudisial menganggap bahwadalam melakukan pengawasan terhadap hakim sudah barang tentu haruslah berlandaskankekuasaan yang diberikan oleh Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yangdijabarkan dalam Pasal 22 Ayat (1) UU nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
“Bahwa semua pemeriksaan yang dilakukan Komisi Yudisial didasarkan pada UU npmpr 22
Tahun 2004 dan Peraturan yang dibuat dan dibentuk Komisi Yudisial berdasarkan delegasi atauatribusi kekuasaan, termasuk memasuki wilayah teknis-yudisial peradilan dengan membaca danmengkaji putusan hakim yang bersangkutan, hal tersebut sebagai pintu masuk (entry point)”.
Sebab secara universal telah diterima oleh masyarakat beradab bahwa kehormatan dan keluhuranmartabat seorang hakim dapat dilihat dari putusan yang dibuatnya. Komisi Yudisial bukan sajamengawasi perilaku hakim di luar pengadilan tapi juga mengawasi perilaku hakim dalammelaksanakan tugas peradilan agar tidak terjadi mafia peradilan (judicial corruption) yang saatini menjadi masalah nasional yang perlu diberantas.
 Komisi Yudisial berpendapat bahwa objek  pengawasan meliputi seluruh hakim.Tidak terkecuali Hakim Agung dan Hakim MahkamahKonstitusi. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 1 angka 5 UU No. 22 Tahun 2004Tentang Komisi Yudisial.12. Mahkamah Agung menganggap bahwa secara universal kewenangan pengawasan olehKomisi Yudisial tidak menjangkau hakim agung, karena Komisi Yudisial adalah mitraMahkamah Agung dalam pengawasan terhadap para hakim pada lingkungan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dan pengawasan perilaku oleh Komisi Yudisial tidak termasuk pengawasan atas putusan hakim (dan eksekusi putusan). Pengawasan terhadap putusan (teknis yudisial) adalah wewenang Mahkamah Agung. Sebab, jika hal tersebut dilakukan olehKomisi Yudisial dapat mengancam independensi hakim. Menurut Mahakamah Agung,“pengawasan terhadap perilaku Hakim” hanyalah merupakan media dengan tujuan pokoknya adalah “dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim “. semestinya “ media pengawasan ” haruslah dilakukan dan didasarkan atas semangat itikad baik ( good faith), bukannya justru dijadikan media untuk memasuki substansi/ wilayahtehnis penyelesaian perkara, yang bukan menjadi tugasnya Komisi Yudisial, dan kemudianmerekomendasikan pemberhentian Hakim, hal tersebut adalah merupakan bentuk perbuatan yang bukan saja mengintervensi dan mengintimidasi bahkan cenderung telah merusak suatu sistem (lembaga peradilan yang memiliki kemerdekaan yang dijamin oleh konstitusi dan bersifatuniversal ).
 Putusan Mahkamah Kostitusi No.005/ UUP.IV/2006, Mahkamah Konstitusi merenggutfungsi dari Komisi Yudisial yaitu melalui putusan tersebut tentang pengawasan terhadap parahakim dan Hakim Agung serta peradilan dibawah Mahkamah Agung dilakukan sendiri olehMahkamah Agung secara internal. Hal ini membuat lembaga negara yang bernama KomisiYudisial ini seperti mati suri. Menurut beberapa pihak dan pakar, keputusan MahkamahKonstitusi ini bertentangan dengan pasal 24B UUD 1945 dan pasal 13 huruf b Undang-undang No.22 Tahun 2004. Mahkamah Konstitusi (MK) memangkas kewenangan tersebut saat memutus permohonan judicial review UU No.22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial pada 23 Agustus2006.
Bahkan dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan diri sebagai lembaga „untouchable‟  di negeri ini dengan memutuskan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk sebagai pihak yang diawasi oleh Komisi Yudisial. Putusan Mahkamah Konstitusi disatu sisi memangmemperlambat laju pembersihan peradilan melalui Komisi Yudisial.
Ditengah kondisi peradilanyang masih buruk rupa, dihilangkannya fungsi pengawasan eksternal hakim jelas „membahagiakan‟ mafia peradilan. Tetapi disatu sisi, harus diakui bahwa putusan Mahkamah. Konstitusi memberikan peluang penguatan Undang-undang tentang Komisi Yudisial yangmengandung begitu banyak kelemahan.

















Daftar Pustaka
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, CV Mandar Maju, Bandung, 1995.
Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, Weldham, Mass: Blaisdell Publishing Conmpany, 5th edition, 19673.
Edward S. Corwin dan JW Peltason, Understanding Constitution, Holt, Rinehart and Winston, Inc., New York, Chicago, San Fransisco, Toronto, London, 1967.
Erwin Chemerinsky, Constitusional Law: Principles and Policies, Aspen Law and Business, New York, 1997.
James A. Curry, Ricard B. Railey, dan Richard M. Battistoni, Constitutional Government, The American Experince (1989),
Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Bebagai Negara, Konstitusi Pers, Jakarta, 2005.
KC Wheare, the Modern Constitutions, Oxford University Press, 3rd Impression, London-New York, Toronto, 1975.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Setjen MPR-RI, Cet. III, Juni 2007.
Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum, disertasi Bidang Ilmu Hukum di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1993.
Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi dalam Rangka Reformasi Tata Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007.
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, cet. IV. 1978.




[1] Yang asli di sini dimaksudkan sebagai UUD yang ditetapkan pertama kali oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang kemudian diberlakukan lagi dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 setelah diantarai oleh berlakunya Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950.
[2] Istilah resminya adalah “perubahan” tetapi di dalam makalah ini istilah perubahan dipergunakan secara sama dengan istilah amandemen sebab secara istilah amandemen itu memang berarti perubahan.

[3] Baca Makalah yang isampaikan pada Konvensi Hukum Nasional UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional – Departemen Hukum dan HAM di Jakarta tanggal 15-16 April Tahun 2008.
[4] Baca Tulisan Moh.Mahfud MD Wacana Amandemen Ke-V UUD 1945 Guru Besar Fakultas Hukum UII dan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
[5]  Secara substansi Bagian ini pernah disampaiakn dalam diskusi di Fraksi PKB MPR , tanggal 10 Januari 2008.
[6] Baca Saat fit and proper test untuk seleksi calon Hakim Konstitusi tanggal 12 Maret 2008 yang lalu pemakalah mengemuakan 10 rambu yang tidak boleh dilakukan oleh MK karena kesepuluh hal yang dirambukan tersebut melanggar ke ranah legislatif atau melampaui batas kewenangan MK sebagai lembaga yudisial.
[7] Adanya putusan MK yang ternyata salah atau menimbulkan problem padahal putusan tersebut bersifat final dan mengikat. Ada kasus sengketa hasil pemilu yang oleh MK gugatannya ditolak tetapi ternyata pelakunya dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan umum karena ternyata memang melakukan kecurangan. Contoh lain adalah putusan MK yang mengeluarkan Hakim Konstitusi dari lingkup atau cakupan pengawasan oleh Komisi Yudisial padahal kita, misalnya, menghendaki Hakim Konstitusi itu diawasi juga oleh KY. Karena masalah ini merupakan materi muatan konstitusi maka pembenahannya haruslah melalui amandemen konstitusi.