TEORI DAN HUKUM KONSTITUSI

TEORI KONTITUSI
TEORI DAN HUKUM KONSTITUSI

PARADIGMA KEDAULATAN DALAM UUD 1945 (PASCA PERUBAHAN) IMPLIKASI DAN IMPLEMENTASI PADA LEMBAGA NEGARA
JUDUL BUKU   : TEORI DAN HUKUM KONSTITUSI
PENULIS           : Dr. ASWAR C.SH. MH
PENERBIT        : SETARA PRESS MALANG 2015
PERESEME       : ADRENAL STEZEN, SH
                    MAHASISWA MAGISTER ILMU HUKUM UMM
Bab I : Pendahuluan
Dikalangan ahli tata negara,banyak yang berpendapat bahwa terdapat kelemahan-kelemahan dalam UUD 1945 (naskah asli), seperti kurangnya sistem checks and balances, sifatnya yang multi interpretable dan executive heavy. Materi muatan yang terlalu umum (sederhana),dan kurang lengkap.[1]Alasan pembenar perlunya penyempurnaan UUD 1945(naskah asli),dikemukakan oleh Mukthie Fadjar dalam perspektif yang lebih luas,berdasarkan beberapa alasan - alasan histori, alasan filsafat, alasan teoritis, alasan yuridis, dan alasan praktis politis.[2] Kurangnya dasar-dasar checks and balances dapat dilihat dalam rumusan pasal 1ayat (2) UUD 1945(naskah asli), bahwa “Kedaulatan ada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Berdasarkan rumusan pasal 1 ayat (2) UUD 1945, Sri Soemantri M,[3] berpendapat bahwa MPR merupakan satu-satunya alat perlengkapan Negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat.[4] Berdasarkan rumusan itu, ditafsirkan bahwa seolah-olah  kedaulatan di tangan rakyat beralih sepenuhnya kepada MPR untuk bertindak sebagai penyelenggara Negara tertinggi, padahal kedaulatan itu tetap di tangan rakyat, MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.

Kekuasaan MPR yang sangat besar ini, menempatkan sebagai lembaga tertinggi Negara sebagai puncak dari struktur ketatanegaraan kita. Secara teoritis, kekuasaan MPR yang sangat besar menyebabkan MPR tidak mudah dikontrol oleh lembaga Negara yang ada. Pelaksanaan rakyat sepenuhnya diserahkan  pada mekanisme konstitusi.
Konsepsi tentang kedaulatan 
Kedaulatan terbagi atas dua aspek, yakitu kedaulatan internal dan kedaulatan eksternal [1]kedaulatan eksternal berkaitan dengan kedaulatan dalam hubungan antara satu Negara dengan Negara lain yang merupakan objek kajian hukum internasional, sedangkan kedaulatan internal adalah kedaulatan dalam hubungan dengan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara, yang merupakan objek kajian hukum  tata negara yang menjadi objek peneliti .
Hal ini berbeda dengan UUD 1945 (perubahan), dimana paham kedaulatan hukum sering dikaitkan dengan penjelasan UUD 1945, pada bagian sistem pemerintahan  Negara  angka romawi satu, nomor satu bahwa Negara  Indonesia berdasarkan satu hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan satu kekuasaan belaka (machtsstaat)”[2]. Namun dalam paham kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan, alasan yang menjadi dasar pada intinya sama dengan UUD 1945 setelah perubahan. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Ismail Suny, bahwa UUD 1945 (naskah asli) menganut ajaran kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum sekaligus.[3] Disamping ketiga ajaran tersebut ,UUD 1945 juga memiliki kemungkinan menganut ajaran kedaulatan negara. Secara historis kedaulatan Negara sesungguhnya kelanjutan dari kedaulatan raja, padahal UUD 1945 secara tegas tidak mengikutinya, karena itu ajaran kedaulatan Negara juga tidak dianut. Akan tetapi, secara substansi kemungkinan dianut ajaran kedaulatan Negara juga ada, sebagai misal rumusan dalam pasal 33 UUD 1945.
Dengan demikian, UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan keempat, secara substansi dapat diasumsikan menganut paham kedaulatan Tuhan, kedaulatan Negara, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum. Adapun asumsi yang dipakai penelitian ini, bahwa kemungkinan UUD 1945 menganut empat ajaran  kedaulatan (Tuhan, Negara,rakyat dan hukum, ) berangkat dari pemahaman teoritik bahwa kedaulatan adalah konsep tentang kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara, akan tetapi jika dicermati lebih jauh  bahwa adanya kempat ajaran tersebut merupakan hal yang penting dan mendasar untuk diketahui, sebab konsepsi kedaulatan pada hakekatnya mempersoalkan tentang bagaimana Negara itu di kelolah, tentunya bergantung pada siapa yang memiliki kedaulatan dalam suatu negara. Demikian pula pemahaman tentang siapakah atau lembaga Negara apakah yang merupakan pelaksanaan  kedaulatan, juga menjadi hal yang penting, karna hal itu terkait dengan kekuasaan,tugas dan wewenang  yang menjadi pelaksanaan kedaulatan tersebut.
Dalam kaitan dengan kedaulatan yang dianut di Indonesia, persoalannya adalah, apakah UUD 1945 menganut salah satu dari lima teori kedaulatan diatas, ataukah lebih dari satu. Pembuat UUD 1945 sejak mula memilih bentuk pemerintahan Republik,[4] sehingga dengan sendirinya pemerintah yang terbentuk  kerajaan atau kedaulatan raja tidak di kehendaki. Teori kedaulatan Negara merupakan kelanjutan teori kedaulatan raja, padahal UUD 1945 tidak menganut teori kedaulatan raja,karena itu secara historis, UUD 1945 tidak menerima kedaulatan Negara, akan tetapi secara substabsi, pengakuan bahwa Negara memegang kekuasaan tertinggi  dalam  Negara, seperti dalam hal penguasaan bumi, air, dan sumber daya alam lainnya oleh Negara (external sovereignty) merupakan teori yang lebih banyak bersinggungan antara Negara Indonesia dengan Negara lainnya. Berangkat dari pemahaman bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara, maka kedaulatan Tuhan dianut dalam UUD 1945, sebagaimana tertuang dalam aline ketiga dan keempat  pembukaan UUD 1945 dan juga terdapat dalam pasal 29 UUD 1945  kedaulatan rakyat merupakan prinsip  dasar dalam bernegara pada Negara kebangsaan yang tumbuh sejak abad ke-18 kedaulatan rakyat juga menjadi pilihan perumus UUD 1945. Hal itu dapat dikemukakan dalam alinea keempat  pembukaan UUD 1945 berbunyi “ Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat….,”
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan kesimpulan awal-asumsi bahwa UUD 1945 menganut kedaulatan Tuhan, kedaulatan Negara, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seyogyanya dapat berjalan secara seiring. Kedaulatan Tuhan merupakan konsekuensi bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara harus dilaksanakan sesuai dengan petunjuk nya. Kedaulatan Negara,memberi makna bahwa kepentingan Negaralah yang menjadi prioritas dalam penyelenggaraan Negara. Dalam hubungan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, kedaulatan Negara, maka kedaulatan Tuhan menjiwai pelaksanaan ketiga kedaulatan itu. Kedaulatan rakyat atau kerakyatan, secara harfiah bearti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat disebut Negara demokrasi, yang secara simbolis sering di gambarkan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,dan untuk rakyat (from the people,of the people,for the people).dengan demikian kedaulatan rakyat atau demokrasi berkaitan dengan kekuasaan.jadi kedaulatan adalah konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara.
Kedaulatan rakyat atau demokrasi dalam suatu Negara kebangsaan modern tidak dapat dilepas dengan kedaulatan hukum, karena itu perlu juga diuraikan. Menurut teori kedaulatan hukum yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara adalah hukum itu sendiri.berkaitan uraian diatas apakahnegara Indonesia juga menganut Negara hukum dalam UUD 1945 (sebelum perubahan) istilah “Negara hukum” sering pula dijadikan dasar adanya Negara hukum dalam pasal 24 UUD 1945 sering pula dijadikan dasar Negara hukum pada penjelasan pasal tersebutlah yang mempertegas danya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Kekuasaan kehakiman inilah yang merupakan prasyarat penting bagi suatu Negara hukum.pada perubahan III UUD 1945, istilah Negara hukum dengan tegas di cantumkan dalam pasal 1 ayat 3 pemuatan pasal ini biasa di pandang sebagai penegasan dianutnya konsep Negara hukum dalam UUD 1945.
Prinsip Negara hukum harus dijamin dalam suatu konstitusi, namun di sisi lain konstitusi merupakan instrument dari Negara hukum, karena itu pula perlu diuraikan teori konstitusi. Istilah konstitusi berasal dari bahasa parancis (constituer) yang berarti membentuk pemakaian istilah konstitusi yang di maksud ialah pembentukan suatu Negara atau penyusunan.

Bab II : Tinjauan Teoritis Tentang Kedaulatan
A.      Perkembangan Teori Kedaulatan
Kedaulatan berasal dari kata latin “superanus” yang mempunyai arti tinggi.[5] Selain kedaulatan internal, dalam teori juga di kenal adanya kedaulatan eksternal. Berdasarkan pengertian yang di berikan C.F. strong, dapat di ketahui bahwa kedaulatan eksternal adalah kedaulatan dalam kaitan hubungan antara suatu Negara dengan Negara lain, dan sesungguhnya merupakan objek kajian hukum internasional, sedangkan kedaulatan iternal adalah kedaulatan dalam kaitan kekuasaan dalam suatu Negara, yang merupakan objek kajian hukum tata Negara.
Aspek yang penting dalam hubungannya dengan kedaulatan internal adalah siapakah pemegang kedaulatan,siapa pelaksana kedaulata, bagai manakah melaksanakan kedaulatan itu, apa yang menjadi objek kedaulatan, menurut Jack H. Nagel, bahwa setiap analisis mengenai konsep kekuasaan ada dua hal yang terkait, yaitu lingkup kekuasaan  (scope of power) dan jangkauan kekuasaan  (domain of power). Lingkup kekuasaan menunjuk pada kegiatan, tingkah laku serta sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi objek dari kekuasaan sedangkan jangkauan kekuasaan berkaitan dengan sikap yang menjadi subjek dan pemegang kekuasaan atau kedaulatan.[6] Menyangkutsiapa yang berdaulat dalam suatu Negara,dalam ilmu hukum di kenal adanya berapa teori. Sri soemantri, mengemukakkan empat teori kedaulatan  yaitu kedaulatan tuhan, kedaulatannegara, kedaulatan hukum, kedaulatan dan kedaulatan rakyat. Mohammad Kosnardi menyebut ada lima teori kedaulatan yaitu kedaulatan Tuhan,kedaulatan raja, kedaulatan rakyat, kedaulatan negara, kedaulatan hukum. Berdasarkan pandangan para ahli dan komisi kostitusi di atas bawa semuany sependapat dengan empat teori kedaulatan.
1.        Teori Kedaulatan Tuhan
Menurut teori kedaulatan Tuhan, yang berdaulat yang memiliki kekuasaan tertinggi ialah Tuhan. Merupakan konsekuensi bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam raya berserta isinya, sehingga bagaimana mengatur mengelolah dunia dan suatu Negara sepenuhnya menurut kehendak Tuhan.
Menurut sejarah, teori kedaulatan Tuhan adalah teori yang paling tua yang menjawab perihal pemegang kedaulatan dalam suatu Negara teori ini berkembang di eropa pada abad pertengahan antara abad ke v sampai abad  xv. Perkembangan teori ini sangat erat dengan perkembangan agama baru yang timbul pada saat itu agama Kristen.
2.        Teori Kedaulatan Raja
Menurut teori kedaulatan raja, rajalah yang memiliki kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara.[7] Selain mendasarkan teori kedaulatan raja atas kehendak Tuhan, adapun mendasar kekuasaannya karena hak milik atas tanah ataupun yang mendasarkan atas kekuatan. Dan berdasarkan keturunan dan diterima di masyarakatnya berdasarkan tradisi.
3.        Teori Kedaulatan Negara
Teori kedaulatan Negara timbul akibat petentangan para penganut teori kedaulatan tuhan yang mempunyai pengaruh besar terhadap raja atau pun penguasa Negara,  bahkan menjadi ciri umum sistem pemerintahan Negara yang kemudian berkembang menjadi sistem pemerintahan yang berdaulat. Teori kedaulatan Negara merupakan kelanjutan teori kedaulatan raja yang memerintah sepenuhnya berdasarkan sandaran kehendak tuhan. Ajaran ini timbul di jerman untuk mempertahankan kedudukan raja yang pada waktu itu mendapatkan dukungan dari tiga lapisan masyarakat yang besar pengaruhnya, yaitu golongan bangsawan ,golongan angkatan perang, dan golongan alat-alat pemerintah.
4.        Teori Kedaulatan Rakyat
Immanuel Kant merupakan pengikut teori kedaulatan rakyat, ia mengatakan bahwa tujuan Negara itu untuk menegakan dan menjamin kebebasan para warganegara, dalam pengertian kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan, sedang yang berhak membuat undang-undang adalah rakyat itu sendiri. Jadi undang-undang penjelma kemauan rakyat,dengan demikian rakyat yang memegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan dalam Negara tersebut.


5.        Teori Kedaulatan Hukum
 Kedaulatan hukum lahir sebagai reaksi terhadap teori kedaulatan negara, yang menentukan bahwa satu-satunya dasar bagi hukum ialah Negara dan wibawanya, sebaliknya menurut Hugo Krabbe, sumber dan ukuran bagi mengikatnya hukum ialah perasaan dan kesadaran hukum rakyat. Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts_souvereiniteit yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara adalah hukum itu sendiri. Karena baik raja atau tunduk kepada hukum jadi menurut Krabbe berpendapat bahwa yang menjadi sumber hukum adalah hukum itu sendiri.  Karena raja atau penguasa ataupun rakyat atau warga Negara, bahkan Negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum.  Jadi menurut Krabbe yang berdaulat itu adalah hukum. Selanjutnya, menurut Kranenburg, hukum positif tidak dapat ditetapkan berdasarkan kemauan pemerintah, akan tetapi hendaklah memperhatikan rasa hukum atau kesadaran hukum masing-masing. Pendapat Kranenburg ini bahwa kedaulatan hukum tidak berdiri sendiri, secara implicit mengakui bahwa dalam Negara disamping ada kedaulatan hukum juga ada kedaulatan lainnya. Selain Krabbe, Hans Kelsen juga termasuk pelopor kedaulatan hukum namun versi lain. Jika Krabbe memahami kedaulatan hukum bersumber pada kesadaran hukum masyarakat, maka Hans Kelsen berpendapat hukum itu berlaku tanpa menunggu penerimaan dari rakyat karena sifat hukum imperatif.
Berangkat dari asumsi bahwa UUD 1945 menganut teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan Negara, teori kedaulatan rakyat dan teori kedaulatan hukum. Oleh karena teori kedaulatan Tuhan lebih tepat di kaji dalam perspektif teologi, maka teori ini tidak di uraikan secara khusus, karena itu dalam uraian teori ini di paparkan lebi lanjut teori kedaulatan rakyat atau demokrasi dan teori kedaulatan hukum dengan instrumennya adalah teori Negara hukum dan teori konstitusi.






B.       Kedaulatan Rakyat atau Demokrasi
Negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat disebut Negara demokrasi, yang secara simbolis sering digambarkan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (from the people, of the people, for the people).[8]
Henry B. Mayo menyebut beberapa nilai yang terkandung dalam demokrasi (The specific values of a democratic) pada umumnya sebagai berikut:
1.      The peaceful voluntary adjustment of dispute and instituitionalized peaceful settlement of conflict;
2.      Ensuring peaceful change in changing society:
3.      The orderly succession of rules;
4.      That of the minimum of coercion;
5.      That of diversity;
6.      The attainment of justice.
Jadi, nilai demokrasi adalah menyelesaikan perselisihan dengan damai, menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah, menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur, membatasi pemakaina kekerasan secara minimum, mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman, dan menjamin tegaknya keadilan.
Pandangan tentang kedaulatan rakyat atau demokrasi.sebagaimana dikemukakan oeh Soekarno dan Mohammad Hatta secara konsisten sering dikemukakan dalam pidatonya yaitu “kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang member hidup dan mampu mendatangkan kesejahteraan sosial”. Permusyawaratan menurut Soekarno dapat dijalankan oleh badan permusyawaratan yang bersama-sama masyarakat sehingga dapat mewujudkan politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid. Berdasarkan pengertian demokrasi sebagaimana dikemukakan kedua tokoh proklamator dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi untuk Indonesia merdeka berbeda dengan konsep demokrasi yang berkembang di Barat pada waktu itu. Jika konsep demokrasi barat lebih menonjolkan demokrasi dalam artian politik, maka dapat dikembangkan menjadi demokrasi ekonomi.
Demokrasi atau kedaulatan rakyat dalam UUD 1945 dilaksanakan secara bertingkat melalui MPR tang terdapat dalam rumusan Pasal 1 ayat 2, bahwa “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Berdasarkn rumusan ini bahwa UUD 1945 menganut konsep kedaulatan rakyat yang dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Dengan kata lain kedaulatan rakyat tidak dijalankan ole lembaga Negara yang lain hanya dilakukan oleh satu lembaga Negara saja yaitu MPR.

C.       Kedaulatan Hukum
Kedaulatan hukum memandang bahwa yang berdaulat dalam suatu Negara adalah hukum itu sendiri. Teori kedaulatan hukum tidak dapat dilepaskan dari instrument teori Negara hukum dan teori konstitusi sebab dalam perkembangan hubungan antara hukum dan Negara pada masa kini, teori Negara hukum dan teori konstitusi merupakan pilar utama dari kedaulatan hukum. Karena itu, dalam uraian tentang teori kedaulatan hukum, difokuskan pada teori Negara hukum dan teori konstitusi.
1.      Teori Negara Hukum
Istilah Negara hukum berkaitan dengan paham rechsstaat dan the rule of law juga berkaitan dengan paham Nomocracy yang berasal dari Nomos dan Cratos; Nomos berarti norma sedangkan Cratos adalah kekuasaan, ialah kekuasaan oleh norma atau kedaulatan hukum.[9]
Menurut AV. Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberikan pengertian the rule of law sebagai berikut:
a.       Supremasi hukum, tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum;
b.      Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyaat maupun pejabat
c.       Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan.[10]
Unsur-unsur Negara hukum Indonesia menurut Azhary, mengemukakan sebagai berikut[11]:
a.       Hukum bersumber pada Pancasila;
b.      Berkedaulatan rakyat;
c.       Sistem konstitusi;
d.      Persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bagi setiap warga Negara;
e.       Kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain;
f.       Pembentuh undang-undang adalah Presiden bersama-sama dengan DPR; dan
g.      Dianutnya sistem MPR.
Unsur-unsur Negara hukum dapat di bandingkan dengan kesimpulan Muhammad Tahir Azhary tentang ciri-ciri Negara ukum Pancasila yang terlebih daulu mengemukakan pandangan Oemar Seno Adji dan Padmo Wahyono,unsur-unsur itu adalah: (1) ada hubungan yang erat antara agama dan negara; (2) bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; (3) Kebebasan beragama dalam arti yang positif; (4) Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; (5) asas kekeluargaan dan kerukunan.
2.      Teori Konstitusi
2.1. Pengertian Konstitusi
Menurut Rukmana Amanwinata, [12]istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia antara lain berpadanan dengan kata constitution, “constitutie”, “constitutional”, “Verfassung”, “constitution”. Istilah konstitusi menurut Wirjono Prodjodikoro berasal dari kata “constituer” yang berarti membentuk, jadi konstitusi berarti pembentukan.
K.C. Wheare, mengemukakan bahwa pengertian konstitusi dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas yaitu untuk menggambarkan seluruh system ketatanegaraan suatu Negara, kumpulan peraturan yang sebagian bersifat legal dan sebagian bersifat extra-legal berupa kebiasaan, persetujuan, adat atau konvensi.[13] Dalam arti sempit konstitusi untuk menggambarkan seluruh kumpulan peraturan, baik legal maupun non legal, tetapi hasil seleksi dari peraturan-peraturan yang biasanya terwujud dalam satu dokumen atau beberapa dokumen yang terkait secara erat.
J.Th.J. Van den Berg memberikan rumusan konstitusi adalah: “het geheel van rechtstregeld en rechtsnormendie vorm geven aan het staatsbestuur, het verkeer tussen staat enburgers regelen en een aantal fundamentele rechten van burgers erkennen”.[14](kesemua ketentuan-ketentuan hukum dan norma-norma hukum yang memberikan bentuk kepada pemerintahan Negara yang mengatur hubungan antara Negara dan warga Negara dan yang mengakui beberapa hak-hak dasar dari warga).
Menurut Sri Soemantri[15], pada umunya materi konstitusi atau undang-undang dasar mencakup tiga hal yang fundamental:
1.      Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya;
2.      Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu Negara yang bersifat fundamental;
3.      Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Secara umum pengertian konstitusi yang dikemukakan para ahli relatif sama, bahwa konstitusi dibuat untuk mengatur pembagian dan pembatasan kekuasaan dalam Negara, mengatur perlindungan konstitusional HAM, dan mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat.
2.2. Fungsi Konstitusi
Menurut Henc van Maarseven dan Ger van der Tang[16], Fungsi konstitusi adalah sebagai berikut :
a.       Ideologi function.
b.      Nationalistic function.
c.       Structuring function.
d.      Rationalizing function.
e.       Public relations fungtion.
f.       Registration function.
g.      Symbol function.
h.      Barrier function.
Mengenai fungsi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai suatu konstitusi, Bagir Manan berpendapat :
a.       Merupakan pencerminan dari keadaan masyarakat;
b.      Merupakan pedoman mengenai tujuan Negara;
c.       Merupakan pembatasan kekuasaan penguasa;
d.      Merupakan perlindungan warga Negara;
e.       Merupakan dasar dari segala peraturan perundang-undangan dalam Negara. UUD 1945 merupakan Basic Lawfundamental law Negara Republik Indonesia.[17]

2.3. Klasifikasi Konstitusi
  Berdasarkan beberapa ahli konstitusi ternama antara lain: Henc van Maarseveen & Ger van der Tang, C.E. Strong, James Bryce, dan K.C. Wheare, melakukan klasifikasi terhadap konstitusi. Ada beberapa kemungkinan dalam mengklasifikasikan konstitusi, yaitu:
1.      Konstitusi tertulis dan konstitusi bukan tertulis (written constitution and unwritten constitution);
2.      Konstitusi fleksibel dan konstitusi rijid ( flexible constitution and rigid constitution);
3.      Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi (supreme constitution and not supreme constitution);
4.      Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal constitution and unitary constitution);
5.      Konstitusi system pemerintahan presidensial dan konstitusi system pemerintaan parlementer ( presidential executive and parliamentary executive constitution );
6.      Konstitusi republik dan konstitusi monarki (republican constitution and monarchical constitution).
Bab III : Konsepsi Kedaulatan Menurut UUD Negara RI
A.    Kedaulatan Menurut UUD 1945 (Naskah Asli)
1.      Latar Belakang Lahirnya UUD 1945 (Naskah Asli)
Secara garis besar, kelahiran UUD 1945 (sebelum perubahan) melalui tiga tahapan penting:
1.      Janji Jepang memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia setelah Jepang menyadari pentingnya dukungna rakyat Indonesia dalam menghadapi sekutu Amerika Serikat.
2.      Pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
3.      Pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
BPUPKI melaksanakan sidang pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan 16 Juli 1945. Sidang-sidang tersebut terbagi atas dua bagian, sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945, sidang ini yang menjadi topik pembicaraan adalah mengenai dasar Negara.[18] Sidang kedua pada tanggal 10 Juli 1945 sampai dengan 16 Juli 1945 dalam persidangan ini ketua BPUPKI Dr. K. R. T. Radjiman Wediodiningrat membagi anggota dalam tiga panitia yaitu Panitia I: Perancang UUD  berjumlah 19 orang, sebagai ketua ditunjuk Soekarno; Panitia II: Panitia Pembelaan Tanah Air, berjumlah 22 orang, sebagai ketua ditunjuk Abikusno Tjokrosujoso; Panitia III: Panitia Keuangan dan Perekonomian, berjumlah 22 orang sebagai ketua ditunjuk Mohammad Hatta.[19]



2.      Konsepsi Kedaulatan Menurut UUD 1945 (Naskah Asli)
Untuk mengerti konsepsi kedaulatan menurut UUD 1945 terlebih dahulu harus memahami pengertian UUD 1945. Dilihat dari tiga segi, yaitu segi yuridis, historis dan teoritis.[20] Secara teoritis tidak terdapat keseragaman mengenai pengertian UUD 1945. Ada juga pendapat yang menetapkan UUD 1945 terdiri dari Pembukan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Sebagaimana dengan judul penelitian ini, maka pangkal analisis yang digunakan dalam menganalisis konsepsi kedaulatan adalah UUD 1945. Secara historis UUD 1945 adalah undang-undang dasar yang ditetapkan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kemudian ditetapkan (dinyatakan) berlaku kembali melalui dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959. Secara teoritis, UUD 1945 adalah sebagian dari (Hukum) Konstitusi RI. Secara yuridis, UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh.

3.      Pelaksana Kedaulatan Menurut UUD 1945 (Naskah Asli)
UUD 1945(sebelum perubahan) menganut teori Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Negara, kadaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum. Keempat teori kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945 tidak perlu di pertentangkan antara satu dengan lainnya. Kedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, untuk kejayaan bangsa dan Negara, yang di jiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dapat pula dikemukakan bahwa pertama-tama kedaulatan Tuhan terpatrih dalam diri manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, manusia dalam suatu Negara atau rakyatlah yang diserahi amana oleh Tuhan dalam mengelola Negara, dalam hal ini kedaulatan rakyat dalam melaksanakan kedaulatannya melalui mekanisme kenegaraan membuat produk hukum, hukum ini harus dapat mencerminkan prinsip-prinsip ajaran Tuhan dan prinsip-prinsip perlindungan HAM sebagai instrumen penting dari kedaulatan rakyat, demi kejayaan bangsa dan Negara.
Sri Soemantri berpendapat bahwa perkataan”sepenuhnya yang tertera pada pasal ! ayat (2) UUD 1945 harus diartikan bahwa kedaulatan rakyat tidak dijalankan oleh lembaga Negara lain, selain MPR.[21]  ” dengan kata lain, MPR adalah mandataris rakyat, bukan penerima delegasi. Sebagai penerima mandate, MPR hanya dapat bertindak berdasarkan kehendak rakyat yang diwakili, itu sebabnya MPR harus pandai-pandai memahami aspirasi dari rakyat sebagai pemberi mandat.

B.     Kedaulatan Menurut Konstitusi RIS 1949
1.      Latar belakang lahirnya Konstitusi RIS 1949
Rancangan Konstitusi RIS disiapkan oleh kedua delegasi Indonesia, Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor federal overleg (pertemuan untuk permusyawaratan),  selama sidang konprensi meja bundar. Pada tanggal 14 Desember 1949 telah disepakati dan penandatanganan suatu piagam persetujuan UUDS yang diambil dalam sidang pleno Komite Nasional Pusat dan badan-badan perwakilan daerah bagian lainnya,wakil pemerintah RI dan wakil pemerintah Daerah lainnya. Konstitusi RIS 1949 dimaksudkan hanya berlaku sementara, sifat kesementaraan ini dikemukakan dalam pasal 186 bahwa “konstituante (sidang pembuat konstitusi) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan konstitusi Republik Indonesia serikat yang akan menggantikan konstitusi sementara.
2.      Konsepsi kedaulatan menurut konstitusi RIS 1949
Konstitusi RIS 1949 terdiri dari mukadimah dan batang tubuh yang meliputi enam bab dab 197 pasal. Bab 1 tentang Negara Republik Indonesia Serikat, terdiri atas enam bagian, bagian pertama perihal Bentuk Negara dan kedaulatan, bagian kedua perihal daerah Negara, bagian ketiga perihal lambing dan bahasa Negara, bagian empat perihal Kewarganegaraan Indonesia dan penduduk Negara, bagian kelima perihal Hak-Hak dan Kebebasan-kebebasan dasar manusia, dan bagian keenam perihal Asas-Asas dan dasar. Bab II tentang Republik Indonesia serikat dan daerah bagian terdiri dari daerah bagian babakan satu, ketentuan umum, bagian kedua perihal Pembagian Penyelenggaraan Pemerintahan antara Republik Indonesia Serikat dengan Daerah bagian, dan bagian ketiga perihal Daerah-daerah Swapraja. Bab III tentang Perlengkapan Republik Indonesia Serikat, terdiri dari lima bagian, yaitu bagian pertama perihal Pemerintah, bagian kedua perihal Senat, bagian ketiga perihal Dewan Perwakilan Rakyat, bagian keempat perihal Mahkamah Agung, dan bagian kelima perihal Dewan Pengawas Keuangan, Bab IV tentang Pemerintahan terdiri dari enam bagian yaitu bagian pertama perihal Ketentuan-ketentuan Umum, bagian kedua perihal Perundang-undangan, bagian ketiga perihal Pengadilan, bagian keempat perihal Keuangan, bagian kelima perihal Perhubungan Luar Negeri, dan bagian keenam perihal Pertahanan Kebangsaan dan Keamanan Umum. Bab V tentang Konstituante tidak terbagi atas bagian-bagian tapi meliputi empat pasal. Bab VI tentang Perubahan, Ketentuan-ketentuan Peralihan dan Ketentuan-ketentuan Penutup terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian satu perihal Perubahan, bagian dua perihal Ketentuan-ketentuan Peralihan, dan bagiantiga perihal Ketentuan-ketentuan Penutup.     
3.      Pelaksana Kedaulatan Menurut Konstitusi RIS 1949
Pasal 1 ayat (2) Konstitusi RIS berbunyi : Kekuasaan Kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Pasal 1 ayat (2) memang tidak dengan tegas menyebut tentang siapa yang berdaulat dalam Negara RIS menurut Konstitusi RIS 1949, berbeda dengan UUDS yang dalam Pasal 1 ayat (2) dengan jelas menyebut kedaulatan RI adalah ditangan rakyat, berbeda pula dengan UUD 1945 (sebelum perubahan) yang dalam Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan berbeda pula dengan UUD 1945 (perubahan) yang juga dalam Pasal 1 ayat (2) dikatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Konstitusi RIS 1949 menganut tiga teori kedaulatan ialah kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum. Ketiga teori kedaulatan ini yang menjadi pangkal kekuasaan dalam penyelenggaraan Negara RIS, dan harus berjalan secara simultan yang oleh Pasal 1 ayat (2) Konstitusi RIS 1949 dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat.

C.    Kedaulatan Menurut UUDS 1950
1.      Latar Belakang Lahirnya UUDS 1950
Berlakunya UUDS 1950 menggantikan Konstitusi RIS merupakan kristalisasi perjuangan bangsa Indonesia dari bentuk Negara federal kembali pada bentuk Negara kesatuan. Dari uraian diatas, telah diketahui bahwa kekalahan Belanda (pada waktu itu menjajah Indonesia) dari Jepang menyebabkan beralihnya penjajah Indonesia dari Belanda pada Jepang, setelah Jepang kalah dari sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris, Belanda dengan bantuan Negara sekutu hendak kembali menjajah Indonesia. Akan tetapi Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya keseluruh penjuru dunia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan telah bertekad untuk mempertahankan kemerdekaannya dari agresi Negara lain.
Atas desakan rakyat, pada tanggal 8 Maret 1950 pemerintah federal mengundangkan UU Darurat No.11 Tahun 1950[22] yang mengatur penggabungan dengan sukarela daerah yang mempunyai pemerintah sendiri dengan daerah lain yang ikut serta dalam membentuk Negara federal.

2.      Konsepsi Kedaulatan Menurut UUDS 1950
UUDS 1950 terdiri dari mukadimah dan batang tubuh tanpa penjelasan, tidak seperti yang terdapat dalam UUD 1945 (naskah asli). Batang tubuh UUDS 1950 terdiri dari 6 Bab, 146 pasal dan pasal peralihan. Terkait dengan konsepsi kedaulatan yang dianut UUDS 1950 maka jawabannya terdapa dalam mukadimah dan batang tubuh UUDS 1950, sebab pengertian UUDS yang dijadikan obyek telaah ialah UUDS yang meliputi kedua bagian ini (mukadimah dan batang tubuh). Karena itu, pemahaman yang digunakan secara teoritis teori kedaulatan yang terdapat atau yang dianut dalam suatu UUD mungkin salah satu atau beberapa teori kedaulatan, yaitu kedaulatan Tuhan bahwa dalam alinea ketiga mukadimah terdapat makna bahwa berdirinya Negara RI tercapai karena rahmat Tuhan. Penegasan selanjutnya terdapat pada alinea keempat mukasdimah yang mengemukakan pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar dalam pembentukan Republik Indonesia.[23]
UUDS 1950 menganut beberapa teori kedaulatan, ialah kedaulatan Tuhan, kedaulatan Negara, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum. Hubungan antara keempat kedaulatan tersebut dapat dirumuskan dengan sederhana bahwa kedaulatan rakyat harus mencerminkan kedaulatan Tuhan, dan berdasar kedaulatan hukum untuk kejayaan bangsa dan Negara. Keempat kedaulatan itu jika ditelusuri berdasarkan prosesnya, pada dasarnya berangkat dari kedaulatan rakyat.


3.      Pelaksana Kedaulatan Menurut UUDS 1950
Berkaitan dengan pelaksana kedaulatan rakyat menurut UUDS 1950 dengan tegas terjawab dalam Pasal 1 ayat (2) UUDS 1950 ialah Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Berbeda dengan Konstitusi RIS 1949 yang dalam Pasal 68 dengan tegas mendefinisikan “pemerintah” adalah Presiden dan menteri, maka dalam UUDS 1950 tidak dijumpai definisi seperti ini.
Latar belakang penempatan Pemerintah dan DPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dapat ditemukan dalam jawaban Pemerintah RIS atas laporan Panitia Pelapor Dewan Perwakilan Rakyat tertanggal 3 Agustus 1950, bahwa “Pasal 1 ayat (2) dari UUDS 1950 bermaksud untuk menyatakan bahwa dalam melakukan pemerintahan dan perundang-undangan negara, Pemerintah dan DPR bekerjasama untuk melaksanakan kemauan rakyat”.[24]
    
D.    Kedaulatan Menurut UUD 1945
1.      Latar Belakang Terjadinya Perubahan UUD 1945
Sejak awal pembentukan UUD 1945 (sebelum perubahan) para perancangnya, baik dalam rapat BPUPKI maupun dalam rapat PPKI telah menyadari bahwa UUD yang akan dibentuk hanya sifatnya sementara.
Perubahan – perubahan lainnya dalam UUD 1945 adalah suatu keharusan sejarah, sebagai tuntutan zaman itu yang dikemukakan pendapat oleh para pakar hukum tata Negara. Persoalannya apakah perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan dengan cara mengganti dan menyusun UUD yang baru atau perubahan dilakukan dengan cara amandemen. Menurut Bagir Manan, ada beberapa alasan yang menghendaki pergantian atau penyusunan baru UUD antara lain :
a)      UUD 1945 hingga sampai sekarang masih bersifat sementara;
b)      UUD 1945 terlalu banyak kekurangannya;
c)      UUD 1945 disusun atas dasar paham dan paradigma yang dominant;
d)     Kenyataan menunjukkan perubahan yang telah terjadi (Perubahan Pertama 1999, Perubahan Kedua 2000, Perubahan Ketiga 2001, Perubahan Keempat 2002) secara kuantitatif lebih banyak dari ketentuan yang ada.

2.      Konsepsi Kedaulatan Menurut UUD 1945 (perubahan)
Konsepsi kedaulatan menurut UUD 1945 secara berturut-turut menggunakan teori : kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan Negara, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum. Pada konsepsi Kedaulatan menurut UUD 1945 (sebelum perubahan) dengan jelas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa pelaksana kedaulatan ada ditangan MPR, berbeda dengan rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (perubahan), “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”.
 Bahwa UUD 1945 setelah perubahan menganut konsepsi kedaulatan Tuhan, kedaulatan Negara, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum. Akan tetapi secara procedural, sesungguhnya UUD 1945 (perubahan) menganut kedaulatan rakyat.

3.      Pelaksana Kedaulatan Menurut UUD 1945 (perubahan)
 Setelah diketahui bahwa UUD 1945 (perubahan) menganut konsepsi kedaulatan Tuhan, kedaulatan Negara, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, maka persoalan selanjutnya yang menjadi pelaksana kedaulatan tersebut. Jika pada konsepsi kedaulatan menurut UUD 1945 (sebelum perubahan) dengan jelas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa pelaksana kedaulatan ada ditangan MPR, berbeda dengan rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (perubahan), “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar,” berdasarkan rumusan ini MPR tidak lagi menjadi pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, pelaksana kedaulatan rakyat diserahkan pada mekanisme UUD




Bab IV : Implikasi Perubahan Rumusan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 Terhadap Lembaga Negara Pelaksana Kedaulatan
A.    Implikasi Rumusan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 (Naskah Asli) Terhadap Lembaga Negara Pelaksana Kedaulatan
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (naskah asli) pertama mengatur tentang siapakah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam Negara RI dan yang berhak menentukan bagaimana mengelola Negara ini. Kedua, mengatur pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat dalam hal ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
1.      MPR Sebagai Pelaksana Sepenuhnya Kedaulatan Rakyat
Dalam sidang BPUPKI yang diterbitkan oleh sekretariat Negara RI 1998, bahwa istilah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dikemukakan oleh Yamin[25] dalam pidatonya pada rapat besar BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Pada intinya Yamin menghendaki agar dalam UUD yang akan disusun, ada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang menjadi kekuasaan setinggi-tingginya di dalam republik sebagai pelaksana kedaulatan rakyat yang meliputi wakil rakyat yang dipilih, utusan daerah dan utusan golongan.[26]
2.      Kekuasaan MPR Tidak Tak Terbatas, Melainkan Terbatas
Secara akontario, dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang tidak terbatas, termasuk kekuasaan MPR jika tidak terbatas, adalah kekuasaan yang absolutism dan bertentangan dengan konstitusi/UUD. Terlepas dari perdebatan akademik yang masih berlangsung tentang apakah penjelasan UUD 1945 bagian dari UUD, sudah dapat disimpulkan bahwa kekuasaan MPR terbatas paling tidak MPR dibatasi oleh prinsip-prinsip Negara hukum dan prinsip demokrasi yang diterima dalam UUD 1945.[27]  






3.      MPR Sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang Membawahi Lembaga Tinggi Negara Lainnya
Konsekuensi dari kedudukan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sebagaimana yang dijelaskan oleh Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 adalah kekuasaan dalam Negara terbagi secara vertical yang berpuncak pada MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Istilah MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, demikian pula Presiden, DPR, BPK, DPA, dan MA sebagai Lembaga Tertinggi Negara tidak dijumpai dalam UUD 1945. Istilah ini memiliki dasar hukum setelah tertuang dalam Tap MPR, seperti dalam TAP MPR RI No. VI/MPR/1973 tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara, selanjutnya dalam TAP MPR RI No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Tap-Tap MPR ini secara tegas menyebut MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dan Lembaga Negara lainnya sebagai Lembaga Tinggi Negara.

B.     Implikasi Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (perubahan) Terhadap Lembaga Negara Pelaksana Kedaulatan
Berangkat dari pemahaman UUD 1945 (perubahan) menganut konsepsi kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum dan konsepsi tersebut merupakan kerangka dasar ketatanegaraan Indonesia, dalam uraian ini akan dipaparkan kedua konsepsi kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.[28] Konsepsi kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum berimplikasi pada pelaksana kedaulatan dan hubungan antar lembaga Negara, pembahasan ini akan menjadi penutup dalam uraian implikasi rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (perubahan) terhadap ketatanegaran.
1.      Perjalanan Historis Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (perubahan)
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan) oleh banyak Ahli Hukum Tata Negara dipandang sebagai sumber supremasi MPR, menempatkan MPR sebagai satu-satunya pelaksana kedaulatan rakyat, MPR sebagai penjelmaan rakyat, MPR sebagai lembaga tertinggi Negara. Kedudukan MPR semacam ini mengesankan bahwa seolah-olah kedaulatan rakyat telah beralih pada MPR, padahal MPR hanya pelaksana kedaulatan rakyat. Karena itu rumusan Pasal 1 ayat (2) ini merupakan salah satu kunci yang memperlemah sistem ketatanegaraan dalam UUD 1945 dilakukan MPR sebagai salah satu agenda tuntutan reformasi, rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan) menjadi salah satu pasal yang akan diubah.
  Pada perubahan UUD 1945 rumusan pasal 1 ayat (2) belum menjadi sasaran perubahan sebab menata ulang hubungan kekuasaan antara DPR dan Presiden; Presiden terlalu dominan (executive heavy) khususnya dalam pembentukan UUD.

2.      Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (perubahan)
Hubungan antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum dalam konteks kekuasaan tertinggi dalam Negara tidak dapat dilepaskan dari kedaulatan Tuhan. Dengan kata lain, semua penyelenggara Negara sebagai manifestasi dari kedaulatan rakyat disamping harus mencerminkan kedaulatan Tuhan, yang dalam bahasa lainnya disebut Ketuhanan Yang Maha Kuasa dan Ketuhanan Yang Maha Esa juga harus berdasarkan hukum, yang dalam pelaksanaannya harus berdasarkan prinsip Negara hukum Indonesia, demi kejayaan bangsa dan Negara sebagai manifestasi kedaulatan hukum harus mencerminkan Kedaulatan Tuhan/Ketuhanan Yang Maha Kuasa dan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan juga harus mencerminkan kedaulatan rakyat, dengan instrumennya adalah prinsip-prinsip demokrasi Indonesia.
3.      Lembaga Negara Pelaksana Kedaulatan Menurut UUD 1945 (Pasca Perubahan)   
Lembaga Negara dalam UUD 1945 (setelah perubahan) mengalami banyak perubahan-perubahan. Bagir Manan mencatat ada lima perubahan, mencakup :
1)      Perubahan pengertian lembaga negara;
2)      Perubahan kedudukan lembaga negara;
3)      Perubahan macam-macam lembaga negara;
4)      Perubahan tugas dan wewenang lembaga negara;
5)      Perubahan hubungan antar lembaga negara.
Bab V : Implementasi Konsepsi Kedaulatan Menurut Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan
Pada bab ini akan dikemukakan implementasi konsepsi kedaulatan menurut Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 terhadap ketatanegaraan dalam hal ini terhadap lembaga Negara pelaksana kedaulatan. Implementasi konsepsi kedaulatan menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 terhadap lembaga Negara pelaksana kedaulatan diarahkan pada kekuasaan, tugas, dan kewenangan lembaga Negara utama (MPR, DPR, DPD, BPK, Presiden, MA, MK) sebagai pelaksana kedaulatan menurut UUD 1945 dan pengaturannya dalam undang-undang.  
A.    Kedudukan, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Kedudukan MPR diatur dalam Pasal 10 yang berbunyi : MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi Negara. Berdasarkan bunyi pasal 10 MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara melainkan kedudukan yang sejajar dengan lembaga Negara lainnya, seperti : DPR, DPD, BPK, Presiden, MA, MK. Perubahan kedudukan MPR tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan rumusan kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang semula merupakan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Pasal 11 mengatur tugas dan wewenang MPR adalah :
a.       Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b.      Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum, dalam sidang Paripurna MPR;
c.       Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR
d.      Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajiban dalam masa jabatannya;
e.       Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari.
f.        Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presiden meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari;
g.      Menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR.

B.     Kedudukan, Tugas dan Wewenag Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Secara garis besar, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.[29] Wewenang yang berkaitan dengan fungsi anggaran DPR diatur dalam Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, sedangkan wewenag yang berkaitan dengan fungsi DPR dalam pengawasan diatur dalam Pasal 20A ayat (2) dan (3). Selanjutnya weweang yang berkaitan dengan legislasi DPR diatur dalam Pasal 20A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5). Pasal 20A ayat (1) berbunyi : Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Kedudukan DPR sebagai lembaga Negara diatur dalam Pasal 24.[30] Pasal 25 mengatur tentang fungsi DPR yaitu: fungsi legislasi (membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama); fungsi anggaran (menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja Negara bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD); dan fungsi pengawasan (melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UUD 1945, UU, dan peraturan pelaksanaannya).
C.    Kedudukan, Tugas dan Wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, kewenangan DPD hanya sebatas (dapat) mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan pusat dan daerah.
Sebagai implementasi dari UUD 1945, Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam Bab 5 Pasal 32 sampai dnegan Pasal 51, Pasal 32 menentukan bahwa DPD terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 40 UU No. 22 Tahun 2003, DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga Negara.   
D.    Kedudukan, Tugas dan Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Pengaturan BPK dalam UUD 1945 (asli) terdapat dalam Pasal 23 ayat (5), bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang hasil pemeriksaannya diberitahukan kepada DPR. Keberadaan BPK dalam struktur kelembagaan Negara Indonesia merdeka bersifat auxiliary terhadap fungsi DPR di bidang pengawasan terhadap kinerja pemerintahan.[31] 
Dalam Bab 3 UU No.15 Tahun 2006 diatur tentang tugas dan wewenang BPK Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 9. Pasal 6 ayat (1) berbunyi :
“ BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara.”

E.     Kedudukan, Tugas dan Wewenang Presiden
Menurut Bagir Manan,[32] kekuasaan Presiden RI dalam arti luas meliputi :
                                            i.            Kekuasaan penyelenggaran pemerintahan;
                                          ii.            Kekuasaan di bidang perundang-undangan;
                                        iii.            Kekuasaan di bidang yustisal; dan
                                        iv.            Kekuasaan Presiden dalam hubungan luar negeri.
Meskipun pendapat Bagir Manan tersebut dikemukakan sebelum perubahan UUD 1945 sebab keempat kekuasaan Presiden masih dimuat dalam UUD 1945 dengan berbagai modofikasi yang sifatnya teknis.
Ruang lingkup tugas dan wewenang dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan :
a.       Tugas dan wewenang adminitrasi di bidang keamanan dan ketertiban umum
b.      Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulai dari surat-menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain-lain.
c.       Tugas dan wewenang administrasi Negara di bidang pelayanan umum
d.      Tugas dan wewenang administrasi Negara di bidang penyelnggaraan kesejahteraan umum.
Kekuasaan penyelenggaran pemerintahan yang bersifat khusus adalah penyelenggaraan tugas dan wewenang pemerintahan yang secara konstitusional ada pada Presiden yang memiliki sifat prerogratif seperti : Presiden sebagai pimpinan tertinggi angkatan perang, hubungan luar negeri dan hak memberi gelar dan tanda jasa.[33]    
F.     Kedudukan, Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung (MA)
Dalam UUD 1945 (sebelum perubahan) terkait dengan kekuasaan kehakiman terdapat dalam Pasal 24 ayat (1), dan (2), dan Pasal 25 ayat (1)[34] “ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Ayat (2) “ Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan undang-undang”.
Kekuasaan MA terdapat dalam kewenangan yang dimilikinya Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 ditentuakan bahwa “ Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.[35] Jadi hanya ada dua kewenangan konstitusional MA :
1.      Mengadili tingkat kasasi
2.      Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

G.    Kedudukan, Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga Negara baru dalam ketatanegaraan Indonesia, yang diatur dalam Pasal 24A dan 24C yang memiliki lima kewenangan, atau biasa disebut empat (4) kewenangan dan satu (1) kewajiban.[36]
Istilah empat (4) kewenangan karena memang pada permulaan kalimat Pasal 24C ayat (1) menggunakan perkataan “Mahkamah Konstitusi berwenang..,” sedangkan istilah satu (1) kewajiban ini karena pada awal kalimat Pasal 24C ayat (2) menggunakan perkataan “ Mahkamah Konstitusi wajib…,” tapi pada hakikatnya kesemuanya adalah kewenangan MK .
Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK sebagai pelaksanaan ketentuan dalam UUD 1945 mengatur tentang wewenang MK ayat (1) yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a.       Menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
b.      Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
c.       Memutus pembubaran partai politik, dan
d.      Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kehadiran MK sesungguhnya adalah manifestasi dari kedaulatan hukum yang dianut dalam UUD 1945 dan secara tidak langsung merupakan penjawantahan dari kedaulatan rakyat dan kedaulatan Tuhan. Oleh sebab itu, disamping mengikuti prinsip-prinsip kedaulatan hukum, putusan MK juga sedapat mungkin mencerminkan keadilan masyarakat yang percaya dan taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, atau sila pertama Pancasila. 





[1] Jean bodin adalah ahli yang pertamakali merumuskan konsep kedaulatan dari aspek kedaulatan (internal)dengan jelas menyelidikikedaulatan dari aspek dalam batas-batas lingkugan wilayah dimana kedaulatan internal ini adalah kekuasaan tertingigi dari Negara untuk mengurus wilayah dan rakyat. Grotius menyelidiki kedaulatan dari aspek eksternal nya, yaitu kedaulatan dalam hubungannya dengan Negara-negara lain nya. Yudha bhakti ardkti ardhiwissastra, kedaulatan di from pengadilan asing,alumni, bandung,1999,hal.43.
[2] Berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan perubahan keempat UUD 1945, maka penjelasan UUD 1945 tidak lagi menjadi bagian dari UUD 1945.
[3] Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Akasara Baru, Jakarta,1984,hal.8
[4] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm.10 
[5] Sri Soemantri M, Masalah Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945, dalam Padmo Wahyono (editor), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm.67.
[6] Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Sinar Harapan, Jakarta, 1986, hlm.14.
[7] Jimly Asshiddiqie, Op.cit.hlm 10
[8] Bagir Manan & Kuntana Magnar, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui Pemilihan Umum, dalam Bagir Manan (editor), Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, kumpulan esai guna menghormati Prof. Dr. R. Sri Soemantri Martosoewignjo, SH, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996,hlm.56.  
[9] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 151.
[10] E.C.S. Wade & G. Gogfrey, Constitusional Law : An Outline of The Law and Pratice of The Citizen and the Including Central and Local Government, the Citizen and the State and Administrative Law, 7th Edition, Longmans, London, 1965, hlm.50-51. 
[11] Azhary, Negara Hukum Indonesia – analisis yuridis normatif tentang unsure-unsurnya, UI-Press, Jakarta, 1995, hlm.153.
[12] Rukmana Amanwinata, “ Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul dalam Pasal 28 UUD 1945”, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996, hlm.48. 
[13] K.C. Wheare, Modern Constitutions, Oxford University Press, London-New York-Toronto, 1975, hlm.1. 
[14] J.Th.J. van den Berg (red), Inleiding Staatkunde, dalam A.S.S. Tambunan, Op.cit.,hlm.17
[15] Sri Soemantri, Prosedur…, Op.cit.,hlm.51
[16] Henc van Maarseven & Ger van der Tang, Written Constitutions – A Computerized Comparative Study, Oceana Publications, Inc, Dobbs Ferry, New York, 1978, hlm.274.  
[17] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, Alumni, 1993, hlm. 71
[18] Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama, Cetakan Kedua, Jakarta, 1971, hlm. 61
[19] Penunjukan dalam keanggotaan panitia dan anggota merangkap ketua panitia yang dilakukan oleh ketua BPUPKI nampaknya tidak sepenuhnyamemperhatikan latar belakang dan kemampuan anggota, sebagai contoh Mohammad Yamin yang ahli konstitusi ditunjuk oleh ketua BPUPKI sebagai anggotadalam panitia keuangan dan ekonomi, meski Soekarno sudah meminta pada ketua BPUPKI agar memasukkan Mohammad Yamin untuk masuk dalam panitia Hukum Dasar, demikian pula Mohammad Yamin sendiri menolak keanggotaannya dalam panitia keuangan dan ekonomi dengan alas an tidak punya pengetahuan di bidang ini, namun ketua BPUPKI tidak mau mengubah keputusannya. Periksa dalam Mohammad Yamin, Op. Cit., hlm. 253-254.
[20] Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut Asas Desentralisasi Berdasarkan UUD 1945, Op.cit., hlm 498.
[21] Sri Soemantri, prosedur dan system perubahan konstitusi, op.cid.,hlm.157.
[22] UU Darurat No.11 Tahun 1950, L.N 1950, 16 dengan penjelasan dalam T.L.N. 1950, 8, mulai berlaku pada tanggal 9 Maret 1950.
[23] Alinea keempat mukadimah UUDS 1950 antara lain berbunyi “….negara yang berbentuk republic kesayangan, berdasarkan pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa…”
[24] Supomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Noordhoff-Kolff, Jakarta, cet, ke-8, 1958, hlm.22. 
[25] Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) & Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1998, hlm.201-203.
[26] Ibid.
[27] Terhadap prinsip-prinsip Negara hukum dan prinsip-prinsip Negara demokrasi telah diuraikan dalam Bab II.
[28] Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa konsepsi kedaultan Tuhan lebih tepat dikaji dalam perspektif teologi, karena itu dalam uraian yang akan dipaparkan adalah kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.
[29] Pasal 20A ayat (1) UUD 1945.
[30] Pasal 24 berbunyi : DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
[31] Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hlm.109
[32] Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Op.cit.,hal.121-166.
[33] UUD 1945 (perubahan), Pasal 10, Pasal 11, Pasal 13, dan Pasal 15.
[34] Pasal 25 menentukan “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.”
[35] UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak merinci tentang kewenangan MA, selama ini kewenangan MA hanya diatur dalam UU No. 14 tahun 1985, yang kemudian diubah dengan UU nO. 5 tahun 2004.
[36] Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan…,Op.cit.hlm. 104.


[1] Bagir manan, DPR, DPD, dan MPR, dalam UUD 1945 baru, FH.Ull press, Yogyakarta, 2003,hlm.ui
[2] Mukthie fadjar; reformasi kunstitusi dalam masa transisi paradikmatik,in-TRANS, malang,2003,hlm.39.
[3] Sri soemantri M, UUD dan ketetapan MPR sebagai produk MPR, pidato pengukuhan pada penerimaan jabatan guru besar tetap dalam matakuliah HTN dan fakultas hukum UNPAD, sabtu , 21,februari 1987,hlm.8.
[4] Hal ini berbeda dengan system yang dianut oleh kunstitusi RIS 1949 dan UDS 1950.dalam pasal 1 ayat (2) kustitusi RIS 1949, kedaulatan dilaksanakan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan sanat.adapun kedaulatan rakyat dalam pasal 1 ayat (2) UUDS 1950 dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR.