(Kajian Sosiologi Hukum
Pada Masyarakat Indonesia Yang Multikultural)
Ditulis Oleh
Muhammad Hadidi, |
Dalam konteks Indonesia sekarang ini sering munculnya wacana tentang formalisasi Syari’at Islam dan yang semakin hari semakin mengemuka, seperti yang sudah diterapkan di Nangroe Aceh Darussalam, dan munculnya perda syariat islam di beberapa daerah di Indonesia
dan kemudian sering adanya Kongres ormas-ormas Islam yang membahas
tentang formalisasi sayaraiah di Indonesia, dan adanya
tuntutan beberapa oknum-oknum dan juga tidak jarang menamakan dirinya ormas-ormas
Islam di Indonesia mengembalikan UUD 1945 kembali ke redaksi piagam Jakarta yang
dimana disana ada penaabahan tujuh kata pada sila pertama yaitu “Kewajiban
menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Semangat untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia
tampaknya tidak pernah padam. Hal ini
memang jika kita lacak dari sejarah masuknya Islam di Indonesia serta sejarah
pergulatan politik nasional tentang mendirikan negara. Memang syariat Islam
telah menjadi sejarah bangsa Indonesia. Semenjak Islam masuk ke negeri ini,
kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan syariat di
daerahnya. Setelah penjajahan Belanda berkuasa pun, kerajaan-kerajaan Islam
yang ada masih berusaha menegakkannya,walaupun secara berangsur-angsur hukum barat
(hukum poistif) ataupun adat diterapkan.
Namun pergerakan nasional yang bersifat Islam menempatkan
penegakan syariat Islam sebagai cita-cita.[1] Sementara itu disisi lain, Indonesia,
secara sosiologis adalah negara yang beragam dari segi Suku, Agama, Ras serta
Golongan (SARA).[2]
Istilah akademisnya, Indonesia adalah negara multikultural. Secara objektif,
Islam adalah agama yang penganutnya terbesar. Namun, Islam di Indonesia tidak
tunggal. Di dalam dirinya, Islam terdiri dari beragam kelompok pemikiran dan
gerakan. Dalam dinamika politiknya, Islam di Indonesia memperlihatkan adanya
pertentangan-pertentangan, terlebih khusus dalam hal hubungan antara Islam
dengan politik (negara).
Bagi kelompok Islam konservatif, negara Indonesia haruslah
berdasar pada Syariat Islam. Sementara menurut kelompok Islam kebangsaan
(nasionalis), dasar negara Indonesia adalah Pancasila, sebuah dasar hukum dan
pandangan hidup yang dihasilkan dari pergumulan atas kemajemukan nusantara
sejak negara ini berdiri.
Menurut laporan Wahid Institute, fenomena terbitnya Perda
dan UU yang mengandung Syariat Islam di Indoensia muncul terutama sejak
era reformasi bergulir 1998.[3]
Sehingga sejak awal tahun 2000-an, isu formalisasi syariah Islam di
Indonesia begitu menyeruak ke publik. Perdebatan soal munculnya
sejumlah Perda yang sering disebut Perda Syariat Islam muncul dibeberapa daerah
di Indonesia merupakan salah satu isu yang hangat di perdebatkan sampai
sekarang.[4]
[1] Deliar Noer,
“Pengantar”, dalam Irfan A. Awwas. 2001.Risalah Kongres Mujahidin 1 dan
Penegakkan Syariah Islam.( Yogyakarta: Wihdah Press). Hal.vii.
[2]
Lihat hasil survey BPS
menyebutkan bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa
(http://www.jpnn.com). Jumlah ragam bahasa di Indonesia adalah 726, terdiri
dari 719 bahasa lokal/daerah (masih aktif digunakan sampai sekarang),2 bahasa
sekunder tanpa penutur asli, dan 5 bahasa tanpa diketahui penuturnya (http://www.ethnologue.com).
Mengenai agama, selain enam agama “resmi” yaitu Islam, Kristen Protestan,
Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, juga terdapat banyak agama asli dan aliran
kepercayaan yang masih hidup di berbagai daerah. Jumlah pulau di Indonesia
menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 adalah
sebanyak 17.504 buah. 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634
belum memiliki nama (http://id.wikipedia.org).
Tahun 204-2015.
[3]
Dalam Wahid Institut, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008
Pluralisme Beragama dan Berkayakinan/Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute,
2008), hal. 21-30.
[4]
Lihat Denni H.R.
Pin0ntoan Wacana Formalisasi Syariat Islam Dalam Konteks Masyarakat multi
Kultural Indonesia” Jurnal Exodus No. 2 Volume XVII, Tahun 2010.
- Wacana Dan Aspirasi
Formalisasi Syariat Islam di Indonesia
Di Indonesia pada tanggal 24
Oktober 2004 lalu Ribuan umat Islam di Jakarta, Semarang
dan Surabaya mendesak tegaknya Syari’at Islam dan khilafah (sistem pemerintahan
Islam). Di Jakarta, pada hari itu, sedikitnya 15 ribu umat Islam yang tergabung
dalam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).[1]
menggelar aksi damai di depan Istana Negara, Jl Merdeka Utara Jakarta. Mereka
membawa spanduk bertuliskan tegakkan syari’at Islam serta pengumpulan tanda
tangan mendukung diberlakukannya syari’at Islam yang dibentangkan di
spanduk panjang.
Dalam demo itu, masa HTI menyampaikan tuntutannya, yaitu, bahwa
sistem pemerintahan yang diridhoi Allah yaitu khilafah bukan sistem lainnya.
Kedua, konstitusi yang diwajibkan oleh Allah bagi kaum muslimin yaitu yang
digali dari Alquran, Assunnah, Ijma dan qiyas para sahabat, bukan konstitusi
buatan manusian.[2]
Front Pembela Islam (FPI), juga termasuk salah satu ormas Islam
yang menuntut formalisasi syari’at Islam lewat pemberlakuan kembali
Piagam Jakarta. Pada tanggal 5 Agustus 2002, FPI mengadakan aksi unjuk rasa ke
Gedung MPR/DPR Senayan, menuntut dicantumkannya syari’at Islam dalam
amandemen UUD 1945. Ketua Umum FPI Al Habib Muhammad Rizieq Shihab dalam
orasinya membagi partai politik dalam dua jenis, yaitu partai Allah dan partai
Setan. Partai Allah adalah partai yang mendukung syari’at Islam sebagai
hukum Allah, sedangkan partai setan sebaliknya.[3]
Selain HTI dan FPI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)6, juga
termasuk salah satu ormas Islam yang getol memperjuangkan syari’at Islam dalam
konstitusi negara.[4]
Bahkan, pada tanggal 22 Februari 2007, melalui Abu Bakar Ba'asyir sebagai Amir
Majelis MMI, mereka nekat ke Istana Presiden Jakarta. Ba'asyir menawarkan
syari’at Islam sebagai salah satu solusi kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Ba’asyir yang waktu itu bersama Ketua MMI Fauzan Al Ansori serta
sekitaran 30 orang anggota MMI datang ke istana bermaksud mendesak Presiden SBY
untuk mengeluarkan dekrit pemberlakuan syari’at Islam di Indonesia.
Teknisnya, menurut MMI, Presiden bisa membentuk Mahkamah Syari’at.[5]
Menurut Ahmad Shidqi[6]
ada tiga alasan kenapa MMI memperjuangkan syari’at Islam:
Ø
Pertama, alasan aqidah (ideologis), di mana setiap muslim yang lurus
aqidahnya pastilah menginginkan berlakunya syari’at Islam sebagai
konsekuensi logis dari pengakuannya sebagai muslim sehingga mereka terbebas
dari bencana dan malapetaka, kehancuran dan kebinasaan sebagai firman Tuhan
dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat ke 36.
Ø
Kedua, alasan historis, di mana perjalanan sejarah umat Islam sejak
zaman Rasulullah hingga khulafah al-Rasyidun dan khalifah-khalifah sesudahnya,
yang mereka itu para tabi’in dan salafus salih hingga akhir runtuhnya Khalifah
Ustamaniyah di bawah Sultan Abd Hamid II tahun 1924. Mereka semua hidup dalam
sistem Islam, yaitu khilafah dengan tetap menjaga wihdatul ummah (kesatuan umat
secara global) dan wihdatul imamah (kesatuan kepemimpinan secara global),
sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surat al-Mu’minun, ayat ke-52 dan 53.
Ø
Ketiga, alasan realitas zaman, yakni berencana dengan kenyataan hidup masa
kini dengan munculnya era globalisasi yang justru diwarnai dengan krisis
multidimensional yang berkepanjangan maka saatnya umat Islam dituntut lebih
berani menawarkan mutiara al-Qura’an dan al-Hadits dengan tanpa ragu dan minder
demi mengatasi segala macam problema yang menimpa umat manisia dengan mengikuti
perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat ke-139.9
Tuntutan terhadap formalisasi syari’at Islam dengan pemberlakuan
kembali Piagam Jakarta tak hanya getol diperjuangkan oleh ormas-ormas Islam,
tapi juga partai-partai politik berideologikan Islam. Dalam empat kali Sidang
Tahunan Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR), dari tahun 1999 sampai 2002.[7]
Wacana mengembalikan Piagam Jakarta dalam Undang-udang Dasar 1945
menjadi pembicaraan hangat dalam sidang-sidang tersebut. Ada tiga partai
berbasis Islam yang gigih memperjuangkannya, yaitu Partai Bulan Bintang (PBB)[8],
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Daulah Ummah (PDU). Dalam empat
kali pembahasan amandemen UUD 1945 tersebut pokok diskusi yang cukup alot dan
krusial dibicarakan oleh anggota sidang adalah Pasal 29:1 UUD 1945 yang
berbunyi: ”Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.12 Ketiga perwakilan
partai tersebut sudah sejak Sidang Tahunan Pertama pada tahun 1999 mengajukan
proposal untuk memasukan ”tujuh kata”13 Piagam Jakarta14 dalam amandemen pasal
29:1 UUD 1945.
Selanjutnya jika kita lacak sejarah Indonesia perdebatan soal
formalisasi syari’at Islam dalam kaitan dengan dasar negara telah dimulai sejak
negara ini berdiri, yaitu sejak tahun 1945 dalam sidang-sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung dari tanggal 29
Mei sampai 16 Juli 1945.[9]
Dalam sidang ini terjadi perdebatan yang alot soal dasar negara.
Kelompok Islam19 berusaha menjadikan dasar negara Indonesia merdeka berdasar
pada syari’at Islam. Sementara kelompok nasionalis kebangsaan berpendirian
bahwa urusan agama dan negara harus dipisahkan. Dasar dari kelompok Islam,
bahwa karena penduduk beragama Islam di Indonesia adalah mayoritas dan telah
mengakar, maka adalah suatu keharusan untuk mendirikan Indonesia atas dasar
syari’at Islam.
Perdebatan yang alot antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis
kebangsaan diakhiri dengan terbitnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, hasil
kerja dari Panitia Sembilan. Namun, Piagam Jakarta ini batal menjadi bagian
dari konstitusi Indonesia merdeka, karena pada tanggal 18 Agustus 1945 terjadi
perubahan dalam pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945 yang ditetapkan oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Berikut, mengikuti pentahapan
Boland tentang usaha-usaha formalisasi syari’at Islam dalam sejarah Indonesia,
periode perang kemerdekaan yang berlangsung tahun 1945 sampai 1950 adalah juga
penting untuk ditengok lagi kaitan dengan perdebatan dasar negara. Boland
menulis:
”Semua kekuatan umat Islam harus dipusatkan dalam Masyumi[10],
’untuk membela kemerdekaan agama, negara, dan bangsa. Agama yang dimaksud dalam
rumusan ini sudah tentu Islam, yang dirasakan orang telah diserang bersamaan
dengan serangan-serangan terhadap Republik.”[11]
Meski tidak ada
perbedaan yang mencolok antara Partai Islam dengan Partai Nasionalis di periode
ini karena semua kelompok terkosentrasi pada usaha mempertahankan kemerdekaan,
namun agaknya kemenangan Partai Masyumi dalam Pemilu tahun 1955 bermula dari
kekuatan yang terpusat kepadanya di masa ini. Effendy berkomentar: ”Dengan
Masyumi yang dibentuk pada tahun 1945, sebagai wakil politik mereka
satu-satunya, kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar.[12]
Sejak tahun 1950
sampai 1959, konstitusi Indonesia berdasar pada UUD 1950. Di tahun 1955
diadakan Pemilu. Di masa kampanye, Partai Masyumi menyampaikan
gagasan-gagasannya untuk menjadikan syari’at Islam sebagai dasar negara.
Menurut catatan Effendy, salah satu yang memicu kembali konflik ideologis
antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam adalah penegasan Presiden
Soekarno yang merepresentasi kelompok nasionalis untuk menfinalkan Pancasila
dan menolak pemberlakuan negara berdasar asas Islam.
Setelah Pemilihan Umum,
dimulailah sidang-sidang konstituante. Dalam pembahasan soal dasar negara,
kembali lagi mengemuka perdebatan lama, yaitu negara Pancasila atau negara
Islam yang bersamaan dengan itu muncul lagi perdebatan tentang Piagam Jakarta.
Dalam sidang itu, penolakan terhadap kelompok Islam (Partai Islam), tidak hanya
datang dari kelompok nasionalis, misalnya Partai Nasionalis Indonesia (PNI)
sebagai partai pemenang pemilu masa itu, namun juga datang dari
partai-partai Kristen, yaitu Parkindo dan Partai Katolik.
Perdebatan ini
terjadi secara alot. Untuk mengatasi perdebatan ini, jalan yang ditempuh adalah
melalui voting. Tapi, voting ternyata tidak berhasil memperoleh suara mayoritas
2/3 dari keseluruhan anggota konstituante. Maka, sidang konstituantepun buntu. Untuk
mengatasi masalah ini, maka sidang majelis konstituante diberhentikan pada
tanggal 2 Juni 1959. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekano mengeluarkan
Dekrit Presiden, yang intinya membubarkan Konstituante dan kembali pada UUD
1945 serta Pancasila sebagai dasar negara. Menariknya, di dalam konsideran
dekritnya yang kelima dinyatakan bahwa Presiden yakin bahwa Piagam Jakarta 22
Juni 1945 menjiwai Undang-udang Dasar 1945 dan dihubungkan menjadi satu
kesatuan dengan UUD tersebut.[13]
Wacana formalisasi
syari’at Islam untuk menjadi bagian dari konstitusi negara kembali
mengemuka dalam Sidang-sidang Tahunan Amandemen UUD 1945 selang tahun 1999
sampai 2002. Dalam ingatan historis kelompok Islam, bahwa Piagam Jakarta tak
pernah dibatalkan secara konstitusi, apalagi Dekrit Presiden 5 Juli 1959
menegaskan kesatuan antara UUD 1945 dengan Piagam Jakarta. Selain karena
ingatan historis dan motivasi politiknya, usaha-usaha memasukan Piagam Jakarta
dalam konsitusi negara di era reformasi usaha ini juga dirasa mendapat legitimasi
secara teologis, seperti pendapat-pendapat yang dikemukakan baik oleh pemimpin
atau aktivis ormas-ormas Islam, mapun partai-partai Islam.
Wahid Institute[14]
melaporkan, latar belakang fomalisasi syariat Islam dalam regulasi, aturan
serta hukum di Indonesia tidak tunggal. Namun, jika dipetakan ada beberapa
konteks pergumulan Islam dan kebangsaan yang bisa disebut, yaitu:
Ø
Pertama, ada keyakinan yang sangat mendalam pada diri
umat Islam bahwa Islam adalah agama paling sempurna. Ia tidak hanya terkait
urusan ukhrawi, tapi juga politik-duniawi. Adagium yang paling terkenal
adalah Islam dîn wa daulah.
Ø
Kedua, adanya kegelisahan di kalangan (sebagian) umat Islam
mengenai demoralisasi masyarakat. Moral masyarakat yang semakin rusak antara
lain disebabkan semakin jauhnya masyarakat dari agama. Karena itu, untuk
memperbaiki kerusakan moral, tidak ada cara lain kecuali menerapkan moralitas
agama melalui regulasi pemerintah.
Ø
Ketiga, Islam adalah agama yang dipeluk
mayoritas bangsa ini. Sebagai agama mayoritas tidak ada
salahnya jika Islam mewarnai regulasi-regulasi pemerintah. Selama pemerintahan
Orde Baru, umat Islam yang mayoritas itu dipinggirkan secara politik. Karena
itu, ketika situasi politik dimungkinkan aturan-aturan Islam merangsek menjadi aturan
pemerintahan.
Ø
Keempat, hukum yang berlaku di Indonesia sebagian
besar warisan kolonial. Hal ini menjadi salah satu beban
sebagian masyarakat Islam. Kolonial bukan saja
menjajah, tapi juga dianggap sebagai representasi kaum kafr.
Dan, hukum kolonial ini dianggap gagal menyelesaikan problem sosial. Karena
itu, sudah saatnya Islam dan segala perangkat ajarannya mewarnai hukum di
negeri ini.
Ø
Kelima, secara konstitusional tidak ada larangan ajaran
dan hukum Islam menjadi hukum negara. Bahkan, hal ini dianggap sebagai
bagian dari penegakan konstitusi yang di dalamnya menjamin setiap umat beragama
untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya. Dalam kaitan ini, penegakan
aturan dan hukum Islam menjadi bagian dari ajaran Islam. Karena itu, kalau ada
orang yang menghalang-halangi penegakan aturan dan hukum Islam, mereka dianggap
menghalang-halangi penegakan konstitusi.
Ø
Keenam, konteks di atas semakin menguat ketika otonomi daerah
diberlakukan. Dalam UU No. 32 tahun 2004, pasal 136 (ayat 3) disebutkan bahwa
pemerintah daerah diberi kewenangan untuk membuat perda yang dianggap menjadi
kekhasan wilayah itu. Dengan kata “kekhasan” itulah banyak daerah
kemudian merumuskan kekhasannya masing-masing dimana “Islam” juga
dianggap sebagai bagian dari kekhasan itu.
Di luar itu,
ada beberapa konteks yang sifatnya lebih spesifk. Pertama, faktor
sejarah dan budaya lokal. Tumbuhnya berbagai perda bernuansa agama (Islam) ada
hubungannya dengan daerah-daerah yang memiliki sejarah dengan DI/TII, meski
tidak semua demikian.
Faktor sejarah ini terkait juga dengan upaya sebuah daerah untuk
mencari identitas. Kedua, daerah-daerah yang memiliki
potensi korupsi tinggi, sehingga bisa
diprediksikan bahwa perda atau kebijakan tersebut sebagai bagian dari upaya menutupi
korupsi yang dilakukan oleh para politisi, baik di eksekutif maupun legislatif.
Ketiga, pengaruh politik lokal, terutama yang terkait dengan perebutan
kekuasaan. Hal ini terjadi ketika seorang politisi ingin menyalonkan diri
sebagai kepala daerah atau seorang incumbent hendak mencalonkan diri lagi
menjadi calon kepala daerah periode berikutnya.
Maka salah satu alat untuk menarik para pemilih adalah dengan
menawarkan diterapkannya perda-perda bernuansa agama.
Keempat, ketidakmampuan para politisi dalam menyusun sebuah peraturan dan tiadanya visi untuk menyejahterakan masyarakat, sementara di lain pihak adanya kesempatan politik yang luas dan kekuasaan yang cukup untuk membuat berbagai peraturan. Tiadanya kemampuan untuk menggali isu-isu strategis untuk menyejahterakan rakyat dan lemahnya kemampuan untuk menyusun sebuah peraturan tentang pemerintah yang baik (good governance), lalu menjadikan referensi agama sebagai sesuatu yang penting untuk dijadikan aturan.
Keempat, ketidakmampuan para politisi dalam menyusun sebuah peraturan dan tiadanya visi untuk menyejahterakan masyarakat, sementara di lain pihak adanya kesempatan politik yang luas dan kekuasaan yang cukup untuk membuat berbagai peraturan. Tiadanya kemampuan untuk menggali isu-isu strategis untuk menyejahterakan rakyat dan lemahnya kemampuan untuk menyusun sebuah peraturan tentang pemerintah yang baik (good governance), lalu menjadikan referensi agama sebagai sesuatu yang penting untuk dijadikan aturan.
- Tinjauan Secara Sosiologi Hukum
Pro Kontra Formalisasi Syariah
Formalisasi syariat Islam sudah lama bergulir
sejak Indonesia merdeka dan sering bahas dan di perdebatkan sehingga issu tersebut sering menimbulkan pro dan kontra. Salah satu
pandangan yang
berusaha mementahkan ajakan formalisasi syariat Islam (Penolakan formalisasi syariah ) ini diungkapkan dengan berbagai argumentasi
dan dalil. Misalnya, ada yang mengatakan bahwa Indonesia adalah masyarakat
plural, tidak hanya muslim, maka formalisasi syariat Islam yang berlaku umum
tidak dapat diterima.
Bahkan ada yang mempertanyakan, kalau mau
memformalisasikan syariat Islam, syariat Islam yang mana. Bukankah varian
pemahaman umat Islam Islam tentang syariat Islam sifat beragam tidak tunggal. Ada pula yang menyatakan bahwa formalisasi syariat Islam berarti
intervensi negara terhadap kehidupan beragama yang seharusnya bersifat privat
dan individual. Ada pula yang menolak formalisasi syariat Islam karena syariat
Islam tidak sesuai dengan modernitas dan kehidupan publik, misalnya Hukum Internasional,
Hak-Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan sebagainya.[15]
Perdebatan soal
pemberlakuan Syariat Islam (formalisasi sayriah) sampai saat ini masih
menyisakan pro dan kontra, terutama di negara-negara yang secara resmi bukan
sebagai negara Islam. Jika dicermati dalam konteks sosio politisnya, isu
formalisasi Syariat Islam sebagai hukum publik dewasa ini, paling tidak
merupakan fenomena yang didorong oleh kebangkitan Islam (al-sahwah al-Islamiyah /Islamic
awakening) pasca kolonial, terutama setelah perang dunia ke II.
Pada umumnya
kebangkitan Islam ini merupakan respon yang wajar atas beragam krisis
multidimensi yang diakibatkan oleh sistem glaobalisasi dan demokratisasi yang
memang notabene merupakan sistem yang juga tidak menjamin kesejahteran bagi
masyarakat. Sehingga beberapa kelompok-kelompok Islam yang berfikir secara
praktis dan kritis berinisatif menawarkan pemecahakan masalah dari krisis
multidimensi ini dengan pemecahan masalah melalui jalur syariat Islam sebagai
sitem yang diyakini merupakan salah satu jalan keluar dalam mengatasi berbagai
krisis multidimensi yang sedang terjadi.[16]
Selanjutnya di sisi
lain ada kelompok Islam yang berfikiran moderat kelompok ini diwakili olah
Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama kelompok ini tidak sepenuhnya
setuju memformalisasikan syariah (formalisasi Syariah) mengingat masyarakat
Indonesia memiliki bermacam-macam agama dan keyakinan (multikultural) sehingga
hubungan agama dan negara juga tidak bisa dipisahakan. Namun saling bersinergi.
Kemudian kelompok
deformalisasi syariah (Pluralisme) adalah kelompok yang selama ini getol menggagas pluralisme, inklusivisme,
toleransi, dan kulturalisasi Islam kelompok Islam ini secara tegas menginginkan
deformalisasi syariat Islam. Syariat Islam secara formal tidaklah perlu. Karena
yang menjadi poin mendasar keberislaman di Indonesia adalah komitmen kepada
agama secara substansialistik, bukan legalistik formalistik.[17]
Selanjutnya Pemikiran kelompok yang deformalisasi
di atas didasarkan pada kenyataan riil, syariat di Indonesia juga sudah mengakomodasi secara formal beberapa
undang-undang tentang syatiat Islam yang memang membutukan formalitas dari
negara diataranta seperti dalam Undang-undang Perkawinan,Undang-undang Zakat,
Undang-undang Haji, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan sejumlah produk
perundang-undangan lainnya untuk itu secara seseluruhan syariah Islam tidak
diharuskan untuk diformalisasikan oleh negara mengingat Indonesia mempunyai
berbagai macam-macam perbedaan (multikultural) termasuk bermacam-macam keyakinan
Agama.
Syariat Islampun sudah
dipraktekkan umat Islam di Indonesia, seperti salat, zakat, dan haji, tanpa
perlu diperintah oleh negara. Untuk itu kenapa Islam harus mendapatkan
legitimasi formal negara.
Bukankah ini wujud dari
politisasi syariat agama yang cenderung
tidak produktif, dan justru menambah deretan konflik. Indonesia ini bukanlah negara agama atau tegasnya bukan
negara Islam, sehingga tidak layak memberlakukan syariat Islam secara formal
dan total.
Indonesia adalah negara
plural yang menampung banyak agama, tidak hanya Islam. Sehingga produk
perundang-undangannya tidak boleh eksklusif secara keseluruhan, tetapi
menampung aspirasi agama-agama lain. Belum lagi problem mendasar dalam memahami
syariat Islam. Perbedaan mazhab fiqh akan banyak menimbulkan perbedaan hukum.
Inilah yang menyebabkan gagasan formalisasi syariat Islam tidak tepat untuk
diterapakn secara legal formal di Indoensia.
Untuk lebih memudahkan memahami pro dan kontra formalisasi Syariah
di Indonesia, paling
tidak kita bisa memetakan ada tiga arus besar (pendapat kelompok Islam) yang
mengemuka dalam menyikapi formalisasi syariat Islam di Indonesia sebagai
berikut.[18]
: .
Ø Pertama, arus formalisasi Syariat. Kelompok ini menghendaki agar Syariat
dijadikan landasan riil berbangsa dan benegara, implikasinya ia getol menyuarakan perlunya mendirikan
negara Islam atau dengan berupaya memasukan Syariat Islam secara formal dalam
Undang undang negara. Kelompok ini
diwakili oleh beberapa Ormas Islam Seperti HTI, FPI, DII dll)
Ø Kedua, arus deformalisasi Syariat. Kelompok ini lebih memilih pelaknaaan
Syariat secara substantif. Pemaknaan Syariat tidak serta merta dihegemoni oleh
negara, karena wataknya yang represif. Syariat secara individu sudah
diterapkan, sehingga formalisasi dalam undang undang tidak mempunyai alasan
yang kuat. Diwakili tokoh seperti Gusdur
dll
Ø
Ketiga, arus moderat. Kelompok
ini dikesankan mengambil jalan tengah, menolak sekularisasi dan Islamisasi.
Pemandangan tersebut menjadi bukti kuat, bahwa penerapan Syariat Islam merupakan
arena perdebatan yang subur, dan tak jarang mengalami tarik ulur.
Ø
Keempat, Syariat sebagai
elemen tertinggi dalam agama mempunyai legitimasi paling kuat untuk
menjustifikasi kebenaran agama. Keislaman yang semestinya dapat dipahami
kepasrahan diri, pembebasan dari penindasan, pemihakan pada kaum lemah,
kemudian direduksi dalam syariat rigid dan kaku. Syariah dimaknai sebagai
“keakuan” yang tidak terjamah dan mesti dibela hingga titik darah penghabisan.
Syariat menjadi alat untuk mempersempit ruang agama, sehingga pada
taraf tertentu syariat bermetamorfosa menjadi agama tersendiri. Bagi kalangan
yang berpijak pada arus formalisasi Syariat, penafsiran tunggal terhadap
Syariat menjadi solusi tepat untuk mengiring kearah sentral. Hingga akhirnya
kemunculan “agama syariat” tidak bisa dihindarkan. Pemikiran serius diatas,
akhirnya mendapatkan perlawanan yang serius.
Menurut Muhammad An-Naim dalam tulisannya
menegaskan bahwa Syariat tidak dapat diundangkan sebagai hukum positif karena
memang bertentangan dengan asas kesukarelaan umat Islam, dan akan tetap menjadi
sumber dari sistem sanksi agama yang bersifat normatif. Maraknya klaim untuk
mendirikan negara Islam dengan formalisasi Syariat sebagai hukum positif
(sebagaimana terjadi di Iran, Sudan dan pakistan, afganistan dll) adalah sebuah
kontradiksi istilah dan sebuah kenaifan. Sebagaimana yang ia contohkan, bahwa
kebanyakan pelanggaran HAM di Sudan sekarang secara langsung disebakan oleh
aplikasi Syariah (Hukum Islam), walaupun sangat terkait dengan sifat dasar yang
melekat pada rezim militer Sudan yang cenderung tidak toleran terhadap segala
gerakan oposisi politik, dan cenderung mengambil kebijakan-kebijakan keras,
tanpa memperdulikan akibatnya bagi masyarakat.
Ia menegaskan bahwa
hubungan antara aplikasi syari’ah dan pelanggaran standar-standar HAM yang
diakui secara internasional, dipandang mempunyai kompleksitas permasalahan yang
menjadi penyebabnya. Sebagaimana diketahui, saat ini Sudan sedang mengalami
konflik perang saudara yang bermuara dari pertentangan antar mahzab agama .
Ekses dari pada konfilk ini dapat menimbulkan pelanggaran HAM berat, terutama
terhadap kaum rentan semacam perempuan dan anak-anak.
Demikian juga menurut Muhammad
‘Abid Al-Jabiri mengatakan bahwa sebagian Fenomena kebangkitan Islam menuntut
penerapan sistem Islam dalam semua aspek kehidupan. Namun perlu disadari bahwa
tidak ada sistem Islam yang siap pakai, terperinci dan mencakup seluruh aspek
kehidupan. Al-Quran sebagaimana yang ia pahami, sama sekali tidak memberikan
ungkapan yang jelas bahwa dakwah Islam bertujuan untuk mendirikan suatu negara,
kerajaan atau imperium. Islam hanya mengatur dalam prinsip umum yang membuat
ketetapan dengan berbagai ilustrasi etika Islam sehingga sistem Islam dalam
berbagai bidang terbuka untuk ijtihad.
Hukum Islam Menurut
Pandangan Profesor Coulson, dipahami sebagai ulasa ulasan spekulatif untuk
memahami Istilah istilah yang tepat mengenai hukum-hukum Allah. Dan apa yang
kemudian dikenal oleh masyarakat dengan Islam sebagai Syariat, pada
kenyataannya merupakan produk dari proses gradual dan spontan dari penafsiran
Al-Quran, pengumpulan verifikasi dan penafsiran sunnah selama tiga abad pertama
Islam. Ini berarti hukum Islam yang kita pahami sekarang merupakan produk hukum
yang mempunyai tingkat kebenaran relatif dan memungkinkan sekali dilakukan
ijtihad sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman yang melingkupinya.
Hal ini menurut An-Naim, menunjukan bahwa umat Islam betul-betul
mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Termasuk hak untuk mengartikan
dan mengungkapkan identitas keislaman mereka yang dianggap baik atau pantas.
Tetapi hal tersebut tidak dapat didasarkan pada perundang-undangan dan
formalisasi syariat semacam itu, karena apapun peraturan-peraturan yang
diberlakukan sebagai hukum positif adalah “keinginan politis negara” yang
bersangkutan dan tidak akan pernah menjadi syariat yang secara umum dapat
dipahami oleh umat Islam untuk tujuan menjalankan firman Tuhan. Karena,
penerapan Syariat melalui Undang-undang positif (sebagaimana yang diklaim oleh
pemerintah Iran, Afganistan, Pakistan, Saudi Arabia dan Sudan atau didukung
oleh aktifis politik Islam di beberapa negara lain) adalah kenaifan yang
berbahaya.
- Syariat
Islam dalam Konteks Masyarakat Multikultural Indonesia
Realitas negara Indonesia yang tidak hanya majemuk dari segi
agama, tapi juga dari segi suku, ras dan golongan adalah realitas yang mestinya
tidak boleh diabaikan dalam pewacanaan syari’at Islam dan Piagam Jakarta
untuk menjadi bagian dari konstitusi negara. Penolakan kelompok nasionalis
kebangsaan dan kelompok agama non Islam, memberi indikasi adanya kekhawatiran
diskriminasi kelompok mayoritas dalam hal ini Islam yang mendapat legitimasi
dari negara.[19]
Dari kalangan Islam nasionalis, seperti halnya Hasyim Muzadi dan
Abdurahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur, merespon keinginan kuat dari
kelompok Islam pro syari’at Islam dan Piagam Jakarta dengan memberi pendapat
yang mencoba mengingatkan betapa kenyataan Indonesia yang majemuk mestinya juga
harus diperhatikan dalam menanggapi wacana formalisasi syariah Islam dan Piagam
Jakarta.
Muzadi berpendapat, bahwa nilai-nilai bangsa, termasuk landasan
negara tidak boleh diubah. Dia menilai ada bahaya perpecahan jika UUD 1945
diubah dengan dimasukannya Piagam Jakarta dalam batang tubuh (Pasal 29). Gus
Dur menilai usaha memasukan Piagam Jakarta dalam UUD 1945 bertentangan dengan
semangat Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 yang memberi pijakan yang sama
kepada semua rakyat Indonesia. Dia bahkan dengan tegas mengatakan, jika Piagam
Jakarta menjadi bagian dari konstitusi maka umat Islam akan mendapat sesuatu
yang lebih, dan dengan demikian menjadikan umat beragama lain sebagai warga
negara kelas dua.[20]
Menarik apa yang diungkap oleh sejumlah tokoh Islam, antaranya Nurcholish Madjid, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi'i Ma'arif di tahun 2000 dalam merespon perdebatan tentang usaha-usaha memasukan Piagam Jakarta dalam konstitusi. Dalam siaran pers mereka, dikatakan bahwa otonomi agama haruslah dihormati oleh negara. Campur tangan negara dalam pelaksanaan syari’at agama tertentu, akan menimbulkan bahaya terhadap otonomi tersebut. Menurut penilaian mereka, campur tangan semacam ini akan menimbulkan sejumlah distorsi atas pelaksanaan agama itu sendiri, dan politisasi agama untuk tujuan-tujuan sesaat partai yang sedang (atau ingin) berkuasa. Usul semacam ini juga mengandung bahaya terhadap integrasi bangsa yang saat ini sedang mengalami ancaman dari segala sudut.[21]
Menarik apa yang diungkap oleh sejumlah tokoh Islam, antaranya Nurcholish Madjid, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi'i Ma'arif di tahun 2000 dalam merespon perdebatan tentang usaha-usaha memasukan Piagam Jakarta dalam konstitusi. Dalam siaran pers mereka, dikatakan bahwa otonomi agama haruslah dihormati oleh negara. Campur tangan negara dalam pelaksanaan syari’at agama tertentu, akan menimbulkan bahaya terhadap otonomi tersebut. Menurut penilaian mereka, campur tangan semacam ini akan menimbulkan sejumlah distorsi atas pelaksanaan agama itu sendiri, dan politisasi agama untuk tujuan-tujuan sesaat partai yang sedang (atau ingin) berkuasa. Usul semacam ini juga mengandung bahaya terhadap integrasi bangsa yang saat ini sedang mengalami ancaman dari segala sudut.[21]
Ada tiga alasan yang mereka kemukakan terkait sikap penolakan
ini:
Ø
Pertama, pencantuman piagam ini akan membuka kemungkinan campur tangan
negara dalam wilayah agama yang akan mengakibatkan kemudaratan baik bagi agama
itu sendiri maupun pada negara sebagai wilayah publik.
Ketaatan pada agama adalah cerminan dari kebebasan pribadi yang
tidak bisa diatur-atur oleh institusi eksternal seperti negara. Pelaksanaan
syari'at yang diatur oleh negara akan menimbulkan bahaya hipokrisi, karena
ketaatan pada syari'at yang disebabkan oleh paksaan negara hanyalah merupakan
ketaatan yang semu belaka. Agama, pada intinya, harus menjadi wilayah yang
otonom dari negara.
Ø
Kedua, dimasukkannya tujuh kalimat itu akan membangkitkan kembali
prasangka-prasangka lama dari kalangan luar Islam mengenai "Negara
Islam" di Indonesia. Prasangka ini, jika dibiarkan kembali berkembang,
akan dapat mengganggu hubungan-hubungan antar kelompok yang pada ujungnya akan
menimbulkan ancaman disintegrasi. Kesatuan nasional haruslah menjadi
keprihatinan semua pihak ketimbang kepentingan sempit golongan tertentu.
Ø
Ketiga, dimasukkannya tujuh kalimat itu berlawanan dengan visi negara
nasional yang memperlakukan semua kelompok di negeri ini secara sederajat. Jika
kewajiban melaksanakan syari’at Islam menjadi suatu ketetapan dalam konstitusi,
maka hal itu akan menimbulkan tuntutan yang sama pada kelompok-kelompok agama
yang lain. Jika hal ini dibiarkan, maka sudah pasti akan ada gesekan-gesekan
antar umat beragama yang akan mengancam kesatuan nasional.[22]
Reaksi terhadap
bergulirnya wacana formalisasi syariat Islam di sidang-sidang tahunan tersebut juga
mengemuka di Sulawesi Utara pada tahun 2000. Bulan Agustus tahun 2000
sekelompok tokoh pemuda, adat serta masyarakat yang menggagas forum Kongres
Minahasa,[23]
memberi ultimatum kepada MPR dalam ST (sidang tahunan) tahun 2000 itu.
Disepakati dalam kongres itu bahwa jika MPR dalam ST itu mengamandemen UUD '45
dengan memasukan Piagam Jakarta ke dalamnya, tanah Toar Lumimuut[24]
akan merdeka. Salah satu point deklarasi dalam kongres tersebut adalah: Jika
keinginan untuk membatalkan komitmen Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus dan
UUD 1945 diluluskan atau bahkan dikompromikan sedikit pun, maka pada saat yang
sama eksistensi NKRI (Negera Kesatuan Republik Indonesia) berakhir.
Pada saat itu juga
rakyat Minahasa terlepas dari seluruh ikatan dengan ke-Indonesia-an dan berhak
membatalkan komitmen ke-Minahasa-an dalam ke-Indonesia-an. Dengan demikian,
maka rakyat Minahasa berhak menentukan nasibnya sendiri untuk masa depannya.[25]
Reaksi keras ini
menunjukkan bahwa Piagam Jakarta telah menimbulkan sesuatu yang kontroversi
bagi masyarakat Indonesia. Penolakan yang bukan hanya datang dari kelompok
agama, melainkan juga dari kelompok-kelompok adat atau budaya mengindikasikan
kerawanan Piagam Jakarta bagi keberagaman kultur di Indonesia. Sebab, negara
Indonesia dalam realitasnya adalah multikultur. Maka, sudah seharusnya
dikembangkan paradigma beragama yang multikuluralis, dengan berpijak pada sikap
dan paradigma multikulturalisme. Di tengah arus perjuangan menjadikan Piagam
Jakarta sebagai bagian dari konstitusi, Indonesia agaknya berada dalam
ketegangan antara sikap dan paradigma yang monokulturalisme dengan
kenyataan yang multikultur. Dalam sejarah politik Indonesia, wacana Piagam
Jakarta dalam realitas Indonesia yang multikultur sering saling bersitegang.
Microsoft Encarta Reference
Library 2005 mendefinisikan “multicultur” sebagai, “lebih dari satu
budaya: yang berkaitan, yang terdiri dari, atau berpartisipasi dalam budaya
dari berbagai negara, kelompok etnis, atau agama.”[26]
Atau juga, ”mendukung integrasi: advokasi atau mendorong integrasi dari
orang-orang dari berbagai negara, kelompok etnik, dan agama ke dalam semua
aspek masyarakat.”[27]
Dalam definisi lain,
istilah multikulturalisme pada umunya merujuk pada penerimaan berbagai bagian
budaya untuk kepentingan keragaman yang berlaku untuk susunan penduduk pada
tempat tertentu, biasanya pada skala organisasi seperti sekolah, bisnis,
lingkungan, kota atau bangsa.[28]
Lebih Jelasnya, mari kita simak penjelasan Ahmad Suaedy[29]
berikut:
Multikulturalisme
boleh dikatakan sebagai sikap dan perlakuan berdasarkan persamaan dan
kesederajatan terhadap realitas plural dan keberbagaian. Berbeda dengan
pluralisme dan keberbagaian, misalnya, yang lebih cenderung terbatas pada
pengakuan atas realitas tersebut, multikulturalisme lebih dari sekadar pengakuan
dan mungkin penerimaan terhadap kelompok lain, melainkan multikulturalisme
adalah sikap dan perlakuan kesederajatan atas pluralitas dan keberbagaian itu.
Karena itu, multikulturalisme tidak hanya menuntut sikap perorangan dan komunitas atas individu dan komunitas lain. Melainkan multikulturalisme juga menuntut adanya implementasi dalam kebijakan oleh mereka yang sedang berkuasa atau para pengambil keputusan.
Karena itu, multikulturalisme tidak hanya menuntut sikap perorangan dan komunitas atas individu dan komunitas lain. Melainkan multikulturalisme juga menuntut adanya implementasi dalam kebijakan oleh mereka yang sedang berkuasa atau para pengambil keputusan.
Multikultualisme
memang berhubungan langsung dengan kesamaan dan kesederajatan semua warga bangsa
di depan undang-undang dan hukum dalam suatu negara. Dan tentu saja berkaitan langsung
dengan keadilan pula. Multikulturalisme lebih menunjuk pada adanya sebuah sikap
penerimaan dan penghargaan terhadap pluralitas kultur untuk hidup bersama dalam
suatu ruang, demi mencapai tujuan bersama. Lebih daripada pluralisme,
multikuturalisme adalah juga menyangkut usaha-usaha atau kebijakan-kebijakan
kelompok masyarakat atau negara untuk melestarikan kehidupan yang sederajat
dalam semua pembagian.[30]
Dalam kerangka
berpikir seperti ini, maka wacana untuk menjadikan Piagam Jakarta sebagai
bagian dari konstitusi negara dari kelompok-kelompok tertentu menyuratkan
sebuah persoalan yang menarik untuk dikaji. Telah banyak literatur dari para
sarjana dengan berbagai macam pendekatan studi di Indonesia baik dari luar
maupun dari dalam negeri yang mengkaji pokok persoalan ini. Namun, menarik lagi
untuk dikaji adalah menyangkut semangat-semangat keagamaan atau dasar-dasar
teologis dari para pejuang Piagam Jakarta tersebut.
Berikut, menarik juga
ditelaah secara kritis tentang keberadaan Piagam Jakarta ini dalam realitas
Indonesia yang multikultur. Kontroversi wacana syari’at Islam dalam
perdebatan-perdebatan baik di wilayah politis maupun sosial keagamaan,
mengindikasikan sebuah permasalahan dalam ruang yang multikultur, dalam hal ini
Indonesia.
Sebab, negara
sejatinya adalah ruang bagi yang berbeda untuk hidup dalam kesederajatan.
Negara juga bertanggung jawab untuk menjaga yang berbeda itu dapat hidup secara
damai dan adil. Namun, di lain pihak ideologisasi syari’ah Islam dalam
konstitusi negara, tentu akan membawa konsekuensi diskriminasi pada ”yang
lain”, yaitu kelompok-kelompok minoritas baik agama, suku, ras dan golongan.
Karena dengan dijadikannya syari’at Islam berdiri bersama-sama dengan
konstitusi negara yang berlaku untuk semua, maka dalam prakteknya akan membawa
konsekuensi pada penunggalan rujukan pandangan dan praktek hidup. Padahal,
sekali lagi realitas Indonesia adalah multikultur, yang mestinya memberi kebebasan
kepada yang saling berbeda itu untuk mengekpresikan nilai dan identitas
kebudayaan, kepercayaan dan keyakinan agamanya masing-masing, dan tak perlu
dikontrol dalam satu hukum negara yang didominasi oleh satu keyakinan atau
nilai agama saja.
Maka, perjuangan dari
kelompok-kelompok Islam tertentu untuk menjadikan Piagam Jakarta bagian dari
konstitusi negara sebagai implementasi dari cita-cita mendirikan negara Islam
di Indonesia adalah persoalan dalam masyarakat multikultural Indonesia. Selain
itu, hal ini juga juga menggambarkan belum adanya kontekstualisasi pemahaman
keagamaan dalam realitas Indonesia multikultur. Paradigma dan praktek beragama
yang seperti ini hanya kemudian melahirkan benturan-benturan, dan menutup
interaksi aktif atau kerjasama dalam melestarikan kehidupan bersama.
Untuk itu Wacana dan
aspirasi serta aksi memperjuangkan formalisasi syariat Islam secara faktual
dikembangkan dan dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam Islam di
Indonesia. Islam adalah agama yang jumlah pemeluknya terbanyak di Indonesia.
Namun, sebagaimana realitas negara ini majemuk dari segi agama dan budaya,
Islam juga demikian. Terdiri dari beragam kelompok yang muncul karena perbedaan
dalam menafsir sumber-sumber hukum dan pengajaran seperti Al Qur’an dan Sunnah.
Dengan demikian, fenomena munculnya wacana dan gerakan formalisasi Syariat
Islam, secara objektif harus diposisikan sebagai persoalan perbedaan pemahaman
dan penafsiran dalam Islam sendiri. Namun demikian, secara faktual fenomena ini
juga telah berimplikasi pada kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam atau
majemuk, baik dari segi agama, budaya maupun aspirasi politik.
Perspektif
multikulturalisme memahami fenomena ini sebagai persoalan bersama dalam konteks
beragama dan bernegara. Dengan demikian, kajian yang komprehensif yang
melibatkan perspektif keragaman agama, budaya dan aspirasi adalah pendekatan
yang perlu dikembangkan dalam usaha memahami fenomena formalisasi Syariat Islam
tersebut.
Secara objektif pula
harus diakui bahwa wacana dan gerakan formalisasi syariat Islam ke dalam Perda,
UU ataupun beragam produk hukum negara adalah persoalan yang mengancam
kemajemukan Indonesia. Makanya, studi agama-agama yang menggunakan
hasil-hasil studi dari berbagai disiplin ilmu sangatlah penting dalam rangka memetakan
dan juga merefleksikan wacana dan gerakan formalisasi syariat Islam dalam
konteks masyarakat multikultural Indonesia.
BAB II
Formalisasi Syariah
Dari Persepektif Hak Asasi Manusia
A.
Syariat Butuh Interpretasi
Salah satu persoalan mendasar
sehubungan dengan ide formalisasi syariat di negara-negara Muslim, termasuk
umat Islam Indonesia adalah belum ada suatu kesepakatan di kalangan mereka
tentang makna syariat itu sendiri. Formalisasi syariat Islam,[31]
pada faktanya bukanlah masalah sederhana. Selain implikasinya terhadap HAM
seperti yang disebutkan di atas, di dalam isu ini terdapat berbagai keruwetan
yang hingga kini belum terpecahkan.
Di kalangan ulama Islam
sendiri, misalnya, masih terjadi perdebatan sengit mengenai apa yang dimaksud
dengan syariat dan bagaimana bentuk kongkritnya. Ketiadaan rumusan syariat yang
jelas tentunya sangat potensial menimbulkan konflik internal di kalangan umat
Islam sendiri. Pengalaman Pakistan, dalam hal ini, barangkali dapat dirujuk.
Elan dasar pendirian “republik Islam” ini adalah kehendak komunitas Muslim
membentuk negara di mana mereka mampu menerapkan ajaran Islam dan hidup selaras
dengan petunjuknya.
Akan tetapi, sejak
berdirinya Republik Islam Pakistan pada 3 Juni 1947, negara ini mengalami kesulitan
serius dalam mendefinisikan keislamannya. Perdebatan-perdebatan yang
berkepanjangan dalam Majlis Konstituante- demikian pula hasil kompromi antara
kubu tradisionalis dan modernis yang terjelma dalam Objectives
Resolution(1949),[32]
konstitusi pertama (1956), konstitusi kedua (1962) ataupun amandemennya yang tidak
memuaskan seluruh pihak dengan jelas merefleksikan hal ini.
Ketika sampai kepada
hukum Islam (fiqh), kesulitan yang sama juga dihadapi kaum Muslimin Pakistan. Dalam benak
para modernis selaras dengan
perkembangan dan kebutuhan zaman. Sementara kubu tradisional menuntut bahwa
fiqh, yang dihasilkan para mujtahid lewat deduksi dan derivasi dari Alquran dan
Sunnah Nabi, harus diberlakukan tanpa kecuali. Kontroversi sengit tentang riba
dan bunga bank, pendayagunaan zakat, program Keluarga Berencana, hukum
kekeluargaan Islam, dan lainnya, merupakan cerminan betapa sulitnya kaum
Muslimin Pakistan mendefinisikan syariat Islam untuk konteks negeri mereka.
Akibat dari kesulitan
tersebut adalah kekacauan dan kerancuan dalam
definisi “Islam” yang menyertai pengalaman
kenegaraan Pakistan. Kompromi-kompromi yang dicapai tentu saja tidak selaras
dengan modernisasi yang dikehendaki kubu modernis ataupun status quo yang
hendak dipertahankan kelompok tradisionalis. Ajang kontroversi pun melebar
kepada konflik serta aksi-aksi penjarahan, pembakaran, terorisme dan
pembunuhan, sampai pada penetapan kaum Ahmadiah sebagai minoritas non-Muslim di
masa Zulfikar Ali Bhutto ( 1974). Bahkan
konstitusi 1973 yang diundangkan Bhutto dan
dipandang sebagai konstitusi paling islami dalam sejarah Pakistan, memiliki
klausa tentang presiden, perdana menteri dan beberapa pejabat penting lainnya
wajib melakukan sumpah jabatan yang secara eksplisit menyatakan bahwa Nabi
Muhammad sebagai Nabi terakhir.
Sebagai akibat dari ketidakjelasan tentang pemaknaan
syariat seperti tersebut di atas, berimplikasi pula pada bagaimana syariat itu
diterapkan. Sampai hari ini misalnya kaum muslimin belum punya kesepakatan
tentang status perempuan Muslim dan status minoritas non-Muslim dalam suatu
masyarakat yang hendak diatur secara Islam bila dikaitkan dengan prinsip
kemerdekaan sipil dan hak-hak asasi manusia. Dapatkah konsep ahl al-dhimmahyang
telah menyatu dengan bingkai syari’ah klasik diberlakukan sekarang ini, pada
suatu dunia yang sudah sangat berbeda dari dunia klasik. Bagaimana pula dengan
posisi perempuan Muslim dalam sistem sosio-politik Islam kontemporer, apakah
mereka masih saja tidak punya hak politik yang sama dengan laki-laki.
Begitu pula tentang masalah riddayang dalam
ketentuan syari’ah klasik harus dibunuh. Dapatkah teori klasik yang semacam ini
dipertahankan? Seperti diketahui isi syari’ah yang diwarisis sampai akhir abad
ini adalah hasil konstruksi para yuris Muslim selama tiga abad pertama setelah
kelahiran Islam. Dr. Abdullahi Ahmed an-Nai’im dalam bukunya Towards an Islamic
Reformationmenulis:” Sekalipun berasal dari sumber-sumber Ilahiyah fundamental
Islam, Al-Quran dan Sunnah, syari’ah tidak bercorak ilahiyah karena ia adalah
hasil tafsiran manusia terhadap sumber itu. Lagi pula, proses konstruksi
melalui tafsiran manusia ini terjadi dalam konteks histories yang spesifik yang
sama sekali berbeda dengan masa kini,”[33]
An-Na’im adalah pengikut Mahmuod Mohamed Taha, seorang pembaharu kontroversial
dari Sudan, yang diekskusi oleh Ja’far Numayry, pemimpin militer Sudan, pada
1985, karena tuduhan ridda, sebuah tuduhan politik yang dicari-cari. Yang
hendak diperjuangkan oleh Taha adalah agar Islam itu tidak terpelanting dari
dari wilayah kehidupan dunia manusia.[34]
Bisa saja hasil pemikirannnya keliru, tetapi mengapa harus diekskusi secara
zalim? Baik Taha maupuin An-Na’im sama-sama penentang pelaksanaan hukum Islam
klasik di Sudan.
Apa yang diamati oleh An-Na’im di Sudan, dikaji pula
oleh Dr. Rubya Mehdi di Pakistan. Dalam bukunya The Islamization of Law in
Pakistan, pengarang ini mencatat ketidakkonsistenan dan ketidakstabilan dalam
pelaksanaan sistem hukum di Pakistan, kenyataan ini tetap berlangsung sejak
kematian Zia Ul-Haq pada 1989.[35]
Dalam menghadapi proses Islamisasi hukum Islam ini, ketegangan yang semakin
parah antara golongan Tradisionalis dan Modernis, tidak dapat dielakkan. Proses
Islamisasi semakin menjauhkan jarak antara kedua kelompok itu. Penafsiran Islam
yang saling berlawanan telah memperhebat sektarianisme keagamaan di Pakistan.[36]
Penjelasan di atas perlu dikemukakan agar
menyadarkan umat Islam bahwa di kalangan sesama muslim perbedaan pendapat dalam
memahami syariah masih sangat tajam. Islam belum dapat diturunkan sebagai
rahmat bagi umat manusia. Jangankan bagi umat manusia seluruhnya, umat Islam
sendiri masih bersengketa dalam menafsirkan ajaran Islam ini. Sengketa
penafsiran ini telah membuahkan sengketa politik berkepanjangan. Atau bila
dibalik, sengketa politiklah sebenarnya yang melatarbelakangi sengketa
penafsiran tersebut.
B.
Formalisasi Syariat Islam dan Masalah Kebebasan
Beragama
Masalah pembatasan terhadap kebebasan
beragama[37] dapat timbul dari
hukum riddahatau murtad – yakni keluar dari agama Islam. Seperti tampak, hukum
murtad atau apostasyada dalam hukum kriminal yang diundangkan di sejumlah
negeri Muslim, misalnya di Kelantan dan Terengganu. Riddah atau murtad dalam
hal ini mengacu kepada ketentuan hukum hudud.[38]
(hukum-hukum yang teks dan ketentuan hukumnya jelas dan tegas tertulis dalam
al-Qur’an dan Hadis).
Di dalam fiqh, semua mazhab besar memang menetapkan hukuman mati
bagi yang murtad, walaupun mereka berbeda pendapat mengenai bentuk hukuman
matinya- dirajam, dibakar, disalib, disembelih, diusir/ekskomunikasi, atau
disiksa terlebih dahulu sebelum dibunuh. Namun, ada perbedaan pendapat tentang
apakah murtad termasuk ke dalam kategori hadd atau tidak. Sebagai contoh, Imam
Syafi’i tidak memasukkannya ke dalam kategori hudud, sementara sebagian ulama
klasik memasukkannya. Di masa modern, kelompok Ahmadiyah tidak mengharuskan
hukuman mati bagi yang murtad. Demikian juga Muhammad Ali dari India, karena
menurutnya tidak ada satu petunjukpun di dalam Alquran yang membolehkan hukuman
mati.[39]
Dalam kasus Mesir tampak bahwa isu keluar dari agama Islam juga muncul dalam kasus Nasr Hamid Abu Zayd dan
Nawal El- Saadawi. Tentu saja, kasus murtad yang lebih keras timbul di Sudan,
seperti tampak dalam kasus Mahmud Muhammad Thaha. Untuk kasus-kasus semacam
ini, khazanah fiqh yang lebih relevan adalah zandaqahatau zindiq,yaitu orang
yang dianggap membuat dan menyebarkan penafsiran dan ajaran yang dinilai salah.
Zindiq juga berlaku bagi
orang-orang yang mengabaikan ibadah keagamaan dalam jangka waktu tertentu tanpa
bertobat- seperti orang yang tidak sembahyang tiga hari. Para ulama fiqh klasik
menganggap bahwa hukuman mati tidak hanya dikenakan kepada orang yang dari
pikiran dan perbuatannya terbukti keluar dari agama. Walaupun orang yang
ajarannya berbeda dari ajaran dan tafsiran ortodoks dan yang mengabaikan ibadah
agama disebut zandaqah (bidah), tetapi mereka menganggap bahwa hukumannya sama
kerasnya.[40]
Basis bagi kejahatan zandaqah adalah teori tentang hak. Dalam hal
ini, hak dibedakan kepada tiga jenis. Pertama, hak-hak Tuhan ( huquq Allah),
kedua, hak-hak Tuhan dan hambanya (huquq Allah wa al ‘Ibad), dan ketiga,hak-hak
hamba ( huquq al-‘Ibad atau Huquq Adamiyyin). Hak-hak Allah ialah semua
kewajiban agama yang harus dipenuhi manusia karena merupakan perintah ilahi
walaupun manfaat dan kegunaannya bagi manusia tidak tampak jelas.
Contohnya adalah puasa, haji, dan salat. Pengertian lain
menyebutkan bahwa hak-hak kategori ini khusus menyangkut ketentuan-ketentuan
pidana. Hak bersama Tuhan dan hamba-Nya adalah kewajiban agama yang diperintahkan
Tuhan dan juga pada saat yang sama dimaksudkan untuk melindungi publik, seperti
hudud, jihad, dan zakat. Akhirnya, hak hamba Tuhan adalah hak dan klaim sipil
yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan individu seperti memenuhi janji,
melunasi hutang, menghormati kontrak, dan lain-lain.[41]
Rumusan tentang hak-hak di
atas, yang dikembangkan ulama fiqh pada abad ke-8 H, dalam kenyataannya telah menjadi
alat politik yang dapat digunakan kelompok-kelompok Islam untuk menyerang lawan
mereka. Pihak lawan yang memiliki keyakinan dan praktek keagamaan berbeda
dituduh, misalnya, telah melanggar hak-hak Tuhan sehingga pantas mendapatkan
perlakuan yang menindas, keras, atau kejam.
C.
Formalisasi Syariat
dan Kedudukan Non-Muslim
Salah satu persoalan yang juga tidak kalah penting dan erat
hubungannya dengan formalisasi syariat adalah persoalan bagaimana kedudukan
Non-Muslim dalam negara yang menerapkan syariat secara formal. Formalisasi
syariat Islam juga menimbulkan masalah tersendiri bagi non- Muslim.[42]
Dalam hal ini, mereka mendapatkan status zimmiyang dalam praktek
penerapan syariat Islam serupa dengan status warga negara. kelas dua. Hal ini
tentu saja bertentangan dengan prinsip kewarganegaraan yang menjadi norma
masyarakat internasional dewasa ini. Di dalam fiqh klasik, pengertian zimmi
sebenarnya bervariasi dan membuka peluang bagi berkembangnya konsep
kewarganegaraan modern di dunia Muslim. Akan tetapi, bentuk tafsiran yang
dipilih dalam berbagai penerapan syariat Islam justru membatasi dan
mempersempit pengertiannya. Sementara itu, banyak pemikir Muslim modern
sebenarnya telah menunjukkan tafsiran baru yang lebih sesuai dengan situasi
negara modern.
Muhammad al-Ghazali dari Mesir, penulis at-Ta’assub wa at-Tasamuh
bain al-Masihiyyah wa al-Islam ( “Fanatisme dan Tolerani antara agama Kristen
dan Islam, “1965), mengatakan bahwa masyarakat Islam dibina atas prinsip
toleransi, kerjasama, dan inklusifitas. Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan
Kristen yang bersedia hidup berdampingan dengan umat Islam” sudah menjadi orang-orang
Muslim dilihat dari sudut politik dan kewarganegaraan” karena persamaan hak dan
kewajibannya, walaupun secara pribadi mereka tetap pada akidah dan ibadah
mereka.
Rasyid al-Gannusyi dari Tunisia, yang mendekati persoalan baik
minoritas bukan Muslim maupun minoritas Muslim dari sudut kewarganegaraan
mengatakan bahwa kewarganegaraan tidak dibeda-bedakan atas dasar agama.
Kelompok minoritas non Muslim memiliki hak asasi manusia yang sama dengan yang
dimiliki umat Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan Islam, seperti keadilan dan
persamaan, berlaku kepada seluruh warga negara, baik Muslim maupun bukan. Bagi
al-Ganussyi, Diskriminasi terhadap kalangan non-Muslim dan perlakuaan yang
menganggap mereka sebagai warga negara kelas dua adalah tindakan melanggar
ajaran agama dan merusak citra Islam.[43]
Kendati demikian, penerapan status zimmi masih terjadi dalam
konteks penerapan syariat Islam. Jangankan kepada umat Kristiani- seperti di
Sudan Selatan atau Kristen Koptik di Mesir, di Pakistan setelah Ahmadiyah ditetapkan
presiden Zulfikar Ali Butto tahun 1974 sebagai minoritas non-Muslim, warga
Ahmadiyah juga sering diperlakukan sebagai zimmi. Sepuluh tahun kemudian,
Presiden Zia-Ul-Haq mengeluarkan ordonansi yang melarang Ahmadiyah menyebut
mereka Muslim atau menyebut agama mereka Islam. Seperti tampak pada uraian di
atas. Mereka juga dilarang menggunakan istilah-istilah Islam, menyerukan azan,
menyebut tempat ibadah mereka masjid, dan mendakwahkan ajaran mereka. Ada
sangsi pidana maksimal tiga tahun penjara dan denda untuk pelanggaran ordonansi
Jendral Zia-ul Haq ini.[44]
D.
Formalisasi Syariat
dan Kedudukan Perempuan
Formalisasi syariat juga berimplikasi terhadap posisi kaum
perempuan. Bagi masyarakat Muslim sendiri, bahaya diskriminasi terhadap
perempuan yang timbul karena formalisasi syariat Islam adalah masalah yang
paling pelik. Sebab, di satu sisi syariat Islam memberi perempuan status yang
setara dengan laki-laki.
Banyak ulama, yang umumnya
laki-laki, juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang memuliakan perempuan.
Akan tetapi, di sisi lain, perempuan sering kali menjadi korban pertama
formalisasi syariat Islam. Ini tampak, antara lain, dalam penerapan hukum
status personal seperti khul’ di Mesir dan dalam penerapan hukum kriminal
seperti zina.
Kasus-kasus paling menggagu adalah kasus-kasus dari Nigeria,
seperti kasus Bariah Ibrahim Magazu yang hamil dan melaporkan dirinya
diperkosa, tetapi tidak berhasil membuktikannya. Ia dihukum cambuk 180 kali :
yang seratus sebagai hukuman zina, dan yang 80 sebagai hukuman qazab, menuduh
orang lain berbuat zina.[45]
Kasus lainnya dari Nigeria
adalah Safiya Khusaini dan Aminah Lawal yang dijatuhi hukum rajam atas tuduhan
zina dan protes internasional. Seperti telah disebutkan, seorang perempuan
Pakistan, Zafran Bibi, juga dihukum rajm setelah melapor diperkosa iparnya,
karena tidak cukup bukti ketika kasusnya disidangkan di pengadilan.
Perlakuan diskriminatif lainnya adalah dari Sudan. Umar al-Basyir
mengeluarkan peraturan yang mengharuskan perempuan duduk di bagian belakang dalam
transportasi publik di Khortoum, ibukota Sudan. Setelah kudeta 1989, Jenderal
al-Basyir juga memecat ribuat pegawai perempuan karena tidak sesuai dengan
syariat Islam ala rezim al-Basyir. Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan
yang lebih buruk dan menghawatirkan adalah yang terjadi di Afganistan pada era
Taliban.[46]
Gerakan perempuan yang telah merebak di Malaysia, Mesir ,
Indonesia,[47]
dan negeri-negeri Muslim lainnya, telah mengajukan berbagai keberatan dan
protes terhadap praktek penerapan syariat yang bertentangan dengan hak asasi
perempuan seperti terjelma dalam Convention
to Eliminate All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Perlu ditekankan di sini bahwa,
kecuali Sudan karena menurut Jenderal Umar al-Basyir, penguasa Sudan, CEDAW bertentangan
dengan nilai-nilai kewanitaan Sudan negeri-negeri Muslim yang ditinjau dalam
tulisan ini telah meratifikasi atau mengakses CEDAW atau Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Nigeria menandatangani CEDAW.
Pada 1984 dan meratifikasinya setahun kemudian tanpa reservasi.
Mesir menandatangani CEDAW pada 1980 dan meratifikasinya setahun kemudian
dengan beberapa reservasi. Malaysia menerima CEDAW pada 1995 dengan sedikit
reservasi. Pakistan menerima CEDAW pada 1996 dengan deklarasi umum bahwa
penerimaan Pakistan itu tunduk kepada ketentuan-ketentuan konstitusi nasional.
Indonesia juga telah menandatangani CEDAW pada 1980 dan meratifikasinya pada
1984.[48]
E.
Formalisasi Syariat
dan Konflik antar Komunitas Keagamaan
Persoalan krusial lainnya yang juga terkait dengan formalisasi
syariat
adalah
konflik antar komunitas keagamaan. Penerapan syariat Islam di
beberapa
negeri Muslim juga memicu konflik antar komunitas keagamaan. Sudan dan Nigeria merupakan ilustrasi yang
baik untuk kasus ini. Ketika rezim Ja’far Numeiri (1969-1985) berkuasa setelah
suatu kudeta militer di Sudan pada 1972 dicapai terobosan mengenai masalah
konflik Utara-Selatan lewat persetujuan Addis Ababa yang terkenal itu.
Persetujuan ini memberikan otonomi regional kepada Sudan Selatan, dengan badan
legislatif dan eksekutif terpisah. Pemerintah pusat tetap memegang kendali
politik luar negeri dan pemungutan pajak. Selain itu, kebebasan beragama
dijamin. Akan tetapi, otonomi hanya dinikmati hingga 1983. Pada penghujung
kekuasaannya, kebijakan-kebijakan nasionalis sekuler yang diambil Numeiri pada
masa kekuasaan berubah secara dramatis ke arah islamisasi.
Menguatnya revivalisme Islam, potensi politiknya serta keinginan
Numeiri untuk mengontrol dan mengooptasi kekuatan tersebut di Sudan, merupakan
latar belakang bagi perubahan kebijakan Numeiri. Pada 8 September 1983 , lewat
dekrit presidensial, Numeiri memberlakukan syariat Islam sebagai satu-satunya
hukum di Sudan. Kelompok minoritas non-Muslim seperti Kristen misalnya , dengan
tegas menolak islamisasi Numeiri, dan konflik Utara dan Selatan di Sudan pun
kembali bergolak.[49]
Sementara di Nigeria formalisasi syariat telah menimbulkan
persoalan yang lebih parah antara Muslim dan non-Muslim, serta tidak jarang
meledak dalam bentuk konflik dan kerusuhan komunal. Menurut suatu perhitungan diperkirakan,
lebih dari enam ribu orang meregang nyawa dalam berbagai kerusuhan antar agama
sejak 1999 hingga 2002 di negeri ini lantaran formalisasi syariat Islam.[50]
F.
Formalisasi Syariat
dan Krisis Konstitusi
Formalisasi syariat juga tidak dapat dipisahkan dari persoalan
krisis konstitusi di berbagai negara yang menerapkan syariat Islam. Selain itu,
juga di Indonesia, pemberian otonomi khusus kepada NAD untuk memberlakukan
syariat Islam secara formal. Karena itu, hal ini perlu mendapat perhatian semua
pihak sehubungan dengan penerapan syariat di NAD.
Krisis konstitusional juga sering kali timbul karena formalisasi
syariat Islam, seperti tampak dari kasus penerapan hudud di Kelantan dan
Terengganu, Malaysia dan di negara-negara bagian Nigeria yang menerapkan
syariat Islam. Di negara-negara ini, pemerintah federal sudah menyatakan bahwa
legislasi di tingkat negara itu bertentangan dengan konstitusi- karena menurut
konstitusi hukum kriminal adalah bagian dari yurisdiksi Federal. Di Malaysia,
konflik konstitusi mengakibatkan ketentuan-ketentuan huhud di Klantan dan
Trengganu tidak dapat berlaku walaupun, selain kasus Kelantan, sudah ditetapkan
parlemen bagian negara 10 tahun lalu.
Di Nigeria pun demikian. Pemerintah Federal mengatakan hukum hudud
negara-negara bagian di utara Nigeria bertentangan dengan hukum Federal. Akan
tetapi, berbeda dari Malaysia, pemerintah Federal Nigeria mengambil kebijakan
lepas tangan sehingga negara bagian menetapkan hukum hudud, antara lain karena
penguasa sedang memerlukan dukungan dari kalangan yang ingin menerapkan
hudud.Di Indonesia, pemberian otonomi khusus kepada NAD untuk antara lain memberlakukan
syariat Islam secara formal, juga dapat menimbulkan krisis konstitusi, karena
berbagai peraturan perundang-undangan yang diterbitkan di daerah tersebut
berseberangan dengan undang-undang lainnya, sekalipun ada mandate yang
bersumber dari UU otonomi khusus NAD. Sementara sejumlah peraturan daerah (
Perda) bernuansa syariat yang diundangkan beberapa pemerintah daerah di
Indonesia juga dipandang bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
Pemerintah pusat, dalam kasus ini, telah mengeluarkan perintah agar peraturan
daerah- peraturan daerah tersebut dicabut oleh pemerintah daerah dan dewan
legislatif lokal kalau tidak, pemerintah pusat mengancam akan membatalkannya.[51]
Penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa formalisasi
syariat di alam demokrasi akan menjadi kendala bagi terwujudnya tatanan
masyarakat yang damai, adil, setara dan berkeadaban. Paling tidak yang menjadi
karakter dari formalisasi syariat. Pertama,anti-pluralisme. Pemaknaan terhadap agama
yang bersifat eksklusif dan menyalahkan yang lain, akan menjadi tantangan bagi
pluralisme.
Kelompok pendukung formalisasi syariat masih mengimpikan adanya
pembagian territorial antara wilayah muslim (dar al-Islam) dan wilayah kafir
(dar al-harb), selain kecenderungan memaknai Islam secara eksklusif. Mereka
menghidupkan kembali identitas muslim dan kafir, yang paling benar hanyalah
agama yang dianutnya, sedangkan agama yang lain dianggapnya kafir, zionis dan
lain-lain.
Dalam banyak hal, pemihakan
ditujukan hanya dalam hal-hal yang menyangkut syariat normatif, sedangkan pada
masalah-masalah kemanusiaan tidak sekonsern pada hal-hal yang berkaitan dengan
syariat, seperti formalisasi syariat. Karena itu, ditengarai kelompok
formalisasi syariat menjadi hambatan bagi dialog antaragama, disebabkan
kecenderungan pada perang dan jihad.[52]
Kedua, anti HAM.[53]
Hal ini berkaitan dengan hukum-hukum pidana Islam yang berseberangan dengan
HAM, seperti potong tangan, rajam, hukum gantung dan lain-lain. Kelompok
formalisasi syariat menganggap bahwa hukum pidana Islam (al-hudud) merupakan
hukum Tuhan. Karenanya, dalam hukum pidana Islam tidak ada tawar-menawar untuk
menafsirkan syariat yang emansipatoris.[54]
Ketiga, anti-kesetaraan jender. Kalangan formalisasi syariat akan
mempedomani doktrin-doktrin keagamaan yang mengindikasikan keterbatasan ruang
lingkup perempuan. Atas dasar syariat dan kodrat, perempuan hanya hidup dalam
tembok yang terbatas. Kasus Taliban, Arab Saudi dan beberapa negara Teluk
menjustifikasi adanya peminggiriran peran perempuan dalam ruang publik.
Realitasnya, syariat dijadikan landasan untuk menindas perempuan, baik secara
struktural maupun kultural. Pemahaman literal terhadap teks-teks keagamaan melegitimasi
kekerasan domestik, sebagaimana terjadi pada masyarakat tradisional. Dalam
masyarakat moderen pun, teks-teks menjadi alat untuk melegetimasi penindasan
dan eksploitasi perempuan dalam proyek kapitalisasi. Penindasan terhadap kaum
buruh, otomatis di dalamnya terdapat kaum perempuan sebagai kalangan mayoritas.
Teks-teks keagamaan yang tidak sensitif gender akan menjadi hambatan serius
bagi terwujudnya kesetaraan jender.[55]
Penjelasan di atas dapat dijadikan dasar untuk melakukan upaya
desakralisasai syariat, bahwa pelembagaan syariat yang tidak diikuti dengan
paradigma emansipatoris dan liberalis hanya akan menimbulkan masalah baru yang
bertolakbelakang dengan realitas dan kultur masyarakat. Formalisasi syariat
akan menjadi batu sandungan bagi terbentuknya nalar antroposentris dan
emansipatoris yang menghendaki pembebasan dan menjunjung tinggi harkat manusia.
Formalisasi syariat hanya akan mengukuhkan nalar teosentris, karena wataknya
yang ingin mencari otensitas dan orisinalitas yang melandasi pemikirannya pada
teks-teks eksklusif. Konsekuensi yang tidak dapat dihindari, yaitu munculnya
gerakan-gerakan politik yang ingin memformalisasikan syariat dan aksi-aksi
fundamentalistik.[56]
Untuk itu Berdasarkan kajian yang telah dilakukan seperti
diuraikan dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, dapat dikemukakan catatan
sebagai berikut:
Ø
Tuntutan formalisasi syariat Islam di berbagai negeri Muslim,
termasuk di Indonesia belum ada konsep yang jelas, dan tidak didasarkan pada
analisis yang serius terhadap berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat
Muslim kontemporer. Gagasan yang dikemukakan cenderung menyederhanakan persoalan,
dengan mengungkapka pandangan-pandangan yang self-assuremengenai keistimewaan
syariat Islam.
Ø
Pendekatan yang digunakan belum menunjukkan adanya pergulatan
serius dengan masalah keprihatinan masyarakat kontemporer, terutama dengan
masalah-masalah masyarakat pada tingkat kebijakan. Pendekatan dominan dalam hal
ini adalah pendekatan quick fix: pergunakan syariat dan semua akan beres.
Ø
Ketiadaan konsepsi yang jelas di balik tuntutan formalisasi
syariat Islam dapat memiliki implikasi yang amat serius. Pengalaman
negeri-negeri Muslim yang melakukan eksperimen formalisasi syariat, misalnya Sudan
dan Nigeria, selain dalam. Pakistan dan Mesir, menunjukkan bahwa ketiadaan
konsepsi yang jelas tentangnya dapat memunculkan konflik internal di kalangan
umat Islam. Bahkan, isu penerapan dan formalisasi syariat itu sendiri potensial
memunculkan konflik antara kaum Muslimin dan non-Muslim, seperti di Sudan dan
Nigeria, selain dalam beberapa kasus berseberangan dengan HAM.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang
Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Dan Sejarah Konsesus Nasional
Antara Nasional Islami dan Nasionalis ”Sekuler” Tentang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945-1959. Jakarta: Gema Insani Press, 1986.
Aritonang, Jan
S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta:
BPK, 2004.
Abdullah, M.
Amin.1998. “ Kebebasan Beragama atau Dialog Antaragama, 50 Tahun Hak Asasi
Manusia,” dalam Orientasi Baru Jurnal Filsafat dan Teologi, 1998/11.
Yogyakarta: Kanisius.
Ali, Abdullah
Yusuf.1989. The Holy Al-Quran: Text, Translation and Commentary. Brenwood:
Maryland Amana Corporation.
Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean.
2004.Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria.Jakarta: Pustaka
Alvabet.
Assyaukanie,
Luthfi.1998.Politik, HAM, dan Isu-Isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer.
Jakarta: Pustaka Hidayah.
Asymawi, Muhammad
Said al-.2004. Nalar Kritis Syari’ah, terjemahan Luthfi Thomafi dari Ushul
asy-Syari’ah. Yogyakarta: LKis.
Awwas, Irfan
Suryahardi. 2001.”Menerapkan Piagam Cerdas,” dalam Kurniawan Zein dan
Sarifuddin (editor), Syariat Yes Syariat No Dilemma Piagam Jakarta dalam
Amandemen UU 1945. Jakarta: Paramadina.
Azra,
Azyumardi.2001.”Belum Ada Negara Sebagai Acuan Pelaksanaan Syariat Islam,’
dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA ( Editor), Syariat Islam Yes Syariat
Islam No Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945. Jakarta: Penerbit
Paramadina.
Bakar, AlYasa
Abu.2002.”Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (Sejarah dan Prospek)” dalam Fairus
M. Nur Ibr, Syariat di Wilayah Syariat: Pernik-pernik Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanngroe Aceh Darussalam.
Burhanuddin
(editor).2003. Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal.Jakarta: Jaringan Islam
Liberal dan The Asia Foundation.
Burhanudin,
Nandang.2004.Penegakan Syariat Islam Menurut Partai Keadilan. Jakarta:
al-Jannah Pustaka.
Hamid,
Shalahuddin.2000. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Jakarta: Amissco.
Haryatmoko.2003.
Etika Politik dan Kekuasaan.Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Henningsson, Jan
A..1998.»Contemporary Understandings of Human Rights in Islam», LWF
Studies,1998/3.
Human Rights Watch,
Sudan, “ In the Name of God “. Human Rights Watch Publication, November 1994,
vol.6 no. 9.
Human Rights
Watch/Africa, Behind the Red Line: Political Repression in Sudan. Human Rights
Watch,1996.
Bahar, Saafroedin,
el.al. (eds.)., Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei – 22 Agustus 1945.
Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995
Boland, B.J., Pergumulan
Islam di Indonesia 1945-1972, terj. Saafroedin Bahar. Jakarta, Grafiti
Pers, 1985.
Effendy, Bahtiar, Islam
dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, terj.
Ihsan Ali-Fauzi. Paramadina: Jakarta, 1998.
Indrayana,
Denny, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Bandung:
Mizan Pustaka, 2007.
Kymlicka, Will, Kewargaan
Multikutural, terj. F. Budi Hardiman. Jakarta: Pusataka LP3ES, 2002.
Shidqi, Ahmad, Tuhan
di Dunia Gemerlapku: Sebuah Buku Reportase. Yogyakarta, Kanisius,
2008.
Turmudi, Endang dan
Sihbudi, Riza, (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta:
LIPI Press, 2005.
Utomo, Bambang
Ruseno, Hidup Bersama di Bumi Pancasila: Sebuah Tinjauan Hubungan Islam
dan Kristen di Indonesia. Malang: Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993.
Wahid, Abdurahman,
(ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009.
Dokumen/Tesis
Dokumen/Tesis
Ahmad Suaedy, ”Islam
dan Multikulturalisme”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Agama dan
Multikulturalisme; Pengalaman Indonesia-Kanada, di Kartika Chandra Ballroom,
Jakarta,10 Maret 2005.
Yusak Nugraha Anwari
Langi, ”Usaha-usaha Memasukan Piagam Jakarta ke dalam UUD NKRI: Sebuah Tinjauan
Etis Teologis Kristiani Terhadap Usaha Partai Bulan Bintang untuk memasukan
Piagam Jakarta ke dalam UUD NKRI,” (Tesis, Program Pasca Sarjana Teologi
Magister Theologiae, Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta, 2003).
Wahid Institut,
Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Beragama dan
Berkayakinan/Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2008
Internet dan Kliping Koran:
http://www.fpi.or.id.
http://www.jpnn.com
http://www.ethnologue.com
http://id.wikipedia.org
http://hizbut-tahrir.or.id/.Berita, ”Hizbuh Tahrir Tuntut Syari’at Islam” dalam http://swaramuslim.net/, dilansir 25 Oktober 2004. http://majelismujahidinWORDPRESS.com
Berita, “Pasal 29
Dibawa ke Lobi”, dalam http://www.suaramerdeka. com/harian/0208/07/ nas5.htm,
Rabu , 7 Agustus 2002.
Berita, ”Tokoh Islam
Tolak Piagam Jakarta”, dalam http://detik.com/, edisi Kamis, 10 Agustus
2000
Berita,”Ba'asyir ke
Istana Presiden Tuntut Syari’at Islam”, dalam http://www.detiknews.com,
edisi Kamis, 22 Februari .
Berita, ”Peringati
Milad, FPI Tuntut Pemberlakuan Syari’at Islam”, Kompas, Selasa, 6 Agustus
2002.
Manado Post, 7
Agustus 2000 ”Multicultur”, “Multiculturalism”, Microsoft ® Encarta ® Reference
Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation.
“Multiculturalism”, http://en.wikipedia.org/wiki/Multiculturalism.
“Multiculturalism”, http://en.wikipedia.org/wiki/Multiculturalism.
[1]
Lihat Berita, ”Hizbuh Tahrir Tuntut Syari’at Islam” dalam
http://swaramuslim.net/, dilansir 25 Oktober 2004.http://majelismujahidinWORDPRESS.com dalam Denni
H.R. Pin0ntoan Wacana Formalisasi Syariat Islam Dalam Konteks Masyarakat multi
Kultural Indonesia” Jurnal Exodus No. 2 Volume XVII, Tahun 2010.
[2]
Berita, ”Hizbuh Tahrir Tuntut Syari’at Islam” dalam
http://swaramuslim.net/, dilansir 25 Oktober 2004 (download 5 Agustus 2009)
Lihat juga Abdurahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute,
2009), hal. 154.
[3] Lihat
Berita, ”Peringati Milad, FPI Tuntut Pemberlakuan Syari’at Islam”, Kompas, Selasa,
6 Agustus 2002
[4] Lihat Tentang pandangan MMI
mengenai syari’at Islam lihat Endang Turmudi dan Riza Sihbudi
(ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press,
2005), hal. 248-258.
[5] Dalam Berita, ” Ba'asyir ke
Istana Presiden Tuntut Syari’at Islam”, dalam http://www.detiknews.com,
edisi Kamis, 22 Februari 2007 (download, 11 Agustus 2009).
[6] Ahmad Shidqi, Tuhan di Dunia
Gemerlapku: Sebuah Buku Reportase, (Yogyakarta, Kanisius, 2008), hal.
73 dan 74.
[7] Lihat Perubahan pertama, Sidang
Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999,perubahan
kedua, dalam Sidang Tahunan MPR 2000, yang berlangsung dari tanggal
7-18 Agustus 2000, perubahan ketiga dalam Sidang Tahunan MPR 2001, yang
berlansung dari tanggal 1-9 November 2001 dan perubahan keempat dalam
Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002.
[8] Dalam Yusak Nugraha Anwari Langi,
”Usaha-usaha Memasukan Piagam Jakarta ke dalam UUD NKRI: Sebuah Tinjauan Etis
Teologis Kristiani Terhadap Usaha Partai Bulan Bintang untuk memasukan Piagam
Jakarta ke dalam UUD NKRI,” (Tesis, Program Pasca Sarjana Teologi Magister
Theologiae, Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta, 2003).
[9] Lengkapnya jalan persidangan lihat Saafroedin Bahar, el.al. (eds.)., Risalah
Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat
Negara RI, 1995).
[10]
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi adalah
sebuah partai politik yang berdiri pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta.
Partai ini didirikan melalui sebuah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945,
dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai
partai penyatu umat Islam dalam bidang politik. Masyumi adalah bentukan Jepang
yang merupakan federasi empat organisasi Islam pada masa Jepang, yaitu
Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat
Islam Indonesia. Masyumi semasa Jepang didirikan untuk mengganti Majelis Islam
A’laa Indonesia (MIAI). MIAI didirikan pada tanggal 21 September 1937 sebagai
federasi organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Tentang MIAI dan Masyumi
lihat Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: BPK, 2004), hlm. 187 dan 220.
[11]
September 1937 sebagai federasi organisasi-organisasi Islam di
Indonesia. Tentang MIAI dan Masyumi lihat Jan S. Aritonang, Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK, 2004), hlm.
187 dan 220.
[12] Baca hasil penghitungan suara dalam Pemilu
1955 Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada
masa itu, dengan berhasil memperoleh suara sebanyak 7,9 juta suara atau 20,9%
dari jumlah total suara. Dari pemilu 1955 ini, Masyumi mendapatkan 57 kursi di
parlemen. Lihat “Majelis Syuro Muslimin Indonesia”. dalam
http://id.wikipedia.org/ (download 11 Agustus 2009).
[13]
Bambang Ruseno Utomo, Hidup Bersama di Bumi
Pancasila: Sebuah Tinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia, (Malang:
Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993), hlm. 51 dan 52.
[15]
Lihat dalam buku keberatan-keberatan terhadap formalisasi Syariat Islam di
Indonesia, dalam Adhian Husaini & Nuim Hidayat. 2002. Islam Liberal:
Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya.(Jakarta: Gema Insani Press).
Hal.155-167.
[16]
Krisis multidimensi yang penulis maksud disini adalah krisis moral dan absenya
negara dalam meningkatkan kesejahteran masyarakat pada setiap bidang sehingga
sering menimbulkan konflik pada masyarakat.
[17] Lihat Burhanuddin
(editor). 2003. Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal.(Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan The Asia
Foundation); Charles Kurzman (editor). 2001. Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer dan
Isu-Isu Global, terjemahan Bahrul Ulum dari Liberal Islam: A
Sourcebook.(Jakarta: Paramadina, Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford
Foundation), p.xi-lx Dalam Jurnal Formalisasi Islam Din donesia dan Hak Asasi
Manusia ditulis oleh Yusdani.
[18]
Arus ini secara
politis dinakhodai oleh oleh partai-partai Islam yang berlandaskan Islam, seperti PPP, PK(S). Selain itu
didukung oleh kelompok-kelompok radikal yang mulai tampil ke permukaan, seperti
Front Pembela Islam (FPI), KISDI, Hisbut Tahrir, dan beberapa organisasi kepemudaan
dan kemahasiswaan. baca Zuhairi Misrawi,” Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju
Desakralisasi, Reinterpretasi dan Depolitisasi” dalam Tashwirul AfkarJurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan tema Deformalisasi Syariat Islam,
edisi No.12 Tahun 2002 ( Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya
Manusia NU dan The Asia Foundation), p.7. baca juga Irfan Suryahardi Awwas, “
Menerapkan Piagam Cerdas” dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin (editor). 2001.
Syariat Yes Syariat No Dilemma Piagam Jakarta dalam Amandemen UU 1945.(Jakarta:
Paramadina). Hal .33-35.
[19]
Aspirasi kelompok Islam memperjuangkan formalisasi
syari’at Islam dan Piagam Jakarta dalam konstitusi negara dalam
Sidang-sidang BPUPKI (1945), sidang-sidang Majelis Konstituante (1956-1959 dan
Sidang-sidang Tahunan Amandemen UUD 1945 (1999-2002) selalu direspon dengan
penolakan atau tanggapan kritis dari kelompok nasionalis kebangsaan dan
kelompok non Islam. Lihat misalnya, Anshari, op.cit., hl,
55-58; Bahar, el.al. (eds.); Indrayana., hlm. 323.
[21]
Berita, ”Tokoh Islam Tolak Piagam Jakarta”, dalam
http://detik.com/, edisi Kamis, 10 Agustus 2000.
[22] Ibid. hal
123
[23] Forum Kongres Minahasa itu turut dihadiri Wakil Gubernur FH
Sualang, Bupati Minahasa Drs Dolvie Tanor, mantan walikota dan walikota Manado
Ir LH Korah dan Wempy Fredrik, dan pejabat sementara Walikota Bitung Drs L
Gobel. Kongres tersebut dipandu tujuh tokoh pemuda dari Minahasa, yaitu Pnt
Hanny VP Pua, Pdt David Tulaar, Pdt Feybe Lumanauw, Ir Vicktor Rompas, Pstr DR
John Montolalu, Pdt Narwasty Karundeng dan Pdt Wempy Kumendong. Tim ini
didampingi utusan-utusan mewakili 7 sub-etnis yang ada di Minahasa. Ke tujuh
utusan itu adalah Tombulu, Tonsea, Tolour, Tonsawang, Tontemboan,, Ratahan dan
Bantik. Mereka itu yakni Pdt Prof DR WA Roeroe, Mayjen Pur CJ Rantung, Prof DR
EA Sinolungan, Jotje Koapaha, Drs Freddy Rorimpandey serta Dolfie Maringka.
(Manado Post, 7 Agustus 2000).
[25] Berita, “Kongres Minahasa ultimatum MPR: Piagam Jakarta Diterima,
Minahasa Merdeka”, Manado Post, edisi 7 Agustus 2000.
[26] ”Multicultur”, “Multiculturalism”, Microsoft ® Encarta ® Reference
Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. “ of more than one culture:
relating to, consisting of, or participating in the cultures of different
countries, ethnic groups, or religions.”
[27] Ibid. “Supporting
integration: advocating or encouraging the integration of people of different
countries, ethnic groups, and religions into all areas of society”.
[28] “Multiculturalism”, http://en.wikipedia.org/wiki/
Multiculturalism, (Download 12 Agustus 2009).
[29] Baca Ahmad Suaedy, ”Islam dan Multikulturalisme”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Agama dan
Multikulturalisme; Pengalaman Indonesia-Kanada, di Kartika Chandra
Ballroom, Jakarta,10 Maret 2005.
[30]
Baca Ulasan yang komprehensif tentang multikulturalisme lihat
Will Kymlicka, Kewargaan Multikutural, terj. F. Budi Hardiman,
(Jakarta: Pusataka LP3ES, 2002).
[31] Sebenarnya syariat Islam
belum pernah diterapkan secara sempurna sejak zaman Nabi Muhammad, masa
Khulafaur Rasyidin karena syariat Islam tidak hanya dibentuk oleh al-Quran,
Sunnah, consensus dan ijtihad sahabat, juga mencakup prudok ketetapan ahli fiqh
sepanjang masa masa kin dan mendatang, baca Muhammad Abid al-Jabiri, Wajhah
Nazar Nahw I’adah Bina Qadaya al-Fikr al-Arabi al-Mu’asir(Beirut : Markaz
Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, 1994).p.72-76; baca pula Muhammad Said
al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, terjemahan Luthfi Thomafi dari Ushul
asy-Syari’ah( Yogyakarta: LKis,2004), p.7-27; bandingkan pula dengan Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah, Perkelahian,
Pemaknaanterj.Kamran As’ad dari judul
asli al-Juzur at-Tarikhiyah li asy-Syariah al-Islamiyah( Yogyakarta:
LKiS,2003), yang menyatakan bahwa
syariat adalah Respons Alquran terhadap kehidupan masyarakat jahiliah yang ada
saat itu dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, ia mempertahankan suatu
tradisi yang dimiliki masyarakat jahiliah, misalnya hukum potong tangan bagi pencuri, baik laki-laki
maupun perempuan. Artinya, hukum potong
tangan bagi pencuri sudah dikenal di tengah masyarakat Arab pra-Islam yang kemudian dipertahankan oleh Islam. Secara
substansial dan material, di situ tidak ada
perbedaan antara hukum potong tangan yang berlaku pada masyatakat Arab jahiliah dan hukum potong tangan yang
ditetapkan oleh Islam. Kalaupun ada yang berbeda, hanyalah sumbernya. Hukum
potong tangan yang diberlakukan masyarakat Arab pra-Islam bersumber dari
tradisi masyarakat yang sudah berjalan ratusan tahun. Ketika Islam turun, hukum
tersebut dipertahankan, dengan mengalihkan
sumbernya dari tradisi masyarakat Arab pada wahyu Allah SWT. (Alquran).
Kedua, Alquran mempertahankan sebagian dari tradisi pra-Islam dan menolak
sebagian lainnya, misalnya dalam hukum
poligami. Poligami bisa berarti poliandri (seorang perempuan bersuami lebih
dari satu) dan poligini (seorang laki-laki beristri lebih dari satu). Poligami
dalam arti pertama (poliandri) diharamkan oleh Islam, sedangkan dalam arti yang
kedua (poligami) diterima dengan pembatasan. Jika sebelum dan di awal Islam
seorang laki-laki boleh memiliki isteri dalam jumlah yang tidak terbatas, Islam
membatasinya hanya empat orang.Ketiga,Alquran menghapus suatu tradisi yang berlaku pada masyarakat Arab jahiliah,
misalnya riba. Seperti diketahui, perekonomian masyarakat Arab pra-Islam berada
di tangan para saudagar kaya yang bersikap sangat zalim terhadap rakyat kecil dan
kaum lemah dengan, misalnya memberlakukan
sistem riba. Melalui sistem ini golongan yang kaya semakin kaya, yang miskin
semakin miskin dan tertindas. Ketika seorang miskin meminjam uang dengan sistem
riba, seringkali dia tidak dapat melunasi utangnya. Kalau sudah begitu, dia
dirampas dan dijadikan budak. Tidak jarang pula yang ditampas adalah istri atau
anak-anak perempuannya. Dengan demikian, perbudakan pada masyarakat Arab
pra-Islam terkait erat dengan sistem ekonomi yang berlaku di tengah-tengah mereka.
Islam mengharamkan riba dan memberlakukan pinjam-meminjam dengan sistem
mudharabah(bagi hasil), lalu mengatasi masalah perbudakan yang menjadi akibat
sistem riba dengan kewajiban membebaskan budak sebagai hukuman atas
pelanggaran-pelanggaran tertentu agama Islam, misalnya tebusan untuk suatu
pembunuhan atau denda bagi orang yang melakukan hubungan seksual dengan suami/istri
di siang hari bulan Ramadan.
[32]
Baca
Objectives Resolutionditubuhkan sebagai mukaddimah dalam Konstitusi
1956,1962, dan 1973, serta
amandemen-amandemennya. Dalam amandemen ke-8 Konstitusi 1973, yang disahkan
pada 1985, Objectives Resolutiondinayatakan sebagai bagian operatif konstitusi
tersebut dalam Tulisan Yusdani FORMALISASI SYARIAT ISLAM DAN HAK ASASI
MANUSIADI INDONESIA dosen tetap FIAI UII Yogyakarta dimuat dalam Jurnal Al-Mawarid
Edisi XVI Tahun 2006. Hal 191.
[33]
Abdullahi
Ahmed An-Na’im. 1990. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties,
Human Rights, and
International Law. (New York: Syracus University Press). hal.185-186.
[34]
Mahmoud Mohamed
Taha.1987. The Second Message of Islam.(New York: Syracuse University Press).
Hal.113 118.
[35]
Rubya Mehdi. 1993.
The Islamization of the Law in Pakistan.(London: Curzon Press). Hal. 225.
[36]
Ibid, Hal..228
[37] M.
Amin Abdullah. 1998. “ Kebebasan Beragama atau Dialog Antaragama, 50 Tahun Hak
Asasi Manusia,” dalam Orientasi Baru Jurnal Filsafat dan Teologi, 1998/11.
Hal.56
[38] Taufik Adnan Amal dan
Samsu Rizal Panggabean. 2004.Politik Syariat Islam Dari Indonesia hingga Nigeria(Jakarta:
Pustaka Alvabet). Hal.156-164.
[39]
Lihat artikel “ Murtadd” dalam Encyclopedia of IslamCD Rom edition.
[40] Ann Lizabet Mayer. 1995.Islam
and Human Rights: Tradition and Politics.(Boulder London: Westview Press
&Printer Publishers). Hal .146-147.
[41]Lihat Louay M. Safi, ”Human
Rights and Islamic Reform” tersedia di
http://www.11u.edu.my/deed/articles/human3.pdf;lihatjuga art.”Hukuk”, dalam
Encyclopedia of Islam,CD Rom edition.
[42] Bernard
Adeney-Risakotta,” Civil Society and Abrahamic Religion,” dalam Djaka Sutopo
(ed.). Civil Society dan Abrahamic Religions( belum terbit), Hal.9.
[43] Taufik Adnan Amal dan
Samsu Rizal Panggabean. 2004. Politik Syariat Islam Dari Indonesia hingga
Nigeria.(Jakarta: Pustaka Alvabet). Hal.187.
[44]
Pada tahun 1984
beberapa tokoh Ahmadiyah mengajukajn petisi kepada Mahkamah Syariat Federal
Pakistan meminta meninjau ulang terhadap ordonansi tersebut, dengan disertai
pertimbangan-pertimbangan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Petisi tersebut
ditolak Mahkamah pada 28 Oktober 1984. Lihat “ Judgement of Federal Shari’ah
Court, Pakistan” tersedia di
http://www.irshad.org/idara/qadiani/legal/pkcourt84.htm, diakses 19 November 2015
[45]
“ Who won the tug of war? Al-Ahram Weekly3-9 February 2000. Dalan Tulisan
Junaidi dimuat dalam jurnal Almawarid
[46] “ Taliban
Stage Lashing of Unwed Couple Accused of Having Sex,” AFP, May, 22,2001
[47] Luthfi
Assyaukanie. 1998. Politik, HAM, dan Isu-Isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer.
(Jakarta: Pustaka Hidayah). p.132-134
[48] Louay M.
Safi. “ Human Rights and Cultural Reform in Contemporary Muslim Society: From
Hegemonic Discourse to Crossculturel Dialogue”, tersedia di
http://home.att.net/louaysafi/articles/1999/human32.html. diakses 1 9 November
2015.
[49] Lihat misalnya, Human
Rights Watch, Sudan, “ In the Name of God, “ ( Human Rights Watch Publication,
November 1994, vol.6 no. 9);Human Rights Watch/Africa, Behind the Red Line:
Political Repression in Sudan (
Human Rights Watch,1996); Lawyers Committee for Human Rights,” Beset by
Contradictions: Islamization, Legal Reform and Human Rights in
Sudan,”(LawyersCommittee for Human Rights, December 1996), Lihat juga laporan
Amnesty International, “ Amnesty International Report 2002-Africa – Sudan,”
dll.
[50]
Nigeria’s
Muslim-Christian Riots: Religion or Realpolitik,” The Economist, Januari
17,2003, dan tentang implikasi penerapan syariat di Zamfara, lihat “ Tension
rise over Islamic Law in Nouthern Nigeria.
[51] Al Yasa Abu Bakar. 2002.
” Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (Sejarah dan Prospek)” dalam Fairus M. Nur
Ibr, Syariat di Wilayah Syariat: Pernik-pernik Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam.(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam).
Hal.26-46.
[52] an A. Henningsson. 1998.
”Contemporary Understandings of Human Rights in Islam”, LWF Studies,1998/3,
p.274, baca juga Zuhairi Misrawi. 2002. ”Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju
Desakralisasi, Reinterpretasi dan Depolitisasi” dalam Tashwirul AfkarJurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan tema Deformalisasi Syariat Islam,
edisi No.12 Tahun 2002 (Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya
Manusia NU dan The Asia Foundation), p.12-13, baca pula Haryatmoko. 2003. Etika
Politik dan Kekuasaan.(Jakarta: Penerbit Buku Kompas), Hal.237.
[53] Shalahuddin Hamid, Hak
Asasi Manusia dalam Perspektif Islam(Jakarta: Amissco, 2000), Hal .vii-viii dan
195-196
[54]
Zuhairi Misrawi,”
Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju Desakralisasi, Reinterpretasi dan
Depolitisasi” dalam Tashwirul AfkarJurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan &
Kebudayaan tema Deformalisasi Syariat Islam, edisi No.12 Tahun 2002 ( Jakarta:
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU dan The Asia Foundation),
Hal.13.
[55]
Ibid,
[56]
Ibid, Hal 14.