Mata Kuliah :Teori
Hukum
Tugas : Resume Buku Teori Hukum
Judul Buku : TEORI
HUKUM MURNI (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif)
Karya/Penulis : HANS
KELSEN
Yang Meresume : Muhammad
Hadidi
Nim :
201420380211029
Magister (S2) :
Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang
BAB I SEJARAH PENULIS
Gambaran Umum Buku Hans Kelsen
Hans Kelsen
lahir di Praha pada tanggal 11 Oktober 1881 dan merupakan keturunan Yahudi yang
berpindah ke agama Katolik untuk menghindari masalah integrasi dan demi
kelancaran karir akademiknya. Kelsen memulai karirnya sebagai pengacara publik
yang kemudian memilih untuk menjadi seorang ahli teori hukum. Ia mendapatkan
gelar doktornya pada tahun 1906 di bidang ilmu hukum.
Karya-karya
Kelsen sangatlah dipengaruhi oleh ketertarikannya dengan bidang ilmu klasik dan
humanisme (filsafat, sastra, logika, dan juga matematika). Buku pertama Kelsen
berjudul “Die Staatslehre des Dante Alighieri”. Teori umum tentang hukum yang
dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics)
yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic)
yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Dasar-dasar esensial pemikiran Kelsen adalah
1.
Tujuan teori
hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan
kemajemukan menjadi kesatuan;
2.
Teori hukum
adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang
seharusnya;
3.
Hukum adalah
ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam;
4.
Teori hukum
sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja
norma-norma hukum;
5.
Teori hukum
adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang
khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif
ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Hans
Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan
hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24
bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui Teori Hukum
Murni/Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat
hukum, sosiologi, teori politik dan kritik ideologi. Hans Kelsen telah menjadi
referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional
misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut
merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional
termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan,
retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional,
pembuatan dan aplikasinya.
BAB II KAJIAN I BUKU
Kajian isi Buku
Hans Kelsen
.
Buku ini dibagi ke dalam dua bagian. Teori yang diuraikan secara rinci pada
bagian pertama adalah teori umum tentang hukum positif. Hukum positif adalah
hukum masyarakat tertentu: hukum Amerika Serikat, hukum Perancis, hukum
Meksiko, dan hukum internasional. Teori umum yang dikemukakan disini
dimaksudkan untuk menjelaskan secara ilmiah tatanan hukum tertentu yang
menggambarkan komunitas hukum terkait. Teori ini sebagai hasil analisis
komparatif terhadap sejumlah tatanan hukum positif yang berlainan, menyuguhkan
konsep-konsep fundamental yang dapat digunakan untuk memaparkan hukum positif
dari suatu komunitas hukum tertentu.
Materi
utama yang dikaji adalah: norma-norma hukum, unsur-unsurnya, interrelasinya,
tatanan hukum sebagai suatu kesatuan, strukturnya,
hubungan antar berbagai tatanan hukum, dan, terakhir kesatuan hukum dalam
pluralitas tatanan hukum positif.Bagian kedua membahas teori umum tentang
negara. Dalam bab ini diuraikan dengan detil tema-tema mendasar: hubungan
antara hukum dan negara, teori tentang pemisahan kekuasaan, bentuk
pemerintahan, bentuk-bentuk organisasi, dan kaitan antara hukum nasional dan
hukum internasional. Untuk memperluas wawasan, di akhir buku ini disertakan
sebuah lampiran yang sangat penting: Doktrin Hukum Alam dan Positivisme Hukum.
Teori
Hukum Murni (The Pure Theory of Law).
Fokus
utama teori hukum murni, menurut Hans Kelsen, bukanlah salinan ide
transendental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori hukum murni ini tidak
berusaha memandang hukum sebagai anak cucu keadilan, melainkan sebagai anak
dari orang tua yang suci. Teori hukum tampaknya memegang teguh suatu perbedaan
yang tegas antara hukum empirik dan keadilan transendental dengan meniadakan
keadilan transendental dari perhatian spesifiknya. Teori ini tidak melihat
manifestasi dari suatu otorita gaib di dalam hukum, melainkan meninjau suatu
teknik sosial spesifik yang didasarkan pada pengalaman manusia; teori hukum
murni menolak untuk dijadikan ilmu metafisika hukum. Pada dasarnya, tidak ada
perbedaan esensial antara ilmu hukum analitik dan teori hukum murni. Adapun
letak perbedaannya, kedua bidang itu berbeda karena teori hukum murni berusaha
untuk melanjutkan metode hukum analitik dengan lebih konsisten dari yang
diupayakan Austin dan para pengikutnya.
Pendekatan
yang dilakukan oleh Kelsen dianggap sebagai jalan tengah dari dua aliran
sebelumnya, yaitu aliran hukum alam dan aliran hukum positivisme. Kelsen
berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral dan interpretasi
hukum berhubungan dengan norma yang non empiris. Hans Kelsen menjelaskan
mengenai yang dimaksudnya dengan Teori Hukum Murni adalah sebagai berikut:
“Bahwa
Teori Hukum Murni adalah teori hukum positif. Ia merupakan teori tentang hukum
positif umum, bukan tentang tatanan hukum khusus. Ia merupakan teori hukum
umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau intemasional tertentu
namun ia menyajikan teori penafsiran. Sebagai sebuah teori, ia terutama
dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya
menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana ia ada, bukan bagaimana ia
semestinya. Ia disebut teori hukum murni lantaran ia hanya menjelaskan hukum
dan berupaya membersihkan objek penjelasannya dari segala hal yang tidak
bersangkut-paut dengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkan ilmu
hukum dari unsur-unsur asing. Inilah landasan metodologis dari teori itu.”
Teori
Hukum Murni lebih memberikan penekanan khusus kepada pembedaan yang jelas
antara hukum empiris dan keadilan transedental dengan mengeluarkannya dari
lingkup kajian hukum. Teori Hukum Murni menolak menjadi kajian metafisis
tentang hukum. Teori ini mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas,
tidak pada prinsip-prinsip meta-juridis, tetapi melalui hipotesis yuridis, yaitu
suatu norma dasar yang dibangun dengan analisis logis berdasarkan cara berpikir
yuristik aktual.
Hans
Kelsen melakukan pendekatan yang demikian itu dilatarbelakangi dari tinjaunnya
terhadap ilmu hukum tradisional yang berkembang pada abad ke- 19 dan abad
ke20. Menurutnya teori hukum abad ke-19 dan abad ke-20 sudah jauh dari kemurnian dan ilmu hukum telah
dicampuradukkan dengan unsur-unsur psikologis, sosiologi, etika dan teori politik. Menurut Hans Kelsen
Hal ini bisa dimengerti karena bidang psikoiogis, sosial, dan teori politk
membahas pokok-pokok yang berkaitan dengan hukum. Hans Kelsen menegaskan lebih
lanjut sebagai berikut :
“Teori
Hukum Murni berupaya membatasi pengertian hukum pada bidang-bidang tersebut,
bukan lantaran ia mengabaikan atau memungkinkan kaitannya, melainkan karena ia
hendak menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan
metodologi (sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan
meniadakan batas-batas yang ditetapkan padanya oleh sifat pokok bahasannya.”
Teori
ini boleh dilihat sebagai suatu pengembangan yang amat seksama dari aliran
positivisme. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat
ideologis dan hanya menerima. hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk
peraturan-peraturan yang ada.. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori
tentang hukum positif. Ia. berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab hukumnya?”
dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena titik tolak yang
demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya
dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum.
Dari
uraian di atas dapat diketahui, bahwa Teori Hukum Murni menghendaki suatu
gambaran tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam
logikanya. Oleh karena itulah menurut Teori Hukum Murni, hukum menyampingkan
hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena dianggapnya irasional. Teori hukum
yang murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah
dan pernbicaraan tentang etika.
Teori
Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai norma dasar, suatu
dalil yang tidak dapat ditiadakan, yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum.
Dalil yang disebut sebagai norma dasar itu berfungsi sebagai dasar, juga
sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang
ada. Semua hukum yang berada dalam kawasan norma dasar tersebut harus bisa
berhubungan dengannya, oleh karena itu ia bisa juga dilihat sebagai induk yang
melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.
Norma dasar ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum tetapi ia selalu akan
ada di situ, apakah bentuk tertulis,
ataukah sebagai suatu pernyataan yang tidak tertulis.
Norma
dasar adalah norma tertinggi. Norma dasar merupakan induk untuk melahirkan
peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Semua norma yang
keabsahannya bisa ditelusuri kembali kepada norma dasar merupakan sebuah sistem
norma, sebuah tatanan norma. Norma dasar merupakan sumber utama keabsahan dari
semua norma yang berasal dari tatanan yang sama, ini merupakan alasan umum bagi
keabsahan semua norma itu. Fakta bahwa norma tertentu berasal dari tatanan
tertentu didasarkan pada keadaan dimana alasan terakhir bagi keabsahannya
adalah norma dasar dari tatanan ini. Norma dasarlah yang membentuk kesatuan
dalam berbagai norma dengan memberikan alasan bagi keabsahan semua norma yang
berasal dari tatanan ini.
Norma Dasar (Grundnorm).
Menurut
Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa
peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi
manusia yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa
yang ada (das sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa
ada ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das
solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang merupakan
pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi
alamiah.
Norma
dasar menjadi alasan keabsahan dari norma hukum yang berasal dari tatanan hukum
yang sama, maka Norma dasar tersebut merupakan kesatuan dari beraneka macam norma
ini. Kesatuan ini juga terungkapkan oleh fakta bahwa tatanan hukum dapat
dijelaskan dalam aturan hukum yang tidak bertentangan satu sama lain. Hans
Kelsen menjelaskan jika terjadi pertentangan antara norma yang satu dengan
norma yang lainnya, maka norma yang lebih rendah harus tunduk pada norma yang
lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi menjadi dasar keabsahan norma yang lebih
rendah. Norma dasar yang diterapkan oleh Hans Kelsen disini selanjutnya
melahirkan teori Hierarki Norma Hukum (Stufentheorie), suatu teori yang
melihat tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, dari
mulai norma yang umum sampai norma yang konkrit.
BAB
III PEMBAHASAN ISI BUKU
Pemikiran
Hans Kelsen tentang Hukum dan Negara
Pada
bagian 2 Bab I tentang Hukum dan Negara maka dalam buku General Theory of Law
and State khususnya terhadap konteks Hak Asasi Manusia maka dikemukakan
polarisasi pemikiran Hans Kelsen tentang
Hukum dan Negara adalah sebagai berikut:
Pemikiran
bahwa pada hakikatnya Negara sebagai personifikasi dari Tata
Hukum Nasional, sehingga tertib hukum tidak ada bedanya dengan tertib
negara.
Pandangan yang menempatkan Negara sebagai
personifikasi dari Tata Hukum Nasional menunjukkan negara diidentikan dengan
hukum. Hal ini merupakan pandangan yang ekstrim bilamana dikaitkan dengan
teorinya tentang hukum, yakni teori hukum murni. Sebagaimana telah dibahas,
menurut teori hukum murni bahwa “hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir
yang tidak yuridis, seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya”.
Pandangan ini menunjukkan hukum itu bebas nilai (in free value) serta
dilepaskan dari faktor-faktor realitas yang berpengaruh dalam pembentukannya.
Berbagai ahli non hukum mengkritik pendapatnya.
Hans
Kelsen dipandang telah meremehkan peranan dan manfaat dari bidang di luar hukum
terhadap pembangunan dan pengembangan hukum tersebut. Kami sependapat dengan
kritikan yang diajukan kepada Hans Kelsen. Hukum sebagai hasil budaya manusia
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia atas kehidupan yang tentram dan
tertib tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh-pengaruh bidang lain di
luar hukum. Tiap kaidah hukum positif pada hakikatnya merupakan hasil penilaian
manusia terhadap prilaku manusia yang mendapat keajegan sebagai suatu kebiasaan
yang telah diterima dan disepakati untuk mengatur kehidupan manusia itu
sendiri. Dengan kata lain, hukum merupakan produk yang komprehensif sehingga
dapat dipandang sebagai gejala budaya, gejala sejarah, gejala politik,
disamping sebagai gejala sosial.
Menganalogikan
dengan konsep hukumnya, maka sangat sulit dapat diterima secara ilmiah bilamana
negara dimurnikan dan terlepas dari pengaruh disiplin ilmu lainnya.
Pandangannya bahwa “tidak ada konsep sosiologis tentang negara selain konsep
hukum” tidaklah benar sepenuhnya. Negara bukanlah obyek hukum semata,
sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu pemerintahan, bahkan biologi
(melalui teori organis) sebagai ilmu eksak juga dapat menjadikan negara sebagai
obyek kajiannya. Dengan kata lain, kami kurang sependapat dengan pandangannya
bahwa “negara dan hukum bukan dua obyek yang berbeda”, “menolak adanya kehendak
atau kepentingan kolektif dari warga negara beserta negara itu sendiri”.
Dilain
pihak dalam rangka menegakkan supremasi hukum, kami sependapat dengan pendapat
beliau bahwa “untuk dapat mengetahui perbedaan antara perintah atas nama organ
negara dengan yang bukan adalah melalui tata hukum yang membentuk negara
tersebut”, “segala bentuk tindakan memerintah dan mematuhi perintah yang
beraneka ragam hanya terjadi menurut tata hukum”. Oleh karena itu, pendapat
Hans Kelsen untuk sebagian dapat diterima, baik dalam kaitannya dengan konsep
negara hukum yang menjunjung supremasi hukum maupun berkaitan dengan konsepsi
negara disamping sebagai “komunita yang diciptakan oleh suatu tata hukum
nasional”, sekaligus juga sebagai organisasi kekuasaan atau organisasi kemasyarakatan.
Organ
negara adalah individu yang menjalankan suatu fungsi tertentu yang ditetapkan oleh tata hukum.
Organ
negara dibedakan dalam artian luas (bersifat formal) dan artian sempit
(bersifat material). Mendasarkan kepada pendekatan fungsi, adapun organ-organ
negara yang melaksanakan fungsi membuat norma, fungsi menerapkan norma, fungsi
menerapkan sanksi hukum serta fungsi memilih parlemen dikatagorikan sebagai
organ negara dalam artian luas. Sedangkan organ negara yang melaksanakan ketiga
fungsi selain fungsi memilih parlemen diklasifikasikan sebagai organ negara
dalam artian sempit. Secara sederhana, organ negara tersebut terdiri dari organ
pemerintah dan non pemerintah (warga negara). Adapun fungsi memilih parlemen
merupakan jenis fungsi yang dilakukan di luar pemerintah. Pandangan ini tampak
tidak mendikotomikan antara pemerintah dengan warga negara. Hal ini berarti
keduanya memiliki kekuasaan sesuai dengan fungsinya yang ditetapkan oleh tata
hukum.
Dalam
arti sempit, pengertian organ negara yang dikemukakan Hans Kelsen tampak
dipengaruhi oleh ajaran Trias Politika yang membedakan kekuasaan negara atas
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pembidangan
ini secara doktriner dikenal dengan organ negara dalam arti luas, sehingga
pendapat Hans Kelsen lebih luas dari pendapat para sarjana seperti Montesquieu
ataupun John Locke sebagai penganut ajaran Trias Politika. Dalam realitanya
kami kurang sependapat dengan pandangan Hans Kelsen, oleh karena pengertian
organ negara erat kaitannya dengan wewenang dan warga negara tentunya tidak
mempunyai wewenang untuk memerintah kecuali mereka telah menjadi pegawai negeri
pada salah satu organ negara dalam pengertian yang sempit.
Negara
sebagai personifikasi tata hukum tidak memiliki kewajiban dan hak.
Hans
Kelsen yang tidak menerima adanya pembedaan antara hukum dan negara, dalam
konteks nasional menolak pembebanan kewajiban dan pemberian hak kepada negara.
Beliau mengemukakan “sebenarnya tidak ada kewajiban dan hak negara. Kewajiban
dan hak selalu merupakan kewajiban dan hak para individu”. Namun demikian,
beliau tidak menyangkal keterikatan dari pemerintah atau orang-orang yang
mewakili negara terhadap norma-norma hukum dalam hal berhubungan dengan warga
negara. Dengan kata lain, penyangkalan Hans Kelsen terhadap keterikatan negara
dengan hukum tidak bersifat absolut, karena organ-organ negara (dalam arti
sempit/materiil) tetap terikat perbuatannya dengan norma-norma hukum. Disamping
itu, dalam kaitan dengan pergaulan masyarakat dunia dikemukakan bahwa negara
dapat juga dibebankan kewajiban yang tercermin dari sanksi yang harus
dipertanggungjawabkannya.
Adanya
pengakuan kedaulatan negara dalam wilayah nasional suatu negara sejalan dengan
teori kedaulatan negara yang menempatkan negara secara utuh dan berdaulat dalam
wilayahnya. Pengakuan ini menurut pendapat kami sangat penting untuk
mempertahankan keutuhan suatu negara dari rongrongan warga negara atau
rakyatnya sendiri. Namun demikian pengukuhan keutuhan negara ini bukan berarti
melepaskan tanggung jawab aparat pelaksana atau organ negara yang diduga dan atau
terbukti melakukan perbuatan yang melawan hukum sehingga merugikan rakyatnya.
Supremasi hukum harus tetap ditegakkan, dan siapapun bersalah dan mempunyai
kemampuan bertanggung jawab wajib tunduk pada hukum.
Mengenai
pertanggungan jawab dari aparat/organ negara tidaklah bersifat serta merta,
artinya terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukan menurut ketentuan
perundang-undangan yang telah ditetapkan bukanlah menjadi kewajiban organ
negara bersangkutan. Tindakan aparat pemerintah yang menurut hukum meskipun
telah menimbulkan kerugian atau pelanggaran terhadap hak-hak rakyat bukan
menjadi kewajiban aparat bersangkutan yang mempertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban akan muncul bilamana tindakan pemerintah yang diduga atau
telah menimbulkan kerugian dan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat dilakukannya
dengan melanggar hukum atau tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang telah ditetapkan terkait dengan pelaksanaan tugas negara bersangkutan.
Adanya
kewajiban pertanggungjawaban pemerintah atau organ negara ini secara contrario
merupakan wujud perlindungan hukum dari negara melalui aparatnya terhadap warga
negara atau rakyatnya. Dengan kata lain, pendapat Hans Kelsen secara tersirat
pada hakikatnya mengakui keberadaan dari konsep negara hukum, yang menurut Sri
Soemantri Martosoewignjo memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.
bahwa
pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum
atau peraturan perundang-undangan;
b.
adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia
(warga negara);
c.
adanya
pembagian kekuasaan dalam negara;
d.
adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (recthsterlijke
controle).
Selanjutnya
berkenaan dengan negara dalam hubungan internasional, Mochtar Kusumaatmadja
mengemukakan kedaulatan negara akan berakhir bilamana kedaulatan negara lain
dimulai. Hal ini menunjukkan bahwa setiap negara berdaulat memiliki kemerdekaan
serta persamaan derajat, sehingga kedaulatan, kemerdekaan dan kesamaan derajat
merupakan tiga rangkaian kata yang selaras. Perkembangan lebih lanjut dari
dianutnya prinsip itu adalah tidak dapat digugatnya suatu negara yang berdaulat
dihadapan forum hakim negara lain. Aspek kedaulatan suatu negara ini melahirkan
doktrin kekebalan atau imunitas kedaulatan (Sovereign Immunity Doctrine) yang
dikembangkan dalam hubungan antar negara.
Namun
demikian, implementasi doktrin ini juga tidak bersifat mutlak, oleh karena
dalam beberapa hal ada pembatasan yakni apabila negara didalam melakukan
hubungan dengan negara lain tidak dalam kedudukannya sebagai badan hukum
publik. Dengan kata lain, perlindungan terhadap negara dalam bentuk immunitas
kedaulatannya hanya diberikan apabila negara tersebut bertindak dalam
kualitasnya sebagai negara dalam artian kesatuan politis (iure imperii)
dan perlindungan tidak diberikan bilamana negara sebagai badan hukum perdata
seperti dalam hubungan perdagangan (iure gestionis).
Mendasarkan
pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat, negara dikualifikasikan dapat
melakukan hubungan hukum publik dan hukum privat.
Menurut
tata hukum tradisional, negara semata-mata sebagai badan hukum publik yang
diatur oleh hukum publik. Perkembangannya dalam tata hukum modern, menurut
beliau bahwa negara disamping sebagai badan hukum publik juga dapat
berkedudukan sebagai badan hukum perdata yang tunduk pada Hukum Perdata. Negara
dinyatakan memiliki hak-hak kebendaan (jus in rem) dan hak-hak
perorangan (jus in personam), sehingga perselisihan yang terjadi
berkenaan dengan pelaksanaan hak-hak itu dengan warga negara akan diselesaikan
menurut Hukum Acara Perdata.
Konsep
seperti di atas dapat membawa dampak negatif
bagi negara maupun rakyatnya. Negara menurut Hans Kelsen dimungkinkan
sebagai pemilik (eighnaar) wilayah yang ditempati rakyatnya. Kekuasaan
seperti ini dapat mengakibatkan lahirnya negara otoriter yang dapat secara
sewenang-wenang mencabut hak-hak atas tanah yang telah ditempati rakyatnya. Di
lain pihak, konsep di atas memungkinkan terjadinya negara pailit yang berefek
kepada pembubaran negara sepertinya halnya pembubaran perusahaan dalam hal
negara dipandang wanprestasi oleh sebagian besar rakyatnya.
Wanprestasi dapat muncul bilamana dikaitkan dengan
kewajiban atau prestasi negara untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap
hak-hak warga negara seperti hak atas hidup yang layak, hak atas kesehatan, hak
atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas keamanan dan sebagainya. Oleh
karena itu, sebaiknya derajat negara dalam lingkungan wilayah negara tidak
diturunkan sebagai para pihak yang tunduk pada kaidah-kaidah hukum perdata.
Negara secara teoritis sangat tepat bilamana mengkuasakan kepada aparat
pemerintahan didalam hal melakukan hubungan perdata. Dengan pelimpahan
kewenangan melalui “atribusi atau delegasi”, maka negara secara organisatoris
terlepas dari kewajiban pertanggungjawaban perdata.
Keberadaan
Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Pemikiran Hans Kelsen mengenai Hukum dan
Negara
Menyimak
berbagai pemikiran Hans Kelsen yang telah dikemukakan di atas, dalam perspektif
Hak Asasi Manusia ada beberapa hal yang menarik dicermati. Beberapa hal yang
dimaksudkan dalam konteks wilayah kedaulatan negara adalah terkait dengan
kewajiban negara beserta pemerintahnya untuk melindungi hak asasi manusia,
dapat dipertanggungjawabkannya aparat pemerintah atas dugaan atau adanya
pelanggaran hak-hak asasi manusia, adanya kewajiban negara untuk memperbaiki
dan menyempurnakan tata hukum nasional yang terbukti menjadi sebab tindakan aparat
pemerintah yang menurut hukum telah melanggar hak asasi manusia. Sedangkan
dalam konteks hubungan internasional, salah satu masalah yang menarik adalah
tidak dapat dipertanggungjawabkannya suatu negara oleh negara lain terhadap
pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung dinegaranya.
Negara beserta pemerintahnya berkewajiban
untuk melindungi hak asasi manusia.
Dalam
kaitannya dengan negara Indonesia sebagai negara hukum, hal ini tentunya
merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan. Mengingat perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia merupakan salah satu syarat negara hukum.
Pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar manusia dalam konstitusi suatu negara
sejalan dengan hasil penelitian K. C Wheare yang menunjukkan bahwa dari
sebagian besar konstitusi negara-negara di dunia, hampir semuanya memuat
tentang perlindungan hak asasi manusia.
Kewajiban
perlindungan terhadap hak asasi manusia tidak terbatas melalui penormaan
melalui UUD 1945. Penormaannya lebih lanjut melalui peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah dari UUD 1945 untuk mengatur mengenai
mekanisme penerapan atau penegakannya menjadi sangat penting agar ada acuan
yang jelas dan tegas bagi aparat penyelenggara (organ) negara. Dengan kata
lain, secara asas dan kaidah, maka hak-hak dasar manusia sebaiknya diatur pada
UUD 1945, sedangkan pengaturan lebih lanjut mengenai lembaga dan proses
penegakan hak-hak dasar bersangkutan perlu didelegasikan kepada
perundang-undangan yang lebih rendah, seperti Ketetapan MPR, undang-undang dan peraturan pemerintah.
Kewajiban penormaan seperti di atas sejalan dengan amanat ayat (5) Pasal 28 I
UUD 1945 Amandemen Kedua yang menetapkan “Untuk menegakkan dan melindungi hak
asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan”.
Adanya
penormaan yang jelas serta tegas merupakan instrumen yuridis yang sangat
penting bagi pihak yudikatif maupun warga negara dalam menilai dan meminta
pertanggungjawaban aparat pemerintah bilamana diduga atau terbukti telah
melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di lain pihak penormaan
seperti itu menjadi penuntut bagi aparat/organ pemerintah dalam bertindak
menurut hukum sehingga sulit diminta pertanggungjawaban secara individu
meskipun tindakan yang dilakukannya diduga melanggar hak asasi manusia.
Pertanggungjawaban
aparat pemerintah atas dugaan atau adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Adanya
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan wujud
implementasi dari prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan
pemerintah. Terdapat beberapa sarana yang dapat ditempuh rakyat didalam
memperjuangkan hak asasinya, baik melalui jalur yuridis maupun non yuridis.
Jalur yuridis antara lain dilakukan melalui pengajuan gugatan ke Peradilan Hak
Asasi Manusia yang saat ini telah dibentuk oleh Pemerintah Indonesia dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‑Undang
No 1 Tahun 1999 tertanggal 8 Oktober 1999. Jalur non yuridis yang dapat
ditempuh, antara lain melalui pengaduan kepada Komisi Nasional Hak-Hak Asasi
Manusia yang telah dibentuk di Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 50
Tahun 1993, pemberitaan melalui media
massa sebagai sarana penekan (pressure) kepada Pemerintah, maupun pengaduan
kepada lembaga-lembaga internasional yang mempunyai akses menekan kepada
Pemerintah Indonesia untuk melindungi hak asasi manusia, seperti IMF, Bank
Dunia, PBB dan lain sebagainya.
Sehubungan
dengan lembaga Pengadilan Hak Asasi Manusia, adapun yang melatarbelakangi
pembentukannya di Indonesia adalah karena adanya dugaan telah terjadi
pelanggaran hak asasi manusia yang berat di berbagai tempat di Indonesia.
Pelanggaran yang diduga terjadi seringkali cenderung berupa tindakan bersifat
pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang‑ wenang atau di
luar putusan pengadilan (arbitrary /extra judicialkilling), penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, atau diskriminasi yang dilakukan secara
sistematis (systematic discrimination), yang menimbulkan kerugian baik
materiil maupun immateriil serta mengakibatkan perasaan tidak aman baik
terhadap perorangan maupun masyarakat. Kondisi seperti itu mempunyai dampak
yang sangat luas baik nasional maupun internasional, antara lain mengakibatkan
menurunnya kepercayaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Disamping itu,
juga untuk menjawab tuntutan reformasi yakni terciptanya suasana yang kondusif
berupa ketertiban, ketenteraman, dan keamanan dengan memperhatikan prinsip‑prinsip hak
asasi manusia yang diakui oleh bangsa yang beradab.
Selanjutnya
pada Pasal 2 disebutkan “Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan
khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dibentuk di lingkungan
Peradilan Umum”. Tugas dan wewenang pengadilan ini adalah untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berupa :
a.
pemusnahan
seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok bangsa, suku bangsa, kelompok
berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur, atau cacat mental atau
fisik dengan :
b.
melakukan perbuatan membunuh anggota kelompok
tersebut;
c.
melakukan perbuatan yang menyebabkan
penderitaan frsikatau mental yang berat pada anggota kelompok;
d.
menciptakan
keadaan kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara
fisik;
e.
memaksakan cara‑cara yang
bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut; atau
f.
memindahkan
dengan paksa anak‑anak
kelompok tersebut kekelompok lain.
g.
pembunuhan
sewenang‑wenang
atau diluar putusan pengadilan
h.
penghilangan
orang secara paksa;
i.
perbudakan;
j.
diskriminasi
yang dilakukan secara sistematis;
k.
penganiayaan
yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang mengakibatkan penderitaan yang
berat bagi orang lain baik fisik maupun mental dengan maksud untuk memperoleh
keterangan atau pengakuan baik dari yang bersangkutan maupun orang ketiga, atau
untuk menakut‑nakuti
atau memaksa yang bersangkutan atau orang ketiga atau dengan alasan yang
bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya.
Perbuatan-perbuatan
seperti di atas dilarang dilakukan baik oleh pemerintah maupun warga negara
terhadap warga negara lainnya. Bahkan pejabat atau aparat pemerintah yang
terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f di
atas, menurut Pasal 8-nya dapat dikenakan pidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 3 (tiga) tahun.
Tidak
dapat dipertanggungjawabkannya suatu negara oleh negara lain terhadap
pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung di negaranya
Negara
Indonesia sebagai salah satu anggota PBB berkewajiban untuk menghormati
terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dicapai PBB di bidang HAM baik yang
diatur dalam bentuk deklarasi, perjanjian, piagam, konvensi maupun fakta-fakta.
Negara Indonesia secara moral berkewajiban untuk mengusahakan agar berbagai
kesepakatan dan pemikiran yang dihasilkan oleh masyarakat Internasional terkait
hak-hak dasar manusia dapat dijabarkan dalam kebijakan nasional maupun Sistem
Hukum Nasional Indonesia.
Dalam
kaitan ini menarik dikutip pendapatnya Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan
“hukum di negara kita agar dapat berkembang dan kita bisa berhubungan dengan
bangsa lain di dunia sebagai sesama masyarakat hukum, kita perlu memelihara dan
mengembangkan asas-asas dan konsep-konsep hukum yang secara umum dianut umat
manusia atau asas hukum yang universal”.
Namun demikian, dalam mengembangkan asas-asas dan konsep-konsep hukum
global tersebut pada sistem hukum kita tidaklah dilakukan secara serta merta.
Hal ini tidak terlepas dari konsepsi bahwa pada hakikatnya “setiap negara
adalah berdaulat dan setara”.
Pengakuan
terhadap prinsip kesetaraan seperti di atas membawa konsekuensi terhadap
negara-negara anggota masyarakat dunia untuk tidak mencampuri urusan dalam
negeri suatu negara. Dalam hubungan internasional yang telah berlangsung
diterima prinsip bahwa suatu negara berdaulat tidak dapat melaksanakan
yurisdiksinya terhadap negara berdaulat lainnya (par in parem non habet
jurisdictionem) prinsip hidup bertetangga secara baik (Good neighbourhood
principle), serta prinsip hidup berdampingan secara damai (peaceful
co-existance).
Prinsip-prinsip tersebut menurut pendapat kami
melahirkan adanya doktrin kekebalan kedaulatan (sovereign immunity), yakni
“suatu negara yang berdaulat tidak dapat diadili oleh hakim-hakim dari
negara-negara lain, mengingat suatu negara yang berdaulat kedudukannya sama
rata terhadap sesama negaranya itu”. Demikian pula dalam kaitannya dengan
kewenangan Mahkamah Internasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia di
masa perang, maupun peradilan tentang hak asasi manusia yang bersifat
internasioanl yang secara khusus dibentuk untuk mengadili
pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, sifatnya bersifat subsider.
Lembaga-lembaga itu baru akan berfungsi bilamana negara-negara berdaulat
seperti misalnya Indonesia tidak berupaya atau tidak ada itikad baik untuk
menyelesaikan terhadap dugaan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang
terjadi di wilayah Indonesia.
BAB
IV. KESIMPULAN
Polarisasi
pemikiran Hans Kelsen berkaitan dengan hukum dan negara dimana negara adalah
sebagai personifikasi tata hukum nasional sehingga negara dilepaskan atau
dimurnikan dari pengaruh disiplin ilmu lainnya serta tidak memiliki hak dan
kewajiban, organ negara adalah individu yang menjalankan fungsi tertentu yang
ditetapkan oleh tata hukum, negara dapat melakukan hubungan hukum baik bersifat
publik maupun privat. Dalam beberapa hal, seperti pendapat Hans Kelsen dalam kaitannya dengan konsep negara hukum
yang menjunjung supremasi hukum dapat diterima, namun berkaitan dengan konsepsi
negara yang menekankan sebagai “komunita yang diciptakan oleh suatu tata hukum
nasional” semata, dan negara dapat melakukan hubungan perdata dalam
kedaulatannya adalah kurang tepat.
Oleh
karena itu melalui pemikiran Hans Kelsen mengenai hukum dan negara yang
menjunjung supremasi hukum maka keberadaan hak asasi manusia mendapat
perlindungan baik dalam perspektif penormaan maupun penegakkannya. Perlindungan
terhadap hak asasi manusia tidak terbatas dalam wilayah nasional suatu negara
namun juga bersifat internasional melalui jalur-jalur yuridis dan non yuridis
dengan membatasi sifat kemutlakan suatu kedaulatan negara ataupun kewajiban
pertanggungjawaban aparat/organ pemerintah terhadap tindakannya yang diduga
atau telah menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi atau hak dasar manusia.
Oleh
karena itu, kedepan maka konsepsi hukum dan negara yang dikemukakan Hans Kelsen
dalam penerapannya di Indonesia perlu disesuaikan atau dikaji dengan perkembangan
kebutuhan negara modern serta ideolgi Pancasila. Pendekatan yang memerlukan
jawaban yang tuntas tidak dapat dilakukan melalui pendekatan dari satu bidang
ilmu tertentu namun perlu dilakukan secara holistik, multi dan interdisipliner.
Oleh karena itu, konsekuensi logisnya maka ajaran Kedaulatan Hukum yang
menjunjung tinggi supremasi hukum seperti yang dikembangkan oleh Hans Kelsen
cukup tepat untuk diikuti dan diimplementasikan dalam perlindungan terhadap hak
asasi manusia, sehingga dapat diminimalisir ikut sertanya kepentingan politik,
ekonomi maupun pertahanan keamanan didalam penormaan maupun penegakan hukum hak
asasi manusia bersama.
Teori
kenyataan menyebutkan bahwa suatu negara lahir sebagai suatu kenyataan apabila
unsur-unsur negara (daerah, rakyat dan pemerintahan yang berdaulat) telah
terpenuhi. Teori ketuhanan menentukan timbulnya suatu negara atas kehendak
Tuhan, karena segala sesuatu tidak akan terjadi bilamana Tuhan tidak
menghendakinya. Kemudian Teori penaklukan menentukan bahwa negara itu lahir
karena adanya serombongan manusia lain yang berusaha untuk tetap menguasai
hasil penaklukannya melalui pembentukan suatu organisasi negara. Selanjutnya
Teori perjanjian menetapkan bahwa negara timbul karena adanya perjanjian yang
diadakan antara orang-orang yang tadinya hidup bebas merdeka, sehingga
kepentingan bersama dapat terpelihara dan terjamin. Antara satu teori dengan
teori yang lain tidaklah ada suatu pertentangan, melainkan tumbuh dan
berkembang sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan situasi manusia (situations
gebundenheit) sehingga tidak jarang antara teori di atas dijadikan landasan
pembenaran terbentuknya suatu negara secara bersama-sama.