Teori Hukum Integratif

Judul Buku      : Teori Hukum Integratif
Pengarang       : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M.
Penerbit           : GENTA PUBLISHING, Yoygakarta

Tahun Terbit    : 2012
Peresume          : Muhammad Nuzhannor, S.Sy.SH Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UMM.
Dalam buku ini, pembahasan terkait tentang teori hukum integratif yang di uraikan oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. terbagi menjadi 2 (dua) bagian. Bagian pertama membahas hal-hal yang berkaitan dengan teori hukum. Sedangkan bagian kedua membahas tentang tiga teori, pertama teori hukum pembangunan, kedua hukum progresif dan yang terakhir yaitu hukum integratif yang merupakan judul buku ini.

BAGIAN PERTAMA : TEORI HUKUM
 
 Sebelum sampai kepada jawaban tentang apakah hukum, perlu diketahui sebelumnya apakah teori hukum itu dan apakah kegunaan mengetahui teori hukum itu. Posner membedakan antara teori hukum dan filsafat hukum :“ Filsafat hukum fokus pada analisis puncak abstraksi hukum seperti positivisme hukum, hukum alam, realisme hukum dan analisis mengenai doktrin hukum, nalar hukum (legal     reasoning). Sedangkan “teori hukum fokus pada masalah hukum praktis tetapi didekati dari luar          disiplin ilmu dengan menggunakan disiplin ilmu lain.”
Teori hukum ditemukan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dimulai dari aliran utilitarianisme tentang teori penghukum dan konsep ilmu hukum serta teorinya Max Weber yang dikembangkan oleh Roscoe Pound dibawah titel sosiological jurisprudence.
            Mengapa kita memerlukan teori hukum ? ada dua pendapat yang menjelaskan mengapa teori hukum itu diperlukan.
1.      Menurut Posner mengemukakan ada dua kegunaan teori hukum:
a.       Teori hukum berhasil mengungkapkan “ruang gelap (dark corners)” dari suatu sistem hukum dan menunjukkan jala arah perubahan konstruktif yang sangat bernilai tentang unsur-unsur dari konsep hukum;
b.      Teori hukum telah membantu menjawab pertanyaan mendasar tentang sistem hukum yang intinya adalah pengetahuan tentang sistem, yang berbeda maknanya dari sekedar mengtahui bagaimana menjalankannya dalam suatu sistem dimana praktisi hukum telah biasa melakukannya.

Sebagai contoh: apakah ada efek ekonomi dalam suatu produk Undang-Undang Kepailitan atau Undang-Undang Pasar Modal ? untuk menjawab itu yang diperlukan adalah suatu teori hukum bukan filsafat hukum atau doktrin hukum.
2.      Friedman menyatakan bahwa teori hukum harus berisikan unsur filsafat – tempat manusia di alam nyata – dan memperoleh warna da nisi spesifik dari teori politik – ide terbaik untuk membangun masyarakat. Pendapat ini dikuatkan atas kenyataan bahwa pelopor teori hukum terutama berasal dari para ahli filsafat, pemuka gereja dan politisi.

            Perbincangan mengenai teori hukum sering dikaitkan dengan filsafat hukum dan doktrin hukum. Ketiga disiplin tersebut berada dalam ruang lingkup pembahasan ilmu hukum, akan tetapi ketiganya memiliki perbedaan satu sama lain. Bekerjanya hukum dalam kehidupan masyarakat meliputi tiga tujuan; pertama agar tertib, pasti dan adil. Ketiga tujuan tersebut merupakan cita hukum yang sering tidak nyata ada dalam kehidupan masyarakat. Sehingga timbul pertanyaan apakah kehidupan kita (manusia) memerlukan hukum; hukum yang bagaimana dan seperti apa yang kita perlukan untuk menata kembali kompleksnya interaksi anggota masyarakat satu sama lain. Dalam titik ini, kita bertanya-tanya bagaimana seharusnya hukum yang dibuat  manusia (man-made law) merujuk pada hukum Ilahi sehingga tidak ada manusia yang berani melanggarnya dan diakui serta dirasakan membawa kemashlahatan bagi kehidupan manusia. Dari hasil pegamatan penulis buku ini, hukum yang dibuat manusia sesungguhnya bisa berwibawa dan ditaati sepenuhnya jika aparatur yang beraktifitas di bidang penegakan hukum memberikan contoh perilaku dan teladan yang taat hukum kepada bawahannya dan masyarakat.

            Konsep hukum dalam keseharian, baru kita rasakan dalam cara kerjanya polisi, jaksa atau para hakim yang memeriksa dan memutus perkara atau hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang atau perlakukan yang terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan. Berbeda dengan hal itu, penulis mengatakan konsep hukum tidak akan memiliki makna jika dipahami hanya sekedar bahwa Negara telah memproduksi hukum (Undang-Undang, dst) tetapi aparatur dan masyarakat tidak memahami apa yang dimilikinya (hukum). Sehingga menurutnya, seandainya kita hanya memiliki satu pasal atau satu ayat-pun tetapi kita memahami maknanya baik secara filosofis, sosiologis dan yuridis maupun secara teleologis, kiranya sudah lebih dari cukup daripada seribu pasal atau ayat tanpa satupun bermakna dan dirasakan kemashlahatan hukum itu ditengah-tengah kehidupan kita.

            Dalam kaitan ini, ahli hukum belanda, Van Apledoorn, pernah mengemukakan bahwa, “hukum sering disamakan dengan undang-undang; bagi masyarakat, hukum adalah sederatan pasal-pasal, dan cara pandang ini menyesatkan karena kita tidak melihat hukum di dalam undang-undang, akan tetapi  di dalamnya terlihat sesutau tentang hukum, karena apa yang terlihat di dalam undang-undang, pada umumnya (tidak selamanya) hukum.” Pandangan Van Apledoorn tentang konsep hukum di atas memiliki arti bahwa hukum tidak selamanya adalah undang-undang (menolak aliran Legisme) serta tidak hanya melihat konsep hukum itu tampak pada sifat seorang hakim, yaitu mengatur dan memaksa, tetapi konsep hukum senantiasa berkembang, bergerak karena pengadilan selalu membentuk hukum baru.
           
            Perkembangan pemikiran tentang hukum berakar pada dua aliran yang sangat penting yaitu aliran teori hukum alam dan aliran positivisme. Menurut pandangan teori hukum alam, status hukum tidak selalu bergantung dai apakah hukum itu telah dinyatakan dalam bentuk hukum tertulis (undang-undang), melainkan juga tergantung dari faktor lain atau faktor eksternal dalam suatu sisten hukum. Sedangkan aliran positivisme hukum, memahami hukum sebagai suatu norma yang telah dinyatakan sebagai hukum yang diakui dalam suatu sistem hukum tertentu. Atas dasar perbedaan tersebut maka pemahaman tentang hukum menurut teori hukum alam bersifat normatif atau memiliki karakter normatif. Sedangkan menurut aliran positivisme, pemahaman tentang hukum adalah analisis putusan pengadilan semata-mata. Pemahaman teori hukum alam tentang hukum memiliki fungsi menetapkan sesuatu (perbuatan) yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan, sedangkan dari sudut pandang aliran positivisme, hukum harus dipahami sebagai sesuatu yang nyata atau tidak nyata. Inti pemahaman kedua aliran tesebut tentang hukum sering dibedakan denga istilah das sollen dan das sien.

            Kesimpulan sementara mengenai pandangan kedua aliran hukum di atas dan dilengkapi pandangan penulis tentang konsep hukum membuktikan bahwa (1) konsep hukum tidak statis; (2) konsep hukum bersifat relative dan seiraman dengan tingkat peradaban masyarakatnya; (3) konsep hukum tidak bebas nilai bahkan dipengaruhi faktor-faktor non-hukum, seperti faktor politik dan faktor ekonomi, dan aspirasi masyarakat; dan (4) konsep hukum berintikan nilai-nilai mengenai baik dan buruk, adil dan tidak adil, pasti dan tidak pasti, serta manfaat dan tidak bermanfaat. Inti dari kesimpulan sementara di atas adalah bahwa konsep hukum dapat dipahami sebagai sistem norma (karekter normatif), sebagai sistem prilaku (behavior) dan sebagai sistem nilai (values) yang merupakan bagian dari aktifitas masyarakat tertentu, pada waktu dan tempat tertentu.
            Perbedaan pandangan aliran teori hukum alam dan positivisme masih mendominasi pembahasan di antara para ahli hukum teoritik, bahkan sering menjadi bahan perdebatan dalam praktik penegakan hukum.

                H.L.A Hart, seorang tokoh aliran positivisme hukum dalam karyanya, “The Concept of Law” (1997) melengkapi penjelasan arti “positivisme” sebagai berikut:
            1. Penyataan bahwa hukum adalah perintah manusia;
            2. Pernyataan bahwa tidak ada hubungan yang penting antara hukum dan kesusilaan atau hukum sebagai apa adanya dan hukum yang diharapkan;
3. Pernyataan bahwa studi hukum harus dibedakan dengan studi hukum dari sudut historis, dari sudut sosiologis atau dari sudut kritis;
4. Pernyataan bahwa sistem hukum bersifat tertutup di mana putusan yang benar adalah yang tidak mempertimbangkan tujuan kesusilaan dan standar moral;
5. Pernyataan bahwa penilaian moralitas tidak dapat dipertahankan sebagai pernyataan mengenai fakta atas dasar argument rasional dan bukti-bukti.
           
            Kelima arti hukum dalam pandangan Hart tentang positivisme tersebut di atas mencerminkan betapa kuatnya pengaruh teori hukum murni dari Hans Kelsen. Pengaruh ajaran Kelsen dikembangkan oleh John Austin dan telah menyebar ke benua Eropa sampai ke Amerika Selatan, Inggris dan Amerika Serikat. Pendekatan Kelsen tentang hukum harus terbebas dari pengaruh sosiologi, sejarah, politik dan kesusilaan. Pendekatan Kelsen dikenal sebagai aliran positivisme yang menolak penilaian kesusilaan atau substansi kesusilaan di dalam hukum. Pendekatan Kelsen terhadap hukum sesungguhnya diilhami oleh Kekuasaan Tuhan; tidak ada kekuasaan manusia untuk menolak perintah Tuhan. Kelsen mewujudkan perintah Tuhan terhadap manusia melalui konsep hukum sebagai kehendak sang penguasa. Konsep hukum menurut Kelsen harus dipahami sebagai suatu otorisasi kepada pejabat untuk menerapkan hukuman jika standar perilaku yang telah menjadi norma tidak ditaati. Austin sebaliknya, konsep hukum harus dipahami sebagai perintah dan penguasa.
           
            H.L.A Hart  telah memberikan kritik terhadap konsep hukum sebagai perintah penguasa yang bersifat memaksa (Austin) yang diperkuat oleh penerapan sanksi, bahwa konsep hukum Austin memiliki tiga cacat : Pertama, dalam primary rules of the social structure, yaitu tidak mencermikan kepastian; cacat kedua, konsep hukum Austin bersifat statis, dan cacat ketiga, konsep hukum Austin tidak efisien. Hart mengemukakan bahwa ketiga cacat dalam primary rules of obligations (Austin), dapat diminimalisir dengan secondary rules, yang secara linear berhubungan erat satu sama lain, yang terdiri dari: rules of recognition, rules of change, dan rules of adjudications.
            Perkembangan konsep hukum setelah aliran positivisme yang penting untuk diketahui adalah aliran “Sosiological Jurisprudence” yang berasal dari Oliver Wendell Holmes (1841-1935). Pernyataan Holmes mengenai pembentukan hukum yang merupakan hasil deduktif dari yang mungkin tidak sejalan dengan putusan pengadilan, tetap saja merupakan hukum. Pernyataan Holmes tersebut dijadikan rujukan dan dimodernisasi oleh Eugen Ehrlich (1862-1922). Pernyataan Ehrlich terkenal sebagai pelopor aliran sosiological jurisprudence adalah, “pusat gravitasi perkembangan hukum sepanjang waktu dapat ditemukan, bukan di dalam perundand-undangan dan dalam ilmu hukum atau putusan pengadilan melainkan di dalam masyarakat itu sendiri”.

            Sistem kekuasaan kehakiman Indonesia berdasarkan UU RI Nomor 48 Tahun 2009 telah mengakui pandangan aliran sosiological jurisprudence, terbukti dengan dimasukkannya ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
            “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengakui dan memahami nilai-nilai            hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Bunyi kalimat dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut di atas dalam pandangan penulis menagndung aspek filosofis, sosiologis, teleologis dan yuridis. Aspek filosofis mengandung makna bahwa fungsi dan peranan hakim yang dikehendaki oleh undang-undang tersebut adalah “legislator’s judge”. Aspek sosiologis mengandung makna bahwa hakim harus peka dan tanggap terhadap nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Aspek teleologis mengandung makna bahwa hakim harus memahami tujuan pembentukan suatu undang-undang dan tujuan umum dari hukum yaitu memelihara ketertiban, kepastian hukum dan keadilan hukum serta kemanfaatan dalam satu rangkaian sistematis yang sepatutnya tercermin di dalam putusan pengadilan. Aspek yuridis mengandung makna bahwa dasar putusan hakim harus diletakkan pada undang-undang (hukum tertulis). Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU  Kekuasaan Kehakiman (2009) menurut penulis merupakan tonggak sejarah sistem hukum Indonesia yang mencerminkan pergeseran pendangan tentang konsep, fungsi dan peranan hukum yang selama ini didominasi oleh aliran positivisme hukum kepada aliran sosiological jurisprudence.

            Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan konsep hukum dalam bentuk suatu definisi yaitu hukum meliputi asas-asas dan kaidah (pendekatan normatif) serta meliputi lembaga serta proses-proses (pendekatan sosiologis) yang mewujudkan hukum ke dalam kenyataan kehidupan masyarakat. Pendapat penulis bahwa Mochtar telah berhasil bukan hanya membuat suatu definisi tentang hukum melainkan berhasil menemukan apa yang dimaksud dengan konsep hukum dalam pengertian dinamis yang meliputi keempat unsur-unsur di atas sebagai suatu rangkaian yang berhubungan satu sama lainnya dalam keadaan dinamis (bergerak).

            Satjipto Rahardjo tidak memberikan definisi tentang hukum melainkan telah mengemukakan hukum harus dipandang oleh teoritisi dan praktisi hukum, untuk manusia bukan sebaliknya. Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan hukum kritis yang dilandaskan pada aliran post-modernisme yang akan diuraikan nanti.

            Merujuk pada konsep hukum menurut Mochtar Kusumuatmdja dan Satjipto Rahadjo, jauh sebelumnya Friedman pada tahun 1975 telah menyatakan bahwa konsep hukum dapat dilihat dari 4 (empat) tipe:
1.      Hukum sebagai institusi yaitu pekerjaan hakim, polisis, penasehat hukum, pembentuk undang-undang dan badan administratif (pendapat ini memperkuat Paul Bohanan yang melihat hukum memiliki karakter publik. Bahkan Donald Black mendefiniskan hukum sebagai control sosial oleh pemerintah, meliputi setiap tindakan suatu lembaga politik yang berhubungan dengan tertib sosial atau pembelaannya). Pengikut konsep ini adalah John Austin dan Oliver Wendel Holmes;
2.      Hukum sebagai seperangkat peraturan. Ehrlich menyebut “the living law” atau pola perilaku dalam masyarakat;
3.      Hukum dilihat sebagai fungsi dan performanya atau definisi hukum secara fungsional dan fungsi hukum ini sangat berguna bagi perbandingan budaya hukum;
4.      Hukum dilihat sebagai suatu proses yang bersifat khusus atau suatu perintah. Pengikut tipe ini adalah Lon Fuller dan Philip Selznick.

Oval: Aliran Post-Modernisme
 



                 Mengapa aliran ini begitu penting untuk didiskusikan dalam buku ini ? Penulis mengamati perkembangan pesat pelajara teori hukum dan filasafat hukum dibeberapa perguruan tinggi yang tidak lepas dari pemikirna gurubesar hukum di perguruan tinggi tersebut, seperti munculnya Teori Hukum Pembangunan di Unversitas Padjajaran yang digagas dan dipelopori oleh Mochtar Kusumaatmadja dan munculnya Teori Hukum Progresif yang digagas dan dikembangkan oleh Almarhum Satjipto Rahadjo di Universitas Dipenogoro.

            Jika kia pelajari seksama aliran post-modernisme yang semula hanya suatu gerakan kebudayaan yang anti modernisasi dalam kehidupan masyarakat kini merambah pemikiran tentang hukum dan segala aktifitasnya. Sisi abik dari aliran ini adalah membangun daya kritis terhadap proses perkembangan pembentukan hukum (undang-undang) dalam masyarakat. Akan tetapi sisi negatifnya dari aliran ini adalah membangun juga pemikiran dan sikap anti kemapanan dengan meletakkan pemikiran anti-logis dan asimetrikal terhadap hukum serta dibenarkannya idieologi pertentangan (conflict) serta perbedaan (difference).

            Aliran ini cenderung berpaham pada irasionalisme sehingga tentu akan ada ketidaksepahaman dengan pola pemikiran evolutif mengenai perkembangan nalar dan kehidupan manusia termasuk yang tengah berkembang dan telah diajarkan sejak sebelum kemerdekaan tahun 1945.

BAGIAN KEDUA : TEORI HUKUM PERKEMBANGAN, TEORI HUKU PROGRESIF DAN TEORI HUKU INTEGRATIF

  1. Teori Hukum Pembangunan Generasi I

Teori Hukum Pembangunan mulai diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, pakar hukum Internasional, ketika menjadi pembicara dalam Seminar Hukum Nasional pada tahu 1973.

Pandangan Mochtar Kusumaatmadja tentang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional, kemudian dikenal sebagai Teori Hukum Pembangunan, diletakkan di atas premis yang merupakan inti ajaran atau prinsip sebagai berikut:
A.    Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan dan hukum berfungsi agara dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur menurut Mochtar, dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi keduanya. Beliau menolak perubahan yang tidak teratus dengan menggunakan kekerasan semata;
B.     Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan awal dari masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu sarana (bukan alat) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan;
C.     Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban melalui kepastian hukum dan juga hukum (sebagi kaidah sosial) harus dapat mengatur (membantu) proses perubahan dalam masyarakat;
D.    Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu;
E.     Implementasi fungsi hukum tersebut di atas hanya dapat diwujudkan jika hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan, akan tetapi kekuasaan itu sendiri harus berjalan dalam batas rambu-rambu yang ditentukan di dalam hukum itu.

Kelima inti Teori Hukum Pembangunan tersebut mencerminkan suatu pemikiran tentang hukum, sebagai berikut:
a.       Hukum hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat;
b.      Bahwa perkembangan hukum yang sejalan dengan perkembangan masyarakat juga dapat diciptakan melalui pembentukan perundang-undangan, tidak hanya putusan pengadilan;
c.       Hukum sebagai sarana dalam pembangunan bukan alat (tools) agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan tertib dan teratur;
d.      Bahwa kepastian hukum tidak boleh dipertentangkan dengan keadilan dan keadilan tidak boleh hanya ditetapkan sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan, melainkan harus sesuai dengan nilai-nilai (baik) yang berkembang dalam masyarakat.

  1. Teori Hukum Progresif

Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo berawal dari kegelisahannya bahwa setelah 60 tahun usia negara hukum, terbukti tak kunjung mewujudkan suatu kehidupan hukum yang lebih baik. Dengan keprihatinannya ia berkata:
            “Saya merasakan suatu kegelisahan sesudah merenungkan lanih dari enam puluh    tahun usia Negara Hukum Republik Indonesia. Berbagai rencana nasional telah            dibuat untuk mengembangkan hukum di negeri ini, tetapi tidak juga memberikan         hasil yang memuaskan, bahkan grafik menunjukkan tren yang menurun. Orang          tidak berbicara tentang kehidupan hukum yang makin bersinar, melainkan sebaliknya, kehidupan hukum yang makin suram”.
Inti dari pernyataan Satjipto Rahardjo di atas adalah bahwa hukum dalam kenyataan sesungguhnya merupakan perilaku yang dicontohkannya dengan kasus Millie Simpson dan kisah sepucuk surat orang Jepang kepada sesame kawan bisnisnya orang Indonesia.

Pandangan Satjipto Rahardjo mengenai karakteristik dan fungsi serta peranan hukum dalam pembangunan olehnya dibedakan dalam dua hal, yaitu :
a.       Hukum selalu ditempatkan untuk mencari landasan pengesahan atas suatu tindakan tang memegang teguh ciri procedural dari dasar hukum dan dasar peraturan;
b.      Hukum dalam pembangunan adalah bersifat instrumental yang telah mengalami pertukaran dengan kekuatan-kekuatan diluar hukum sehingga hukum menjadi saluran menjalankan keputusan politik atau sebagai sarana perekayasaan sosial.

Pandangan Teori Hukum Progresif menurut Satjipto Rahardjo merupakan suatu penjelahan suatu gagasan yang berintikan 9 (Sembilan) pokok pikiran sebagai berikut:
a.       Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan berbagi paham dengan aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sosiological jurisprudence, teori hukum alam dan critical legal studies;
b.      Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kengaraan;
c.       Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum;
d.      Hukum menolak status-qou serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral;
e.       Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusis kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia;
f.       Hukum Progresif adalah, “hukum yang pro rakyat” dan “hukum yang pro keadilan”;
g.      Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa “hukum untuk manusia”, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum;
h.      Hukum bukan  merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu;
i.        Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).

Kesembilan pokok pemikiran Teori Hukum Progresif jika dibandingkan dengan kelima pokok pemikiran Teori Hukum Pembangunan, tampak persamaan dan perbedaannya:
-          Persamaannya adalah secara teroritis Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif mendasarkan pada teori yang sama yaitu sosiological juricprudence dan pragmatic legal realisme. Namun Teori Hukum Progresif diperkuat dengan pengaruh aliran studi hukum kritis yang cendrung apriori terhadap segala keadaan dan bersikap “anti-foundationalisme”. Teori hukum ini tidak meyakini keberhasilan aliran “analytical jurisprudence”dalam penegakan hukum.
-          Perbedaannyan adalah pada tolak pangkal pemikirannya:
a.       Mochtar beranjak dari bagaimana memfungsikan hukum dalam proses pembangunan nasional. Sedangkan Satjipto beranjak dari kenyataan dan pengalaman tidak bekerjanya hukum sebagai suatu sistem perilaku;
b.      Mochtar menegaskan bahwa kepastian hukum dalam arti keteraturan masih harus dipertahankan sebagai pintu masuk menuju kearah kepastian hukum dan keadilan. Sedangkan Satjipto menyatakan bahwa demi kepentingan manusia, maka hukum tidak dapat memaksakan ketertiban kepada manusia, sebaliknya hukum yang harus ditinjau kembali, dan menambahkan bahwa hukum untuk manusia bukan sebaliknya serta hukum dijalankan dengan nurani.




  1. Teori Hukum Integratif

Inti pemikiran Teori Hukum Integratif adalah merupakan perpaduan pemikiran Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif dalam konteks Indonesia yang terinspirasi oleh konsep hukum menurut Hart.

Dari sudut kepentingan pembangunan hukum, Indonesia menghadapi tantangan global, baik dalam bidang ekonomi, keuangan dan perdagangan maupun tantangan dan ancaman dari perkembangan kejahatan global sebagai efek samping globalisasi ekonomi dunia. Dalam konteks tantangan tersebut, Teori Hukum Integratif dapat digunakan untuk menganalisis, mengantisipasi dan merekomendasikan solusi hukum yang tidak hanya mempertimbangkan aspek normatif, melainkan juga aspek sosial, ekonomi, politik dan keamanan nasional dan internasional.

Bertitik tolak dari uraian di atas, Teori Hukum Integratif harus dipahami dalam pengertian yang dinamis, tidak bersifat status qou, dan pasif, melainkan hukum memiliki mobilitas fungsi dan peranannya secara aktif sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat nasional dan internasional dari waktu ke waktu. Selain itu, Teori Hukum Integratif dapat dikembangkan sebagai model analisis hukum yang bersifat komprehensif dan holistic dalam menghadapi dan mangantisapasi perkembangan nasional dan internasional dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.

Pandangan Teori Hukum Integratif berbeda pandangan dengan Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif karena Teori Hukum Integratif tidak hanya menjadi landasan pengkajian masalah pembangunan nasional dalam konteks “inward looking”, melainkan juga dalam kontek pengaruh hubungan internasional ke dalam sistemn kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan dalam praktik hubungan internasional di tengah era globalisasi sering terjadi bahwa negara berkembang termasuk Indonesia telah menjadi “korban” dari sikap negara maju yang bersifat hipokrit dan lebih mementingkan kepentingan nasionalnya dari kepentingan kemajuan bersaman bangsa-bangsa negara berkembang.

Teori Hukum Integratif membentuk suatu bangunan piramida sistem hukum yang berbeda secara mendasar dari pandangan teori chaotic dan disorder tentang hukum. Teori hukum ini memandang bahwa di dalam bangunan piramida sistem hukum terbentuk relasi interaksionis dan hirarkis antara sistem nilai, sistem norma, dan sistem perilaku dalam satu kesatuan sistem sosial. Teori Hukum Integratif berbeda tajam dari pemikiran teori konflik dan menguatkan pemikiran bahwa teori “musyawarah dan mufakat” atau “teori dialog dua arah” merupakan kata kunci keberhasilan memerankan fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

Teori Hukum Integratif memberikan solusi dari persoalan hukum dalam masyarakat dan tidak sepakat dengan teori chaotic hukum dan teori hukum asimetris yang selalu mempertentangkan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara serta menempatkannya dalam posisi berhadap-hadapan, dan tidak berdampingan.

Dalam pembangunan nasional, termasuk pembentukan hukum dan penegakan hukum, Teori Hukum Intergatif tidak hanya meneguhkan bagaimana seharusnya hukum berperan dalam kehidupan masyarakat, melainkan juga dapat digunakan sebagai parameter:
a.       Untuk menilai persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah NKRI;
b.      Keberhasilan penegakan hukum sesuai dengan jiwa bangsa;
c.       Proses harmonisasi hukum internasional menjadi bagian dari sistem hukum nasional.

Dampak Teori Hukum Integratif  terhadap bidang pendidikan hukum sangat nyata karena paradigm yang dibangun adalah menciptakan hukum bukan semata-mata sebagai media membangun kecerdasan dan kematangan intelektual, melainkan juga membangun kemanusiaan yang peduli terhadap masalah ketidakpastian hukum, ketidakadilan dan kerentanan sosial bangsa Indonesia.