JUDUL BUKU TEORI HUKUM
PENULIS DR.BERNART L.TANYA,SH.MH.
PENERBIT GENTA PUBLISHING
TAHUN 2010 TEBAL X11,260 HALAMAN
PERESUME HAJENANG, SH
MAHASISWA MAGISTER ILMU HUKUM UMM
Teori Plato (427 SM - 347 SM)Pengungkapan kebaikan hanya diterima oleh kaum aristokrat (para filsuf).
Sebab mereka adalah orang-orang bijaksana. Maka di bawah pemerintahannya,
dimungkinkan adanya partisipasi semua orang dalam gagasan keadilan. Keadilan
bisa tercipta tanpa hukum. Karena yang menjadi penguasa adalah kaum cerdik
pandai, kaum arif bijaksana yang pasti mewujudkan theoria (pengetahuan
dan pengertian terbaiknya) dalam tindakan. Sebagai pelaksanaan hukum yang dipegang oleh kaum Aristokrat (filsuf),
Plato merumuskan standarisasi sebagai berikut:
a.
Hukum untuk menangani fenomena di dunia yang penuh dengan ketidakadilan.
b.
Aturan hukum dihimpun dalam kitab, agar tidak muncul kekacauan hukum.
c.
Setiap UU harus didahului preambule tentang motif dan tujuan dari UU itu.
d.
Membimbing manusia ke arah hidup yang saleh dan sempurna.
e. Orang yang melanggar UU harus dihukum, yang bertujuan memperbaiki sikap moral
pelaku.
Inti manusia moral yang rasional menurut Aristoteles adalah memandang
kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan hidup (summum
bonum). Hal ini manusia dipandu dua peran, yaitu akal dan moral. Akal (ratio,
nalar) memandu pada pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni.
Sedang moral memandu manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrim yang
berlawanan, termasuk dalam menentukan keadilan (sikap moderat).
Dasar teori Aristoteles menempatkan “perasaan sosial etis” dalam ranah
keadilan yang bertumpu kepada tiga prinsip keadilan umum, yaitu honeste
vivere, alterum non laedere, sum quique tribuere (hidup secara terhormat,
tidak mengganggu orang lain dan memberi kepada tiap orang bagiannya). Prinsip
ini patokan dari apa yang benar, baik dan tepat dalam hidup sehingga mengikat
semua orang, baik masyarakat maupun penguasa.
1. Teori Epicurus (341 SM -
270 SM)
Terputusnya hubungan individu manusia dengan negara, sehingga individu
tidak lagi mengabdi pada komunitas, termasuk negara. Sehingga afiliasi apapun
(negara) ialah kepentingan-kepentingan perorangan. Karena sifat dasar manusia
adalah individualistis. Jadi, hukum (aturan publik) dipandang sebagai tatanan
untuk melindungi kepentingan-kepentingan perorangan. Termasuk didalamnya
gagasan kontrak sosial, ditetapkannya UU dan persetujuan diantara warga negara
dan untuk menghindari munculnya ketidakadilan. Yang kesemuanya itu bermuara
kepada kepentingan individu-individu, demi menciptakan ketertiban dan keamanan
bagi mereka.
Tata hukum menurut Aquinas, harus dibangun dalam struktur yang berpuncak
kepada kehendak Tuhan. Maka konfigurasi tata hukum dimulai dari: (1) lex
aeterna atau hukum dan kehendak Tuhan, (2) lex naturalis atau hukum
alam, (3) lex divina atau hukum Tuhan dalam kitab suci, dan (4) lex humane
atau hukum buatan manusia yang sesuai dengan hukum alam. Pengklasifikasiannya
yaitu lex aeterna dan lex divina itu berasal dari wahyu Tuhan
sedangkan lex naturalis dan lex humane itu berasal dari akal
manusia (ciptaan rasional)
Jadi, bersumber pada lex naturalis, hukum dalam perundang-undangan
itu harus: rasional, ditujukan bagi kebaikan umum, dibuat oleh nalar semua
orang, dan perlu dipublikasikan kepada orang banyak.
Hukum alam sebagai tatanan perilaku yang terdiri dari aturan-aturan bijak.
Maka hukum merupakan pilihan sadar manusia untuk mengamankan hidup
masing-masing terhadap serangan orang lain. Agar hukum itu berjalan efektif,
maka butuh “penegak yang kuat”, yaitu penguasa yang mempunyai kekuasaan besar.
Sehingga sebagai out put dari itu semua, akan menciptakan masyarakat
yang adil dan damai.
Hukum asalnya dari kesadaran “manusia sosial” yang berbudi agar sosialitas
tetap terjaga. Maka hukum merupakan lampiran tambahan dalam sosiabilitas
manusia untuk menjamin agar prinsip-prinsip individual sosial yang berbudi
tetap tegak. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
a. Milik orang lain harus
dihormati, jika kita pinjam dan membawa keberuntungan, maka harus diberi
imbalan.
b. Kesetiaan pada janji, kontrak
harus dihormati.
c. Harus ada ganti rugi untuk
tiap Harus ada ganti rugi untuk tiap kerugian yang diderita.
d. Harus ada hukuman untuk
setiap pelanggaran.
Prinsip hukum alam dari John Locke yaitu kebebasan individu dan keutamaan
ratio. Hidup tertib apabila ada perdamaian dan dituntun oleh ratio. Maka,
adanya kekuasaan penguasa untuk melindungi hak-hak kodrat/dasar manusia dari
bahaya-bahaya yang mungkin mengancam dari manapun. Begitupula dengan hukum yang
bertugas untuk melindungi hak-hak dasar tersebut.
Prinsip imperatif kategoris Kant: (1) tiap manusia diperlakukan sesuai
dengan martabatnya, sebagai subyek bukan obyek; (2) orang harus bertindak
dengan dalil bahwa apa yang menjadi dasar tindakannya merupakan prinsip
semesta, yakni penghargaan manusia yang bebas dan otonom. Maka tatanan hukum
yang obyektif dan imperatif adalah bahwa hukum menjamin kepentingan semua
individu menurut dua prinsip imperatif tadi. Prinsip imperatif ini berpedoman
kepada hukum dalam bidang akal praktis, sollen (norma-norma), bukan sein
(empirik). Ia berbicara tentang apa yang seharusnya. Singkatnya prinsip-prinsip
kelakuan yang dirasa sebagai kewajiban.
TEORI HUKUM ABAD KE-19 (POSITIVISME)
1. Teori John Austin (1790-1859) ANALYTICAL JURISPRUDENCE
John Austin dengan analytical legal positivism-nya memberikan ajaran
positivisme yuridis bahwa hukum merupakan perintah-perintah dalam bentuk
peraturan-peraturan formal dari penguasa yang sah suatu negara dan
keberlakuannya dipaksakan. Kalau tidak, maka dijatuhi sanksi. Sehingga
unsur-unsur hukum menurut Austin antara lain: (1) penguasa; (2) perintah; (3)
kewajiban; dan (4) sanksi.
Pemikiran Hart sangat berpengaruh bagi perkembangan positivisme hukum
modern. Inti pemikirannya terletak kepada primary rules of obligation
dan secondary rules of obligation. Keduanya merupakan pusat dari sistem
hukum. Primary rules menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak dan
tidak bertindak dalam social rules. Aturan sosial ini harus
memenuhi dua hal, yaitu: keteraturan perilaku dalam kelompok sosial dan aturan
dirasa sebagai suatu kewajiban bagi kelompok sosial.
Lalu secondary rules berupa rules about rules meliputi tiga
hal: aturan mana yang dianggap sah (rules of recognition), bagaimana dan
oleh siapa aturan dapat diubah (rules of change) dan bagaimana dan oleh
siapa aturan ditegakkan (rules of adjudication).
Teori Lon L. Fuller
Teori Fuller menekankan pada isi hukum positif (positive legal content),
oleh karena harus dipenuhi delapan azas (principles of legality) antara
lain:
a. Harus Ada Aturan-Aturan
Sebagai Pedoman Dalam Pembuatan Keputusan;
b. Peraturan-peraturan yang
menjadi pedoman bagi otoritas harus diumumkan;
c. Hukum (peraturan)
tidak boleh berlaku surut;
d. Peraturan-peraturan
disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti;
e. Aturan-aturan tidak
boleh bertentangan satu sama lain;
f. Peraturan-peraturan
tidak boleh mengandung tuntutan melebihi apa yang dapat dilakukan;
g. Peraturan tidak boleh
sering diubah-ubah;
h. Harus ada konsistensi
antara aturan-aturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.
Dalam setiap bidang kehidupan manusia, tidak lepas dari ekonomi, termasuk
hukum. Hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu, yaitu para
pemilik modal (borjuis) yang berperan sentral dalam ekonomi, menguasai
alat-alat produksi dan mengeksploitasi buruh. Aturan hukum hanya berisi muatan-muatan
kepentingan pemilik modal, termasuk agama, politik dan ideologi.
Von
Savigny dengan madzhab sejarahnya terdapat relasi antara hukum dengan watak
bangsa yang merupakan cerminan dari volkgeist atau jiwa bangsa. Maka
hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam volkgeist harus dipandang
sebagai hukum kehidupan yang sejati. Persoalan utama dalam hukum adalah
menemukan asas dan doktrin dalam nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang
mengikuti evolusi volkgeist. Lalu posisi ilmuwan hukum berada di depan
pembuat UU.
Para
ilmuwan melakukan riset ilmiah dengan mengungkap fakta-fakta tentang volkgeist, setelah itu baru pembuat
UU merumuskan secara teknis dalam wujud aturan formal. Kedua kalangan itu
berjalan sinergi untuk memahami arti hukum yang bersifat kontekstual bagi
bangsa tertentu.
TEORI HUKUM ABAD KE-20 (HUKUM MODERN)
Teori Hans Kelsen (1881-1973) REINE RECHTLEHRE
Hukum sebagai suatu sistem norma, yang dibuat menurut norma yang lebih
tinggi dan tertinggi yaitu Grundnorm atau norma dasar. Norma dasar ini
harus dibersihkan dari anasir-anasir yang bersifat meta-yuridis, maka harus
diletakkan di luar kajian hukum. Dengan menggunakan konsep Stufenbau Theory,
Kelsen mengkonstruksi aturan-aturan yang tertib yuridis dengan ditentukan
jenjang perundang-undangan secara hierarki, mulai dari yang abstrak (grundnorm)
sampai kepada yang konkret dari sistem perundang-undangan. Dan sistem
perundang-undangan itu satu sama lain harus konsisten, koheren dan koresponden.
Teori Max Weber
(1864-1920)
Max Weber menggunakan ukuran tingkat rasionalitas dan model kekuasaan untuk
mengkonstruksi teorinya tentang hukum. Dalam tingkat rasionalitas, tingkat
rasionalitas masyarakat akan menentukan warna hukum dalam masyarakat itu.
Pembagiannya yaitu: pertama, substantif-irasional, bahwa masyarakat
masih lekat dengan pikiran mistis, alamiah dan naluriah; kedua,
substantif-rasional, bahwa masyarakat bertopang kepada hukum adat dan kebiasaan
tradisional; dan ketiga, rasional penuh, bahwa masyarakatnya maju dan
modern.
Kemudian dalam tingkat rasionalitas, Weber membaginya ke dalam tiga tipe
otoritas dalam masyarakat, yakni: tipe pertama, kharismatik, bertumpu
kepada orang yang memiliki jiwa spiritual dan transendental; tipe kedua,
tradisional, bertumpu pada kepercayaan berdasar tradisi terhadap orang yang
dianggap layak memimpin masyarakat; dan tipe ketiga, otoritas yang
rasional, bertumpu pada kekuasaan formal untuk berkuasa yang dikukuhkan secara
formal oleh negara.
Teori Roscoe Pound (1912) SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Roscoe Pound menyatakan bahwa terdapat hubungan timbal
balik (fungsional) antara hukum dengan masyarakat. Artinya hukum yang baik
menurut Pound adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat atau populernya the living law yang digagas oleh Eugen
Erlich. Untuk mempraktikkannya, maka dilakukan langkah yang progresif, yaitu
memfungsikan hukum untuk menata atau sebagai alat perubahan, sehingga muncullah
teorinya tentang law as a tool of social engineering. Agar benar-benar
efektif sebagai alat rekayasa sosial, Pound mengajukan 6 langkah:
a)
Mempelajari social effect yang nyata dari peran lembaga dan
doktrin-doktrin hukum.
b)
Melakukan studi sosiologis untuk menyiapkan per-UU-an dan dijalankan.
c)
Melakukan studi bagaimana peraturan hukum mjd. Efektif.
d)
Melakukan studi sejarah hukum tentang social effect yang timbul dari
doktrin hukum masa lalu.
e)
Melakukan penyelesaian individu berdasarkan nalar, bukan semata peraturan
hukum.
f)
Mengusahakan efektifnya pencapaian tujuan hukum.
Teori Oliver W. Holmes, Jerome
Frank dan B. Cardozo (LEGAL REALISM)
Holmes, Frank dan Cardozo sebagai Hakim Agung U.S.A ketika itu meletakkan
keputusan yang berbobot kepada kenyataan hidup atau gejala-gejala hidup (das
sein), bukanlah seperangkat aturan hukum dalam undang-undang. Itulah makna
kebebasan hakim bahwa kebenaran yang lebih unggul itu sebenarnya di luar aturan
formal. Dalam konteks ini seorang hakim harus mempertaruhkan kepekaan dan
kearifannya.
Lalu parameter keputusan hakim yang dianggap berbobot antara lain:
mempertimbangkan faktor moral, kemanfaatan dan keutamaan kepentingan sosial.
Faktor-faktor lain yang berpengaruh yaitu selain berpatokan kepada kaidah hukum
yang berlaku, juga melihat prasangka ekonomi, politik dan moral serta simpati
dan antipati pribadi. Karena sebenarnya Holmes menolak doktrin legalisme.
Doktrin ini menggunakan cara berpikir yang mendasarkan diri pada aturan,
prinsip, atau norma obyektif yang dianggap harus berlaku dalam situasi dan
kondisi apapun.
TEORI HUKUM ABAD 21 (POSTMODERNISME)
Teori Philippe Nonet dan Philip Selznick (1978) HUKUM RESPONSIF
Nonet
dan Selznick membagi tiga tipe hukum:
1)
Hukum Represif: bertujuan untuk menciptakan ketertiban, legitimasi mengarah
kepada ketahanan sosial dan tujuan negara, peraturan yang kaku dan berlaku
lemah bagi pembuat hukum, hukum subordinat terhadap politik kekuasaan dan
eksklusif bagi masyarakat untuk berpartisipasi, maka kritik terhadap pemerintah
dianggap tidak setia (pembangkangan).
Indikasi dari tipe ini adalah adaptasi yang pasif
dan oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial dan
politik.
2)
Hukum Otonom: bertujuan untuk memperkuat legitimasi, keadilan yang
dijalankan bersifat prosedural, peraturan yang kompleks dan mengikat penguasa
ataupun masyarakat, pemisahan kekuasaan (hukum independen dari politik), akses
dibatasi oleh prosedur baku, sehingga memunculkan kritik atas hukum.
Indikasi dari tipe ini adalah reaksi yang
menentang terhadap keterbukaan, menjaga integritas institusional dengan cara
hukum mengisolasikan dirinya, tanggungjawabnya dan menerima formalisme yang
buta demi mencapai sebuah integritas.
3)
Hukum Responsif: bertujuan menciptakan kompetensi, peraturan bersifat
subordinat dari prinsip dan kebijakan, terintegrasi antara hukum dan
politik, meluasnya akses melalui integrasi
advokasi hukum dan sosial.
Tipe yang terakhir inilah berusaha untuk mengatasi
ketegangan dari kedua tipe sebelumnya, yakni lebih terbuka atau adaptif,
beradaptasi secara bertanggungjawab dan memperhatikan keberadaan
kekuatan-kekuatan baru di dalam lingkungannya, mengkritisi praktik yang sudah
mapan serta membuka jalan untuk melakukan perubahan.
Teori Roberto Mangabeira Unger CRITICAL LEGAL STUDIES
Critical Legal Studies yang dimotori oleh Roberto
M. Unger secara umum meninjau, mengembangkan pemikiran dan ajaran yang
bertujuan meninjau kembali norma-norma, standar-standar dalam teori hukum dan
implementasinya yang berasal dari sistem hukum modern. Sistem ini berasal dari
tatanan sosial Eropa Barat di abad 19 yang merupakan konfigurasi dari konsep
hukum rule of law.
Unger membagi tiga konsep hukum:
1)
Customary law concept or interactional law: mempunyai dua sisi, yakni
keseragaman yang tampak nyata dalam berperilaku dan bersifat normatif, yakni
sentimen akan kewajiban dan hak atau kecenderungan untuk menyamakan
bentuk-bentuk behavior yang sudah mapan. Konsep ini bersifat non publik,
artinya dikenal oleh seluruh masyarakat atau berupa adat istiadat yang terdiri
dari standar-standar implisit perilaku, bukan standar peraturan yang sudah
dirumuskan.
2)
Bureaucratic law concept or regulatory law: terdiri dari
peraturan-peraturan eksplisit yang ditetapkan dan ditegakkan oleh pemerintah
yang sah, tidak memiliki sifat universal kehidupan sosial, maka state
terpisah dengan masyarakat, terdapat pembedaan antara kebiasaan dengan
kewajiban dan didominasi oleh negara-negara penganut rule of law.
3)
Legal order or legal system. Tatanan hukum ini bersifat general dan otonom,
sekaligus publik dan positif. Lalu otonomi memiliki empat aspek, (1) substantif
manakala peraturan-peraturan yang dirumuskan dan ditegakkan oleh pemerintah
tidak dapat dianalisa sebagai norma-norma non-hukum; (2) institusional, bahwa
peraturan-peraturan diterapkan oleh institusi-institusi khusus yang bertugas
membuat keputusan hukum; (3) metodologis, ketika cara-cara institusi khusus
tersebut menjustifikasi keputusannya berbeda dengan keputusan lainnya; (4)
okupasional, berarti sekelompok profesi khusus di bidang hukum yang mengisi
jabatan dalam institusi hukum serta terlibat secara aktif dalam praktik
perdebatan hukum.
Teori Satjipto Rahardjo (HUKUM PROGRESIF, Th. 2002)
Teori hukum Progresif menurut
pemikiran Satjipto Rahardjo menempatkan MANUSIA sebagai dasar penentu dan titik
orientasi hukum. Karena kembali kepada filosofi dasar bahwa hukum itu bertugas
untuk melayani manusia, bukan sebaliknya. Bertitik pangkal kepada manusia
itulah tujuan hukum sebenarnya untuk kesejahteraan, kebahagiaan, harga diri dan
kemuliaan manusia.
Lalu hukum progresif yang oleh
karena manusia sebagai pijakannya, menempatkan etika atau moral dan akal yang
berhati nurani sebagai unsur perilaku (behavior) manusia untuk membangun
hukum, terutama para aparat penegak hukum. Dengan pondasi inilah dibutuhkan
manusia hukum yang berani untuk berpikir kreatif melakukan terobosan-terobosan
hukum, demi kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan atau kebutuhan
sosial, sekalipun itu rule breaking (mematahkan aturan). Dalam konteks
ini, hukum sudah tidak lagi dipandang sebagai seperangkat peraturan-peraturan
normatif, logik dan sistematis yang terbingkai dalam undang-undang.
Karakteristik dari hukum
progresif ala Satjipto ini antara lain: hukum yang membebaskan, dalam
artian membebaskan dari belenggu struktur-struktur atau skeleton hukum
atau asas-asas hukum lama (doktrin), menolak status quo, melakukan rule
breaking, adanya kreativitas operator hukum berupa terobosan hukum, law
in the making dan tidak pernah final.
Uniknya, hukum progresif ini
memiliki hubungan kedekatan atau merangkul dengan beberapa mazhab, teori dan
gerakan antara lain: Hukum Alam, Sociological Jurisprudence, Legal Realism,
Interessenjurisprudenz, Hukum Responsif dan Critical Legal Studies (CLS).
Teori Jacques Derrida (1930-sekarang) DEKONSTRUKSI
Derrida, seorang post-strukturalis memberikan alternatif
pemahaman atas teks hukum yaitu melalui dekonstruksi. Dekonstruksi ini
memusatkan perhatian kepada tiga hal, yaitu pencarian filosofis terhadap hukum,
meluluhkan kepastian dan arti pentingnya akan keadilan.
Dekonstruksi ini sangat perlu dilakukan karena:
(1) pemahaman teks hukum selama ini bersifat konvensional dan formal; (2)
pandangan kepastian hukum berubah menjadi kepastian teks, kepastian
undang-undang dan kepastian pasal. Hal ini sebagai akibat dari proses
pensakralan teks melalui interpretasi; (3) menolak pandangan formalisme
(strukturalisme) dan linguistik, serta oposisi biner, terutama yang dikemukakan
oleh Saussure; (4) interpretasi teks dianggap pasti dan sudah jadi. Maka, dengan semuanya itu, haruslah dibongkar
melalui DEKONSTRUKSI untuk mencapai sebuah KEADILAN.
|
|||