Formalisasi Syari’ah Dan Hak Asasi Manusia

(Kajian Sosiologi Hukum  Pada Masyarakat Indonesia Yang Multikultural)
Ditulis Oleh
Muhammad Hadidi,

Dalam konteks Indonesia sekarang ini sering munculnya wacana tentang formalisasi Syari’at Islam dan yang semakin hari semakin mengemuka, seperti  yang sudah diterapkan di Nangroe Aceh Darussalam, dan munculnya perda syariat islam di beberapa daerah di Indonesia dan kemudian sering adanya Kongres ormas-ormas Islam yang membahas tentang formalisasi sayaraiah di Indonesia, dan adanya tuntutan beberapa oknum-oknum dan juga tidak jarang menamakan dirinya ormas-ormas Islam di Indonesia mengembalikan UUD 1945 kembali ke redaksi piagam Jakarta yang dimana disana ada penaabahan tujuh kata pada sila pertama yaitu “Kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Semangat untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia tampaknya  tidak pernah padam. Hal ini memang jika kita lacak dari sejarah masuknya Islam di Indonesia serta sejarah pergulatan politik nasional tentang mendirikan negara. Memang syariat Islam telah menjadi sejarah bangsa Indonesia. Semenjak Islam masuk ke negeri ini, kerajaan-kerajaan Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan syariat di daerahnya. Setelah penjajahan Belanda berkuasa pun, kerajaan-kerajaan Islam yang ada masih berusaha menegakkannya,walaupun secara berangsur-angsur hukum barat (hukum poistif)  ataupun adat diterapkan.
Namun pergerakan nasional yang bersifat Islam menempatkan penegakan syariat Islam sebagai cita-cita.[1] Sementara itu disisi lain, Indonesia, secara sosiologis adalah negara yang beragam dari segi Suku, Agama, Ras serta Golongan (SARA).[2] Istilah akademisnya, Indonesia adalah negara multikultural. Secara objektif, Islam adalah agama yang penganutnya terbesar. Namun, Islam di Indonesia tidak tunggal. Di dalam dirinya, Islam terdiri dari beragam kelompok pemikiran dan gerakan. Dalam dinamika politiknya, Islam di Indonesia memperlihatkan adanya pertentangan-pertentangan, terlebih khusus dalam hal hubungan antara Islam dengan politik (negara).
Bagi kelompok Islam konservatif, negara Indonesia haruslah berdasar pada Syariat Islam. Sementara menurut kelompok Islam kebangsaan (nasionalis), dasar negara Indonesia adalah Pancasila, sebuah dasar hukum dan pandangan hidup yang dihasilkan dari pergumulan atas kemajemukan nusantara sejak negara ini berdiri.
Menurut laporan Wahid Institute, fenomena  terbitnya Perda dan UU yang mengandung Syariat Islam di Indoensia muncul  terutama sejak era  reformasi bergulir 1998.[3] Sehingga sejak awal tahun 2000-an,  isu  formalisasi syariah Islam di Indonesia begitu menyeruak ke publik. Perdebatan  soal munculnya  sejumlah Perda yang sering disebut Perda Syariat Islam muncul dibeberapa daerah di Indonesia merupakan salah satu isu yang hangat di perdebatkan sampai sekarang.[4]



[1] Deliar Noer, “Pengantar”, dalam Irfan A. Awwas. 2001.Risalah Kongres Mujahidin 1 dan Penegakkan Syariah Islam.( Yogyakarta: Wihdah Press). Hal.vii.
[2] Lihat hasil survey BPS menyebutkan bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa (http://www.jpnn.com). Jumlah ragam bahasa di Indonesia adalah 726, terdiri dari 719 bahasa lokal/daerah (masih aktif digunakan sampai sekarang),2 bahasa sekunder tanpa penutur asli, dan 5 bahasa tanpa diketahui penuturnya (http://www.ethnologue.com).  Mengenai agama, selain enam agama “resmi” yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, juga terdapat banyak agama asli dan aliran kepercayaan yang masih hidup di berbagai daerah. Jumlah pulau di Indonesia menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 adalah sebanyak 17.504 buah. 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama (http://id.wikipedia.org). Tahun 204-2015.
[3] Dalam Wahid Institut, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Beragama dan Berkayakinan/Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), hal. 21-30.
[4] Lihat Denni H.R. Pin0ntoan Wacana Formalisasi Syariat Islam Dalam Konteks Masyarakat multi Kultural Indonesia” Jurnal Exodus  No. 2  Volume  XVII, Tahun 2010.


  1. Wacana Dan Aspirasi Formalisasi Syariat Islam di Indonesia
Di Indonesia pada tanggal 24 Oktober 2004 lalu  Ribuan umat Islam di Jakarta, Semarang dan Surabaya mendesak tegaknya Syari’at Islam dan khilafah (sistem pemerintahan Islam). Di Jakarta, pada hari itu, sedikitnya 15 ribu umat Islam yang tergabung dalam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).[1] menggelar aksi damai di depan Istana Negara, Jl Merdeka Utara Jakarta. Mereka membawa spanduk bertuliskan tegakkan syari’at Islam serta pengumpulan tanda tangan mendukung diberlakukannya syari’at  Islam yang dibentangkan di spanduk panjang.
Dalam demo itu, masa HTI menyampaikan tuntutannya, yaitu, bahwa sistem pemerintahan yang diridhoi Allah yaitu khilafah bukan sistem lainnya. Kedua, konstitusi yang diwajibkan oleh Allah bagi kaum muslimin yaitu yang digali dari Alquran, Assunnah, Ijma dan qiyas para sahabat, bukan konstitusi buatan manusian.[2]
Front Pembela Islam (FPI), juga termasuk salah satu ormas Islam yang menuntut formalisasi syari’at  Islam lewat pemberlakuan kembali Piagam Jakarta. Pada tanggal 5 Agustus 2002, FPI mengadakan aksi unjuk rasa ke Gedung MPR/DPR Senayan, menuntut dicantumkannya syari’at  Islam dalam amandemen UUD 1945. Ketua Umum FPI Al Habib Muhammad Rizieq Shihab dalam orasinya membagi partai politik dalam dua jenis, yaitu partai Allah dan partai Setan. Partai Allah adalah partai yang mendukung syari’at  Islam sebagai hukum Allah, sedangkan partai setan sebaliknya.[3]
Selain HTI dan FPI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)6, juga termasuk salah satu ormas Islam yang getol memperjuangkan syari’at Islam dalam konstitusi negara.[4] Bahkan, pada tanggal 22 Februari 2007, melalui Abu Bakar Ba'asyir sebagai Amir Majelis MMI, mereka nekat ke Istana Presiden Jakarta. Ba'asyir menawarkan syari’at Islam sebagai salah satu solusi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ba’asyir yang waktu itu bersama Ketua MMI Fauzan Al Ansori serta sekitaran 30 orang anggota MMI datang ke istana bermaksud mendesak Presiden SBY untuk mengeluarkan dekrit pemberlakuan syari’at  Islam di Indonesia. Teknisnya, menurut MMI, Presiden bisa membentuk Mahkamah Syari’at.[5]
Menurut Ahmad Shidqi[6] ada tiga alasan kenapa MMI memperjuangkan syari’at  Islam:
Ø  Pertama, alasan aqidah (ideologis), di mana setiap muslim yang lurus aqidahnya pastilah menginginkan berlakunya syari’at  Islam sebagai konsekuensi logis dari pengakuannya sebagai muslim sehingga mereka terbebas dari bencana dan malapetaka, kehancuran dan kebinasaan sebagai firman Tuhan dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat ke 36.
Ø  Kedua, alasan historis, di mana perjalanan sejarah umat Islam sejak zaman Rasulullah hingga khulafah al-Rasyidun dan khalifah-khalifah sesudahnya, yang mereka itu para tabi’in dan salafus salih hingga akhir runtuhnya Khalifah Ustamaniyah di bawah Sultan Abd Hamid II tahun 1924. Mereka semua hidup dalam sistem Islam, yaitu khilafah dengan tetap menjaga wihdatul ummah (kesatuan umat secara global) dan wihdatul imamah (kesatuan kepemimpinan secara global), sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surat al-Mu’minun, ayat ke-52 dan 53.
Ø  Ketiga, alasan realitas zaman, yakni berencana dengan kenyataan hidup masa kini dengan munculnya era globalisasi yang justru diwarnai dengan krisis multidimensional yang berkepanjangan maka saatnya umat Islam dituntut lebih berani menawarkan mutiara al-Qura’an dan al-Hadits dengan tanpa ragu dan minder demi mengatasi segala macam problema yang menimpa umat manisia dengan mengikuti perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat ke-139.9
Tuntutan terhadap formalisasi syari’at Islam dengan pemberlakuan kembali Piagam Jakarta tak hanya getol diperjuangkan oleh ormas-ormas Islam, tapi juga partai-partai politik berideologikan Islam. Dalam empat kali Sidang Tahunan Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR), dari tahun 1999 sampai 2002.[7]
Wacana mengembalikan Piagam Jakarta dalam Undang-udang Dasar 1945 menjadi pembicaraan hangat dalam sidang-sidang tersebut. Ada tiga partai berbasis Islam yang gigih memperjuangkannya, yaitu Partai Bulan Bintang (PBB)[8], Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Daulah Ummah (PDU). Dalam empat kali pembahasan amandemen UUD 1945 tersebut pokok diskusi yang cukup alot dan krusial dibicarakan oleh anggota sidang adalah Pasal 29:1 UUD 1945 yang berbunyi: ”Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.12 Ketiga perwakilan partai tersebut sudah sejak Sidang Tahunan Pertama pada tahun 1999 mengajukan proposal untuk memasukan ”tujuh kata”13 Piagam Jakarta14 dalam amandemen pasal 29:1 UUD 1945.
Selanjutnya jika kita lacak sejarah Indonesia perdebatan soal formalisasi syari’at Islam dalam kaitan dengan dasar negara telah dimulai sejak negara ini berdiri, yaitu sejak tahun 1945 dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai 16 Juli 1945.[9]
Dalam sidang ini terjadi perdebatan yang alot soal dasar negara. Kelompok Islam19 berusaha menjadikan dasar negara Indonesia merdeka berdasar pada syari’at Islam. Sementara kelompok nasionalis kebangsaan berpendirian bahwa urusan agama dan negara harus dipisahkan. Dasar dari kelompok Islam, bahwa karena penduduk beragama Islam di Indonesia adalah mayoritas dan telah mengakar, maka adalah suatu keharusan untuk mendirikan Indonesia atas dasar syari’at  Islam.
Perdebatan yang alot antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis kebangsaan diakhiri dengan terbitnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, hasil kerja dari Panitia Sembilan. Namun, Piagam Jakarta ini batal menjadi bagian dari konstitusi Indonesia merdeka, karena pada tanggal 18 Agustus 1945 terjadi perubahan dalam pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945 yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Berikut, mengikuti pentahapan Boland tentang usaha-usaha formalisasi syari’at Islam dalam sejarah Indonesia, periode perang kemerdekaan yang berlangsung tahun 1945 sampai 1950 adalah juga penting untuk ditengok lagi kaitan dengan perdebatan dasar negara. Boland menulis:
”Semua kekuatan umat Islam harus dipusatkan dalam Masyumi[10], ’untuk membela kemerdekaan agama, negara, dan bangsa. Agama yang dimaksud dalam rumusan ini sudah tentu Islam, yang dirasakan orang telah diserang bersamaan dengan serangan-serangan terhadap Republik.”[11]
Meski tidak ada perbedaan yang mencolok antara Partai Islam dengan Partai Nasionalis di periode ini karena semua kelompok terkosentrasi pada usaha mempertahankan kemerdekaan, namun agaknya kemenangan Partai Masyumi dalam Pemilu tahun 1955 bermula dari kekuatan yang terpusat kepadanya di masa ini. Effendy berkomentar: ”Dengan Masyumi yang dibentuk pada tahun 1945, sebagai wakil politik mereka satu-satunya, kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar.[12]
Sejak tahun 1950 sampai 1959, konstitusi Indonesia berdasar pada UUD 1950. Di tahun 1955 diadakan Pemilu. Di masa kampanye, Partai Masyumi menyampaikan gagasan-gagasannya untuk menjadikan syari’at Islam sebagai dasar negara. Menurut catatan Effendy, salah satu yang memicu kembali konflik ideologis antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam adalah penegasan Presiden Soekarno yang merepresentasi kelompok nasionalis untuk menfinalkan Pancasila dan menolak pemberlakuan negara berdasar asas Islam.
Setelah Pemilihan Umum, dimulailah sidang-sidang konstituante. Dalam pembahasan soal dasar negara, kembali lagi mengemuka perdebatan lama, yaitu negara Pancasila atau negara Islam yang bersamaan dengan itu muncul lagi perdebatan tentang Piagam Jakarta. Dalam sidang itu, penolakan terhadap kelompok Islam (Partai Islam), tidak hanya datang dari kelompok nasionalis, misalnya Partai Nasionalis Indonesia (PNI) sebagai partai pemenang pemilu masa itu,  namun juga datang dari partai-partai Kristen, yaitu Parkindo dan Partai Katolik.
Perdebatan ini terjadi secara alot. Untuk mengatasi perdebatan ini, jalan yang ditempuh adalah melalui voting. Tapi, voting ternyata tidak berhasil memperoleh suara mayoritas 2/3 dari keseluruhan anggota konstituante. Maka, sidang konstituantepun buntu. Untuk mengatasi masalah ini, maka sidang majelis konstituante diberhentikan pada tanggal 2 Juni 1959. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekano mengeluarkan Dekrit Presiden, yang intinya membubarkan Konstituante dan kembali pada UUD 1945 serta Pancasila sebagai dasar negara. Menariknya, di dalam konsideran dekritnya yang kelima dinyatakan bahwa Presiden yakin bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai Undang-udang Dasar 1945 dan dihubungkan menjadi satu kesatuan dengan UUD tersebut.[13]
Wacana formalisasi syari’at  Islam untuk menjadi bagian dari konstitusi negara kembali mengemuka dalam Sidang-sidang Tahunan Amandemen UUD 1945 selang tahun 1999 sampai 2002. Dalam ingatan historis kelompok Islam, bahwa Piagam Jakarta tak pernah dibatalkan secara konstitusi, apalagi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menegaskan kesatuan antara UUD 1945 dengan Piagam Jakarta. Selain karena ingatan historis dan motivasi politiknya, usaha-usaha memasukan Piagam Jakarta dalam konsitusi negara di era reformasi usaha ini juga dirasa mendapat legitimasi secara teologis, seperti pendapat-pendapat yang dikemukakan baik oleh pemimpin atau aktivis ormas-ormas Islam, mapun partai-partai Islam.
Wahid Institute[14] melaporkan, latar belakang fomalisasi syariat Islam dalam regulasi, aturan serta hukum di Indonesia tidak tunggal. Namun, jika dipetakan ada beberapa konteks pergumulan  Islam dan kebangsaan  yang bisa disebut, yaitu:
Ø  Pertama,  ada keyakinan  yang  sangat mendalam pada diri umat Islam bahwa Islam adalah agama paling sempurna. Ia tidak hanya terkait urusan ukhrawi, tapi juga politik-duniawi. Adagium yang paling terkenal adalah Islam dîn wa daulah.
Ø  Kedua, adanya kegelisahan di kalangan (sebagian) umat Islam mengenai demoralisasi masyarakat. Moral masyarakat yang semakin rusak antara lain disebabkan semakin jauhnya masyarakat dari agama. Karena itu, untuk memperbaiki kerusakan moral, tidak ada cara lain kecuali menerapkan moralitas agama melalui regulasi pemerintah.
Ø  Ketiga,  Islam  adalah  agama  yang  dipeluk mayoritas  bangsa  ini.  Sebagai  agama mayoritas tidak ada salahnya jika Islam mewarnai regulasi-regulasi pemerintah. Selama pemerintahan Orde Baru, umat Islam yang mayoritas itu dipinggirkan secara politik. Karena itu, ketika situasi politik dimungkinkan aturan-aturan Islam merangsek menjadi aturan pemerintahan.
Ø   Keempat, hukum yang berlaku di Indonesia sebagian besar warisan kolonial. Hal ini menjadi salah  satu  beban  sebagian masyarakat  Islam. Kolonial  bukan  saja menjajah,  tapi  juga  dianggap sebagai representasi kaum kafr. Dan, hukum kolonial ini dianggap gagal menyelesaikan problem sosial. Karena itu, sudah saatnya Islam dan segala perangkat ajarannya mewarnai hukum di negeri ini.
Ø  Kelima, secara konstitusional  tidak ada  larangan ajaran dan hukum  Islam menjadi hukum negara. Bahkan, hal ini dianggap sebagai bagian dari penegakan konstitusi yang di dalamnya menjamin setiap umat beragama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya. Dalam kaitan ini, penegakan aturan dan hukum Islam menjadi bagian dari ajaran Islam. Karena itu, kalau ada orang yang menghalang-halangi penegakan aturan dan hukum Islam, mereka dianggap menghalang-halangi penegakan konstitusi.
Ø  Keenam, konteks di atas semakin menguat ketika otonomi daerah diberlakukan. Dalam UU No. 32 tahun 2004, pasal 136 (ayat 3) disebutkan bahwa pemerintah daerah diberi kewenangan untuk membuat perda yang dianggap menjadi kekhasan wilayah itu. Dengan kata “kekhasan”  itulah banyak daerah kemudian merumuskan kekhasannya masing-masing dimana  “Islam” juga dianggap sebagai bagian dari kekhasan itu.
 Di  luar  itu, ada beberapa konteks yang sifatnya  lebih spesifk. Pertama,  faktor sejarah dan budaya lokal. Tumbuhnya berbagai perda bernuansa agama (Islam) ada hubungannya dengan daerah-daerah yang memiliki sejarah dengan DI/TII, meski tidak semua demikian.
Faktor sejarah ini terkait juga dengan upaya sebuah daerah untuk mencari identitas. Kedua,  daerah-daerah  yang memiliki  potensi  korupsi  tinggi,  sehingga  bisa  diprediksikan bahwa perda atau kebijakan tersebut sebagai bagian dari upaya menutupi korupsi yang dilakukan oleh para politisi, baik di eksekutif maupun legislatif. Ketiga, pengaruh politik lokal, terutama yang terkait dengan perebutan kekuasaan. Hal ini terjadi ketika seorang politisi ingin menyalonkan diri sebagai kepala daerah atau seorang incumbent hendak mencalonkan diri lagi menjadi calon kepala daerah periode berikutnya.
Maka salah satu alat untuk menarik para pemilih adalah dengan menawarkan diterapkannya perda-perda bernuansa agama.
Keempat, ketidakmampuan  para politisi dalam menyusun  sebuah  peraturan dan  tiadanya visi untuk menyejahterakan masyarakat, sementara di lain pihak adanya kesempatan politik yang luas dan kekuasaan yang cukup untuk membuat berbagai peraturan. Tiadanya kemampuan untuk menggali  isu-isu  strategis untuk menyejahterakan  rakyat dan  lemahnya kemampuan untuk menyusun sebuah peraturan tentang pemerintah yang baik (good governance), lalu menjadikan referensi agama sebagai sesuatu yang penting untuk dijadikan aturan.

  1. Tinjauan Secara Sosiologi Hukum  Pro Kontra Formalisasi Syariah
Formalisasi syariat Islam sudah lama bergulir sejak Indonesia merdeka dan sering bahas dan di perdebatkan sehingga issu tersebut sering menimbulkan pro dan kontra. Salah satu pandangan yang berusaha  mementahkan ajakan formalisasi syariat Islam (Penolakan formalisasi  syariah ) ini diungkapkan dengan berbagai argumentasi dan dalil. Misalnya, ada yang mengatakan bahwa Indonesia adalah masyarakat plural, tidak hanya muslim, maka formalisasi syariat Islam yang berlaku umum tidak dapat diterima.
Bahkan ada yang mempertanyakan, kalau mau memformalisasikan syariat Islam, syariat Islam yang mana. Bukankah varian pemahaman umat Islam Islam tentang syariat Islam sifat beragam tidak tunggal. Ada pula yang menyatakan bahwa formalisasi syariat Islam berarti intervensi negara terhadap kehidupan beragama yang seharusnya bersifat privat dan individual. Ada pula yang menolak formalisasi syariat Islam karena syariat Islam tidak sesuai dengan modernitas dan kehidupan publik, misalnya Hukum Internasional, Hak-Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan sebagainya.[15]
Perdebatan soal pemberlakuan Syariat Islam (formalisasi sayriah) sampai saat ini masih menyisakan pro dan kontra, terutama di negara-negara yang secara resmi bukan sebagai negara Islam. Jika dicermati dalam konteks sosio politisnya, isu formalisasi Syariat Islam sebagai hukum publik dewasa ini, paling tidak merupakan fenomena yang didorong oleh kebangkitan Islam (al-sahwah al-Islamiyah /Islamic awakening) pasca kolonial, terutama setelah perang dunia ke II. 
Pada umumnya kebangkitan Islam ini merupakan respon yang wajar atas beragam krisis multidimensi yang diakibatkan oleh sistem glaobalisasi dan demokratisasi yang memang notabene merupakan sistem yang juga tidak menjamin kesejahteran bagi masyarakat. Sehingga beberapa kelompok-kelompok Islam yang berfikir secara praktis dan kritis berinisatif menawarkan pemecahakan masalah dari krisis multidimensi ini dengan pemecahan masalah melalui jalur syariat Islam sebagai sitem yang diyakini merupakan salah satu jalan keluar dalam mengatasi berbagai krisis multidimensi yang sedang terjadi.[16]
Selanjutnya di sisi lain ada kelompok Islam yang berfikiran moderat kelompok ini diwakili olah Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama kelompok ini tidak sepenuhnya setuju memformalisasikan syariah (formalisasi Syariah) mengingat masyarakat Indonesia memiliki bermacam-macam agama dan keyakinan (multikultural) sehingga hubungan agama dan negara juga tidak bisa dipisahakan. Namun saling bersinergi.
Kemudian kelompok deformalisasi syariah (Pluralisme) adalah kelompok yang selama ini getol  menggagas pluralisme, inklusivisme, toleransi, dan kulturalisasi Islam kelompok Islam ini secara tegas menginginkan deformalisasi syariat Islam. Syariat Islam secara formal tidaklah perlu. Karena yang menjadi poin mendasar keberislaman di Indonesia adalah komitmen kepada agama secara substansialistik, bukan legalistik formalistik.[17]  Selanjutnya Pemikiran kelompok yang deformalisasi di atas didasarkan pada kenyataan riil, syariat di Indonesia juga sudah  mengakomodasi secara formal beberapa undang-undang tentang syatiat Islam yang memang membutukan formalitas dari negara diataranta seperti dalam Undang-undang Perkawinan,Undang-undang Zakat, Undang-undang Haji, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan sejumlah produk perundang-undangan lainnya untuk itu secara seseluruhan syariah Islam tidak diharuskan untuk diformalisasikan oleh negara mengingat Indonesia mempunyai berbagai macam-macam perbedaan (multikultural) termasuk bermacam-macam keyakinan Agama.
Syariat Islampun sudah dipraktekkan umat Islam di Indonesia, seperti salat, zakat, dan haji, tanpa perlu diperintah oleh negara. Untuk itu kenapa Islam harus mendapatkan legitimasi formal negara.
Bukankah ini wujud dari politisasi syariat agama yang  cenderung tidak produktif, dan justru menambah deretan konflik. Indonesia  ini bukanlah negara agama atau tegasnya bukan negara Islam, sehingga tidak layak memberlakukan syariat Islam secara formal dan total.
Indonesia adalah negara plural yang menampung banyak agama, tidak hanya Islam. Sehingga produk perundang-undangannya tidak boleh eksklusif secara keseluruhan, tetapi menampung aspirasi agama-agama lain. Belum lagi problem mendasar dalam memahami syariat Islam. Perbedaan mazhab fiqh akan banyak menimbulkan perbedaan hukum. Inilah yang menyebabkan gagasan formalisasi syariat Islam tidak tepat untuk diterapakn secara legal formal di Indoensia.

Untuk lebih memudahkan memahami pro dan kontra formalisasi Syariah di Indonesia, paling tidak kita bisa memetakan ada tiga arus besar (pendapat kelompok Islam) yang mengemuka dalam menyikapi formalisasi syariat Islam di Indonesia sebagai berikut.[18]
: . 
Ø  Pertama, arus formalisasi Syariat. Kelompok ini menghendaki agar Syariat dijadikan landasan riil berbangsa dan benegara, implikasinya ia getol menyuarakan perlunya mendirikan negara Islam atau dengan berupaya memasukan Syariat Islam secara formal dalam Undang undang negara. Kelompok ini diwakili oleh beberapa Ormas Islam Seperti HTI, FPI, DII dll)
Ø  Kedua, arus deformalisasi Syariat. Kelompok ini lebih memilih pelaknaaan Syariat secara substantif. Pemaknaan Syariat tidak serta merta dihegemoni oleh negara, karena wataknya yang represif. Syariat secara individu sudah diterapkan, sehingga formalisasi dalam undang undang tidak mempunyai alasan yang kuat. Diwakili tokoh seperti Gusdur dll
Ø  Ketiga, arus moderat. Kelompok ini dikesankan mengambil jalan tengah, menolak sekularisasi dan Islamisasi. Pemandangan tersebut menjadi bukti kuat, bahwa penerapan Syariat Islam merupakan arena perdebatan yang subur, dan tak jarang mengalami tarik ulur.
Ø  Keempat, Syariat sebagai elemen tertinggi dalam agama mempunyai legitimasi paling kuat untuk menjustifikasi kebenaran agama. Keislaman yang semestinya dapat dipahami kepasrahan diri, pembebasan dari penindasan, pemihakan pada kaum lemah, kemudian direduksi dalam syariat rigid dan kaku. Syariah dimaknai sebagai “keakuan” yang tidak terjamah dan mesti dibela hingga titik darah penghabisan.
Syariat menjadi alat untuk mempersempit ruang agama, sehingga pada taraf tertentu syariat bermetamorfosa menjadi agama tersendiri. Bagi kalangan yang berpijak pada arus formalisasi Syariat, penafsiran tunggal terhadap Syariat menjadi solusi tepat untuk mengiring kearah sentral. Hingga akhirnya kemunculan “agama syariat” tidak bisa dihindarkan. Pemikiran serius diatas, akhirnya mendapatkan perlawanan yang serius.
Menurut  Muhammad An-Naim dalam tulisannya menegaskan bahwa Syariat tidak dapat diundangkan sebagai hukum positif karena memang bertentangan dengan asas kesukarelaan umat Islam, dan akan tetap menjadi sumber dari sistem sanksi agama yang bersifat normatif. Maraknya klaim untuk mendirikan negara Islam dengan formalisasi Syariat sebagai hukum positif (sebagaimana terjadi di Iran, Sudan dan pakistan, afganistan dll) adalah sebuah kontradiksi istilah dan sebuah kenaifan. Sebagaimana yang ia contohkan, bahwa kebanyakan pelanggaran HAM di Sudan sekarang secara langsung disebakan oleh aplikasi Syariah (Hukum Islam), walaupun sangat terkait dengan sifat dasar yang melekat pada rezim militer Sudan yang cenderung tidak toleran terhadap segala gerakan oposisi politik, dan cenderung mengambil kebijakan-kebijakan keras, tanpa memperdulikan akibatnya bagi masyarakat.
 Ia menegaskan bahwa hubungan antara aplikasi syari’ah dan pelanggaran standar-standar HAM yang diakui secara internasional, dipandang mempunyai kompleksitas permasalahan yang menjadi penyebabnya. Sebagaimana diketahui, saat ini Sudan sedang mengalami konflik perang saudara yang bermuara dari pertentangan antar mahzab agama . Ekses dari pada konfilk ini dapat menimbulkan pelanggaran HAM berat, terutama terhadap kaum rentan semacam perempuan dan anak-anak.
Demikian juga menurut Muhammad ‘Abid Al-Jabiri mengatakan bahwa sebagian Fenomena kebangkitan Islam menuntut penerapan sistem Islam dalam semua aspek kehidupan. Namun perlu disadari bahwa tidak ada sistem Islam yang siap pakai, terperinci dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Al-Quran sebagaimana yang ia pahami, sama sekali tidak memberikan ungkapan yang jelas bahwa dakwah Islam bertujuan untuk mendirikan suatu negara, kerajaan atau imperium. Islam hanya mengatur dalam prinsip umum yang membuat ketetapan dengan berbagai ilustrasi etika Islam sehingga sistem Islam dalam berbagai bidang terbuka untuk ijtihad.
Hukum Islam Menurut Pandangan Profesor Coulson, dipahami sebagai ulasa ulasan spekulatif untuk memahami Istilah istilah yang tepat mengenai hukum-hukum Allah. Dan apa yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan Islam sebagai Syariat, pada kenyataannya merupakan produk dari proses gradual dan spontan dari penafsiran Al-Quran, pengumpulan verifikasi dan penafsiran sunnah selama tiga abad pertama Islam. Ini berarti hukum Islam yang kita pahami sekarang merupakan produk hukum yang mempunyai tingkat kebenaran relatif dan memungkinkan sekali dilakukan ijtihad sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman yang melingkupinya.
Hal ini menurut An-Naim, menunjukan bahwa umat Islam betul-betul mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Termasuk hak untuk mengartikan dan mengungkapkan identitas keislaman mereka yang dianggap baik atau pantas. Tetapi hal tersebut tidak dapat didasarkan pada perundang-undangan dan formalisasi syariat semacam itu, karena apapun peraturan-peraturan yang diberlakukan sebagai hukum positif adalah “keinginan politis negara” yang bersangkutan dan tidak akan pernah menjadi syariat yang secara umum dapat dipahami oleh umat Islam untuk tujuan menjalankan firman Tuhan. Karena, penerapan Syariat melalui Undang-undang positif (sebagaimana yang diklaim oleh pemerintah Iran, Afganistan, Pakistan, Saudi Arabia dan Sudan atau didukung oleh aktifis politik Islam di beberapa negara lain) adalah kenaifan yang berbahaya.
  1. Syariat Islam dalam Konteks Masyarakat Multikultural Indonesia
Realitas negara Indonesia yang tidak hanya majemuk dari segi agama, tapi juga dari segi suku, ras dan golongan adalah realitas yang mestinya tidak boleh diabaikan dalam pewacanaan syari’at  Islam dan Piagam Jakarta untuk menjadi bagian dari konstitusi negara. Penolakan kelompok nasionalis kebangsaan dan kelompok agama non Islam, memberi indikasi adanya kekhawatiran diskriminasi kelompok mayoritas dalam hal ini Islam yang mendapat legitimasi dari negara.[19]
Dari kalangan Islam nasionalis, seperti halnya Hasyim Muzadi dan Abdurahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur, merespon keinginan kuat dari kelompok Islam pro syari’at Islam dan Piagam Jakarta dengan memberi pendapat yang mencoba mengingatkan betapa kenyataan Indonesia yang majemuk mestinya juga harus diperhatikan dalam menanggapi wacana formalisasi syariah Islam dan Piagam Jakarta.
Muzadi berpendapat, bahwa nilai-nilai bangsa, termasuk landasan negara tidak boleh diubah. Dia menilai ada bahaya perpecahan jika UUD 1945 diubah dengan dimasukannya Piagam Jakarta dalam batang tubuh (Pasal 29). Gus Dur menilai usaha memasukan Piagam Jakarta dalam UUD 1945 bertentangan dengan semangat Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 yang memberi pijakan yang sama kepada semua rakyat Indonesia. Dia bahkan dengan tegas mengatakan, jika Piagam Jakarta menjadi bagian dari konstitusi maka umat Islam akan mendapat sesuatu yang lebih, dan dengan demikian menjadikan umat beragama lain sebagai warga negara kelas dua.[20]

Menarik apa yang diungkap oleh sejumlah tokoh Islam, antaranya Nurcholish Madjid, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi'i Ma'arif di tahun 2000 dalam merespon perdebatan tentang usaha-usaha memasukan Piagam Jakarta dalam konstitusi. Dalam siaran pers mereka, dikatakan bahwa otonomi agama haruslah dihormati oleh negara. Campur tangan negara dalam pelaksanaan syari’at agama tertentu, akan menimbulkan bahaya terhadap otonomi tersebut. Menurut penilaian mereka, campur tangan semacam ini akan menimbulkan sejumlah distorsi atas pelaksanaan agama itu sendiri, dan politisasi agama untuk tujuan-tujuan sesaat partai yang sedang (atau ingin) berkuasa. Usul semacam ini juga mengandung bahaya terhadap integrasi bangsa yang saat ini sedang mengalami ancaman dari segala sudut.[21]
Ada tiga alasan yang mereka kemukakan terkait sikap penolakan ini: 
Ø  Pertama, pencantuman piagam ini akan membuka kemungkinan campur tangan negara dalam wilayah agama yang akan mengakibatkan kemudaratan baik bagi agama itu sendiri maupun pada negara sebagai wilayah publik.
Ketaatan pada agama adalah cerminan dari kebebasan pribadi yang tidak bisa diatur-atur oleh institusi eksternal seperti negara. Pelaksanaan syari'at yang diatur oleh negara akan menimbulkan bahaya hipokrisi, karena ketaatan pada syari'at yang disebabkan oleh paksaan negara hanyalah merupakan ketaatan yang semu belaka. Agama, pada intinya, harus menjadi wilayah yang otonom dari negara.
Ø  Kedua, dimasukkannya tujuh kalimat itu akan membangkitkan kembali prasangka-prasangka lama dari kalangan luar Islam mengenai "Negara Islam" di Indonesia. Prasangka ini, jika dibiarkan kembali berkembang, akan dapat mengganggu hubungan-hubungan antar kelompok yang pada ujungnya akan menimbulkan ancaman disintegrasi. Kesatuan nasional haruslah menjadi keprihatinan semua pihak ketimbang kepentingan sempit golongan tertentu.
Ø  Ketiga, dimasukkannya tujuh kalimat itu berlawanan dengan visi negara nasional yang memperlakukan semua kelompok di negeri ini secara sederajat. Jika kewajiban melaksanakan syari’at Islam menjadi suatu ketetapan dalam konstitusi, maka hal itu akan menimbulkan tuntutan yang sama pada kelompok-kelompok agama yang lain. Jika hal ini dibiarkan, maka sudah pasti akan ada gesekan-gesekan antar umat beragama yang akan mengancam kesatuan nasional.[22]
Reaksi terhadap bergulirnya wacana formalisasi syariat Islam di sidang-sidang tahunan tersebut juga mengemuka di Sulawesi Utara pada tahun 2000. Bulan Agustus tahun 2000 sekelompok tokoh pemuda, adat serta masyarakat yang menggagas forum Kongres Minahasa,[23] memberi ultimatum kepada MPR dalam ST (sidang tahunan) tahun 2000 itu. Disepakati dalam kongres itu bahwa jika MPR dalam ST itu mengamandemen UUD '45 dengan memasukan Piagam Jakarta ke dalamnya, tanah Toar Lumimuut[24] akan merdeka. Salah satu point deklarasi dalam kongres tersebut adalah: Jika keinginan untuk membatalkan komitmen Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus dan UUD 1945 diluluskan atau bahkan dikompromikan sedikit pun, maka pada saat yang sama eksistensi NKRI (Negera Kesatuan Republik Indonesia) berakhir.
Pada saat itu juga rakyat Minahasa terlepas dari seluruh ikatan dengan ke-Indonesia-an dan berhak membatalkan komitmen ke-Minahasa-an dalam ke-Indonesia-an. Dengan demikian, maka rakyat Minahasa berhak menentukan nasibnya sendiri untuk masa depannya.[25]
Reaksi keras ini menunjukkan bahwa Piagam Jakarta telah menimbulkan sesuatu yang kontroversi bagi masyarakat Indonesia. Penolakan yang bukan hanya datang dari kelompok agama, melainkan juga dari kelompok-kelompok adat atau budaya mengindikasikan kerawanan Piagam Jakarta bagi keberagaman kultur di Indonesia. Sebab, negara Indonesia dalam realitasnya adalah multikultur. Maka, sudah seharusnya dikembangkan paradigma beragama yang multikuluralis, dengan berpijak pada sikap dan paradigma multikulturalisme. Di tengah arus perjuangan menjadikan Piagam Jakarta sebagai bagian dari konstitusi, Indonesia agaknya berada dalam ketegangan antara sikap dan paradigma yang monokulturalisme  dengan kenyataan yang multikultur. Dalam sejarah politik Indonesia, wacana Piagam Jakarta dalam realitas Indonesia yang multikultur sering saling bersitegang.
Microsoft Encarta Reference Library 2005 mendefinisikan “multicultur” sebagai, “lebih dari satu budaya: yang berkaitan, yang terdiri dari, atau berpartisipasi dalam budaya dari berbagai negara, kelompok etnis, atau agama.”[26] Atau juga, ”mendukung integrasi: advokasi atau mendorong integrasi dari orang-orang dari berbagai negara, kelompok etnik, dan agama ke dalam semua aspek masyarakat.”[27]
Dalam definisi lain, istilah multikulturalisme pada umunya merujuk pada penerimaan berbagai bagian budaya untuk kepentingan keragaman yang berlaku untuk susunan penduduk pada tempat tertentu, biasanya pada skala organisasi seperti sekolah, bisnis, lingkungan, kota atau bangsa.[28] Lebih Jelasnya, mari kita simak penjelasan Ahmad Suaedy[29] berikut:
Multikulturalisme boleh dikatakan sebagai sikap dan perlakuan berdasarkan persamaan dan kesederajatan terhadap realitas plural dan keberbagaian. Berbeda dengan pluralisme dan keberbagaian, misalnya, yang lebih cenderung terbatas pada pengakuan atas realitas tersebut, multikulturalisme lebih dari sekadar pengakuan dan mungkin penerimaan terhadap kelompok lain, melainkan multikulturalisme adalah sikap dan perlakuan kesederajatan atas pluralitas dan keberbagaian itu.
Karena itu, multikulturalisme tidak hanya menuntut sikap perorangan dan komunitas atas individu dan komunitas lain. Melainkan multikulturalisme juga menuntut adanya implementasi dalam kebijakan oleh mereka yang sedang berkuasa atau para pengambil keputusan.
Multikultualisme memang berhubungan langsung dengan kesamaan dan kesederajatan semua warga bangsa di depan undang-undang dan hukum dalam suatu negara. Dan tentu saja berkaitan langsung dengan keadilan pula. Multikulturalisme lebih menunjuk pada adanya sebuah sikap penerimaan dan penghargaan terhadap pluralitas kultur untuk hidup bersama dalam suatu ruang, demi mencapai tujuan bersama. Lebih daripada pluralisme, multikuturalisme adalah juga menyangkut usaha-usaha atau kebijakan-kebijakan kelompok masyarakat atau negara untuk melestarikan kehidupan yang sederajat dalam semua pembagian.[30]
Dalam kerangka berpikir seperti ini, maka wacana untuk menjadikan Piagam Jakarta sebagai bagian dari konstitusi negara dari kelompok-kelompok tertentu menyuratkan sebuah persoalan yang menarik untuk dikaji. Telah banyak literatur dari para sarjana dengan berbagai macam pendekatan studi di Indonesia baik dari luar maupun dari dalam negeri yang mengkaji pokok persoalan ini. Namun, menarik lagi untuk dikaji adalah menyangkut semangat-semangat keagamaan atau dasar-dasar teologis dari para pejuang Piagam Jakarta tersebut.
Berikut, menarik juga ditelaah secara kritis tentang keberadaan Piagam Jakarta ini dalam realitas Indonesia yang multikultur. Kontroversi wacana syari’at Islam dalam perdebatan-perdebatan baik di wilayah politis maupun sosial keagamaan, mengindikasikan sebuah permasalahan dalam ruang yang multikultur, dalam hal ini Indonesia.
Sebab, negara sejatinya adalah ruang bagi yang berbeda untuk hidup dalam kesederajatan. Negara juga bertanggung jawab untuk menjaga yang berbeda itu dapat hidup secara damai dan adil. Namun, di lain pihak ideologisasi syari’ah Islam dalam konstitusi negara, tentu akan membawa konsekuensi diskriminasi pada ”yang lain”, yaitu kelompok-kelompok minoritas baik agama, suku, ras dan golongan. Karena dengan dijadikannya syari’at Islam berdiri bersama-sama dengan konstitusi negara yang berlaku untuk semua, maka dalam prakteknya akan membawa konsekuensi pada penunggalan rujukan pandangan dan praktek hidup. Padahal, sekali lagi realitas Indonesia adalah multikultur, yang mestinya memberi kebebasan kepada yang saling berbeda itu untuk mengekpresikan nilai dan identitas kebudayaan, kepercayaan dan keyakinan agamanya masing-masing, dan tak perlu dikontrol dalam satu hukum negara yang didominasi oleh satu keyakinan atau nilai agama saja.
Maka, perjuangan dari kelompok-kelompok Islam tertentu untuk menjadikan Piagam Jakarta bagian dari konstitusi negara sebagai implementasi dari cita-cita mendirikan negara Islam di Indonesia adalah persoalan dalam masyarakat multikultural Indonesia. Selain itu, hal ini juga juga menggambarkan belum adanya kontekstualisasi pemahaman keagamaan dalam realitas Indonesia multikultur. Paradigma dan praktek beragama yang seperti ini hanya kemudian melahirkan benturan-benturan, dan menutup interaksi aktif atau kerjasama dalam melestarikan kehidupan bersama.
Untuk itu Wacana dan aspirasi serta aksi memperjuangkan formalisasi syariat Islam secara faktual dikembangkan dan dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam Islam di Indonesia. Islam adalah agama yang jumlah pemeluknya terbanyak di Indonesia. Namun, sebagaimana realitas negara ini majemuk dari segi agama dan budaya, Islam juga demikian. Terdiri dari beragam kelompok yang muncul karena perbedaan dalam menafsir sumber-sumber hukum dan pengajaran seperti Al Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, fenomena munculnya wacana dan gerakan formalisasi Syariat Islam, secara objektif harus diposisikan sebagai persoalan perbedaan pemahaman dan penafsiran dalam Islam sendiri. Namun demikian, secara faktual fenomena ini juga telah berimplikasi pada kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam atau majemuk, baik dari segi agama, budaya maupun aspirasi politik.
Perspektif multikulturalisme memahami fenomena ini sebagai persoalan bersama dalam konteks beragama dan bernegara. Dengan demikian, kajian yang komprehensif yang melibatkan perspektif keragaman agama, budaya dan aspirasi adalah pendekatan yang perlu dikembangkan dalam usaha memahami fenomena formalisasi Syariat Islam tersebut.
Secara objektif pula harus diakui bahwa wacana dan gerakan formalisasi syariat Islam ke dalam Perda, UU ataupun beragam produk hukum negara adalah persoalan yang mengancam kemajemukan Indonesia. Makanya,  studi agama-agama yang menggunakan hasil-hasil studi dari berbagai disiplin ilmu sangatlah penting dalam rangka memetakan dan juga merefleksikan wacana dan gerakan formalisasi syariat Islam dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia.



















BAB II
Formalisasi Syariah Dari Persepektif Hak Asasi Manusia

A.    Syariat Butuh Interpretasi
Salah satu persoalan mendasar sehubungan dengan ide formalisasi syariat di negara-negara Muslim, termasuk umat Islam Indonesia adalah belum ada suatu kesepakatan di kalangan mereka tentang makna syariat itu sendiri. Formalisasi syariat Islam,[31] pada faktanya bukanlah masalah sederhana. Selain implikasinya terhadap HAM seperti yang disebutkan di atas, di dalam isu ini terdapat berbagai keruwetan yang hingga kini belum terpecahkan.
Di kalangan ulama Islam sendiri, misalnya, masih terjadi perdebatan sengit mengenai apa yang dimaksud dengan syariat dan bagaimana bentuk kongkritnya. Ketiadaan rumusan syariat yang jelas tentunya sangat potensial menimbulkan konflik internal di kalangan umat Islam sendiri. Pengalaman Pakistan, dalam hal ini, barangkali dapat dirujuk. Elan dasar pendirian “republik Islam” ini adalah kehendak komunitas Muslim membentuk negara di mana mereka mampu menerapkan ajaran Islam dan hidup selaras dengan petunjuknya.
Akan tetapi, sejak berdirinya Republik Islam Pakistan pada 3 Juni 1947, negara ini mengalami kesulitan serius dalam mendefinisikan keislamannya. Perdebatan-perdebatan yang berkepanjangan dalam Majlis Konstituante- demikian pula hasil kompromi antara kubu tradisionalis dan modernis yang terjelma dalam Objectives Resolution(1949),[32] konstitusi pertama (1956), konstitusi kedua (1962) ataupun amandemennya yang tidak memuaskan seluruh pihak dengan jelas merefleksikan hal ini.
Ketika sampai kepada hukum Islam (fiqh), kesulitan yang sama juga  dihadapi kaum Muslimin Pakistan. Dalam benak para modernis selaras  dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Sementara kubu tradisional menuntut bahwa fiqh, yang dihasilkan para mujtahid lewat deduksi dan derivasi dari Alquran dan Sunnah Nabi, harus diberlakukan tanpa kecuali. Kontroversi sengit tentang riba dan bunga bank, pendayagunaan zakat, program Keluarga Berencana, hukum kekeluargaan Islam, dan lainnya, merupakan cerminan betapa sulitnya kaum Muslimin Pakistan mendefinisikan syariat Islam untuk konteks negeri mereka.
Akibat dari kesulitan tersebut adalah kekacauan dan kerancuan dalam
definisi “Islam” yang menyertai pengalaman kenegaraan Pakistan. Kompromi-kompromi yang dicapai tentu saja tidak selaras dengan modernisasi yang dikehendaki kubu modernis ataupun status quo yang hendak dipertahankan kelompok tradisionalis. Ajang kontroversi pun melebar kepada konflik serta aksi-aksi penjarahan, pembakaran, terorisme dan pembunuhan, sampai pada penetapan kaum Ahmadiah sebagai minoritas non-Muslim di masa  Zulfikar Ali Bhutto ( 1974). Bahkan konstitusi 1973 yang diundangkan Bhutto  dan dipandang sebagai konstitusi paling islami dalam sejarah Pakistan, memiliki klausa tentang presiden, perdana menteri dan beberapa pejabat penting lainnya wajib melakukan sumpah jabatan yang secara eksplisit menyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir.
Sebagai akibat dari ketidakjelasan tentang pemaknaan syariat seperti tersebut di atas, berimplikasi pula pada bagaimana syariat itu diterapkan. Sampai hari ini misalnya kaum muslimin belum punya kesepakatan tentang status perempuan Muslim dan status minoritas non-Muslim dalam suatu masyarakat yang hendak diatur secara Islam bila dikaitkan dengan prinsip kemerdekaan sipil dan hak-hak asasi manusia. Dapatkah konsep ahl al-dhimmahyang telah menyatu dengan bingkai syari’ah klasik diberlakukan sekarang ini, pada suatu dunia yang sudah sangat berbeda dari dunia klasik. Bagaimana pula dengan posisi perempuan Muslim dalam sistem sosio-politik Islam kontemporer, apakah mereka masih saja tidak punya hak politik yang sama dengan laki-laki.
Begitu pula tentang masalah riddayang dalam ketentuan syari’ah klasik harus dibunuh. Dapatkah teori klasik yang semacam ini dipertahankan? Seperti diketahui isi syari’ah yang diwarisis sampai akhir abad ini adalah hasil konstruksi para yuris Muslim selama tiga abad pertama setelah kelahiran Islam. Dr. Abdullahi Ahmed an-Nai’im dalam bukunya Towards an Islamic Reformationmenulis:” Sekalipun berasal dari sumber-sumber Ilahiyah fundamental Islam, Al-Quran dan Sunnah, syari’ah tidak bercorak ilahiyah karena ia adalah hasil tafsiran manusia terhadap sumber itu. Lagi pula, proses konstruksi melalui tafsiran manusia ini terjadi dalam konteks histories yang spesifik yang sama sekali berbeda dengan masa kini,”[33] An-Na’im adalah pengikut Mahmuod Mohamed Taha, seorang pembaharu kontroversial dari Sudan, yang diekskusi oleh Ja’far Numayry, pemimpin militer Sudan, pada 1985, karena tuduhan ridda, sebuah tuduhan politik yang dicari-cari. Yang hendak diperjuangkan oleh Taha adalah agar Islam itu tidak terpelanting dari dari wilayah kehidupan dunia manusia.[34] Bisa saja hasil pemikirannnya keliru, tetapi mengapa harus diekskusi secara zalim? Baik Taha maupuin An-Na’im sama-sama penentang pelaksanaan hukum Islam klasik di Sudan.
Apa yang diamati oleh An-Na’im di Sudan, dikaji pula oleh Dr. Rubya Mehdi di Pakistan. Dalam bukunya The Islamization of Law in Pakistan, pengarang ini mencatat ketidakkonsistenan dan ketidakstabilan dalam pelaksanaan sistem hukum di Pakistan, kenyataan ini tetap berlangsung sejak kematian Zia Ul-Haq pada 1989.[35] Dalam menghadapi proses Islamisasi hukum Islam ini, ketegangan yang semakin parah antara golongan Tradisionalis dan Modernis, tidak dapat dielakkan. Proses Islamisasi semakin menjauhkan jarak antara kedua kelompok itu. Penafsiran Islam yang saling berlawanan telah memperhebat sektarianisme keagamaan di Pakistan.[36]
Penjelasan di atas perlu dikemukakan agar menyadarkan umat Islam bahwa di kalangan sesama muslim perbedaan pendapat dalam memahami syariah masih sangat tajam. Islam belum dapat diturunkan sebagai rahmat bagi umat manusia. Jangankan bagi umat manusia seluruhnya, umat Islam sendiri masih bersengketa dalam menafsirkan ajaran Islam ini. Sengketa penafsiran ini telah membuahkan sengketa politik berkepanjangan. Atau bila dibalik, sengketa politiklah sebenarnya yang melatarbelakangi sengketa penafsiran tersebut.



B.     Formalisasi Syariat Islam dan Masalah Kebebasan Beragama
Masalah pembatasan terhadap kebebasan beragama[37] dapat timbul dari hukum riddahatau murtad – yakni keluar dari agama Islam. Seperti tampak, hukum murtad atau apostasyada dalam hukum kriminal yang diundangkan di sejumlah negeri Muslim, misalnya di Kelantan dan Terengganu. Riddah atau murtad dalam hal ini mengacu kepada ketentuan hukum hudud.[38] (hukum-hukum yang teks dan ketentuan hukumnya jelas dan tegas tertulis dalam al-Qur’an dan Hadis).
Di dalam fiqh, semua mazhab besar memang menetapkan hukuman mati bagi yang murtad, walaupun mereka berbeda pendapat mengenai bentuk hukuman matinya- dirajam, dibakar, disalib, disembelih, diusir/ekskomunikasi, atau disiksa terlebih dahulu sebelum dibunuh. Namun, ada perbedaan pendapat tentang apakah murtad termasuk ke dalam kategori hadd atau tidak. Sebagai contoh, Imam Syafi’i tidak memasukkannya ke dalam kategori hudud, sementara sebagian ulama klasik memasukkannya. Di masa modern, kelompok Ahmadiyah tidak mengharuskan hukuman mati bagi yang murtad. Demikian juga Muhammad Ali dari India, karena menurutnya tidak ada satu petunjukpun di dalam Alquran yang membolehkan hukuman mati.[39]
Dalam kasus Mesir tampak bahwa isu keluar dari agama Islam juga  muncul dalam kasus Nasr Hamid Abu Zayd dan Nawal El- Saadawi. Tentu saja, kasus murtad yang lebih keras timbul di Sudan, seperti tampak dalam kasus Mahmud Muhammad Thaha. Untuk kasus-kasus semacam ini, khazanah fiqh yang lebih relevan adalah zandaqahatau zindiq,yaitu orang yang dianggap membuat dan menyebarkan penafsiran dan ajaran yang dinilai salah.
 Zindiq juga berlaku bagi orang-orang yang mengabaikan ibadah keagamaan dalam jangka waktu tertentu tanpa bertobat- seperti orang yang tidak sembahyang tiga hari. Para ulama fiqh klasik menganggap bahwa hukuman mati tidak hanya dikenakan kepada orang yang dari pikiran dan perbuatannya terbukti keluar dari agama. Walaupun orang yang ajarannya berbeda dari ajaran dan tafsiran ortodoks dan yang mengabaikan ibadah agama disebut zandaqah (bidah), tetapi mereka menganggap bahwa hukumannya sama kerasnya.[40]
Basis bagi kejahatan zandaqah adalah teori tentang hak. Dalam hal ini, hak dibedakan kepada tiga jenis. Pertama, hak-hak Tuhan ( huquq Allah), kedua, hak-hak Tuhan dan hambanya (huquq Allah wa al ‘Ibad), dan ketiga,hak-hak hamba ( huquq al-‘Ibad atau Huquq Adamiyyin). Hak-hak Allah ialah semua kewajiban agama yang harus dipenuhi manusia karena merupakan perintah ilahi walaupun manfaat dan kegunaannya bagi manusia tidak tampak jelas.
Contohnya adalah puasa, haji, dan salat. Pengertian lain menyebutkan bahwa hak-hak kategori ini khusus menyangkut ketentuan-ketentuan pidana. Hak bersama Tuhan dan hamba-Nya adalah kewajiban agama yang diperintahkan Tuhan dan juga pada saat yang sama dimaksudkan untuk melindungi publik, seperti hudud, jihad, dan zakat. Akhirnya, hak hamba Tuhan adalah hak dan klaim sipil yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan individu seperti memenuhi janji, melunasi hutang, menghormati kontrak, dan lain-lain.[41]
 Rumusan tentang hak-hak di atas, yang dikembangkan ulama fiqh pada abad ke-8 H, dalam kenyataannya telah menjadi alat politik yang dapat digunakan kelompok-kelompok Islam untuk menyerang lawan mereka. Pihak lawan yang memiliki keyakinan dan praktek keagamaan berbeda dituduh, misalnya, telah melanggar hak-hak Tuhan sehingga pantas mendapatkan perlakuan yang menindas, keras, atau kejam.

C.    Formalisasi Syariat dan Kedudukan Non-Muslim
Salah satu persoalan yang juga tidak kalah penting dan erat hubungannya dengan formalisasi syariat adalah persoalan bagaimana kedudukan Non-Muslim dalam negara yang menerapkan syariat secara formal. Formalisasi syariat Islam juga menimbulkan masalah tersendiri bagi non- Muslim.[42]
Dalam hal ini, mereka mendapatkan status zimmiyang dalam praktek penerapan syariat Islam serupa dengan status warga negara. kelas dua. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip kewarganegaraan yang menjadi norma masyarakat internasional dewasa ini. Di dalam fiqh klasik, pengertian zimmi sebenarnya bervariasi dan membuka peluang bagi berkembangnya konsep kewarganegaraan modern di dunia Muslim. Akan tetapi, bentuk tafsiran yang dipilih dalam berbagai penerapan syariat Islam justru membatasi dan mempersempit pengertiannya. Sementara itu, banyak pemikir Muslim modern sebenarnya telah menunjukkan tafsiran baru yang lebih sesuai dengan situasi negara modern.
Muhammad al-Ghazali dari Mesir, penulis at-Ta’assub wa at-Tasamuh bain al-Masihiyyah wa al-Islam ( “Fanatisme dan Tolerani antara agama Kristen dan Islam, “1965), mengatakan bahwa masyarakat Islam dibina atas prinsip toleransi, kerjasama, dan inklusifitas. Ia menegaskan bahwa umat Yahudi dan Kristen yang bersedia hidup berdampingan dengan umat Islam” sudah menjadi orang-orang Muslim dilihat dari sudut politik dan kewarganegaraan” karena persamaan hak dan kewajibannya, walaupun secara pribadi mereka tetap pada akidah dan ibadah mereka.
Rasyid al-Gannusyi dari Tunisia, yang mendekati persoalan baik minoritas bukan Muslim maupun minoritas Muslim dari sudut kewarganegaraan mengatakan bahwa kewarganegaraan tidak dibeda-bedakan atas dasar agama. Kelompok minoritas non Muslim memiliki hak asasi manusia yang sama dengan yang dimiliki umat Islam. Prinsip-prinsip yang diajarkan Islam, seperti keadilan dan persamaan, berlaku kepada seluruh warga negara, baik Muslim maupun bukan. Bagi al-Ganussyi, Diskriminasi terhadap kalangan non-Muslim dan perlakuaan yang menganggap mereka sebagai warga negara kelas dua adalah tindakan melanggar ajaran agama dan merusak citra Islam.[43]
Kendati demikian, penerapan status zimmi masih terjadi dalam konteks penerapan syariat Islam. Jangankan kepada umat Kristiani- seperti di Sudan Selatan atau Kristen Koptik di Mesir, di Pakistan setelah Ahmadiyah ditetapkan presiden Zulfikar Ali Butto tahun 1974 sebagai minoritas non-Muslim, warga Ahmadiyah juga sering diperlakukan sebagai zimmi. Sepuluh tahun kemudian, Presiden Zia-Ul-Haq mengeluarkan ordonansi yang melarang Ahmadiyah menyebut mereka Muslim atau menyebut agama mereka Islam. Seperti tampak pada uraian di atas. Mereka juga dilarang menggunakan istilah-istilah Islam, menyerukan azan, menyebut tempat ibadah mereka masjid, dan mendakwahkan ajaran mereka. Ada sangsi pidana maksimal tiga tahun penjara dan denda untuk pelanggaran ordonansi Jendral Zia-ul Haq ini.[44]

D.    Formalisasi Syariat dan Kedudukan Perempuan
Formalisasi syariat juga berimplikasi terhadap posisi kaum perempuan. Bagi masyarakat Muslim sendiri, bahaya diskriminasi terhadap perempuan yang timbul karena formalisasi syariat Islam adalah masalah yang paling pelik. Sebab, di satu sisi syariat Islam memberi perempuan status yang setara dengan laki-laki.
 Banyak ulama, yang umumnya laki-laki, juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang memuliakan perempuan. Akan tetapi, di sisi lain, perempuan sering kali menjadi korban pertama formalisasi syariat Islam. Ini tampak, antara lain, dalam penerapan hukum status personal seperti khul’ di Mesir dan dalam penerapan hukum kriminal seperti zina.
Kasus-kasus paling menggagu adalah kasus-kasus dari Nigeria, seperti kasus Bariah Ibrahim Magazu yang hamil dan melaporkan dirinya diperkosa, tetapi tidak berhasil membuktikannya. Ia dihukum cambuk 180 kali : yang seratus sebagai hukuman zina, dan yang 80 sebagai hukuman qazab, menuduh orang lain berbuat zina.[45]
 Kasus lainnya dari Nigeria adalah Safiya Khusaini dan Aminah Lawal yang dijatuhi hukum rajam atas tuduhan zina dan protes internasional. Seperti telah disebutkan, seorang perempuan Pakistan, Zafran Bibi, juga dihukum rajm setelah melapor diperkosa iparnya, karena tidak cukup bukti ketika kasusnya disidangkan di pengadilan.
Perlakuan diskriminatif lainnya adalah dari Sudan. Umar al-Basyir mengeluarkan peraturan yang mengharuskan perempuan duduk di bagian belakang dalam transportasi publik di Khortoum, ibukota Sudan. Setelah kudeta 1989, Jenderal al-Basyir juga memecat ribuat pegawai perempuan karena tidak sesuai dengan syariat Islam ala rezim al-Basyir. Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan yang lebih buruk dan menghawatirkan adalah yang terjadi di Afganistan pada era Taliban.[46]
Gerakan perempuan yang telah merebak di Malaysia, Mesir , Indonesia,[47] dan negeri-negeri Muslim lainnya, telah mengajukan berbagai keberatan dan protes terhadap praktek penerapan syariat yang bertentangan dengan hak asasi perempuan seperti terjelma dalam Convention to Eliminate All Forms of Discrimination against Women      (CEDAW). Perlu ditekankan di sini bahwa, kecuali Sudan karena menurut Jenderal Umar al-Basyir, penguasa Sudan, CEDAW bertentangan dengan nilai-nilai kewanitaan Sudan negeri-negeri Muslim yang ditinjau dalam tulisan ini telah meratifikasi atau mengakses CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Nigeria menandatangani CEDAW.
Pada 1984 dan meratifikasinya setahun kemudian tanpa reservasi. Mesir menandatangani CEDAW pada 1980 dan meratifikasinya setahun kemudian dengan beberapa reservasi. Malaysia menerima CEDAW pada 1995 dengan sedikit reservasi. Pakistan menerima CEDAW pada 1996 dengan deklarasi umum bahwa penerimaan Pakistan itu tunduk kepada ketentuan-ketentuan konstitusi nasional. Indonesia juga telah menandatangani CEDAW pada 1980 dan meratifikasinya pada 1984.[48]

E.     Formalisasi Syariat dan Konflik antar Komunitas Keagamaan
Persoalan krusial lainnya yang juga terkait dengan formalisasi syariat
adalah konflik antar komunitas keagamaan. Penerapan syariat Islam di
beberapa negeri Muslim juga memicu konflik antar komunitas keagamaan.  Sudan dan Nigeria merupakan ilustrasi yang baik untuk kasus ini. Ketika rezim Ja’far Numeiri (1969-1985) berkuasa setelah suatu kudeta militer di Sudan pada 1972 dicapai terobosan mengenai masalah konflik Utara-Selatan lewat persetujuan Addis Ababa yang terkenal itu. Persetujuan ini memberikan otonomi regional kepada Sudan Selatan, dengan badan legislatif dan eksekutif terpisah. Pemerintah pusat tetap memegang kendali politik luar negeri dan pemungutan pajak. Selain itu, kebebasan beragama dijamin. Akan tetapi, otonomi hanya dinikmati hingga 1983. Pada penghujung kekuasaannya, kebijakan-kebijakan nasionalis sekuler yang diambil Numeiri pada masa kekuasaan berubah secara dramatis ke arah islamisasi.
Menguatnya revivalisme Islam, potensi politiknya serta keinginan Numeiri untuk mengontrol dan mengooptasi kekuatan tersebut di Sudan, merupakan latar belakang bagi perubahan kebijakan Numeiri. Pada 8 September 1983 , lewat dekrit presidensial, Numeiri memberlakukan syariat Islam sebagai satu-satunya hukum di Sudan. Kelompok minoritas non-Muslim seperti Kristen misalnya , dengan tegas menolak islamisasi Numeiri, dan konflik Utara dan Selatan di Sudan pun kembali bergolak.[49]
Sementara di Nigeria formalisasi syariat telah menimbulkan persoalan yang lebih parah antara Muslim dan non-Muslim, serta tidak jarang meledak dalam bentuk konflik dan kerusuhan komunal. Menurut suatu perhitungan diperkirakan, lebih dari enam ribu orang meregang nyawa dalam berbagai kerusuhan antar agama sejak 1999 hingga 2002 di negeri ini lantaran formalisasi syariat Islam.[50]


F.     Formalisasi Syariat dan Krisis Konstitusi
Formalisasi syariat juga tidak dapat dipisahkan dari persoalan krisis konstitusi di berbagai negara yang menerapkan syariat Islam. Selain itu, juga di Indonesia, pemberian otonomi khusus kepada NAD untuk memberlakukan syariat Islam secara formal. Karena itu, hal ini perlu mendapat perhatian semua pihak sehubungan dengan penerapan syariat di NAD.
Krisis konstitusional juga sering kali timbul karena formalisasi syariat Islam, seperti tampak dari kasus penerapan hudud di Kelantan dan Terengganu, Malaysia dan di negara-negara bagian Nigeria yang menerapkan syariat Islam. Di negara-negara ini, pemerintah federal sudah menyatakan bahwa legislasi di tingkat negara itu bertentangan dengan konstitusi- karena menurut konstitusi hukum kriminal adalah bagian dari yurisdiksi Federal. Di Malaysia, konflik konstitusi mengakibatkan ketentuan-ketentuan huhud di Klantan dan Trengganu tidak dapat berlaku walaupun, selain kasus Kelantan, sudah ditetapkan parlemen bagian negara 10 tahun lalu.
Di Nigeria pun demikian. Pemerintah Federal mengatakan hukum hudud negara-negara bagian di utara Nigeria bertentangan dengan hukum Federal. Akan tetapi, berbeda dari Malaysia, pemerintah Federal Nigeria mengambil kebijakan lepas tangan sehingga negara bagian menetapkan hukum hudud, antara lain karena penguasa sedang memerlukan dukungan dari kalangan yang ingin menerapkan hudud.Di Indonesia, pemberian otonomi khusus kepada NAD untuk antara lain memberlakukan syariat Islam secara formal, juga dapat menimbulkan krisis konstitusi, karena berbagai peraturan perundang-undangan yang diterbitkan di daerah tersebut berseberangan dengan undang-undang lainnya, sekalipun ada mandate yang bersumber dari UU otonomi khusus NAD. Sementara sejumlah peraturan daerah ( Perda) bernuansa syariat yang diundangkan beberapa pemerintah daerah di Indonesia juga dipandang bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Pemerintah pusat, dalam kasus ini, telah mengeluarkan perintah agar peraturan daerah- peraturan daerah tersebut dicabut oleh pemerintah daerah dan dewan legislatif lokal kalau tidak, pemerintah pusat mengancam akan membatalkannya.[51]
Penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa formalisasi syariat di alam demokrasi akan menjadi kendala bagi terwujudnya tatanan masyarakat yang damai, adil, setara dan berkeadaban. Paling tidak yang menjadi karakter dari formalisasi syariat. Pertama,anti-pluralisme. Pemaknaan terhadap agama yang bersifat eksklusif dan menyalahkan yang lain, akan menjadi tantangan bagi pluralisme.
Kelompok pendukung formalisasi syariat masih mengimpikan adanya pembagian territorial antara wilayah muslim (dar al-Islam) dan wilayah kafir (dar al-harb), selain kecenderungan memaknai Islam secara eksklusif. Mereka menghidupkan kembali identitas muslim dan kafir, yang paling benar hanyalah agama yang dianutnya, sedangkan agama yang lain dianggapnya kafir, zionis dan lain-lain.
 Dalam banyak hal, pemihakan ditujukan hanya dalam hal-hal yang menyangkut syariat normatif, sedangkan pada masalah-masalah kemanusiaan tidak sekonsern pada hal-hal yang berkaitan dengan syariat, seperti formalisasi syariat. Karena itu, ditengarai kelompok formalisasi syariat menjadi hambatan bagi dialog antaragama, disebabkan kecenderungan pada perang dan jihad.[52]

Kedua, anti HAM.[53] Hal ini berkaitan dengan hukum-hukum pidana Islam yang berseberangan dengan HAM, seperti potong tangan, rajam, hukum gantung dan lain-lain. Kelompok formalisasi syariat menganggap bahwa hukum pidana Islam (al-hudud) merupakan hukum Tuhan. Karenanya, dalam hukum pidana Islam tidak ada tawar-menawar untuk menafsirkan syariat yang emansipatoris.[54]
Ketiga, anti-kesetaraan jender. Kalangan formalisasi syariat akan mempedomani doktrin-doktrin keagamaan yang mengindikasikan keterbatasan ruang lingkup perempuan. Atas dasar syariat dan kodrat, perempuan hanya hidup dalam tembok yang terbatas. Kasus Taliban, Arab Saudi dan beberapa negara Teluk menjustifikasi adanya peminggiriran peran perempuan dalam ruang publik. Realitasnya, syariat dijadikan landasan untuk menindas perempuan, baik secara struktural maupun kultural. Pemahaman literal terhadap teks-teks keagamaan melegitimasi kekerasan domestik, sebagaimana terjadi pada masyarakat tradisional. Dalam masyarakat moderen pun, teks-teks menjadi alat untuk melegetimasi penindasan dan eksploitasi perempuan dalam proyek kapitalisasi. Penindasan terhadap kaum buruh, otomatis di dalamnya terdapat kaum perempuan sebagai kalangan mayoritas. Teks-teks keagamaan yang tidak sensitif gender akan menjadi hambatan serius bagi terwujudnya kesetaraan jender.[55]
Penjelasan di atas dapat dijadikan dasar untuk melakukan upaya desakralisasai syariat, bahwa pelembagaan syariat yang tidak diikuti dengan paradigma emansipatoris dan liberalis hanya akan menimbulkan masalah baru yang bertolakbelakang dengan realitas dan kultur masyarakat. Formalisasi syariat akan menjadi batu sandungan bagi terbentuknya nalar antroposentris dan emansipatoris yang menghendaki pembebasan dan menjunjung tinggi harkat manusia. Formalisasi syariat hanya akan mengukuhkan nalar teosentris, karena wataknya yang ingin mencari otensitas dan orisinalitas yang melandasi pemikirannya pada teks-teks eksklusif. Konsekuensi yang tidak dapat dihindari, yaitu munculnya gerakan-gerakan politik yang ingin memformalisasikan syariat dan aksi-aksi fundamentalistik.[56]
Untuk itu Berdasarkan kajian yang telah dilakukan seperti diuraikan dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, dapat dikemukakan catatan
 sebagai berikut:
Ø  Tuntutan formalisasi syariat Islam di berbagai negeri Muslim, termasuk di Indonesia belum ada konsep yang jelas, dan tidak didasarkan pada analisis yang serius terhadap berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat Muslim kontemporer. Gagasan yang dikemukakan cenderung menyederhanakan persoalan, dengan mengungkapka pandangan-pandangan yang self-assuremengenai keistimewaan syariat Islam.
Ø  Pendekatan yang digunakan belum menunjukkan adanya pergulatan serius dengan masalah keprihatinan masyarakat kontemporer, terutama dengan masalah-masalah masyarakat pada tingkat kebijakan. Pendekatan dominan dalam hal ini adalah pendekatan quick fix: pergunakan syariat dan semua akan beres.
Ø  Ketiadaan konsepsi yang jelas di balik tuntutan formalisasi syariat Islam dapat memiliki implikasi yang amat serius. Pengalaman negeri-negeri Muslim yang melakukan eksperimen formalisasi syariat, misalnya Sudan dan Nigeria, selain dalam. Pakistan dan Mesir, menunjukkan bahwa ketiadaan konsepsi yang jelas tentangnya dapat memunculkan konflik internal di kalangan umat Islam. Bahkan, isu penerapan dan formalisasi syariat itu sendiri potensial memunculkan konflik antara kaum Muslimin dan non-Muslim, seperti di Sudan dan Nigeria, selain dalam beberapa kasus berseberangan dengan HAM.
                                                                                

DAFTAR PUSTAKA


Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Dan Sejarah Konsesus Nasional Antara Nasional Islami dan Nasionalis ”Sekuler” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959. Jakarta: Gema Insani Press, 1986.
Aritonang, Jan S., Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK, 2004.
Abdullah, M. Amin.1998. “ Kebebasan Beragama atau Dialog Antaragama, 50 Tahun Hak Asasi Manusia,” dalam Orientasi Baru Jurnal Filsafat dan Teologi, 1998/11. Yogyakarta: Kanisius.
Ali, Abdullah Yusuf.1989. The Holy Al-Quran: Text, Translation and Commentary. Brenwood: Maryland Amana Corporation.
 Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean. 2004.Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria.Jakarta: Pustaka Alvabet.
Assyaukanie, Luthfi.1998.Politik, HAM, dan Isu-Isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Asymawi, Muhammad Said al-.2004. Nalar Kritis Syari’ah, terjemahan Luthfi Thomafi dari Ushul asy-Syari’ah. Yogyakarta: LKis.
Awwas, Irfan Suryahardi. 2001.”Menerapkan Piagam Cerdas,” dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin (editor), Syariat Yes Syariat No Dilemma Piagam Jakarta dalam Amandemen UU 1945. Jakarta: Paramadina.
Azra, Azyumardi.2001.”Belum Ada Negara Sebagai Acuan Pelaksanaan Syariat Islam,’ dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA ( Editor), Syariat Islam Yes Syariat Islam No Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Bakar, AlYasa Abu.2002.”Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (Sejarah dan Prospek)” dalam Fairus M. Nur Ibr, Syariat di Wilayah Syariat: Pernik-pernik Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanngroe Aceh Darussalam.
Burhanuddin (editor).2003. Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal.Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation.
Burhanudin, Nandang.2004.Penegakan Syariat Islam Menurut Partai Keadilan. Jakarta: al-Jannah Pustaka.
Hamid, Shalahuddin.2000. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Jakarta: Amissco.
Haryatmoko.2003. Etika Politik dan Kekuasaan.Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Henningsson, Jan A..1998.»Contemporary Understandings of Human Rights in Islam», LWF Studies,1998/3.
Human Rights Watch, Sudan, “ In the Name of God “. Human Rights Watch Publication, November 1994, vol.6 no. 9.
Human Rights Watch/Africa, Behind the Red Line: Political Repression in Sudan. Human Rights Watch,1996.
Bahar, Saafroedin, el.al. (eds.)., Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei – 22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995
Boland, B.J., Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972, terj. Saafroedin Bahar. Jakarta, Grafiti Pers, 1985.
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, terj. Ihsan Ali-Fauzi. Paramadina: Jakarta, 1998.
Indrayana, Denny, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Bandung: Mizan Pustaka, 2007.
 Kymlicka, Will, Kewargaan Multikutural, terj. F. Budi Hardiman. Jakarta: Pusataka LP3ES, 2002.
Shidqi, Ahmad, Tuhan di Dunia Gemerlapku: Sebuah Buku Reportase. Yogyakarta, Kanisius, 2008.
Turmudi, Endang dan Sihbudi, Riza, (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005.
Utomo, Bambang Ruseno, Hidup Bersama di Bumi Pancasila: Sebuah Tinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia. Malang: Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993.
Wahid, Abdurahman, (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009.

Dokumen/Tesis
Ahmad Suaedy, ”Islam dan Multikulturalisme”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Agama dan Multikulturalisme; Pengalaman Indonesia-Kanada, di Kartika Chandra Ballroom, Jakarta,10 Maret 2005.
Yusak Nugraha Anwari Langi, ”Usaha-usaha Memasukan Piagam Jakarta ke dalam UUD NKRI: Sebuah Tinjauan Etis Teologis Kristiani Terhadap Usaha Partai Bulan Bintang untuk memasukan Piagam Jakarta ke dalam UUD NKRI,” (Tesis, Program Pasca Sarjana Teologi Magister Theologiae, Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta, 2003).
Wahid Institut, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008 Pluralisme Beragama dan Berkayakinan/Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2008


Internet dan Kliping Koran:

http://www.fpi.or.id.
http://www.jpnn.com
http://www.ethnologue.com
http://id.wikipedia.org
http://hizbut-tahrir.or.id/.Berita, ”Hizbuh Tahrir Tuntut Syari’at  Islam” dalam http://swaramuslim.net/, dilansir 25 Oktober 2004. http://majelismujahidinWORDPRESShttp://cdncache-a.akamaihd.net/items/it/img/arrow-10x10.png.com
Berita, “Pasal 29 Dibawa ke Lobi”, dalam http://www.suaramerdeka. com/harian/0208/07/ nas5.htm, Rabu , 7 Agustus 2002.
Berita, ”Tokoh Islam Tolak Piagam Jakarta”, dalam  http://detik.com/, edisi Kamis, 10 Agustus 2000
Berita,”Ba'asyir ke Istana Presiden Tuntut Syari’at  Islam”, dalam http://www.detiknews.com, edisi  Kamis, 22 Februari .
Berita, ”Peringati Milad, FPI Tuntut Pemberlakuan Syari’at  Islam”, Kompas, Selasa, 6 Agustus 2002.
Manado Post, 7 Agustus 2000 ”Multicultur”, “Multiculturalism”, Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation.
“Multiculturalism”, http://en.wikipedia.org/wiki/Multiculturalism.







[1] Lihat Berita, ”Hizbuh Tahrir Tuntut Syari’at  Islam” dalam http://swaramuslim.net/, dilansir 25 Oktober 2004.http://majelismujahidinWORDPRESShttp://cdncache-a.akamaihd.net/items/it/img/arrow-10x10.png.com dalam Denni H.R. Pin0ntoan Wacana Formalisasi Syariat Islam Dalam Konteks Masyarakat multi Kultural Indonesia” Jurnal Exodus  No. 2  Volume  XVII, Tahun 2010.
[2] Berita, ”Hizbuh Tahrir Tuntut Syari’at  Islam” dalam http://swaramuslim.net/, dilansir 25 Oktober 2004 (download 5 Agustus 2009) Lihat juga Abdurahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), hal. 154.
[3] Lihat Berita, ”Peringati Milad, FPI Tuntut Pemberlakuan Syari’at  Islam”, Kompas, Selasa, 6 Agustus 2002
[4] Lihat Tentang pandangan MMI mengenai syari’at  Islam lihat Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), hal. 248-258.
[5] Dalam Berita, ” Ba'asyir ke Istana Presiden Tuntut Syari’at  Islam”, dalam http://www.detiknews.com, edisi  Kamis, 22 Februari 2007 (download, 11 Agustus 2009).
[6] Ahmad Shidqi, Tuhan di Dunia Gemerlapku: Sebuah Buku Reportase, (Yogyakarta, Kanisius, 2008), hal. 73 dan 74.


[7] Lihat Perubahan pertama, Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999,perubahan kedua,  dalam  Sidang Tahunan MPR 2000, yang berlangsung dari tanggal 7-18 Agustus 2000, perubahan ketiga dalam Sidang Tahunan MPR 2001, yang berlansung dari tanggal 1-9 November 2001 dan perubahan keempat  dalam Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002.
[8] Dalam Yusak Nugraha Anwari Langi, ”Usaha-usaha Memasukan Piagam Jakarta ke dalam UUD NKRI: Sebuah Tinjauan Etis Teologis Kristiani Terhadap Usaha Partai Bulan Bintang untuk memasukan Piagam Jakarta ke dalam UUD NKRI,” (Tesis, Program Pasca Sarjana Teologi Magister Theologiae, Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta, 2003).
[9] Lengkapnya jalan persidangan lihat Saafroedin Bahar, el.al. (eds.)., Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995).

[10] Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi adalah sebuah partai politik yang berdiri pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta. Partai ini didirikan melalui sebuah Kongres Umat Islam pada 7-8 November 1945, dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai partai penyatu umat Islam dalam bidang politik. Masyumi adalah bentukan Jepang yang merupakan federasi empat organisasi Islam pada masa Jepang, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Masyumi semasa Jepang didirikan untuk mengganti Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI). MIAI didirikan pada tanggal 21 September 1937 sebagai federasi organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Tentang MIAI dan Masyumi lihat Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK, 2004), hlm. 187 dan 220.
[11] September 1937 sebagai federasi organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Tentang MIAI dan Masyumi lihat Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK, 2004), hlm. 187 dan 220.
[12] Baca hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu, dengan berhasil memperoleh suara sebanyak 7,9 juta suara atau 20,9% dari jumlah total suara. Dari pemilu 1955 ini, Masyumi mendapatkan 57 kursi di parlemen. Lihat “Majelis Syuro Muslimin Indonesia”. dalam  http://id.wikipedia.org/  (download 11 Agustus 2009).
[13] Bambang Ruseno Utomo, Hidup Bersama di Bumi Pancasila: Sebuah Tinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia, (Malang: Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993), hlm. 51 dan 52.
[14] Wahid Institute, op.cit., hlm. 24.25
[15] Lihat dalam buku keberatan-keberatan terhadap formalisasi Syariat Islam di Indonesia, dalam Adhian Husaini & Nuim Hidayat. 2002. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya.(Jakarta: Gema Insani Press). Hal.155-167.


[16] Krisis multidimensi yang penulis maksud disini adalah krisis moral dan absenya negara dalam meningkatkan kesejahteran masyarakat pada setiap bidang sehingga sering menimbulkan konflik pada masyarakat.
[17] Lihat Burhanuddin (editor). 2003. Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal.(Jakarta:  Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation); Charles Kurzman (editor). 2001. Wacana  Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer dan Isu-Isu Global, terjemahan Bahrul Ulum dari Liberal Islam: A Sourcebook.(Jakarta: Paramadina, Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation), p.xi-lx Dalam Jurnal Formalisasi Islam Din donesia dan Hak Asasi Manusia ditulis oleh Yusdani.
[18] Arus ini secara politis dinakhodai oleh oleh partai-partai Islam yang berlandaskan  Islam, seperti PPP, PK(S). Selain itu didukung oleh kelompok-kelompok radikal yang mulai tampil ke permukaan, seperti Front Pembela Islam (FPI), KISDI, Hisbut Tahrir, dan beberapa organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan. baca Zuhairi Misrawi,” Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju Desakralisasi, Reinterpretasi dan Depolitisasi” dalam Tashwirul AfkarJurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan tema Deformalisasi Syariat Islam, edisi No.12 Tahun 2002 ( Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU dan The Asia Foundation), p.7. baca juga Irfan Suryahardi Awwas, “ Menerapkan Piagam Cerdas” dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin (editor). 2001. Syariat Yes Syariat No Dilemma Piagam Jakarta dalam Amandemen UU 1945.(Jakarta: Paramadina). Hal .33-35.
[19] Aspirasi kelompok Islam memperjuangkan formalisasi syari’at  Islam dan Piagam Jakarta dalam konstitusi negara dalam Sidang-sidang BPUPKI (1945), sidang-sidang Majelis Konstituante (1956-1959 dan Sidang-sidang Tahunan Amandemen UUD 1945 (1999-2002) selalu direspon dengan penolakan atau tanggapan kritis dari kelompok nasionalis kebangsaan dan kelompok non Islam. Lihat misalnya, Anshari, op.cit., hl, 55-58; Bahar, el.al. (eds.); Indrayana., hlm. 323.


[20] Indrayana., op.cit., hlm. 323.
[21] Berita, ”Tokoh Islam Tolak Piagam Jakarta”, dalam  http://detik.com/, edisi Kamis, 10 Agustus 2000.
[22] Ibid. hal 123
[23] Forum Kongres Minahasa itu turut dihadiri Wakil Gubernur FH Sualang, Bupati Minahasa Drs Dolvie Tanor, mantan walikota dan walikota Manado Ir LH Korah dan Wempy Fredrik, dan pejabat sementara Walikota Bitung Drs L Gobel. Kongres tersebut dipandu tujuh tokoh pemuda dari Minahasa, yaitu Pnt Hanny VP Pua, Pdt David Tulaar, Pdt Feybe Lumanauw, Ir Vicktor Rompas, Pstr DR John Montolalu, Pdt Narwasty Karundeng dan Pdt Wempy Kumendong. Tim ini didampingi utusan-utusan mewakili 7 sub-etnis yang ada di Minahasa. Ke tujuh utusan itu adalah Tombulu, Tonsea, Tolour, Tonsawang, Tontemboan,, Ratahan dan Bantik. Mereka itu yakni Pdt Prof DR WA Roeroe, Mayjen Pur CJ Rantung, Prof DR EA Sinolungan, Jotje Koapaha, Drs Freddy Rorimpandey serta Dolfie Maringka. (Manado Post, 7 Agustus 2000).
[24] Istilah kultural untuk Tanah Minahasa.
[25] Berita, “Kongres Minahasa ultimatum MPR: Piagam Jakarta Diterima, Minahasa Merdeka”, Manado Post, edisi 7 Agustus 2000.
[26] ”Multicultur”, “Multiculturalism”, Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. “ of more than one culture: relating to, consisting of, or participating in the cultures of different countries, ethnic groups, or religions.”
[27] Ibid. “Supporting integration: advocating or encouraging the integration of people of different countries, ethnic groups, and religions into all areas of society”.
[28] “Multiculturalism”, http://en.wikipedia.org/wiki/ Multiculturalism, (Download 12 Agustus 2009).
[29] Baca Ahmad Suaedy, ”Islam dan Multikulturalisme”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Agama dan Multikulturalisme; Pengalaman Indonesia-Kanadadi Kartika Chandra Ballroom, Jakarta,10 Maret 2005.
[30] Baca Ulasan yang komprehensif tentang multikulturalisme lihat Will Kymlicka, Kewargaan Multikutural, terj. F. Budi Hardiman, (Jakarta: Pusataka LP3ES, 2002).
[31] Sebenarnya syariat Islam belum pernah diterapkan secara sempurna sejak zaman Nabi Muhammad, masa Khulafaur Rasyidin karena syariat Islam tidak hanya dibentuk oleh al-Quran, Sunnah, consensus dan ijtihad sahabat, juga mencakup prudok ketetapan ahli fiqh sepanjang masa masa kin dan mendatang, baca Muhammad Abid al-Jabiri, Wajhah Nazar Nahw I’adah Bina Qadaya al-Fikr al-Arabi al-Mu’asir(Beirut : Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, 1994).p.72-76; baca pula Muhammad Said al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, terjemahan Luthfi Thomafi dari Ushul asy-Syari’ah( Yogyakarta: LKis,2004), p.7-27; bandingkan pula dengan Khalil  Abdul Karim, Syari’ah Sejarah, Perkelahian, Pemaknaanterj.Kamran As’ad dari  judul asli al-Juzur at-Tarikhiyah li asy-Syariah al-Islamiyah( Yogyakarta: LKiS,2003),  yang menyatakan bahwa syariat adalah Respons Alquran terhadap kehidupan masyarakat jahiliah yang ada saat itu dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, ia mempertahankan suatu tradisi yang dimiliki masyarakat jahiliah, misalnya hukum  potong tangan bagi pencuri, baik laki-laki maupun perempuan. Artinya, hukum  potong tangan bagi pencuri sudah dikenal di tengah masyarakat Arab pra-Islam yang  kemudian dipertahankan oleh Islam. Secara substansial dan material, di situ tidak  ada perbedaan antara hukum potong tangan yang berlaku pada masyatakat Arab  jahiliah dan hukum potong tangan yang ditetapkan oleh Islam. Kalaupun ada yang berbeda, hanyalah sumbernya. Hukum potong tangan yang diberlakukan masyarakat Arab pra-Islam bersumber dari tradisi masyarakat yang sudah berjalan ratusan tahun. Ketika Islam turun, hukum tersebut dipertahankan, dengan mengalihkan  sumbernya dari tradisi masyarakat Arab pada wahyu Allah SWT. (Alquran). Kedua, Alquran mempertahankan sebagian dari tradisi pra-Islam dan menolak sebagian  lainnya, misalnya dalam hukum poligami. Poligami bisa berarti poliandri (seorang perempuan bersuami lebih dari satu) dan poligini (seorang laki-laki beristri lebih dari satu). Poligami dalam arti pertama (poliandri) diharamkan oleh Islam, sedangkan dalam arti yang kedua (poligami) diterima dengan pembatasan. Jika sebelum dan di awal Islam seorang laki-laki boleh memiliki isteri dalam jumlah yang tidak terbatas, Islam membatasinya hanya empat orang.Ketiga,Alquran menghapus suatu tradisi  yang berlaku pada masyarakat Arab jahiliah, misalnya riba. Seperti diketahui, perekonomian masyarakat Arab pra-Islam berada di tangan para saudagar kaya yang bersikap sangat zalim terhadap rakyat kecil dan kaum lemah dengan, misalnya  memberlakukan sistem riba. Melalui sistem ini golongan yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin dan tertindas. Ketika seorang miskin meminjam uang dengan sistem riba, seringkali dia tidak dapat melunasi utangnya. Kalau sudah begitu, dia dirampas dan dijadikan budak. Tidak jarang pula yang ditampas adalah istri atau anak-anak perempuannya. Dengan demikian, perbudakan pada masyarakat Arab pra-Islam terkait erat dengan sistem ekonomi yang berlaku di tengah-tengah mereka. Islam mengharamkan riba dan memberlakukan pinjam-meminjam dengan sistem mudharabah(bagi hasil), lalu mengatasi masalah perbudakan yang menjadi akibat sistem riba dengan kewajiban membebaskan budak sebagai hukuman atas pelanggaran-pelanggaran tertentu agama Islam, misalnya tebusan untuk suatu pembunuhan atau denda bagi orang yang melakukan hubungan seksual dengan suami/istri di siang hari bulan Ramadan.
[32] Baca Objectives Resolutionditubuhkan sebagai mukaddimah dalam Konstitusi 1956,1962,  dan 1973, serta amandemen-amandemennya. Dalam amandemen ke-8 Konstitusi 1973, yang disahkan pada 1985, Objectives Resolutiondinayatakan sebagai bagian operatif konstitusi tersebut dalam Tulisan Yusdani FORMALISASI SYARIAT ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIADI INDONESIA dosen tetap FIAI UII Yogyakarta dimuat dalam Jurnal Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006. Hal 191.
[33] Abdullahi Ahmed An-Na’im. 1990. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties,
Human Rights, and International Law. (New York: Syracus University Press). hal.185-186.
[34] Mahmoud Mohamed Taha.1987. The Second Message of Islam.(New York: Syracuse University Press). Hal.113 118.
[35] Rubya Mehdi. 1993. The Islamization of the Law in Pakistan.(London: Curzon Press). Hal. 225.
[36] Ibid, Hal..228
[37] M. Amin Abdullah. 1998. “ Kebebasan Beragama atau Dialog Antaragama, 50 Tahun Hak Asasi Manusia,” dalam Orientasi Baru Jurnal Filsafat dan Teologi, 1998/11. Hal.56
[38] Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean. 2004.Politik Syariat Islam Dari Indonesia hingga Nigeria(Jakarta: Pustaka Alvabet). Hal.156-164.
[39] Lihat artikel “ Murtadd” dalam Encyclopedia of IslamCD Rom edition.
[40] Ann Lizabet Mayer. 1995.Islam and Human Rights: Tradition and Politics.(Boulder London: Westview Press &Printer Publishers). Hal .146-147.
[41]Lihat Louay M. Safi, ”Human Rights and Islamic Reform” tersedia di http://www.11u.edu.my/deed/articles/human3.pdf;lihatjuga art.”Hukuk”, dalam Encyclopedia of Islam,CD Rom edition.
[42] Bernard Adeney-Risakotta,” Civil Society and Abrahamic Religion,” dalam Djaka Sutopo (ed.). Civil Society dan Abrahamic Religions( belum terbit), Hal.9.
[43] Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean. 2004. Politik Syariat Islam Dari Indonesia hingga Nigeria.(Jakarta: Pustaka Alvabet). Hal.187.
[44] Pada tahun 1984 beberapa tokoh Ahmadiyah mengajukajn petisi kepada Mahkamah Syariat Federal Pakistan meminta meninjau ulang terhadap ordonansi tersebut, dengan disertai pertimbangan-pertimbangan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Petisi tersebut ditolak Mahkamah pada 28 Oktober 1984. Lihat “ Judgement of Federal Shari’ah Court, Pakistan” tersedia di http://www.irshad.org/idara/qadiani/legal/pkcourt84.htm, diakses 19 November  2015
[45] “ Who won the tug of war? Al-Ahram Weekly3-9 February 2000. Dalan Tulisan Junaidi dimuat dalam jurnal Almawarid
[46] “ Taliban Stage Lashing of Unwed Couple Accused of Having Sex,” AFP, May, 22,2001
[47] Luthfi Assyaukanie. 1998. Politik, HAM, dan Isu-Isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer. (Jakarta: Pustaka Hidayah). p.132-134
[48] Louay M. Safi. “ Human Rights and Cultural Reform in Contemporary Muslim Society: From Hegemonic Discourse to Crossculturel Dialogue”, tersedia di http://home.att.net/louaysafi/articles/1999/human32.html. diakses 1 9 November 2015.
[49] Lihat misalnya, Human Rights Watch, Sudan, “ In the Name of God, “ ( Human Rights Watch Publication, November 1994, vol.6 no. 9);Human Rights Watch/Africa, Behind the Red Line: Political Repression in Sudan          ( Human Rights Watch,1996); Lawyers Committee for Human Rights,” Beset by Contradictions: Islamization, Legal Reform and Human Rights in Sudan,”(LawyersCommittee for Human Rights, December 1996), Lihat juga laporan Amnesty International, “ Amnesty International Report 2002-Africa – Sudan,” dll.
[50] Nigeria’s Muslim-Christian Riots: Religion or Realpolitik,” The Economist, Januari 17,2003, dan tentang implikasi penerapan syariat di Zamfara, lihat “ Tension rise over Islamic Law in Nouthern Nigeria.
[51] Al Yasa Abu Bakar. 2002. ” Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (Sejarah dan Prospek)” dalam Fairus M. Nur Ibr, Syariat di Wilayah Syariat: Pernik-pernik Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam). Hal.26-46.
[52] an A. Henningsson. 1998. ”Contemporary Understandings of Human Rights in Islam”, LWF Studies,1998/3, p.274, baca juga Zuhairi Misrawi. 2002. ”Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju Desakralisasi, Reinterpretasi dan Depolitisasi” dalam Tashwirul AfkarJurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan tema Deformalisasi Syariat Islam, edisi No.12 Tahun 2002 (Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU dan The Asia Foundation), p.12-13, baca pula Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan.(Jakarta: Penerbit Buku Kompas), Hal.237.
[53] Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam(Jakarta: Amissco, 2000), Hal .vii-viii dan 195-196
[54] Zuhairi Misrawi,” Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju Desakralisasi, Reinterpretasi dan Depolitisasi” dalam Tashwirul AfkarJurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan tema Deformalisasi Syariat Islam, edisi No.12 Tahun 2002 ( Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU dan The Asia Foundation), Hal.13.
[55] Ibid,
[56] Ibid, Hal 14.