RESUME TEORI HUKUM

TEORI HUKUM KRITIS
JUDUL BUKU TEORI HUKUM KRITIS
PENULIS ROBERTO M. URGER

PENERBIT NUSA MEDIA PO BOX 137 UJUNGBERUNG, BANDUNG
PERESUME ANTONINO PEDRO MARSAL
MAHASISWA PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Beban Masa Lalu Dalam Teori Sosial

        Sudah menjadi rahasia umum bahwa tokoh-tokoh besar meninggalkan beban bagi generasi sesudah mereka. Pencapaian mereka yang luar biasa di bidang politik, seni, atau pemikiran, membuat generasi sesudah mereka, yang peroleh manfaat  dari pristasi mereka, merasa tak berdaya karena tidak ada lagi persoalan yang benar-benar penting untuk diselesaikan. Perasaan bahwa peluang-peluang yang paling gemilang telah habis diselidiki dan diperas manfaatnya. Akibatnya, generasi penerus seakan menghadapi dilemma menjadi sekedar pelestari karya-karya agung yang diwariskan tokoh-tokoh besar, berbekal hasrat akan kemandirian, tetapi kalah dalam kecemerlangan mengerucutkan ambisi secara drastis dan dengan keahlian teknisnya bertekad untuk menguasai satu bidang yang sempit.
       Dalam sejarah pemikiran spekulatif, bentuk dilemma ini memang khas. Di satu sisi, para peniru (epigone) dapat menjadi peneliti dan penafsir teks-teks  klasik, kendati sembari menanggung malu karena hilangnya kemandirian intelektual mereka. Di sisi lain, mereka dapat berdalih bahwa masa sebelum mereka termasuk masa prasejarah yang belum jelas dalam dunia ilmu mereka, dan dalam masa itu, masih terbuka peluang untuk berkarya tanpa dibatasi pembedaan-pembedaan antardisiplin ilmu. Sebagai alternative agar terhindar dari perbandingan dengan para pendahulu, mereka menekuni spesialisasi dengan resiko terjerumus ke dalam semacam minoritas intelektual permanen.

       Kedua respons terhadap masalah yang datang setelah zaman sarat prestasi gemilang ini merupakan kegagalan pikiran dan batin. Kedua respons itu melambangkan penolakan untuk menghadapi kebesaran sejarah secara langsung dan meneladani dengan berani dan jujur apa yang dikagumi.sikap pengecut semacam itu sangat mahal harganya karena menjerumuskan para sarjana untuk diam-diam melecehkan diri sendiri dengan kedok skeptisisme defensit terhadap teori umum. Dalam situasi seperti ini, satu-satunya cara untuk meneguhkan indentitas adalah dengan mempermasalahkan hal-hal kecil dalam karya-karya agung mereka mencari-cari kehebatan.
TEORI SOSIAL DAN FILSAFAT POLITIK
      Teori sosial adalah kajian tentang masyarakat yang cirri-ciri khasnya mulai muncul dalam tulisan-tilisan Montesquieu, tokoh-tokoh sezamannya, atau sesudahnya, dan mencapai semacam puncak pada karya Marx, Durkheim, dan Weber. Awalnya teori sosial membangun indentitas dengan cara membuat kontras dengan pemikiran politik tokoh-tokoh zaman kuno dan tokoh-tokoh skolastik (Schoolmen). Ada dua cirri pokok yang membedakan teori social dengan tradisi sebelumnya: pertama, berhubungan dengan konsepsinya tentang tujuan dan metodenya sendiri: kedua berhubungan dengan pandangan terhadap relasi antara watak dasar manusia (human nature) dan sejarah. Kedua aspek di atas sama-sama cukup akrab, tetapi implikasinya terhadap isu-isu utama pemikiran social masih saja dipahami secara keliru.
       Filsafat politik dari tokoh-tokoh zaman kuno bersifat deskreptif sekaligus preskriptif. Artinya, filsafat tersebut lebih dari sekedar kpentingan untuk menentukan cara mengatur masyarakat atau menanamkan pandangan-pandangan tentang individu dan teori sosial moderen. Filsafat politik dari tokoh-tokoh zaman kuno menunjukan bahwa metode yang digunakan teori trandisional adalah metode yang tidak dikenal. Meski tidak semua, sebagian besar pembedaan antara fakta dan nilai, deskripsi dan evaluasi, dalam metode itu tidak dikenal.




KESATUAN DAN KRISIS DALAM TEORI SOSIAL
      Ada dua pandangan yang sering dikemukakan dalam pemikiran kontemporer tentang ilmu-ilmu sosial, dan keduanya saling melengkapi. Pandangan pertama menyatakan, kajian-kajian kita di masa sekarang tentang masyarakat yang dilakukan di cabang-cabang khusus ilmu sosial, berpijak pada konsep, metode, teori, dan asumsi tersirat yang diwariskan kepada kita oleh teoritisi-teoritisi social terkemuka dari akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Inilah yang menyebabkan karya-karya mereka tampak klasik bagi kita. Hubungan kita dengan karya-karya tersebut adalah hubungan ketergantungan dan permulaan asal muasal. Dalam pandangan ini bisanya tersirat pandangan yang lebih kuat dan lebih tersamar bahwa macam-macam aliran dalam warisan klasik ini sebenarnya membentuk kesatuan yang utuh. Mungkin saja pemikir-pemikir seperti Tocqueville, Marx, Durkhein, dan Weber itu berbeda satu sama lain, tetapi pendekatan mereka yang berbeda-beda itu dikatakan saling berhubungan dalam banyak hal yang besar maknanya.
       Gagasan bahwa kita senantiasa dibatasi kerangka mewadahi pemahaman teori social klasik tentang masyarakat, lambat-laun diikuti prespektif kedua terkait kondisi pemikiran sosial saat ini, yaitu pemikiran adanya sesuatu yang penting yang telah  keliru pada karya-karya klasik dan generasi sesudahnya. Terkandang, kesimpulan didasari konsepsi adanya kelemahan vital dalam metode-metode teori sosial klasik lain kali, keberatan tertuju pada bidang kajiannya, jenis masyarakat yang dianalisis oleh teoritis-teoritis sosial klasik telah berubah, maka, gagasan-gagasan mereka tidak lagi berlaku. Kedua pendapat tersebut dapat ditemukan dalam tinjauan-tinjauan yang lebih halus dan lebih luas pengaruhnya.
      Maka, dikatakan bahwa pemahaman kontemporer kita tentang masyarakat sedang mengalami krisis. Krisis itu sangat erat kaitannya dengan transformasi mendasar dalam masyarakat sendiri, persis seperti penciptaan teori klasik yang dikaitkan dengan munculnya Negara kapitalis liberal moderen, kita baru bisa keluar dari kebingungan ini dengan menyusun kembali perangkat konseptual dan metodologis teori sosial berdasarkan masalah-masalah yang dibebankan kondisi-kondisi baru masyarakat tersebut kepada kita. Dalam upaya untuk menemukan teori-teori yang akan menjelaskan sifat-sifat khusus situasi secara kita sendiri, kita dapat memperdalam pemahaman kita tentang kebenaran yang universal terkait manusia dan masyarakat.
MASALAH METODE
       Pendekatan teoritisi sosial terhdap masalah metode yang senantiasa kita hadapi itu sebagian besar ditentukan oleh sangat terbatasnya ketersediaan pola-pola dasar penjelasan yang ada bagi pemikiran barat moderen. Bahkan, boleh. Dibilang semua prosedur yang ada merupakan variasi dari dua jenis prosedur dasar. Analisis logika dan penjelasan kausal (sebab akibat). Masing-masing prosedur memberikan panafsiran mengenai apa yang dimaksud dengan menjelaskan sesuatu, baik dalam arti memberitahukan seperti apakah sesuatu itu deskripsi atau dalam arti membuktikan alasan sesuatu harus berlangsung mengikuti sesuatu yang lain penjelasan dalam arti yang tepat-tepatnya. (setiap kali saya menggunakan kata penjelasan tanpa batasan atau perbandingan, yang saya maksudkan adalah deskripsi sekaligus penjelasan dalam arti sempit).
       Baik logika maupun kausalitas tidak mencapai maknanya yang sekarang ini secara bersama-sama. Sebaliknya, keduanya mengalami sejarah yang panjang dan berliku-liku, keduanya muncul di saat-saat tertentu, dan keduanya mengalami bernagai perubahan, alternatif yang diberikan ligika dan kausalitas memberitahukan sesuatu yang dalam seputar pikiran manusia dan perkembangannya. Saya akan mulai dengan memaparkan skema logika dan skema kausal dalam bentuk-bentuk abstraknya yang paling sederhana, lalu diteruskan dengan menunjukkan penggunaan keduanya dalam teori social dan hambatan-hambatan apa saja yang dihadapkan teori social dalam proses tersebut.


MASALAH TATANAN SOSIAL
       Masalah tatanan sosial (social order) muncul dari kebingungan yang dialami terkait keberadaan msyarakat sendiri, sama seperti masalah metode yang muncul dari keingintahuan untuk mencari cara pengkajian kehidupan sosial. Dibalik bentuk-bentuk asosiasi yang selalu berubah, mampukah kita melihat sesuatu yang mendasar bagi ikatan sosial. Inilah masalah yang kita hadapi sebelum kita sampai pada permasalahan-permasalahan yang lebih kongrit, sebab-sebab keselarasan dan konflik dalam masyarakat.
       Misalkan tidak ada yang keliru dengan persoalan kegiatan seorang filsuf di masa lalu. Teori-teori kita mengenai budaya dan pengorganisasian sosial bergantung pada pandangan yang kita miliki mengenai prilaku manusia dan hubungan-hubungannya interpersonal. Dengan menolak doktrin watak dasar manusia yang suprahistoris, teori sosial klasik melepaskan upaya tersebut dan sampai pada pemahaman mengenai perilaku yang mungkin mendahului dan bebas dari pertimbangan relasi sosial. Namun, dengan begitu, tidak berarti teori sosial terbebas dari tuntutan untuk membuat asumsi-asumsi terkait apa saja yang ada dalam relasi social yang memungkinkan terwujudnya hidup berkelompok (group life) yang teratur.
       Sebagai permulaan, asumsi-asumsi semcam itu sangat diperlukan sebagai paduan dalam peneliti emperis. Selanjutnya, banyaknya hal-hal material dalam pengalaman sosial dan keambiguannya menjadi begitu rupa, sehingga bukti nyata kebenaran akan persaingan antarpandangan seputar tatanan sosial berdasarkan pengamatan saja tampaknya tidak mungkin di msa depan yang sudah diramalkan yang terakhir, masing-masing doktrin tatanan sosial yang akan dibicarakan disini memiliki komponen moral yang relatif tersenbunyi. Masing-masing doktrin tidak pernah dapat dipisahkan sepenuhnya dari komponen moral tersebut. Dalam segala hal, ada hubungan timbal balik yang tidak dapat dipisahkan antara kepercayaan tentang apakah masyarakat itu dan bagaimana seharusnya masyarakat itu.

MASALAH KEMODERNAAN
       Permasalahan ketiga yang menghantui para teoritisi sosial klasik adalah masalah kemodernaan, apa yang membedakan masyarakat mereka sendiri, Negara-bangsa Eropa moderen, dengan semua masyarakat yang lain? Apa yang menunjukkan pengalaman kemodernaan dan dimana tempatnya dalam sejarah dunia? Hubungan apa yang ada di antara pandangan masyarakat moderen tentang dirinyasendiri, yang terungkap dalam budaya kelompok-kelompok dominannya, dan bentuk masyarakat itu yang sesungguhnya, pembahasan saya sekarang mengenai masalah kemodernaan sangat singkat. Kelak ada kesempatan yang lebih baik untuk mengulasnya dengan jauh lebih rinci.
       Bagi semua teorisasi sosial klasik, upaya untuk menetapkan pandangan yang komprehensif tentang manusia dan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari minat untuk memahami kondisi dan prospek-prospek zaman mereka. Dalam hal ini, mereka sekedar mengulang ajaran abadi bahwa semua pemikiran yang dalam berawal dan berakhir pada upaya untuk memahami apapun yang paling langsung menyentuh manusia.
WATAK DASAR MANUSIA DAN SEJARAH
        Untuk menyelesaikan resolusi masalah metode, tatanan sosial, dan kemodernaan akhirnya dibutuhkan sebuah pandangan mengenai watak dasar manusia.
       Logika dan kausalitas gagal menjadi metode yang layak bagi kajian sosial karena keduanya mengacu pada aspek-aspek manusia dengan karakteristik-karakteristik yang berbeda dengan aspek-aspek fenomena sosial. Logika memperbincangkan urutan gagasan kausalitas membahas urutan peristiwa. (sebuah gagasan dapat dipandang sebagai konsep ektratemporal yang dihubungkan dengan relasi-relasi sebab dan berkontradiksi dengan konsep-konsep lain, atau sebagai peristiwa dalam benak seseorang dengan sebab dan akibat sebagaimana peristiwa-peristiwa lain. Logika menerangkan gagasan hanya dalam pengertian yang pertama,konsep ekstratemporal)
        Segala perkataan seseorang dapat dipandang sebagai gagasan yang sama dengan analisis logika. Segala perbuatanya juga dapat dijelaskan secara kausal. Namun, jika nasionalisme dan historisisme gagal sebagai sarana layak bagi kajian sosial, ini pasti karena manusia memiliki dimensi ketiga, kesadaran (consciousness). Wilayah kesadaran (realm of consciousness) tampaknya melampaui batas-batas tatanan gagasan dan peristiwa justru karena wilayah itu melibatkan hubungan khusus antara keinsafan (awareness) dan eksistensi, antara pemikiran dan perbuatan. Hubungan ini tidak mungkin tidak mungkin dipahami lewat pengetahuan yang memiliki urutan sangat tepat, niscaya, dan objektif. Pemahaman yang memadai atas aspek ketiga yang selaras dengannya ini tergantung pada pemahaman tentang manusia dan tempatnya di dunia.
        Dua gagasan yang saling bertentangan mengenai tatanan itu disimbolkan oleh doktrin konsensus, yang pada akhirnya mengandalkan pendapat-pendapat yang berlainan tentang perilaku manusia dan hubungan antara sisi individu dan sisi sosial kepribadian. Untuk menentukan karakter perilaku yang menghubungkan individualitas dengan sosialibitas, harus dipahami lebih dulu seperti apa manusia itu.
       Melalui pemeriksaan yang lebih mendalam, masalah kemodernaan berubah menjadi permasalahan tentang cara membandingkan bentuk-bentuk kehidupan sosial, masyarakat Eropa moderen dengan para pendahulunya dan jenis masyarakat moderen yang berbeda-beda diantara mereka sendiri.
  TIGA KONSEP HUKUM
       Disiplin ilmu yang telah mengaitkan studi hukum dengan masalah-masalah teori sosial seringkali berselisih. Namun, bila dilihat lebih cermat, banyak perselisihan di antara disiplin-disiplin itu memunculkan kebingungan mengenai istilah, yang seharusnya dihindari sejak awal. Sebagian aliran pemikiran memandang hukum sebagai fenomena universal yang umum dijumpai pada semua masyarakat. Karena itu, aliran-aliran tersebut tidak dapat memahami gagasan bahwa hukum bisa saja muncul atau tidak muncul. Kecenderungan yang berlawanan membatasi konsep hukum sebagai sistem hukum moderen jenis khusus. Dari sudut pandang ini, studi komparatif kedudukan hukum dalam berbagai masyarakat tidak mungkin digunakan sebagai peluang untuk mengkaji permasalahan-permasalahan yang lebih umum dalam teori sosial. Kita membedakan pengertian bahwa hukum memang merupakan gejala universal, dengan pengertian bahwa hukum memiliki cirri-ciri khusus sesuai jenis masyarakatnya.
       Saya bermaksud membicarakan landasan sejarah hukum birokratis terlebih dahulu, lalu disusul dengan landasan sejarah tatanan hukum. Pada masing-masing kasus, saya akan mengkaji faktor-faktor yang ada baik sebagai ciri khas pengorganisasian sosial, maupun sebagai unsur-unsur budaya atau kesadaran.
MUNCULNYA HUKUM BIROKRATIS
       Kondisi-kondisi yang menonjolkan peraturan publik dan peraturan positif dalam tatanan normatif masyarakat dapat dibagi menjadi dua kategori besar, pemisahan Negara dengan masyarakat, dan disintegrasi komunitas. Kategori yang pertama bertanggung jawab atas sifat publik hukum birokrasi, yang kedua bertanggung jawab atas sifat positifnya. 
Pemisahan Negara dan masyarakat
        Peraturan-peraturan publik tidak mungkin dibicarakan sampai lembaga-lembaga masyarakat dapat dibedakan dengan sebuah badan yang mengatasi wewenag kelompok-kelompok sosial lainnya dan membatasi interaksi mereka perbedaan mencolok antara dua jenis standar perilaku yang satu bersifat pribadi setelah berdirinya pemerintahan yang nyata. Oleh karena itu, persoalan dalam menjelaskan gejala pemerintahan. Untuk mendekati persoalan ini, ada dua cara yang saling melengkapi. Cara pertama dengan menganggapnya sebagai masalah pengorganisasian masyarakat yang senantiasa berubah. Dilihat secara terpisah, kedua penafsiran itu menyesatkan dan tidak layak, tetapi dilihat secara bersama-sama, keduanya saling melengkapi kekurangan masing-masing.
MUNCULNYA TATANAN HUKUM
       Tatanan hukum merupakan gejala sejarah yang jauh lebih langka daripada hukum birokrasi. Bahkan, ada kemungkinan tidak ditemukan satupun contohnya diluar Negara liberal barat moderen. Peradaban lain yang tampaknya memiliki sistem hukum, setelah ditelaah lebih cermat, ternyata tidak punya. Ada dua kondisi sejarah yang memunculkan rule of law.
       Kondisi pertama menjabarkan pengalaman dan pandangan relasi kelompok. Agar tatanan hukum dapat berkembang, tidak boleh ada satu kelompokpun yang memegang posisi dominan secara permanen atau dipercaya memiliki hak inheren untuk memerintah. Hubungan antarkelompok seperti itu disebut masyarakat liberal, atau dalam bahasa ilmu politik Amerika kontemporer yang lebih jelas, pluralisme kelompok kepentingan. Kondisi kedua yang melatarbelakangi sejarah system hukum adalah kepercayaan pada hukum universal yang lebih tinggi, atau hukum tuhan sebagai standar untuk menilai dan meninjau hukum positif Negara.
KASUS CINA SEBUAH ANALISIS KOMPARATIF
Hipotesis
       Kerangka yang baru saya gambarkan menunjukkan awal jawaban bagi pertanyaan tentang mengapa tatanan hukum berkembang di eropa moderen lebih tepatnya, di Eropa moderen saja sampai dibawa dari sana ke bagian dunia yang lai. Kita sudah melihat bahwa tatanan normative jenis baru ini dibungkus dengan sebuah pemahaman khas dan koheren tentang dunia dan pengaturan relasi sosial. Ada dua aspek yang tersembunyi dalam situasi sejarah ini, yaitu runtuhnya relasi hirarki stabil diantara status-status sosial dan pandangan terhadap alam dan masyarakat sebagai karya tangan tuhan yang sudah menjadi terpisah atau tersembunyi darinya.
     

          Dengan demikian, upaya untuk menemukan landasan-landasan sejarah tatanan hukum memaksa kita untuk memperjelas pemikiran kita tentang aspek-aspek paling mendasar dalam masyarakat yang didalamnya terbentuk of law rule. Dalam peradapan-peradapan lain, kita menemukan perubahan-perubahan sosial yang berdampak pada pluralisme kelompok tertentu atau penguatan pandangan akan dunia, sebuah pandangan yang kerap diikuti dengan penafsiran kumpulan-kumpulan sistimatis hukum agama. Namum, di manapun tidak pernah terjadi kedua unsure tersebut bergabung sempurna dan menghasilkan rule of law moderen dari interaksi tersebut.
       Hipotesis awal ini bisa kita uji sekaligus kita berbaiki jika kita menemukan peradaban yang mungkin masih asing dengan ideal rule of law dan sudah berpuas diri dengan hukum birokratis. Dalam masyarakat seperti itu kita boleh berharap akan menemukan pemisahan antara Negara dan masyarakat serta bentuk-bentuk awal disintegrasi komunitas. Faktor-faktor yang yang menjelaskan perkembangan kumpulan-kumpulan hukum public dan hukum positif. Tetapi, kita tidak mungkin mengharapkan aka nada jenis-jenis tatanan social dan kepercayaan yang terkait dengan Negara liberal dan agama transenden.