TEORI-TEORI HUKUM
KONTEMPORER
KARYA PROF. A. MUKTIE
FADJAR
PENERBIT: SETARA PRESS,
MALANG
TAHUN TERBIT 2014
PERESUME MOH.KAMALUDDIN, SH
MAHASISWA MAGISTER ILMU HUKUM PASCASARJANA UMM
BAB I: Teori-Teori Hukum
Sebagai Sistem
Dalam Pandangan Charles Sampford dalam bukunya yang berjudul “The
Disorder of laf: A Critique of legal theory, teory hukum sebagai suatu
system yang bertumpu pada 3 macam teory system hukum yang dianggapnya sudah
konvenional, yaitu:
1. Teori sistem hukum yang berbasis sumber,
yaitu teori-teori positivistis.
2. Teori sistem hukum yang berbasis isi,
yakni teori-teori hukum alam.
3. Teori sistem hukum yang berbasis fungsi,
yaitu teori-teori osiologis.
Terhadap paradigma ketiga teori hukum sebagai system
tersebut , beliau melakukan kritik dengan menawarkan paradigma b aru yang
disebutnya sebagai paradigma ketidakteraturan.
Tentang Sistem Hukum Pada Umumnya
Suatu sistem
keilmuan harus mengandung faktor-faktor penting, yaitu:
a. Unsure-unsur dalam system hukum harus dibedakan dari unsur-unsur non hukum,
seperti tradisi, moral, dan agama. Unsur-Unsur dalam sosiologi harus bisa
dibedakan antara fenomena social dengan fenomena pribadi.
b. Pembagian sistem, yaitu bahwa sistem
membentuk suatu keseluruhan yang terbagi menjadi begian-bagian. Bagoian-bagian
ini biasanya dianggap sebagai seubsistem-subsistem.
c.
Konsistensi
dari sistem tersebut, yaitu suatu sistem harus dibangun de ngan cara sedemikian
rupa sehingga tidak ada kontradiksi-kontradiksi internal. Semua unsure dan bagian dari sistem harus sesuai satu
sama lain.
d.
Kelengkapan sistem yaitu suatu sistem harus memenuhi
semua tuntutan atau permintaan,kalau tidak berarti tidak lengkap.
e. Konsep-konsep fundamental dari sistem,
yaitu bahwa setiap sistem ilmiah bekerja dengan sejumlah konsep-konsep
fundamental.
a.
1.
Sistem Hukum
a.
Unsur-Unsur Sistem Hukum
Kalau didalam filsafat hukum terdapat
teori-teori yang saling bertentangan mengenai persoalan pa yang termasuk atau
tidak termasuk sistem hukum, dalam ilmu hukum (dokmatik) telah sampai pada
kesepakatan prakmatis yang bebunyi: “kita anggap sebagai ‘hukum’ semua
peraturan yang menjadi ada berbagai cara,’’ yaitu:
1) Melalui legislasi, yang melahirkan hukum
perundang-undangan (DPR, DPRD.
2) Melalui penanganan kasus di pengadilan,
dalam hal ini hukum dibuat oleh organ Negara (Lembaga Yudisial)
3) Melalui adat atau kebiasaan yang
melahirkan hukum adat atau hukum kebiasaanyang bukan hukum buatan organ Negara.
4) Melalui perjanjian oleh para pihak dalam
masalah-masalah tertentu, baik perorangan maupun antar Negara.
b.
Pembagian sistem hukum
Pembagian-pembagian dalam sistem hukum
dibuat menurut criteria tertentu,dalam hal ini ilmu hukum mempunyai pembagian
yang bersifat standar, sbb:
1) Pembagian berdasarkan kriteria wilayah
berlakunya aturan hukum, sehingga ada hukum nasional dan hukum internasional
yang sama-sama menngikat.
2) Pembagian menurut kriteria materi muatan
hukumnya yang dapat dibedakan lagi dalam.
a) Kriteria orang (subyek hukum), sehingga
hukum dibagi dalam hukum privat dan hukum publik
b) Kriteria isinya yang dibagi dalam hukum
materil, dan hukum formil.
3) Pembagian menurut kriteria sifat
sangsinya, sehingga dibedakan dalam hukum pidana,hukum perdata, hukum
administrasi
4) Pembagian
menurut kriteria boleh tidaknya hukum disimpangi, sehingga ada pembedaan dalam
hukum wajib/hukum pemaksa
5) Pemebagian menurut kriteria cara hukum
itu ada, misalnya pembedaan dalam hukum perundang-undangan, hukum buatan hakim
dan hukumadat.
6) Pembagian menurut kriteria tingkat
keumuman aturan-aturannya, misalnya pembagian antara prinsip atau asas hukum
dan kaidah-kaidah hukum.
2. Teori- Teori Positivistis Sistem Hukum.
Positivistis adalah suatu paham yang berpendapat bahwa
setiap metodologi untuk menemukan kenbenaran harus memperlakukan realitas
sebagai sesuatu yang eksis sebagai sesuatu objektiva yang harus dipisahkan dari
segala macam prakonsepsi metafisis yang subyektif sifatnya.
Penerapan
positivism dalam hukum berupa dilpaskannya pemikiran metayuridis mengenai
hukum, sehingga eksistensi setiap norma hukum ditentukan oleh keberadaannya
secara objektif sebagai noma-norma positif yang merupakan manifestasi
kesepakatan kontraktual yan g kongkrit diantara warga masyarakat atau melalui
wakil-wakilnya.
Beberapa prinsip
dasar positivism hukum adalah:
a. Suatu tatanan hukum Negara bukan karena
mempunyai dasar dalam kehidupan social, juga bukan karena bersumber pada jiwa
bangsa, dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapat
bentuk positifnya oleh instansi yang berwenang.
b. Huykum semata-mata harus dipandang dalam
bentuk formalnya dan lepas dari isi/substansinya.
c. Isis hukum diakui ada, tetapi bukan
bahan ilmu hukum sebab dapat merusak kebenaran ilmiahilmu hukum.
3.
Teori conten sistem hukum
Conten
teori terutama diwakili oleh Ronald
Dwokin yang muncul karena ketidak setujuannya terhadap sistem formalism
hukum yang ditokohi langdel yang
dalam memutus perkara hakim hanya berpedoman pada tiga hal, yaitu :
a. Adanya Legal Reasoning (Alasan Hukum)
b. Metode hukumnya deduktif
c. Untuk semua kasus hanya ada satu putusan
hukum yang benar.
Dalam bukunya “ Laws Empire”, Dworkin menyatakan dalam
teorinya adalah hal yang terbaik karena bias menghindari pemaksaan oleh hakim
untuk memberikan putusan yang sebenarnya kurang tepat. Dlam teorinya beliau
menyebutkan ada empat elemen yang ada dalam sistem, yaitu asas,
relasi/hubungan, struktur dan menyeluruh. Asas ini dapat dikategorikan kedalam
tiga kelompok tergantung pada hal apa yang akan dijustifikasi:
a. Asas dari moral politik
b.
Asas dari interpretasi perundang-undangan.
c. Asas dari subtansi hak asasi manusia
(HAM)
Gunanya asas ini adalah untuk
memperjelas hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya, baik yang
sederajat, maupun pada hirarki yang berbeda, dengan mendasarkan pada
substansinya.
BAB II
TEORI HUKUM DAN TEORI
SOSIAL
A.
Ilmu Hukum dan Sosiologi
Istilah
“ Ilmu Hukum” memiliki paling tidak dua arti yang berbeda yang sering kali
terkait, yakni:
1. Badan pengajaran yang berteori mengenai
hukum (teori hukum), dan
2. Seperangkat peraturan, asas-asas, dan
pengumuman resmi yang menjadikan hukum suatu bidang yang bersifat substantive
(doktrin hukum)
Membaca Code
Civil perancis dank ode civil jerman, orang dapat meilah bahwa doktrin
hukum adalah seperti suatu rancangan kasar teori social, yang terdiri dari
konsep-konsep, kategori-kategori, peraturan-peraturan, serta prosedur un tuk
mengatur satu kesatuan yang luas dari perilaku manusia dalam suatu cara yang
teratur serta sistematis. Peraturan-peraturan hukum adalah asas-asas umum untuk
mengerti serta mengatur interaksi antara pelaku social. Teori social yang
muncul dari keakraban dengan doktrin hukum juga terdapat dalam pengujian
istematis dari kehidupan social. Sosiologi amerika tak pernah mempunyai ikatan
formal yang sedemikian kuat dengan ilmu hukum.
B.
Critical Jurisprudence (Ilmu Hukum Kritis)
1.
Ajaran Hukum Kritis
Critical Legal Studies (CLS) “dipen
garuhi oleh berbagai arus dalam teori social radikal saat ini, tetapi tidak
mencerminkan suatu perangkat ajaran politik atau pendekatan metodelogis yang
telah disepakati.
Beberapa tema atau pokok-pokok pendirian
CLS adalah sbb:
a. Serangan atas legalisme.
Beberapa penulis
CLS percaya bahwa teori hukum merupakan suatu perlindungan ideologis bagi
keputusan-keputusan yang diperintahkan oleh kekuasaan dan pemeliharaan
keadilan. Legalisme liberal dipaparkan dalam tulisan-tulisan CLS sebagai suatu
mesin pembenaran yang terutama bertugas untuk mereproduksi keadilan social.
b. Pernyataan yang tidak menentukan.
Menurut para
penulis CLS, hukum terdiri dari berbagai pertentangan dan ketidakkonsistenan
yang dapat mengakibatkan keputusan menjadi melantur. Hukum secara logistidak
menentukan dan tidak dapat menghasilkan
suatu akibat tertentu. Keputusan-keputusan hukum harus ditempatkan
diluar doktrin hukum formal, tempat yang tidak dapat dihindari bersifat
politis.
c. Otonomi hukum yang relative.
Hukum secara tak
terhindarkan terikat dengan politik. Para sarjana ahli hukum kritis telah
menjelaskan suatu pandangan bahwa hukum, secara relatif berkuasa, yang berarti
bahwa meskipun hukum menggunakan suatu bentuk argumentasi khusus yang
membuatnya berbeda dari politik biasa, hukum selalu melayani
kepentingan-kepentingan dan tujuan politik.
d. Kesadaran hukum
Para penulis CLS
telah menganalisis cara dalam mana hukum menetapkan kondisi-kondisi dalam mana
dunia dipandang dan usaha-usaha mereka didominasi oleh suatu pandangan untuk
melarikan diri dari ideology-ideologi ini. Para sarjana CLS menyingkap
kenetralan yang tampak dari premis hukum dan menunjukkan dengan tepat bagaimana
gagasan-gagasan dan cita-cita hukum secara terus menerus direkontruksi untuk
menyembunyikan rencana mereka sendiri. Para sarjana CLS sekarang seringkali
menunjukkan wacana-wacana sub pengganti dan kedudukannys lebih rendah yang
bersama yang resmi.
BAB III
TIPOLOGI HUKUM
A. Hukum Represif
Hukum
Represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan kepada tata
tertib sosial yang represif. Kekuasaan yang memerintah adalah represif,
bilamana ia kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat yang
diperintahkan artinya bilamana ia cenderung untuk tidak mempedulikan
kepentingan-kepentingan tersebut atau menolak legitimasinya. Meskipun represi
sering kali berbentuk penindasan dan pemaksaan yang terang-terangan, pemaksaan
sendiri bukanlah merupakan ciri yang menentukan bagi sifat represif, melainkan
diacuhkannya atau diterlantarkannya kepentingan rakyat. Mengenai perbedaan
antara represi dengan pemaksaan: pertama, tidak semua pemaksaan adalah
represif.
Kedua,
represi tidak perlu memaksa. Perhatian
paling utama hukum represif adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya tata
tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian pertikaian.
Meskipun hukum represif dihubungkan dengan kekuasaan, namun ia tidak boleh
dilihat sebagai suatu tanda dari kekuatan kekuasaan (dari kekuasaan yang kuat).
Nonet dan Selznick menyebutkan beberapa bentuk dalam mana represi dapat
memanifestasikan dirinya. Yang satu adalah ketidak mampuan pemerintah untuk
memenuhi tuntutan-tuntutan umum. Yang lain adalah pemerintah yang melampaui
batas. Suatu bentuk lain lagi adalah kebijakan umum yang berat sebelah, yang
sering kali dipercontohkan pembaruan kota-kota dan kebijakan pengembangan
ekonomi dalam mana “program pemerintah tidak mempunyai sarana untuk memenuhi,
ataupun memperhatikan, lingkup kepentingan individual dan kelompok yang
dipengaruhinya.
Ciri-ciri umum dari hukum represif:
1.
Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan
politik; hukum diidentifikasikan dengan negara dan tunduk kepada raison d
e’tat.
2. Perspektif resmi mendomonasi segalanya.
Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan
masyarakat.
3. Kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan
keadilan dimana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas
keluhan-keluhannya apabila keadilan semacam itu memang ada adalah terbatas.
4. Badan-badan pengawas khusus seperti
polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
5. Suatu rezim hukum rangkap melembagakan
keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi
sosial.
6. Hukum dan otoritas resmi dipergunakan
untuk menegakkan konformitas kebudayaan.
B. Hukum
Otonom
Hukum otonom berorientasi kepada
mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitese
dari hukum represif dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu
hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan
berdasar hukum. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial
empiris dari kekuasaan berdasar hukum realitas-relitas institusional dalam mana
cita-cita ini diejawantahkan, yaitu potensi-potensi khusus institusi-institusi
ini untuk memberikan sumbangan kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi
juga limitasi-limitasinya. Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah:
1. penekanan
kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi
dan swasta
2. terdapat
pengadilan yang dapat didatangi secara bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh
kekuasan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya dan yang memiliki otoritas
ekskluif untuk mengadili pelanggar hukum baik oleh para pejabat umum maupun
oleh individu-individu swasta.
Sebuah
prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik. Ahli-ahli
hukum dan pengadilan adalah spesialis-spesialis dalam menafsirkan dan
menetapkan hukum, namun isi substantif hukum tidak ditentukan oleh mereka,
melainkan oleh hasil dari tradisi atau keputusan politik. Hukum otonom
menunjukkan tiga kelemahan khas yang sama sekali membatasi potensial hukum
untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial:
1. Perhatian
yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong
suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan
ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari
tujuan. Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi.
2. Keadilan
prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif.
3. Penekanan
atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai
suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan tata
tertib diantara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi suatu
sikap yang konservatif.
Kelemahan-kelemahan
ini akan menghambat realisasi kekuasaan secara benar berdasarkan hukum yang
dicita-citakan. Namun demikian, hukum otonom mengandung suatu potensi untuk
perkembangan lebih lanjut dengan mana kelemahan-kelemahan ini akan dapat
diatasi.
C. Hukum
Responsif
Sifat responsif dapat diartikan
sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan,
tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu
komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”.
Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain.
Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain.
Keterbukaan yang sempurna akan
berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai
dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi mengandung arti
khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan
kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan
satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep hukum
responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk
mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas.
Jawaban dari hukum responsif
adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru.
Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain daripada kekuasaan berdasar
hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai
kepantasan prosedural formal, melainkan sebagai reduksi secara progresif dari
kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik,
sosial dan ekonomi. Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan,
melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif. Dua ciri yang
menonjol dari konsep hukum responsif adalah (a) pergeseran penekanan dari
aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b) pentingnya kerakyatan baik
sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Hukum responsif membedakan
dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan pada peranan tujuan di dalam
hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan
penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri melainkan arti pentingnya
merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya.
Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada hasil dan dengan demikian
membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan yang terikat kepada
konsekwensi.
Menurut Nonet dan Selznick,
penerimaan maksud memerlukan penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik. Jika
maksud menunjuk kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada
peranan yang sangat menentukan dari partisispasi rakyat dalam hukum dan
pemerintahan serta nilai terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu
komunitas politik yang berbudaya yang tidak menolak masalah-masalah kemanusiaan
dan dalam mana ada tempat bagi semua.
Norma kerakyatan dapat diartikan
sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang menghormati manusia sebagai
nilai yang paling tinggi bagi kehidupan politik dalam dunia modern. Norma
kerakyatan, pertama: membedakan hukum responsif dari hukum represif dengan
memaksakan adanya penampungan bagi kepentingan-kepentingan manusiawi dari
mereka yang diperintah. Kedua, ia membedakan hukum responsif dari hukum otonom
dengan memperlunak tuntutan tentang kepatuhan kepada aturan-aturan dan
mengikuti saluran-saluran prosedural yang telah ditetapkan dan dengan sikapnya
yang lebih menyukai pendekatan integrasi kepada problem-problem penyelewengan,
ketidak patuhan dan konflik. Ketiga, norma kerakyatan menuntut cara-cara partisipasi
dalam pembuatan keputusan.
Salah satu aspek dari penampungan
kepentingan manusiawi yang bermacam-macam adalah penolakan hukum responsif atas
moralitas hukum. Nonet dan Selznick berbicara tentang mengatasi
parokhlialisme dan moralitas komunal. Ekspansi dari partisipasi akan menunjang
perkembangan dan implementasinya dari tata tertib umum. Pada waktu yang sama
seperti yang ditunjukkan oleh Nonet dan Selznick, partisipasi yang diperluas
tidak cukup. Apabila hal ini tidak berjalan bersama-sama dengan suatu usaha
kebijakan pemerintah yang efektif, itu akan dapat mengakibatkan suatu situasi
dalam mana masalah-masalah umum akan dapat mengakibatkan suatu situasi dalam
mana masalah-masalah umum akan diperintah oleh kelompok-kelompok kepentingan
yang kuat dan terorganisasi dengan baik. Mungkin kita dapat mengatakan bahwa
tanpa partisispasi, pemerintah dan administrasi akan menjadi represif dan tanpa
pemerintahan yang baik, maka partisipasi akan menjurus kepada pemerintahan oleh
kepentingan-kepentingan dari pihak yang kuat.
BAB IV
TRANSFORMASI
HUKUM DI NEGARA KESEJAHTERAAN
1.
Materialisasi Hukum Formal
Dalam
perkembangan hukum modern berbagai kecenderungan terhadap yuridifikasi dapat
dibedakan. Dalam buku ini, habermas mengidentifikasikan empat epochal juridification thrusts, masing-masing
melibatkan berbagai cirri,berbagai cirri hukum, aneka ragam struktur noma dan
sistematisasi dokmatika tertentu. Berbagai tujuan yuridifikasi itu terkait
dengan munculnya berbagai bentuk Negara yang berbeda, Negara borjuis, Negara
hukum, Negara demokrasi, dan Negara kesejahteraan.
Panadangan
sejarah itu menghilangkan kesalahan yang berkaitan dengan proses-proses
yuridifikasi secara umum sebagai sebuah ekstensi dan pemadatatan hukum.
Sebaliknya pandangan ini memberikan peluang pada kita untuk berkonsentrasi pada
sebuah bentuk sejarah yuridifikasi. Barangkali, masalah mutakhir yang paling
mendesak bagaimana mengatasi “ The
juridification thrust typical of the welfare state. Dimana hukum
diintrumentalisasikan sebagai sebuah mekanisme bimbingan, bagi aneka ragam
intervensidan kompensasi Negara kesejahteraan. Disini terasa penting untuk
melihat pada upaya Max Weber dalam membedakan rasionalitas hukum formal dan
materialisasi, serta untuk mempertanyakan proses-proses apakah dalam kawasan
hukum tertentu telah menggantikan atau menambah materi, orientasi Negara
kesejahteraan terhadap rasionalitas formal aturan hukum klasik. Dengan kata
lain, apakah perpektif perbandingan dalam berbagai ragam kawasan hukum
menunjukkan kecenderungan untuk menjauhkan dari hukum otonom untuk menuju pada
hukum responsive atau responsive law.
2.
Batasan Instrumentalisme Hukum.
Ada
berbagai upaya kompetitif untuk merumuskan batasan-batasan sebuah instrumentalisasi
politik hukum. Berbagai penjelasan tentang batasan-batasan instrumentalisasi
hukum menggambarkan varian yurisprudensi perdebatan umum tentang
batasan-batasan Negara kesejahteraan. Ada empat kritik utama yang muncul.
a.
Ketidakefektifan
Seberapa jauh hukum tidak cocok untuk
berperan sebagai mekanisme control, karena ini hanya bergulir diatas dinamika
internal kawasan social yang ada? Kendati berbagai program porposif dilihat
sebagai intrumen-intrumen petunjuk politik yang mengungguli program-proggram kondisi
klasik, mereka tak dapat mengatasi bahwa sistem-sistem yang kompleks
menunjukkan reaksi yang bertentangan secara ituitif. Ada sebuah keterangan yang
menghubungkan fenomena itu terhadap berbagai ketegangan yang kian memuncak
antara muatan petunjuk yang meningkat dan kapasitas-kapasitas petunjuk yang
berkurang disuatu negarayang berhadapan dengan diferensiasi organisasi.
Penjelasan yang lain adalah organisasi autipoitic berbagai subsistem teratur
yang menggiring hukum instrumental menjadi suatu “Trilema Regulatori
b.
Kolonisasi
Apakah harga yuridifikasi merusak
berbagai struktur social organik lantaran hukum didasarkan berbagai model
fungsi dan organisasi hamper sama? Menurut habermas, ambivalensi aneka ragam
jaminan penolakan-penolakan kemerdekaan telah tunduk pada berbagai kebijakan
dan hukum Negara kesejahteraan sejak semula. Struktur yuridifikasi sendiri yang
membahayakan. Program-program hukum instrumental tunduk pada logika fungsional
dan mengikuti kriteria rasionalitas dan pola-pola organisasi yang bertentangan
dengan rasionalitas dan pola-pola suasana kehidupan yang teratur. Akibatnya,
hukum sebagai media Negara kesejahteraan terombang ambing antar muncul tapi
tidak efektif atau berlaku efektif namun menghancurkan pola-pola tradisional
kehudupan masyarakat. Lebih dari itu seperti dikatakan Pieter, hukum Negara
kesejahteraan yang secara, simbolik tergambar pada administrasi, birokrasi,
organisasi, dan system melahirkan kesadaran social yang membangkitkan potensi
bagi oposisi kritis.
c.
Overstrain
Sistem-sistem hukum mempunyai
sumber-sumber hukum koknitif, organisasi dan kekuatan memadai memberinya
kemampuan untuk menanggapi tugas-tugas pengawasan yang diemban? Orientasi hasil
dalam praktek hukum tak pelak lagi memberikan sumbangsi pada suatu system hukum
yang kedodoran beban. Sosialisasi hukum yang berlebihan dalam Negara
kesejahteraan mengharuskan berbagai perubahan radikal dalam aneka ragam
struktur hukum yang organisasi otonominya dapat membahayakan.
d.
Konflik antar sistem
Sejauhmana
hukum instrumental menggelakkan rasionalitasnya sendiri seusai berinteraksi
dengan system-sistem lain, terutama system politik dan ekonomi? Masalah ini
diungkap oleh friedman ketika memaparkan kontradiksi antara kebebasan hukum dan
tanggapan sosialnya. Demikian juga Broekman melemparkan masalah yang serupa
dengan mensitir batasan-batasan sosialisasi hukum. Aubert mengajukan dalih
bahwa tujuan-tujuan Negara intervisionis bertabrakan dengan aturan hukum
sebagai sebuah cita. Pada saat yang sama, berbagai konflik ditimbulkan oleh
berbagai kebijakan pemerintah, perkembangan social, ekonomisecara umum. Ewald
mengajukan analisis tentang berbagai ketegangan antara “hukum klasik dan norma
modern. Uraian speaks tentng penerapan birokrasi yang inheren dalam berbagai
mekanisme partisipatori Negara kesejahteraan yang tidak memungkinkan adanya
pemikiran otonomi dan dialog otentik secara liberal, serta menyajikan
batasan-batasan efektif terhadap hukum sebagai pokok bahasan diskusi kritis.
Perubahan menawarkan analisis tentang berbagai krontadiksi antara struktur
statis hak-hak kebenaran subyektif kapasitas Negara kesejahteraan. Bagi preub,
dilemma hukum dinegara kesejahteraan muncul karena fakta bahwa hak-hak
distribusi didasarkan pada abstraksi berbagai kepentingan dari situasi sosio
ekonomi yang utama. Dalam level yang lebih umum, fabrajo melukiskan berbagai
konflik system itu sebagai aturan-aturan konstitusi yang bertikai dari aneka
ragam permainan social yang tak dapat dipecahkan dengan aturan-aturan suatu “metagame”.