RINGKASAN TEORI HUKUM

TEORI HUKUM
Judul Buku : TEORI HUKUM
Penulis Dr. Benard L. Tanya, SH.M.H. Dr. Yoan N. Simanjuntak, SH. MH. Markus Y. Hage, SH. MH.
Penerbit :  CV . KITA, Surabaya

Tahun Terbit : 2006
Peresume : Igneo Grandi Gloria, SH Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.

Apa yang disebut Rechtsideenlehre,
Begriffsjurisprudenz, Analytical Jurisprudence, Reine  Rechtslehre, ataupun Rechtsdogmatiek, hanyalah versi sebuah preferensi yang kebetulan (masih) mendominasi warna pendidikan hukum di negeri ini. Di luar itu, orang masih menemukan versi lain, contohnya Theory of Natural Law, Interessjurisprudenz, Freirechtslehre, Sociological Jurisprudence, Realistic Jurisprudence, Critical Legal Theory, Human Jurisprudence, Psychoanalytic Jurisprudence, dan lain sebagainya. Bagi siapapun yang terus mengikuti perkembangan teori hukum, tidak akan terkejut jika dua kelompok teori tersebut memang menghiasi jejak pemikiran hukum sepanjang sejarah.
 Hanya saja keduanya berbeda titik-tolak. Kelompok pertama, melihat hukum sebagai unit aturan (teknis) yang tertutup dan formal-legalistik. Sedangkan kelompok kedua, melihat hukum sebagai unit terbuka dan menyentuh mosaik sosial-kemanusiaan. Meski begitu, dalam teorisasi hukum, keduanya. Merupakan ‘dokumen akbar’ yang berisi kisah pergulatan manusia menata diri di tengah ‘sistem situasi’-nya sebagai pembutuh orde (tertib hidup). 


Di situ, manusia bergulat dengan ketegangan antara dirinya dengan ‘kekuasaan-kekuasaan’ di sekitarnya. ‘Kekuasaan-kekuasaan’ yang dimaksud adalah segala sesuatu yang menyodorkan diri  pada manusia serta yang mempengaruhi manusia tersebut. ‘Kekuasaan’ tersebut bisa berasal dari alam raya, dari lingkungan ilahi, dari pola-pola sosial, dari perubahan sosial, dari kebahagiaan, dan lain sebagainya. Kisah pergulatan manusia yang demikian itulah yang segera ditemui ketika mulai berkelana dalam rimba teori hukum. Itulah
sebabnya , tidak kebetulan jika Wolfgang Friedman dengan tegasnya berkata, bahwa teori hukum bergumul dengan aneka antinomi, misalnya: alam semesta dan individu, kehendak dan pengetahuan, akal dan intuisi, stabilitas dan perubahan, positivisme dan idealisme, kolektivisme dan individualisme, demokrasi dan otokrasi, universalisme dan nasionalisme. Semua antinomi tersebut sesungguhnya memperlihatkan sosiologi teori hukum sepanjang sejarah-sebagai jawaban terhadap tantangan lingkungan yang dari masa ke masa ditandai dialektika kosmologi zamannya. Ketika manusia menghadapi ketelanjangan alam raya yang dikuasai ‘logika survival’ di mana tatanan moral belum menjadi acuan utama kehidupan (di zaman kuno), ia menata tertib hidupnya menurut “arus kuat-lemah”. Hukum diteorisasikan sebagai tatanan persaingan dan kekuatan. Keadilan, bukan ditentukan oleh kepemihakan pada yang lemah, tetapi pada kemampuan untuk wilayah struktur dan budayanya. Model pengkajian untuk masing-masing wilayah pun bisa beragam. Pada wilayah sub-sistem struktur hukum misalnya,
Kajian dapat meliputi: (i). Lembaga hukum (dari sisi aturan, managemen, arsitektur, geografis, historis, dan lain-lain), (ii). Struktur dan mekanisme peradilan (dari sisi aturan, ekonomi, kekuasaan, administrasi, managemen, sosial dan budaya), (iii). Personal penegak hukum (dari sisi kekuasaan dan kewenangan formal, psikis, kecakapan, etos, aspek biologi, orientasi nilai, penghasilan, latar belakang pendidikan, dll), (iv). Sarana dan prasarana hukum (dari sisi kuantitas, kualitas, kegunaan, manfaat, efisiensi, dan lain-lain). Sedangkan kajian budaya hukum, dapat meliputi sistem budaya, sistem nilai, pengetahuan hukum, kesadaran hukum, dan lain sebagainya. Beragam ruang-lingkup kajian hukum tersebut, tentunya membutuhkan beragam pendekatan dan metode yang berbeda-yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Jadi tidak ada alasan yang cukup logis untuk menahan pengkajian hukum dalam wilayah aturan belaka, apalagi sekedar studi aturan secara legal-doktrinal. Justru normalnya, kajian hukum bersifat interdisipliner. Mudah dibayangkan, betapa banyak manfaat yang dapat dipilih melalui program yang demikian itu. Pemikiran tentang hukum, tidak lagi sebatas ajaran-ajaran hukum (rechtslehre), tetapi dapat menjangkau teori tentang; managemen dan hukum, politik dan hukum, ekonomi dan hukum, agama dan hukum, geografi dan hukum, klimatologi dan hukum, arsitektur dan hukum, bahasa dan hukum, komunikasi dan hukum, serta tentu saja yang sudah dikenal selama ini seperti filsafat hukum, antropologi hukum, sosiologi hukum dan psikologi hukum. Harus diakui, tawaran yang demikian tersebut mungkin dianggap berlebihan untuk sebuah tradisi akademik yang rechtsdogmatiek. Sebab, sejak didominasi alam pikiran positivisme yuridis, pemikiran hukum dalam dunia akademik di negeri ini memang cenderung berhenti pada logika internal aturan formal. Orang hukum cenderung membaca hukum secara literal menurut logika aturan yang sudah dibakukan. Tugas ilmu hukum pun, seolah hanya berurusan dengan rumusan-rumusan aturan, terminologi teknis dalam pasal-pasal, serta berusaha memastikan aspek formal dan legalitas aturan. Seolah itulah ilmu hukum sejati (?). Ditarik ke belakang, konsep seperti itu sudah berawal sejak embrio pendidikan hukum di Bologna pada Abad Pertengahan. Studi hukum memang dipahami sekedar telaah ‘pengertian/arti aturan’, Dokumen aturan kerajaan Romawi dipelajari dan dipahami-karena sesuai kebutuhan ekspansi Romawi-orang berkepentingan mengetahui hukum Romawi tersebut. Dalam tradisi demikian itulah, pendidikan hukum dibangun dan dikembangkan di Eropa Kontinental. Maka munculah kata “ars” yang lazim dipergunakan dalam studi hukum tentang Romawi. Dikatakan, bahwa ilmu hukum merupakan suatu ketukangan atau ars. Seperti seorang tukang pateri yang pandai menggunakan perkakas untuk mengadakan pekerjaannya, demikian juga seorang ahli
Hukum pandai menggunakan keterampilannya untuk membuat dan menggunakan undang-undang. Dan seperti seorang seniman pandai menggunakan alat-alat untuk menciptakan karya seninya (ars), demikian juga seorang pembentuk hukum. Maka keahlian hukum terletak pada penciptaan dan pembuatan aturan hukum, berikut keahlian penerapannya. Tidaklah heran, jika konsep hukum sebagai aturan legal-dan hanya itu-menjadi semacam kredo dalam pendidikan hukum kita. Ilmu hukum dan teori perihal hukum pun, tidak bergerak jauh dari aturan. Di sini, ilmu hukum dikonstruksi sebagai ilmu tentang teknik atau prosedur membuat aturan, memahami aturan, berikut penerapannya. Teori hukum juga demikian. Ia berisi ajaran dan doktrin tentang pembentukan dan penerapan aturan legal tersebut. Perlu ditegaskan disini, bahwa aturan hukum itu secara esensil berkutub dua, sesuai namanya, kutub pertama tentu saja aturan-aturan hukum. Tetapi tidak hanya itu. Hukum juga sejatinya merupakan upaya manusia untuk menata, menertibkan, dan menjaga kehidupan bersama secara tertib dan adil. Hukum hanyalah tatanan manusiawi. Isi hukum sesungguhnya diwarnai pergulatan manusia yang ingin hidup tertib dan adil. Persis di titik ini, hukum sebenarnya berbicara tentang tatanan hidup dari sudut manusia. Hukum berbicara tentang apa yang “benar”, “baik”, dan “tepat” dari sudut bahasa dan pemahaman manusia. Inilah kutub yang kedua. Hukum berbicara tentang manusia yang menciptakan dan menggunakan hukum tersebut dengan segala kompleksitas kehidupannya. Itulah sebabnya, pengkajian hukum niscaya melibatkan sekalian kompleksitas tersebut-baik menyangkut budaya, sosial, politik, maupun ekonomi. Jelaslah bahwa, hukum berdiri di antara dua titik, yakni manusia dan aturan. Ilmu dan teori tentang hukum harus bergerak dan serentak mesti mempertimbangkan dua titik tersebut. Ilmu dan teori mengenai hukum tidak harus berhenti pada aturan. Ia dapat bergerak ke eksplanasi-tatkala menyentuh titik pergulatan sosial manusia. Aturan legal, hanya merupakan objek materia kajian hukum. Perspektif  (obyek formanya) bisa sangat beragam, seperti telah diterangkan di atas. Secara demikian, dikatakan bahwa pengkajian hukum  tidak harus bersifat monolitik dan ditahan dalam penjara legal-formal. Teori dan ilmu hukum harus juga mampu bergerak
Ke habitat ilmiahnya sebagai ilmu, yakni melakukan eksplanasi terhadap realitasnya sebagai tatanan manusiawi. Ilmuwan hukum, yang dahulu suka menggunakan tanda seru, sekarang harus lebih banyak menggunakan tanda tanya. Ini bukan hanya konsekuensi dari hukum sebagai tatanan manusia, tetapi juga untuk membedakan dunia praktek dan dunia ilmu. Dua tanda bahasa itu-tanda seru dan tanda tanya-menyiratkan dua dunia yang sangat berbeda, dunia praktek dan dunia ilmu. Tanda seru itu meneguhkan, memberi kepastian, menyuguhkan pedoman yang baku, serta menyingkirkan setiap pertanyaan dan kesangsian. Dunia hukum yang disifatkan tanda seru itu, mengandaikan suatu dunia yang baku dan pasti. Inilah kebutuhan dunia praktek. Sebaliknya, dunia yang disifatkan tanda tanya, membuka semua pintu dan jendela yang tadinya tertutup. Dunia tersebut tidak membekukan. Ia berpikir dengan kategori-kategori yang bersifat sementara, serta lebih menekankan pemahaman dan penjelasan. Dunia tersebut juga sangat dinamis, progresif dan evolutif.




BAB  2
TEORI HUKUM
DALAM  BERBAGAI RUANG DAN
GENERASI


Teori hukum yang muncul dari abad ke abad dan dari generasi ke generasi, tidak hanya memperlihatkan warna kosmologi dan semangat zamannya, tetapi juga memunculkan pergeseran cara pandang sesuai dengan peralihan zaman. Maka disamping kita bertemu dengan para pemikir zaman klasik, pemikir abad pertengahan, pemikir zaman modern, dan pemikir kontemporer, tetapi serentak itu pula kita berjumpa dengan generasi hukum alam, generasi rasionalisme, generasi historisme, generasi positivisme, generasi sosio-antropologi, generasi realisme, serta generasi-generasi lain sesudahnya. Di samping teori-teori yang lahir dalam tradisi Barat, terdapat pula pemikiran hukum yang bernilai tinggi dalam kebudayaan-kebudayaan lain di dunia, seperti di Cina, India, Mesir, Jepang, Afrika, dan Timur Tengah. Beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui pemaparan ini. Pertama ingin menunjukkan bahwa teori hukum itu tidak tunggal, dan tidak hanya terwakili oleh teori hukum murni seperti dianut kuat dalam pendidikan hukum dewasa ini. Kedua, kita dapat memetik manfaat dari teori-teori tersebut dalam melakukan refleksi terhadap hukum sebagai lembaga manusia. Ketiga, membantu proses pembentukan cara berpikir yang konseptual dan metodis. Kita bisa setuju dan tidak setuju dengan isi teori-teori tersebut. Tetapi basis dan kerangka teoritis yang dipakai dalam membangun teorinya sangat bernilai dalam membentuk cara berpikir ilmiah. Dengan begitu kita dapat memperkaya kerangka analisis pengembangan kajian hukum yang lebih beragam, luas, dan konseptual-metodis.






3.1   TEORI HUKUM ZAMAN KLASIK

   Teori hukum sejak filsuf  Ionia hingga Epicurus, diwarnai oleh cakrawala religiusitas, baik yang bersumber pada mitis (pra abad ke-6 Seb. M)  maupun yang bersumber pada religi Olympus (abad ke-5 sampai abad  ke-1 Seb. M). Dalam kosmologi era sebelum abad ke-6 Seb. M, ‘yang ilahi’ itu ada dalam alam. Alam sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan mitis. Karenanya alam dipahami sebagai kekuatan yang mengancam, serba gelap, dan berjalan alamiah. Hidup manusia, dengan demikian sepenuhnya tergantung pada nasib. Manusia harus tunduk dan rela menerima nasib sesuai aturan alam, yakni seleksi alam. Memasuki abad ke-6 yang berlanjut hingga abad ke-1 Seb. M, kosmologi serba mitis berganti kosmologi religi Olympus. Dalam terang kosmologi ini, ‘yang ilahi’ itu (telah) ada dalam diri manusia, lewat apa yang disebut logos (akal). Logos merupakan akal dewa-dewi yang mencerahkan dan menuntun manusia pada pengenalan akan yang ‘benar’, ‘baik’ dan ‘patut’. Berkat logos yang mencerahkan tersebut, dimungkinkan terciptanya suasana keteraturan (nomos). Nomos inilah yang menjadi petunjuk hidup di dunia riil. Nomos dapat mengambil bentuk dalam wujud kebiasaan maupun wujud aturan yang menuntun kehidupan umat manusia yang bermartabat. Sekalian suasana religius dalam dua periode tersebut menjadi setting dari
Teori-teori hukum yang muncul pada zaman klasik, mulai dari barisan filsuf Ionia, kaum Sofis, barisan filsuf Athena (Socrates-Plato-Aristoteles), hingga Epicurus. Empat kelompok pemikir tersebut memiliki cara berpikir yang berbeda. Filsuf Ionia berciri ‘heroic minded’ yang berbasis prinsip survival, kaum Sofis berciri ‘visionary minded’ yang merujuk pada penataan tertib polis secara rasional. Sedangkan Epicurus lebih pada ‘theoretical minded’ berhubungan dengan pemisahan tertib polis dengan tertib individu.






Hukum itu, Tatanan Kekuatan:
Teori  Filsuf  Ionia

Hukum sebagai tatanan kekuatan, merupakan teori dari barisan para ‘filsuf pertama’ Yunani sebelum abad ke-6 Seb. Masehi.Generasi filsuf ini dikenal sebagai ‘filsuf Ionia’, seperti Anaximander, Thales, Heraklitus, dan Empedocles. Sebagai generasi filsuf awal, mereka sangat lekat dengan kosmologi alam (-iah) dan mistis. Kosmologi alamiah melahirkan pandangan bahwa kekuatan merupakan inti tatanan alam. Manusia sebagai bagian dari alam, tidak lepas dari kodrat yang demikian tersebut. Bahkan manusia mewarisi kualitas ‘Dionysian’-bawaan yang cenderung liar, menerima kekejaman, dan siap menghadapi nasib yang ditimpakan oleh hidup apa adanya. Sedangkan mitis melahirkan konsepsi tentang kesatuan alam dan manusia. Karena itu, apapun yang dibuat manusia (termasuk hukum), harus mencerminkan dan searah dengan tatanan alam. Teori para filsuf Ionia tentang hukum mencerminkan kosmologi di atas. Pertama, hukum merupakan tatanan yang dikuasai logika kekuatan-karena memang berasal dan diperuntukkan bagi manusia-manusia yang siap bersaing dalam kancah kekejaman dan nasib. Kedua, tidak ada perbedaan antara ‘aturan alam’ dan aturan buatan manusia. Baik aturan alam maupun aturan manusia dianggap sebagai bagian dari logik alam, yakni logika kekuatan. Aturan alam menjiwai aturan hukum.
Hukum kodrat yang paling operasional dalam alam, adalah ‘hukum survival’. Untuk filsuf Ionia, hukum tidak lebih dan tidak kurang adalah persoalan mengenai bagaimana manusia bisa ada, dan tetap ada (survive). Hukum adalah ‘rumus-rumus’ untuk tetap survive. Persoalan paling pokok dalam hidup manusia sebenarnya amat sederhana: “ada” atau” lenyap”. Dan ini berlaku untuk semua makhluk hidup. Konsepsi tentang keutamaan kekuatan dan ketidak aturan dalam filsafat kaum filsuf tersebut, tidak lepas dari gagasan dominan tentang dunia masa itu. Dunia dipahami sebagai bangunan maha besar yang terbangun dari benda-benda materi. Kosmos dan nomos-yang dalam periode berikutnya (era Sofis dan Socrates) dianggap sebagai tatanan ketertiban, ditepis oleh barisan filsuf awal ini. Ini dikatakan dengan tegas oleh Heraclitos misalnya. Bagi dia Kosmos itu tidak ada. Kalaupun ada, maka bentuk terbaiknya mirip timbunan rongsokan yang tersebar berserakan. Ini ada kaitan dengan teori Heraclitos tentang dinamika sosial, perselisihan atau perang merupakan kodrat sosial. Hasil akhir perang, selalu adil-di mana yang kuat mengalahkan yang lemah. Perang adalah ayah sekaligus raja segala sesuatu. Perang akan menyebabkan sebagian golongan menjadi dewa, sedangkan yang lain hanyalah manusia biasa. Perang juga mengubah sebagian di antara mereka menjadi budak, dan yang lain menjadi tuan. Singkatnya, inti keadilan adalah pertikaian. Hukum berisi aturan-aturan yang memungkinkan berlangsungnya hubungan-hubungan sosial dalam logika ‘arus kuat-lemah’. Karena dalam setiap struktur sosial selalu ada pihak yang dominan, maka dimungkinkan pula hukum menjadi alat orang yang kuat-sebagaimana kemudian diungkapkan secara eksplisit oleh Protagoras dari barisan filsuf generasi berikutnya, yakni kaum sofis. Jika keadilan adalah pertikaian, dan jika sukses dalam peperangan adalah standar kebaikan, maka nyatalah bahwa tatanan sosial yang ingin dibangun adalah tatanan yang dipandu oleh logika ‘seleksi alam’, logika ‘kuat-lemah’. Persis dititik ini, hukum bukan saja sebagai alat orang yang unggul dan kuat. Lebih dari itu, ia merupakan media pelembagaan kehendak untuk menguasai-sebagaimana kemudian digenapi dalam filsafat leluhur ekstensialisme, yakni Friedrich Nietzche berkat ilham langsung dari penggagas ‘dunia serba kehendak, ‘ Arthur Schopenhauer. Apa yang ditampilkan dalam teori filsuf Ionia tersebut, adalah teori yang mencerminkan strategi
Tertib hidup dari manusia-manusia yang langsung berhubungan dengan daya-daya alam yang serba rahasia-suatu dunia yang diwarnai ketegangan antara manusia dan daya kekuatan alam. Alam raya dirasakan ‘berkuasa penuh’ atas diri manusia, oleh karena belum diimbangi kemampuan manusia menjinakan alam melalui ilmu dan teknik (sebagaimana dilakukan manusia modern). Akibatnya, dunia dialami bukan sekedar jagad yang penuh problem (masalah yang dapat dipecahkan), tetapi juga sarat misteri (masalah yang tidak mungkin terpecahkan). Di sini, manusia menempuh strategi adaptasi. Ini pola umum umat manusia lintas zaman. Jika dimungkinkan (berdasarkan kemampuan ilmu dan teknik yang dimilikinya), ia akan melakukan perubahan. Tetapi jika sebaliknya, dia akan menyesuaikan diri. Menarik untuk mengetahui apa yang menjadi asumsi Rand. Bagi Rand, apa yang ada (what is), itulah yang menentukan apa yang seharusnya  (what ought). Ini adalah prinsip paling asasi untuk bertahan hidup. Sudah jelas, Rand mengagungkan tiga nilai yang dianggap paling utama. Nilai pertama adalah akal, sebab akal dianggap sebagai satu-satunya alat terbaik yang dimiliki manusia untuk ada dan survive. Nilai yang kedua adalah tujuan yang jelas dan gamblang, yaitu ada dan survive. Dan yang ketiga, adalah harga diri, atau rasa percaya diri, yaitu keyakinan dan kepastian pada diri sendiri bahwa saya mampu untuk berpikir dan pantas untuk tetap hidup. Sekali lagi , kita bisa tidak setuju dengan para filsuf  Ionia, Niettzche dan Rand. Meskipun demikian , ada sisi positif dari cara berpikir mereka. Pertama, pentingnya pemahaman yang komprehendsif tentang manusia-yang justru menjadi titik-tolak teorisasi tentang hukum. Setiap teorisasi tentang hukum harus mempertimbangkan secara seimbang dimensi intelek, moral, dan naluriah manusia tersebut. Terlalu menekankan dimensi intelek dan moral saja, maka semua aturan yang akan mengatur perilaku manusia, cenderung hanya berisi himbauan-himbauan. Kedua, bahwa teorisasi tentang hukum tidak bisa lepas dari konsepsi kita tentang manusia. Dengan kata lain, konsepsi tentang ontologi manusia akan menentukan tanggapan kita tentang hukum. Karena filsuf Ionia melihat manusia sebagai tipikal Dionysian, maka hukum bagi mereka adalah tatanan kekuatan. Tetapi ini hanya salah satu versi. Plato dan Aristoles di era Polis Yunani menyodorkan versi lain. Bagi mereka, menghadapi manusia yang cenderung liar tersebut, hukum harus difungsikan sebagai media pengenalan dan pendidikan moral. Demikian juga Thomas Hobbes di era Renaissance misalnya, dengan konsepsi manusia yang sama, ia justru menanggapi hukum sebagai alat penjamin keamanan individu yang harus bersifat rasional dan obyektif. Ketiga, dari
Cara analisis filsuf Ionia, kita berkesempatan mengkaji hukum dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya bertumpu pada rumusan-rumusan hitam-putih aturan, apalagi hanya sibuk mengecek legal-tidak legalnya sebuah aturan. Sebuah aturan memiliki konteksnya, baik yang bersifat ideologis maupun sosial, politik, kultural, ekonomi, dan bahkan basis materialnya. Belajar dari filsuf Ionia, ternyata hukum berkaitan erat dengan pandangan dunia dan kosmologi zamannya. Tidak hanya itu, hukum pun memiliki basis materialnya, yakni alam yang masih telanjang, manusia ragawi  yang butuh hidup dan mau tetap hidup, dunia sebagai susunan benda-benda materi belaka, dan lain sebagainya. Semua itu menjadi ‘satu daging dan darah’ dalam suatu aturan hukum. Karena itu, kajian terhadap sebuah peraturan, selain harus komprehensif juga dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai perspektif. Dan ini harus menjadi wilayah kajian hukum. Tidak relevan lagi dikhotomi studi yuridis vs studi emipiris. Semua sudut pandang dan pendekatan harus dimobilisir untuk mengkaji hukum (dan aturan hukum) yang berontologi utuh tersebut. Keempat, konteks dunia dan manusia mitis dalam teori para filsuf  Ionia, dapat menggugah kita untuk melakukan semacam studi perbandingan dengan konteks masyarakat tradisional yang terdapat di berbagai belahan dunia dewasa ini. Tidak hanya itu, kita dapat melacak apakah hukum modern yang dikembangkan di berbagai lingkungan negara dewasa ini, sudah lepas samasekali dari naluri kekuatan sebagaimana dirumuskan oleh para filsuf Ionia tersebut. Dan masih banyak manfaat lain yang sangat bernilai secara akademis yang dapat kita petik dari teori kekuatan filsuf kuno Ionia. Kelima, pada tingkat yang lebih praksis (tindakan politis dan etis), dari kerangka analisis teori kekuatan tersebut, kita memperoleh pesan kuat bahwa untuk membangun kehidupan yang adil dan damai, dibutuhkan adanya tatanan nilai sebagai bingkai kehidupan. Ketelanjangan alam tanpa tatanan moral dalam kosmologi filsuf Ionia, menyebabkan dunia kehidupan dikuasai ‘hukum kekuatan’. Itu berarti, hukum yang dalam masyarakat modern menjadi mekanisme monopolis menata kehidupan sosial, haruslah memiliki patokan moral dan nilai-nilai. Isi dan muatan hukum harus mengandung nilai-nilai moral dan keadilan.

Hukum Sebagai Tananan Logos:
Teori Kaum Sofis

Ketelanjangan alam yang ‘dipuja’ barisan para’filsuf pertama, ditutup oleh barisan filsuf Sofis. Dengan latar belakang konsepsi religi Olympus tentang manusia (manusia memiliki jiwa dan raga), barisan filsuf yang disebut terakhir itu, tidak lagi memandang kekuatan setelanjang barisan filsuf pertama. Dunia materi bukan lagi segala-galanya. Ada unsur lain yang lebih utama, yakni manusia yang memiliki logos. Dunia berpusat pada manusia yang mempunyai logos tersebut. Hukum pun berpusat pada manusia yang demikian itu. Praktis, kaum Sofis langsung menusuk jantung teori hukum dari filsuf pertama. Seperti dicatat C.J. Friedrich, serangan kaum Sofis terhadap filsuf  Ionia, mengakibatkan teori hukum saat itu berhadapan dengan problem polarisasi antara nomos dan pysis. Pendekatan yang menekankan nomos, mendorong adanya kesederajatan di depan hukum. Sedangkan pendekatan yang menekankan pysis (kodrat), mengkondisikan orang-orang tertentu berada dalam posisi menolak nomos (menolak ide kesederajatan). Bagi kaum Sofis, hukum bukan lagi sebagai gejala alam yang telanjang perse. Mereka mengkaitkan hukum dengan ‘moral alam’, yakni logos-semacam roh ilahi yang memandu manusia pada hidup yang patut. Wujudnya adalah nomos-yang dalam tradisi Yunani menunjuk pada kebiasaan sakral dan penentu segala sesuatu yang baik. Nomos hanya dapat eksis dalam polis (negara kota di Yunani). Di  luar polis hanya ada kekacauan. Esensi nomos sebenarnya soal kepatutan. Kepatutan yang dapat diterima akal sehat orang waras. Nomos menjunjung keadilan, menjamin keamanan, serta mendatangkan kesejahteraan. Karean nomos mengandung moral logos, maka pelanggaran terhadap nomos, perlu dihukum karena dianggap melakukan kesombongan. Nomos tersebut menurut Protagoras (salah satu eksponen Sofis), bisa tampil dalam bentuk kebiasaan , dan juga dalam bentuk undang-undang, oleh karena itu dalam tradisi Yunani, hukum (nomos) dan Undang-Undang (nomoi) sangatlah penting untuk menata polis. Sebenarnya kaum Sofis sudah bergeser dan mengajukan anti tesis terhadap teori hukum filsuf pertama, khususnya menyangkut kekuatan sebagai inti hukum. Tetapi menurut Protagoras, faktual hukum memang ditetapkan oleh orang kuat, maka praktis,
Hukum menjadi alat atau sarana orang kuat. Celakanya konstansi itu serentak menjadi keyakinan Protagoras. Tampaknya Protagoras terjatuh pada relativisme nilai. Antara ide dan sikap tidak sejalan. Hal tersebut memunculkan reaksi keras dari Socrates sebagai pioner filsuf Athena. Reaksi itu dimunculkan dalam teori dan filsafat Socrates. Sama halnya dengan teori filsuf Ionia, teori dari kaum Sofis pun memberi peluang eksplanasi yang cukup besar bagi kita dalam melihat hukum. Pertama, sebuah  teori mesti dibangun berdasarkan asumsi dasar tertentu. Asumsi dasar itulah yang akan menjadi basis eksplanasi (penjelasan) terhadap isi teori. Teoresasi kaum Sofis bahwa hukum merupakan aturan hidup yang terang (mencerahkan) dan dapat diandalkan menuntun pada kehidupan yang adil dan damai, tidak dibangun dari ruang kosong. Mereka mendasarkan konstruksi teoretisnya tersebut pada konsumsi dasar tentang logos-yang menunjuk pada sumber pencerahan, keadilan, kedamaian, dan hal-hal baik lainnya. Logos itulah yang memungkinkan adanya nomos-yang akan menjadi sumber aturan hukum positif. Kedua, teori kaum Sofis sekali lagi menunjukkan bahwa hukum bukanlah unit yang tertutup yang lepas dari sistem sosial yang lebih besar. Hukum (suatu aturan) menjadi tatanan yang kait mengait dengan sub-sub sistem lain dalam masyarakat, baik yang sifatnya abstrak maupun yang lebih emipiris. Teori kaum Sofis , bahwa’hukum merupakan aturan yang mencerahkan’, tidak akan dapat dimengerti dengan baik tanpa dikaitkan dengan religi Olympus Yunani yang memunculkan ide tentang logos, nomos, serta polis. Demikian pula, pengakuan kaum Sofis bahwa hukum merupakan alatnya orang kuat, juga tidak dapat dipahami dengan baik tanpa dikaitkan dengan kenyataan emipiris dimana orang-orang yang berkuasalah yang sesungguhnya menciptakan hukum. Sistem realitas tersebut menjadi unsur yang esensial dalam teori mereka. Di sini, kaum Sofis seolah mengingatkan bahwa kita tidak akan memahami secara memadai sebuah aturan hukum tanpa menyertakan faktor yang saling berkaitan dengan peraturan tersebut, baik yang sifatnya ideologis maupun yang emipiris. Ketiga, di atas praksis, teori kaum Sofis memberi pesan yang cukup jelas bahwa hukum yang baik membutuhkan basis idealisme sebagai rujukan bagi muatan dan isinya. Bagi kaum
Sofis, idealisme itu adalah logos. Di sini sekali lagi perlu ditegaskan bahwa mutu materi dan isi hukum harus menjadi perhatian utama dunia pendidikan hukum. Dan untuk memperoleh muatan dan isi hukum yang bermutu, tidak bisa lain dari pengkajian yang komprehensif terhadap manusia dan dunia kehidupan sosialnya. Itu berarti, kajian-kajian sosial-humaniora menjadi sesuatu yang pokok dari kajian hukum. Sulit dibayangkan apabila, kita bermimpi membangun hukum yang bermutu, jika akademisi hukum tetap saja ingin memenjarakan diri dalam tradisi kajian legalitas aturan, apa lagi menganggap isi hukum bukan merupakan wilayah kajian hukum. Pemujaan manusia Dionysian ala filsuf Ionia dan ketidakpanggahan kaum Sofis terhadap keutamaan logos, memunculkan reaksi kembar dari Socrates (sebagai tokoh utama barisan filsuf Athena). Terhadap filsuf Ionia, Socrates menampilkan tokoh anti tesis Apollonian-yang berwatak rasional, tertib, ramah. Dan bermoral. Sedangkan terhadap kaaum Sofis, ia memancangkan maskot ‘pribadi berintegritas’ (manusia yang menjunjung satunya kata dan tindakan). Itulah proto-tipe manusia sesungguhnya. Manusia bukanlah ‘binatang yang tidak mempunyai aturan’ model Dionysian. Bukan pula makhluk oportunis ala Protagoras. Manusia, hakikat asasinya adalah wujud logos.