RESUME TEORISASI HUKUM

TEORISASI  HUKUM
Prof. Dr. Khudalifah Dimyati, SH, MH
Genta Publisih Tahun 2003
Peresume WISNU HENDRIA SETIAWAN, SH
Mahasiswa Magister Ilmu Pascasarjana Hukum 
Universitas Muhammadiyah Malang
BAB I Hukum merupakan bagian yang tidak terpisah dari semua elemen banyak hal yang mempengaruhi perkembangan hukum di indonesia sehingga mempengaruhi kehidupan sendi masyarakat. Sering iring perkembangannya ada beberapa hal yang ikut mempengaruhi dimasayarakat antara lain perkembangan teori hukum yang dianut oleh para sarjana hukum di indonesia.
Paradigma ini membawa para sarjana pada blok-blok tertentu sehingga ikut membuat peradilan di indonesia berubah bukan pada kebutuhan namun pada keinginan. Peranan hukum dalam masa pembangunan yang membawa perubahan-perubahan dengan epat dalam struktur masyarakat serta dalam sosialnya menjadi perhatian luas dikalangan para sarjana hukum dan para cendikiawan lain yang ikut serta, baik aktif maupun pasif dalam proses pembangunan itu. Pada satu sisi hukum diharapkan menjadi sarana untuk menciptakan ketertiban dan kemantapan tata hidup masyarakat, sedang di lain pihak pembangunan dengan sendiri menciptakan gejala sosial baru yang berpengaruh pada sendi-sendi masyarakat itu sendiri. Perubahan paradigma hukum kolonial menuju hukum nasional yang terjadi secara cepat digambarkan Selo Sumardjan[1] sebagai “ketinggalan sepur” dan bahkan boleh dikatakan bahwa hukum sama sekali kehilangan fungsi dalam pembangunan. Hukum jangan jadi hekkensluitter (penutup pintu), melainkan supaya menjadi pembuka jalan dalam pembangunan. Orientasi hukum supaya diarahkan ke masa depan dan tidak lagi ke masa lampau.



1.                   Selo Sumardjan. Perubahan-perubahan Sosial dan hubungannya dengan perkembangan hukum. Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta. 1981. hal 2.  
Akan tetapi persoalannya adalah bahwa hukum kolonial, bagaimanapun juga adalah hukum yang mempertimbangankan substansinya secara formal masih berlaku dan sebagian besar kaidah-kaidahna masih merupakan hukum positif indonesia yang berdasarkan aturan peralihan  pasal II undang-undang dasar 1945. Artinya pasal tersebut memiliki legituimasi, yang dimaksudkan untuk mencegah kekosongan hukum pada masa memasuki kemerdekaan. Cita-cita nasional untuk menyatukan indonesia sebagai satu kesatuan politik dan pemerintahan telah cenderung untuk mengabaikan hukum rakyat yang plural dan lokal untuk digantikan dengan hukum nasional yang diunifikasikan dan dikodifikasikan. Kebijakan hukum nasional ditantang untuk merealisasikan cita-cita mengfungsikan kaidah-kaidah sebagai kekuatan pembaharuan, mendorong terjadinya perubahan dari wujud masyarakat lokal yang berciri agraris dan berskala lokal kekehidupan baru yang lebih berciri urban dan industrial dalam format  dan skalanya yang nasional bahkan global     
BAB II
Era baru filsafat hukum muncul sebagai akibat konfrontasi ahli hukum yang dalam tugasnya seringkali berhadapan dengan masalah-masalah keadilan sosial[1]. Oleh karena itu, teori-teori hukum lama dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. Sedangkan teori hukum modern dibahas dalam dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri.
Merosotnya demokrasi di Athena, dalamm perang peloponesusu dan sesudahnya, menjadi bahan perenungan tentang keadilan yang mendominasi filsafat hukum plato dan aristoteles. Melihat berantakannya masyarakat Athena, serta runtuhnya nilai-nilai yang tinggi, menjadikan keduanya mencurahkan sebagian besar dari karya mereka untuk memberi definisi yang konkrit mengenai keadilan dan hubungan antara keadilan dengan hukum positif. Sebagaimana telah ditunjukkan hans kelsen, mereka melakukan pendekatan terhadap hukum dari dua sudut yang berbeda yang oleh hans kelsen dijelaskan sebagai pendekatan metafisik dan rasionalitas. Plato berusaha untuk mendapatkan konsep keadilan dari ilham. Sementara aristoteles mengembangkan dari analisis ilmiah atas prinsip rasional dengan setting model-model masyarakat politik dan undang-undang yang telah ada[2].
Plato beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. Dalam karyanya yang terakhirnya ternyata berbeda dengan anggapan terdahulu. Dalam masyarakat, sebagaimana dilukiskan dalam “Republik”, hukum merupakan sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun dengan baik yang mengikat masyarakat, tidak mendapat tempat. Karya itu terutama mengandung analisis terhadap fungsi-fungsi dari kelas-kelas yang bermacam-macam dalam negara dan khususnya terhadap para pakar dan filsuf yang harus mengawasi negara. Filsuf lain, aristoteles  misalnya memberi kontribusi kepada teori hukum tampak lebih nyata antara lain[3] :
Kontribusi pertama adalah mengilhmai studi ensklopedia terhadap keberadaan undang-undang kepada masyarakat dalam bentuk konstitusi dan perundang-undangan. Doktrin aristoteles tidak hanya meletakan dasar-dasar bagi teori hukum tetapi juga kepada filsafat barat pada umumnya, sifat ganda manusia sebagai bagian dari alam dan sebagai subyek hukum dari alam. Sebagai bagian dari alam semesta manusia tunduk pada undang-undang pokok dan alam pada saat manusia mendominasi alam melalui semangat yang memungkinkan untuk berkehendak secara bebas, dan untuk membedakan kejahatan dan kebaikan. Hal ini merupakan perpaduan yang baik dari filsafat hukum skolastik sampai pada masa yunani dan filsafat hukum rasional: dari Kant hingga hegel: dari jhon struart mill dan herber spencer hingga del vecchio dan kholer.
Kontribusi kedua bagi filsafat hukum adalah formulasi terhadap masalah keadilan . filsafat hukum membedakan keadilan “Distributif” dengan keadilan “Korektif” yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan. Keadilan “distributif” mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan ini menitik beratkan pada kenyataan fundamental dan selalu benar meskipun selalu berkesampingkan oleh hasrat filsuf untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi tertentu sekaligus sah. Keadilan tersebut untuk hukum positif untuk menjelaskan siapa sederajat dengan hukum, diperlukan prinsip etika tertentu.
Kontribusi Ketiga adalah pembedaan antara keadilan menurut hukum dan keadilan menurut alam. Keadilan pertama mendapat kekuasaan dari apa yang ditetapkan sebagai hukum, apakah adil atau tidak, keadilan kedua mendapatkan kekuasaan dari apa yang menjadi sifat dasar manusia yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Kontribusi keempat adalah definisi hukum yakni sebagai seperangkat peraturanyang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim seperti yang dikatakan aristoteles[4] :
laws are something different what regulates and expresess the from of the constitution, is it to direct the contract of the magistrate in the execution of his office and the punishment of offenders”.
Terhadap definisi aristoteles, beberapa ahli hukum modern mengajukan penolakan dengan alasan kebijakan administrasi harus bersifat bebas.
Menurut Grotius sifat manusia yang khas adalah keinginannya untuk bermasyarakat, untuk hidup tenang bersama, hal ini sesuai dengan watak intelektualnya. Prinsip-prinsip hukumm alam berasal dari intelektual manusia yangmenginginkan suatu masyarakat yang penuh damai. Diatas prinsip hukum alam Grotius membangun prinsip yang paling fundamental yaitu pacta sunt servanda yakni tanggung jawab atas janjin-janji yang telah diberikan dan perjanjian-perjanjian yang telah ditanda tangani[5]. Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori didalamnya. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan kedalam hukum ala mini bermunculan dari masa ke masa yang berbeda –beda pula. Hukum alam banyak mendapat kritik tajam dan mengalami kemunduran sejak abad kesembilan untuk digantikan oleh aliran positivisme.
Teori positivisme lahir pada abad kesembilan belas ditandai dengan munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum dan abad tersebut menerima warisan pemikiran-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealistis. H.L.A Hart[6] membedakan arti dari positivisme seperti banyak disebut dalam ilmu hukum kontemporer yakni: pertama menganggap bahwa undang-undang adalah perintah manusia, kedua anggapan bahwa yang ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dan yang seharusnya ada, ketiga anggapan bahwa analisis (studi tentang arti) dari konsepsi-konsepsi hukum : (a) layak dilanjutkan (b) harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari undang-undang mengenai penelitian sosilogis antara hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya. Keempat anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup artinya putusan hukum yang tepat ditentukan lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan sosial, kebijakan, dan norma moral, kelima, anggapan bahwa penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan seperti halnya pernyataan tentang fakta dengan alasan yang rasional, petunjuk dan bukti.
Teori hart[7] tentang hukum positif dimulai dengan menjawab “apakah Hukum Positif itu?”, essensi hukum positif terletak pada penggunaan unsurepaksaan, sementara teori Lon Fuller menekankan pada isi teori hukum positif sebagai persayaratan moral tertentu, antara lain[8] :
1.     Harus ada pedeman atau aturan dalam membuat keputusan.
2.     Aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan melainkan diumumkan.
3.     Aturan yang dibuat menjadi pedoman bagi kegiatan dikemudian hari artinya aturan tidak boleh berlaku surut.
4.     Hukum dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dimengerti.
5.     Aturan tidak boleh saling bertentangan dengan aturan lain.
6.     Aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku diluar kemampuan pihak yang terkena artinya hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan
7.     Hukum harus ada ketegasan dan hukum tidak boleh berubah sewaktu-waktu.
8.     Harus ada konsistensi antara peraturan sebagaimana diumumkan dengan pelaksanan di lapangan.
John Austin[9] sebagai seorang positivis utama mempertahankan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertenggi dalam suatu negara, Austin berpendapat ilmu hukum (jurisprudensi) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut Austin tugas ilmu hukum hanyalah menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Maka hukum menurut Austin dibagi menjadi dua yaitu: hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk Manusia (Hukum Tuhan) dan hukum yang diadakan oleh manusia untuk manusia (Hukum Manusia).
Teori model positivistik Austin inilah yang dipadang Satjipto Rahardjo sebagai produk hukum yang bersifat final. Artinya konsep hukum sebagai produk final lazim bergandengan dengan pemahaman hukum sebagai perintah atau komando. Positivistime sebagai sebuah mainstream menempatkan dirinya dalam posisi yang sulit dibela[10] oleh karena pandangan-pandangannya terhadap hukum yang sangat simplistis jika berhadapan dengan suatu problem masyarakat yang kompleks dan rumit, artinya positivisme hanya melihat persoalan secara “Hitam Putih”, sementara problem yang dihadapi dengan sangat kompleks karena pada manusia pada dasarnya berbeda satu dengan yang lainnnya, dalam konteks Indonesia dominasi normatif sangat dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan berbangsa.
Teori hukum murni, fokus teori hukum murni menurut hans kelsen, bukanlah salian ide transedental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori hukum murni tidak berusaha menandang hukum seabagai anak cucu keadilan, sebagai anak dari orang tua yang suci, teori hukum murni tampaknya memegang teguh suatu perbedaan yang tegas antara hukum empirik dan keadilan transedental dengan meniadakan keadilan transedental dari perhatian spesifiknya.
Teori ini tidak melihat manifestasi dari suatu otorita gaib hukum melainkan meninjau suatu teknik sosial spesifik yang didasarkan pada pengalaman manusia. Mahzab Wina[11] mengetengahkan dalm teori hukum pencarian pengetahuan yang murni dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi yakni, pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan dan keinginan. Ilmu hukum adalah ilmu normative demikian menurut hans kelsen, dan hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan karena proses alami melainkan karena kemauan dan akal manusia[12]. Kemanuan dan akal ini merumuskan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai suatu analisis tentang struktur hukum positif yang dilakukan sedemikian rupa sehingga bebas dari semua pendapat etis dan politk mengenai nilai. Kelsen juga menolak memeberi definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subjektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuan yang benar-benar objektif. Prospektif kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti manusia.
BAB III
Sebagian dari tatanan kehidupan di dalam masyarakat adalah hukum. Dalam kehidupan dan peradapan modern, hukum bahkan jauh mengungguli bentuk manifestasi tatanan yang lain[13]. Oleh karena ketajaman dan kejelasannya serta kemampuannya untuk memaksa dipatuhi, maka hukum merupakan bentuk tatanan masyarakat par excellence. Disebabkan bentuknya yang sangat tajam dam penetratif, maka semenjak kemunculan hukum modern terjadilah suatu revolusi diam-diam di dunia. Sejak saat itu maka dunia terbelah menjadi dua secara tajam, yakni dunia hukum dan dunia sosial.
H.L.A Hart tokoh aliran positivis berusaha menjelaskan perubahan diatas sebagai perubahan dari masyarakat atau kehidupan didasarkan pada “primary rules of obligation” kepada “secondary rules of obligations”. Kendati peralihan kepada sistem hukum modern dapat disebut sebagai revolusi, tetapi kehadiran dan kekuatan dari tatanan masa lalu tidak sama sekali hilang. Pemikiran tentang hukum yang kemudian melahirkan positivisme tidak dapat dipisahkan dari kehadiran negara modern sebelum abad kedepalan belas pikiran itu sudah hadir dan menjadi semakin kuat sejak kehadiran negara modern. Jauh sebelum tradisi untuk menaungkan atau menjadikan hukum positif itu, masyarakat lebih menggunakan apa yang disebut interactional law atau customary law. Akan tetapi dengan semakin tidak sederhana dan intimnya lagi hubungan dan proses dalam masyarakat semakin kompleks.  
BAB IV
Memasuki abad keduapuluh suasana pemikiran dalam tataran global secara umum dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran yang terjadi di barat, khususnya di eropa. Pengaruh eropa telah menyebar ke seluruh dunia, dan bersama dengan itu perkembangan pemikiran yang terjadi di eropa, ikut mewarnai perkembangan pemikiran dunia pada umumnya. Eropa pada waktu itu menjadi pusat gravitasi perkembangan dunia. Lahirnya kebudayaan eropa modern diawali oleh gerakan renaisans yang selanjutnya diikuti oleh gejolak-gejolak di dalam bidang pemikiran, pengetahuan politik dan keagaman.
Sebagai reaksi dan teori rasionalis, timbul teori empiris. Kaum empirisis berharap menemukan suatu basis untuk pengetahuan dalam pengalaman inderawi. Tetapi locke, berkeley dan hume mereka mendapatkan bahwa pengalaman inderawi menghasilkan informasi tentang dunia, jauh dari yang mereka harapkan. Hume mengatakan bahwa dari penelitian yang tuntas tentang apa yang diketahui dari pengalaman inderawi, akan dibawa ke arah skeptisisme mengenai kemungkinan pengetahuan yang sejati. Aliran-aliran empiris menyerang sistem-sistem rasionalime berdasarkan keyakinan bahwa bukan pikiran melainkan pengalaman merupakan sumber segala pengetahuan. Di lain pihak empirisme itu memiliki semangat rasionalisme, hanya apa yang sungguh-sungguh ditentukan realitasnya secara rasional dan dapat diterima kebenarnnya. Persoalan yang muncul kemudian tekanan yang berlebihan terhadap deskripsi berdasarkan fakta empiris saja juga mendustakan bumi ilmu-ilmu sosial bagi munculnya teori aras tinggi. Logika empiris merupakan reaksi terhadap sintesis antara rasionalisme Rene Descartes dan positivisme Agustus Comte. Pengandalan kekuatan nalar dan pengagungan pemikiran rasional dalam rasionalisme dicerminkan oleh kata-kata Descartes sendiri; “Cogito ergo sum” (Aku berpikir karena itu aku ada). Baginya, “res extensa” (kenyataan luar) terpisah sama sekali dengan “res cogitans” (realitas dahlil dalam pemikiran). Sebaliknya Agustus Comte hanya mengandalkan pengalaman empiris sebagai sumber pengetahuan. Jika demikian bukanlah logika empirisme merupakan perpaduan yang selaras yang tidak senjang ke ekstrem pikiran atau ekstrem pengalaman?, bukanlah norma dahlil masyarakat ilmuwan yang profesional itu dijamin dengan ketat dalam logika empirisme sehingga dapat dihasilkan pengetahuan yang objektif dan terandalkan?, jika ditolak pandangan netralitas yang dalam konteks logika-empirisme memang dapat dipertahankan itu apakah tidak memerosokan diri kedalam pandangan yang berbau distorsi ideologi?.     
BAB V   
Satjipto Rahardjo[14] melalui pidato pengkukuhan sebagai guru besar Sosiologi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro melancarkan kritik terhadap penyelenggaraan pendidikan hukum di indonesia yang dikatakannya asih terlalu berat ke pembinaan keahlian sebagai “tukang-tukang hukum”, daripada ilmuwan hukum yang sesungguhnya. Penggunaan optik preskriptif yang domian dalam dunia pendidikan hukum di indonesia, implikasi pada kurang membantu dan mendorong para mahasiswa untuk menghadapi hukum secara kritis dan kreatif. Oleh karena dunia pendidikan yang berorientasi pada optik preskripktif itulah maka out put yang dihasilkan pada akhirnya membentuk alam pikiran mereka.
Paradigma pendidikan hukum di indonesia tampaknya masih di dominasi oleh penggambaran mengenai kebenaran profesional daripada kebenaran ilmiah. Keadaan seperti itu tampaknya dipengaruhi oleh mapannya program pendidikan hukum untuk melayani kebutuhan profesi yang diselenggarakan fakultas-fakultas hukum. Selama ini out put fakultas hukum hanya melahirkan yuridis profesional saja. Dalam kajian hukum yang teoritis, teks atau pasal-pasal suatu aturan hukum justru menjadi masalah dan bukan sebatas pelerai konflik yang muncul dalam masyarakat. Sejak dicanangkan penandatangan kesepakatan GATT dan kesepakatan lainnya seperti : NAFTA, APEC, serta didirikannya WTO dan dilaksanakannya Structural Adjustment Programm oleh Bank Dunia merupakan pertanda globalisasi tengah langsung. Bahkan dengan tumbuhnya kawasan-kawasan pertumbuhan terpadu suatu kawasan industri yang bebas dari campur tangan pemerintah di berbagai, maka sesungguhnya proses globalisasi telah mulai.
Pendidikan tinggi hukum dalam global seharusnya merujuk kepada realitas dinamika masyarakat dan bukan mengingkarinya sehingga tercabut dari akar kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, pendidikan tinggi hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dunia yang senantisa berubah. Dengan demikian, perkembangan ilmu hukum harus dilihat sebagai sebuah proses dialektik yang merupakan bagian dari kahsanah  pergulatan  intelektual. Untuk merubah paradigma pendidikan tinggi hukum, maka harus dimulai dengan merubah secara fundamental pendidikan sebagai subjek dinamik realitas kehidupan masyarakat sehingga pemahaman hukum bersifat holistik, visioner dan bermakna.    

Daftar Pustaka
Freidmann, W. 1967. Legal Theory. New York: Columbia University Press
Mahfud MD. Moh. 1998. Politik Hukum Indonesia. Jakarta. LP3ES
Raharjdo, Satjipto. 1975. Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan
     Hukum. Bandung. Alumni.
______________. 1980. “Manfaat Telaah Sosial terhadap hukum”. Pidato Pengkukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Pada Mata Pelajaran Sosiologi Hukum pada Fakultas Hukum Un



1.         W. Freidmann, Legal Theory (terjemahan), Khudzaifah Dimyati, Genta Publishing, Yogyakarta, 2004, hal. 54.
[2].      Satijpto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal. 226.
[3].   W. Friedmann, Op. Cit, hal 10-11
[4].   Ibid, hal. 11.
[5].   Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, The Philosophy and Method of the law,(terjemahan), Khudzaifah Dimyati, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 62.  
[6].  W. Friedmann, Op.Cit,hal 256-257.
[7].    H.L.A Hart, The Concept of Law, Oxford University Press, 1961, hal. 91..  
[8].    Lon Fuller, The Morality of Law, Yale Univesity Press, 1964, Khusus Bab 2.
[9].    Satjipto Rahardjo, Op. Cit, n1986, hal. 237.
[10].   Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi. Telaah Filsafat Politik John Rawls, Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 32.
[11].   Satjpto Rahardjo, Op. Cit , hal 242.
[12].    Ibid, hal 244
14 .      Satjipto Rahardjo. Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Alumni. Bandung. 1975. hal. 191.
[14] .      Satjipto Rahardjo. Manfaat Telaah Sosial terhadap Hukum. Pengkukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro. Semarang 1980. hal 230.



1.                   Selo Sumardjan. Perubahan-perubahan Sosial dan hubungannya dengan perkembangan hukum. Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta. 1981. hal 2.