Proses Prapradilan |
Oleh:
Muhammad Hadidi S.Sy Mahasiswa Program Study Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
Pendahuluan Praperadilan berfungsi sebagai sarana
pengawasan terhadap tindakan Kepolisian dalam hal penyidikan maupun
Kejaksaan dalam hal penuntutan di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Pengawasan
tersebut bertujuan memberikan perlindungan terhadap hak
asasi tersangka atau terdakwa. Dalam
praktiknya, lembaga
praperadilan dianggap tidak
sesuai dengan KUHAP
dan juga memiliki
banyak kelemahan serta
kekurangan. Dengan hadirnya Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), terdapat satu
ide bahwa terdapat
peralihan dari lembaga praperadilan
menjadi Hakim Pemeriksa Pendahuluan
yang memiliki wewenang
lebih luas dari lembaga praperadilan.
Dalam sistem peradilan pidana, hukum acara
pidana Indonesia menganut asas praduga tak bersalah (presumption of
innocence ). Oleh karena itu, seseorang tersebut haruslah
dijunjung dan dilindungi hak
asasinya. Dalam upaya
untuk menjamin perlindungan hak
asasi manusia agar
para penegak hukum dapat menjalankan tugasnya
secara konsekuen, KUHAP
membentuk suatu lembaga
baru yaitu lembaga
praperadilan.[1]
Dimana
lembaga praperadilan sebagai pemberian wewenang tambahan kepada
pengadilan negeri untuk
melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang
berkaitan dengan penggunaan upaya paksa
(penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan
dan lain-lain) yang dilakukan oleh penyidik (Polisi) dan Jaksa
Penuntut Umum (JPU).
Jika ditinjau dari segi struktur dan susunan
peradilan, praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.
Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang
memberi putusan akhir atas suatu peristiwa pidana.[2]
Namun praperadilan adalah lembaga
untuk membangun saling
kontrol antara kepolisian, kejaksaan dan tersangka melalui kuasa hukumnya
atau menciptakan saling kontrol antara sesama penegak hukum.[3]
Salah satu kasus praperadilan yang
telah diputus oleh
Pengadilan negeri Jakarta Selatan
yakni kasus dengan nomor perkara 04/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Dalam putusan
tersebut hakim praperadilan mengabulkan
sebagian permohonan pemohon yaitu
Budi Gunawan yang menyatakan bahwa penetapan status tersangka sebagai koruptor
adalah tidak sah dan
tidak berdasar atas hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Dalam perkembangannya, praperadilan dianggap
tidak berjalan sebagaimana
mestinya karena masih memiliki banyak kelemahan dan kekurangan serta dalam
prakteknya tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Dengan hadirnya Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
atau disebut RUU
KUHAP, terdapat satu ide
bahwa terdapat peralihan
dari lembaga praperadilan
menjadi Hakim Pemeriksa Pendahuluan
untuk melengkapi kekurangan dan kelemahan dari lembaga praperadilan tersebut.
I.
Rumusan Masalah
2.1 Bagaimana
kedudukan lembaga praperadilan
dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia....?
2.2 Bagaimana kedudukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia......?
3.1 Kedudukan
Lembaga Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Sistem
peradilan pidana (criminal justice system) merupakan sistem dalam suatu
masyarakat untuk dapat
menanggulangi masalah kejahatan.[1]
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia terdiri dari
komponen Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan Negeri, dan Lembaga
Pemasyarakatan. Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem peradilan
pidana yang dinamakan
sistem peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system).[2]
Pengadilan
Negeri sebagai peradilan umum diberikan wewenang tambahan oleh KUHAP
berupa praperadilan. Dalam
menjalankan wewenang tambahan
tersebut, praperadilan tetap berada dalam pengawasan Ketua Pengadilan
Negeri yang bersangkutan.[3]
Lembaga praperadilan diakui dalam pasal
1 butir 10 jo pasal 77 KUHAP yaitu: Pengadilan
Negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutuskan
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a. Sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
b. Ganti kerugian dan
atau rehabilitasi bagi
seorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan
atau penuntutan
Berdasarkan
pasal 78 KUHAP yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 butir 10 jo pasal 77 KUHAP adalah praperadilan.
Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan
negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Selanjutnya mengenai pihak-pihak yang
berhak mengajukan pemeriksaan praperadilan yaitu:
a. Tersangka,
keluarga atau kuasanya
terkait sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan dapat
diajukan (pasal 79 KUHAP)
b. Penyidik, penuntut umum, atau pihak ketiga
yang berkepentingan terkait sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan
(pasal 80 KUHAP)
c. Tersangka
atau pihak ketiga yang berkepentingan mengenai
tuntutan ganti kerugian dan atau
rehabilitasi terkait tidak
sahnya penangkapan atau
penahanan maupun akibat
sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (pasal 81
KUHAP)
Permohonan
pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
berwenang. Dalam waktu
tiga hari setelah
permohonan diterima, hakim yang
ditunjuk menetapakan hari sidang sesuai dengan ketentuan pasal 82 ayat (1)
huruf a KUHAP. Selanjutnya menurut pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP ditegaskan
bahwa pemeriksaan praperadilan dilakukan secara cepat dan selambat- lambatnya
dalam waktu 7 (tujuh) hari
hakim yang memeriksa perkara praperadilan harus sudah menjatuhkan
putusan.
Terhadap putusan
hakim tersebut tidak
dapat diajukan upaya hukum banding kecuali
putusan yang menetapkan sah
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi sesuai dengan
ketentuan pasal 83 ayat (2) KUHAP. Akan tetapi
setelah adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi No 65/PUU-IX/2015, ketentuan pasal 83 ayat
(2) KUHAP dicabut sehingga terhadap
putusan praperadilan tidak dapat
diajukan banding.
Selanjutnya
tujuan praperadilan seperti
yang tersirat dalam pasal
80 KUHAP adalah untuk
menegakkan hukum, keadilan
kebenaran melalui pengawasan
horisontal. Pengawasan horisontal
disini adalah untuk
mengawasi tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh
penyidik atau penuntut
umum terhadap tersangka.
Tindakan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-
undang, dilakukan secara
profesional dan bukan
tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur
dalam KUHAP. Hal tersebut
untuk meminimalisir
penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang
(abuse of power) dalam pelaksanaan proses
penegakan hukum.
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
memiliki tujuan untuk
menyelesaikan kasus kejahatan sehingga keadilan dapat ditegakkan. Oleh karena itu lembaga praperadilan sebagai
lembaga pengawas oleh hakim terhadap tindakan yang
dilakukan oleh kepolisian
maupun kejaksaan akan
mewujudkan tercapainya tujuan yang dikehendaki oleh sistem peradilan
pidana tersebut.
Adapun tujuan
pengawasan secara horisontal yang dilakukan oleh lembaga praperadilan adalah
untuk memberikan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia terutama
hak asasi tersangka atau terdakwa. Perlindungan terhadap hak-hak tersangka yang diberikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak terlepas
dari asas praduga
tak bersalah (presumption of
innocence) sebagiamana
diatur dalam KUHAP.
Dalam
ketentuan tersebut dijelaskan
bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan,
wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga
praperadilan pada dasarnya identik
dengan lembaga Rechter Commissaris[4]
di Negeri belanda maupun lembaga Judge
d’Instruction[5] yang terdapat
di Perancis. Sedangkan dalam sistem peradilan Anglo
Saxon, lembaga praperadilan yang terdapat dalam KUHAP identik dengan
lembaga pre trial yang terdapat di Amerika
Serikat yang menerapkan prinsip Habeas
Corpus yang pada
dasarnya menjelaskan bahwa
di dalam masyarakat yang beradab
pemerintah harus selalu
menjamin hak kemerdekaan
seseorang.[6]
Dalam
kenyataannya, lembaga praperadilan ternyata belum efektif sebagai sarana
pengawasan horizontal dalam
melindungi hak asasi
tersangka maupun terdakwa, lembaga praperadilan memiliki kelemahan dan
kekurangan. Berdasarkan kewenangan
pada pasal 77
KUHAP, pengawasan praperadilan terhadap upaya paksa masih
terbatas.
Praperadilan
hanya memeriksa dan memutus tentang
upaya paksa hanya
terbatas pada penangkapan
dan penahanan. Untuk tindakan
penggeledahan dan penyitaan ataupun pemeriksaan surat tidak dijelaskan oleh
KUHAP, sehingga menimbulkan ketidak
jelasan siapa yang berwenang memeriksa apabila
terjadi pelanggaran.
Tidak hanya
itu, terkait dengan ketentuan pasal
80 KUHAP yaitu
mengenai pengajuan pemeriksaan tentang
sah atau tidaknya
penghentian penyidikan maupun
penuntutan yang diajukan
oleh pihak ketiga yang berkepentingan.
Dalam hal ini
KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas
mengenai siapa yang dimaksud dengan
pihak ketiga yang berkepentingan dalam pasal
tersebut. Hal tersebut mempengaruhi
perbedaan penafsiran hakim
terhadap interpretasi mengenai pihak
ketiga yang berkepentingan.
Selain itu
hakim praperadilan bersifat pasif, artinya tidak ada sidang tanpa adanya
tuntutan dari pihak-pihak yang
berhak memohon pemeriksaan praperadilan.
Dengan demikian, meskipun terdapat
suatu penyimpangan secara nyata dan
jelas dalam upaya
paksa, tetapi pihak-pihak
yang dirugikan tidak mengajukan permohonan
maka hakim praperadilan tidak
dapat menguji dan memutus kebenaran dari upaya paksa
tersebut.
Dibatasinya waktu
dalam proses beracara
merupakan masalah dalam praperadilan. Berdasarkan pasal
82 ayat (1)
huruf c ditentukan
bahwa pemeriksaan
dilakukan secara cepat
dan selambat-lamatnya tujuh
hari hakim sudah harus
menjatuhkan putusannya. Jika
proses beracara perkara
praperadilan tidak selesai dalam 7
(tujuh) hari maka
perkara praperadilan dianggap
gugur. Dengan demikian perkara
pokok sudah mulai
diperiksa oleh pengadilan
negeri. Dibatasinya waktu tersebut mengacu pada salah satu asas dalam
sistem peradilan pidana yaitu asas peradilan cepat sederhana dan biaya ringan.
Dalam praktek praperadilan, hakim
lebih banyak memperhatikan tidak dipenuhinya syarat
formil dari suatu
upaya paksa tanpa
memperhatikan syarat materiil. Misalnya mengenai ada atau tidaknya
surat perintah penangkapan (pasal 18 KUHAP), atau
ada tidaknya surat
perintah penahanan (pasal
21 ayat (2) KUHAP).
Hal ini sering
diabaikan oleh hakim
praperadilan karena hal
adanya kekhawatiran tersebut merupakan urusan penilaian subjektif dari
pihak penyidik maupun penuntut umum.
Akibatnya masih sering
terjadi penyalahgunaan wewenang
dan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Selain itu
perbedaan dasar pertimbangan hakim
praperadilan dalam
menjatuhkan putusan praperadilan juga
sering terjadi. Perkara yang
diajukan dalam praperadilan banyak yang mempunyai dasar permohonan dan
jenis perkara yang sama. Namun nantinya dalam
penetapan sering berbeda-beda. Keadaan seperti ini disebabkan hakim-hakim
yang melakukan pemeriksaan permohonan praperadilan mempunyai
persepsi yang berbeda-beda dalam
memeriksa dan menjatuhkan putusan
terhadap kasus-kasus praperadilan. Selain
itu juga karena kurangnya pemahaman hakim terhadap
ketentuan yang ada dalam KUHAP.
2.1 Analisis Yuridis Kedudukan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
dalam Sistem Peradilan Pidana.
Analisis
yuridis kedudukan hakim
pemeriksa pendahuluan dalam sistem peradilan pidana supremasi
hukum dengan mengadakan pembaruan
hukum acara pidana
menuju sisitem peradilan pidana terpadu dengan menempatkan para penegak
hukum pada fungsi tugas dan wewenangnya. Pembaruan hukum
acara pidana juga dimaksudkan untuk
lebih memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum, keadilan masyarakat,
dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia.[7]
Hadirnya
RUU KUHAP merupakan pembaharuan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengenai
Hukum Acara Pidana atau disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Meskipun KUHAP merupakan pembaharuan total dari kitab Herziene Indische
Reglement (HIR) namun ternyata di
dalam praktek ditemukan banyak kekurangan dan kelemahan, sehingga muncul pemikiran baru
dari para ahli
hukum untuk memperbaiki kekurangan dan kelemahan
tersebut.[8]
Dalam RUU KUHAP terdapat lembaga pengganti
praperadilan yang disebut dengan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan. Istilah Hakim
Pemeriksa Pendahuluan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebelumnya disebut dengan
hakim komisaris. Model hakim pemeriksa pendahuluan mengambil model
pengawasan yang menjadi tradisi sistem peradilan Eropa Kontinental.[9] Hakim
Pemeriksa Pendahuluan di
Belanda bertujuan
mengawasi jalannya proses
hukum acara pidana
serta menjalankan atau melaksanakan hukum
pidana materill khususnya pelaksanaan
wewenang pihak eksekutif, dalam
hal ini pihak penyidik dan penuntut umum.
Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RUU KUHAP
memiliki wewenang lebih luas dan
lebih lengkap dibandingkan dengan
lembaga praperadilan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Menurut
Pasal 1
ke-7 RUU KUHAP, Hakim
Pemeriksa Pendahuluan adalah
pejabat yang diberi
wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain
yang ditentukan dalam KUHAP.
Dalam
Penjelasan RUU KUHAP, Hakim Pemeriksa Pendahuluan akan menggantikan lembaga praperadilan yang selama
ini belum berjalan sebagaimana mestinya.
Penjelasan RUU KUHAP juga
menyebutkan bahwa Hakim Pemeriksa
Pendahuluan pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan penuntut
umum di satu pihak dan hakim di lain pihak.
Hal yang diatur dalam pasal 1 ayat 7 RUU
KUHAP dipertegas lagi dalam pasal 111 yaitu bahwa Hakim Pemeriksa Pendahuluan
memiliki kewenangan yaitu menetapkan dan
memutuskan antara lain:
a. sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau
penyadapan;
b. pembatalan atau penangguhan
penahanan;
c. bahwa keterangan
yang dibuat oleh
tersangka atau terdakwa
dengan melanggar hak untuk tidak
memberatkan diri sendiri;
d. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh
secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti
e. ganti
kerugian dan/atau rehabilitasi untuk
seseorang yang ditangkap atau ditahan
secara tidak sah
atau ganti kerugian
untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;
f. tersangka atau
terdakwa berhak untuk
atau diharuskan untuk
didampingi oleh pengacara;
g. bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang
tidak sah;
h. Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang
tidak berdasarkan asas
oportunitas;
i.
Layak
atau tidaknya suatu perkara
untuk dilakukan penuntutan
ke pengadilan.
j.
pelanggaran terhadap
hak tersangka apapun
yang lain yang
terjadi selama tahap penyidikan.
Dengan
melihat wewenang tersebut nampak bahwa Hakim Pemeriksa Pendahuluan memiliki
kewenangan yang sangat luas
dan penggunaan wewenangnya berdasarkan
pada inisiatif sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa Hakim Pemeriksa
Pendahuluan memiliki tanggung
jawab yang sangat besar pada
tahap pemeriksaan pendahuluan perkara
pidana. Selain itu
dalam menjalankan
wewenangnya tanpa adanya
suatu pengawasan.
Tidak
ada suatu lembaga yang berwenang melakukan
pengawasan terhadap
kewenangannya. berbeda dengan praperadilan yang mendapatkan pengawasaan
dari publik sebagai sarana
pengawasan umum yang bersumber
dari salah satu
asas dalam hukum acara
pidana yaitu “peradilan terbuka
untuk umum”. Keadaan ini
tidak menyelesaikan masalah yang
timbul dalam praktik pelaksanaan
praperadilan selama pemberlakuan KUHAP.[10] Di
Eropa dikenal juga Hakim Pemeriksa Pendahuluan khususnya di Belanda yaitu Rechter
Commissaris dan Judge d’ Instruction
di Prancis. Fungsi Hakim Memeriksa Pendahuluan
di Eropa benar-benar
melakukan pemeriksaan pendahuluan
karena tidak hanya menentukan sah
tidaknya penangkapan, penahanan,
penyitaan tetapi juga melakukan pemeriksaaan pendahuluan atas suatu perkara.
Kehadiran Hakim
Pemeriksa Pendahuluan dalam
Rancangan Undang- Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana melahirkan berbagai polemik dalam
kalangan para pakar
hukum pidana. Hakim
Agung Komariah E. Sapardjaja berpendapat bahwa
keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan hal sangat baik
dan ideal dalam upaya penegakan hukum.
Meskipun
demikian Hakim Pemeriksa Pendahuluan
memang tidak mungkin
dilaksanakan saat ini. Hal
ini karena sedikitnya jumlah hakim,
termasuk masih sedikitnya jumlah permohonan
praperadilan oleh masyarakat, juga
dibutuhkan komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Karena pembentukan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan tersebut akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat
tinggi.[11]
Marcus Priyogunarto
(Pakar Hukum
UGM) juga berpen dapat bahwa jumlah
hakim pengadilan umum
yang ada saat
ini saja masih
dinilai kurang. Selain itu,
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
hanya memeriksa dan
mengesahkan penyidik polisi melakukan
penangkapan, penggeledahan dan
penahanan, tanpa menangani
perkara karena posisinya memang di luar pengadilan umum.[12]
Selain itu,
Mantan Ketua Mahkamah
Agung Harifin Andi
Tumpa juga berpendapat bahwa
diperlukan tiga rambu
dalam membentuk Hakim
Pemeriksa Pendahuluan dalam RUU Kitab UU Hukum Acara Pidana. Pertama
yaitu kesiapan lembaga peradilan khususnya
Pengadilan Negeri (PN) yang melaksanakan ketentuan itu.
Permasalahan
yang kedua yaitu persyaratan menjadi hakim Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Aspek
ketiga, yaitu harus
dihindari adanya benturan antara penegak hukum itu sendiri
yang dapat mengakibatkan saling menyalahkan antara satu
dengan yang lainnya.[13] Menurut
Romli
Atmasasmita (Pakar Hukum
Pidana), bahwa kehadiran Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem peradilan
pidana Indonesia akan memicu
meluasnya konflik antar lembaga
kekuasaan kehakiman yang tidak kunjung selesai.
Melihat
pendapat para
pakar hukum tersebut
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hakim Pemeriksa
Pendahuluan belum saatnya diterapkan di Indonesia untuk saat ini. Apabila Hakim
Pemeriksa Pendahuluan diterapkan maka akan mengalami berbagai kendala
yaitu Sedikitnya jumlah
hakim untuk pengangkatan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan.
Karena
Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus dibebas
tugaskan dari tugas
utamanya sebagai hakim pengadilan negeri.
Kondisi geografis Indonesia
juga akan menyulitkan penyidik dalam hal
penangkapan jika harus
meminta ijin terlebih dahulu kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan
sesuai yang
diatur dalam RUU KUHAP.
Selain
itu pembentukan hakim pemeriksa pendahuluan juga memerlukan biaya yang
tinggi untuk menyediakan sarana maupun prasarana. Dengan melihat berbagai kendala tersebut maka
hakim pemeriksa
pendahuluan tidak mungkin diterapkan
di Indonesia untuk
saat ini, karena
tidak akan menimbulkan perbaikan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Namun
hemat penulis meskipun banyak pendapat para pakar diatas yang berpendapat bahwa
tidak dimungkinkan dibentuknya hakim pemeriksa pendahuluan di Indonesia. Namun ini
juga hal yang relatif Indonesia yang sudah demikian maju pemikiranya bisa saja
hal ini dapat di terapkan dengan merevisi KHAP dan disesuaikan dengan kebutuhan
bangsa saat ini. Terkait masalah biaya dan kukrangan hakim hemat penulis hal
demikian itu bukan alasan esensial mengingat melindungi hak-hak tersangka atau
hak asasi manusia dari pada pengorbanan biaya untuk memperbaikki sistem
pradilan kita yang selama ini masih banyak kekurangan dan diskriminasi.
II.
Penutup
4.1 Kesimpulan
Lembaga
praperadilan dalam sistem
peradilan pidana memiliki
fungsi sebagai lembaga pengawas
oleh Hakim terhadap
tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh Kepolisian maupun
Kejaksaan pada tahap pemeriksaan pendahuluan. Hal tersebut
untuk mewujudkan tujuan
dalam Sistem peradilan
Pidana di Indonesia,
yaitu untuk dapat
menyelesaikan masalah kejahatan
sehingga keadilan dapat ditegakkan.
Adapun tujuan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga praperadilan adalah
untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia terutama tersangka
dan terdakwa. Akan tetapi dalam
kenyataannya lembaga praperadilan ternyata belum efektif karena ditemukan
banyak kelemahan dan kekurangan serta dalam
prakteknya tidak sesuai
dengan ketentuan dalam
KUHAP.
Kelemahan
dan kekurangan tersebut
antara lain yaitu
masih terbatasnya kewenangan praperadilan
terkait pengawasan terhadap upaya paksa yang hanya meliputi penangkapan dan penahanan.
Hakim praperadilan bersifat menunggu,
sehingga tidak ada
pemeriksaan jika tidak ada
pihak yang mengajukan permohonan.
Dalam praktek hakim hanya
memeriksa mengenai syarat
formil dari suatu
upaya paksa tanpa
memperhatikan syarat materiil. Selain
itu perbedaan dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
dan juga dibatasinya
waktu yang singkat
dalam pemeriksaan perkara sesuai
dengan pasal 82
ayat (1) huruf
c KUHAP sehingga perkara
gugur dengan sendirinya.
Tidak
hanya itu, terkait
juga dengan pasal 80
KUHAP yaitu mengenai
interpretasi pihak ketiga
yang berkepentingan dalam mengajukan permohonan praperadilan.
Hakim
Pemeriksa Pendahuluan sebagai upaya
pembaharuan lembaga praperadilan dalam sistem
peradilan pidana memiliki
wewenang yang lebih
luas dan lengkap dibandingkan
lembaga praperadilan. Dengan wewenang yang
lebih luas tersebut
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
lebih menjamin hak-hak
tersangka atau terdakwa dalam
pemeriksaan pendahuluan. Akan tetapi
rencana pengaturan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan
menimbulkan polemik dari
para pakar hukum
pidana. Hakim Pemeriksa
Pendahuluan tidak mungkin diterapkan di Indonesia untuk saat ini, karena
pelaksanaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam peradilan pidana akan mengalami banyak
kendala sehingga sistem
peradilan pidana tidak berjalan secara efektif dan efisien.
4.2 Saran
Melihat
kelebihan dan kekurangan
lembaga praperadilan maupun Hakim Pemeriksa Pendahuluan
dalam RUU KUHAP,
maka pilihan pengawasan dalam tahap pemeriksaan
pendahuluan atau tahap pra adjudikasi dalam sistem peradila
pidana lebih tepat
jika dilakukan oleh lembaga
praperadilan. Akan tetapi
aturan-aturan dalam Kita Undang-Undang
HukumAcara Pidana (KUHAP) mengenai wewenang
dari lembaga tersebut
perlu disempurnakan. Hal
tersebut untuk menyesuaikan perkembangan hukum serta
tuntutan keadilan dalam pembaharuan sistem.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah.
(2010).” Hukum Acara Pidana Indonesia” Edisi Ke-II, , Jakarta: Sinar
Grafika
Badan
pembinaan Hukum Nasional, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan di Indonesia,
Jakarta, Tahun 2011
C.S.T Kansil, (1989).”Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata
Hukum Indonesia”, Jakarta: Balai Pustaka.
HMA Kuffal
(2011).” Penerapan KUHAP dalam Praktik
Hukum”, Malang: UMM Press.
Luhut M
Pangaribuan (2008).”Hukum Acara Pidana”, Jakarta: Djambatan.
Marjono Reksodipoetro. (1993) “Sistem
Peradilan Pidana di
Indonesia : Melihat Kepada Kejahatan
dan Penegakan Hukum
dalam Batas-Batas Toleransi”.
Jakarta: FH UI.1993
Ratna
Nurul Alfiah. (1986).”Praperadilan
dan Ruang Lingkupnya”, .Jakarta:Akademika Pressindo.
Romli Atmasasmita (1983).”Bunga Rampai Hukum
Acara Pidana”, Bandung: Binacipta.
JURNAL
Arhjayat Rahim, Praperadilan Sebagai Control Profesionalisme Kerja
Penyidik,volume 05, Nomor 01, Th. 2012.
Berlian
Sinarmata, Pengawasan terhadap
pelaksanaan Penahanan Menurut KUHAP dan
Konsep RUU KUHAP,
Mimbar Hukum Volume 23, nomor 1,
Februari 2011.
Nur
Hidayat, Penghentian Penyidikan oleh
Polri serta Upaya
Hukumnya, Yustisia, Volume 10, Fakultas Hukum Universitas Madura, Th. 2010.
[1]
Marjono Reksodipoetro.(1993).”Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia (Melihat Kepada
Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi)”, FH UI,
Jakarta. Hal 84
[2] Devi Kartika Sari dan Faizin Sulistio (2015) ”Analisis Yuridis Kedudukan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan Sebagai Upaya Pembaharuan Lembaga Pradilan Dalam Sistem
Pradilan Pidana Indonesia,” Universitas Brawijaya Malang. Hal 4-5
[3] HMA Kuffal (2011).”Penerapan KUHAP
dalam Praktik Hukum” UMM Press,
Malang. Hal 253.
[4]
Lembaga Rechter Commissaris adalah
hakim yang memimpin
pemeriksaan pendahuluan
di Negeri Belanda . Dikutip dari
Andi Hamzah (2010), “Hukum Acara
Pidana
Indonesia (Edisi
Kedua),” .Jakarta: Sinar Grafika. Hal 187.
[5]
Lembaga Judge d’Instruction adalah hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan
di Negeri Prancis. Ibid Hal 187
[6]
Luhut M Pangaribuan (2008), “Hukum Acara Pidana”, Djambatan, Jakarta.
hlm 1
[7]
Lihat Badan pembinaan Hukum
Nasional, Hakim Komisaris
dalam Sistem Peradilan
di
Indonesia, Jakarta, 2011,
hlm 14
[8] Di ambil
dari http://acarapidana.bphn.go.id/sekilas-hukum-acara-pidana/( Diakses 19 Mai
2015 pukul 19:45 WIB)
[9] Badan pembinaan
Hukum Nasional, Ibid.Hal 3
[10]
Berlian Sinarmata Pengawasan terhadap pelaksanaan Penahanan Menurut KUHAP dan
Konsep RUU KUHAP, Mimbar Hukum , Volume 23, nomor 1, Februari 2011 hlm 207
[11] Andi
Hamza Ibid. Hal 187
[12] Ibid
hal 187
[13] Ibid
Hal 13
[1]
Ratna Nurul Alfiah (1986).”Praperadilan dan Ruang Lingkupnya” Jakarta: Akademika Pressindo. Hal 1-3
[2]
Nur Hidayat (2010).” Penghentian Penyidikan oleh Polri serta Upaya Hukumnya,
Yustisia, Volume 10, Fakultas Hukum Universitas Madura, hlm 22.
[3]
http://www.kantorhukum-lhs.com/artikel-hukum/n?id=Praperadilan-dalam-KUHAP
(diakses pada Selasa 19 Mai pukul 10.00 WIB).