Oleh Muhammad Hadidi |
Kemurnian
pemikiran hukum yang dapat dikatakan lebih tahu dan memliliki konsentrasi
terhadap pengamatan hukum lebih konkret. Hukum ditempatkan sebagai objek
pengamatan merupakan eranya para ahli hukum modern. Era sebelumnya jika dinilai
secara ekstrem hanyalah pemikiran cabang utama dari filsafat umum yang mencoba
untuk menganalisis hukum sebagai landasan etik dan moral saja.
Hal
ini terbukti melalui para pengikut Stoa dan filsafat Skolastik diantaranya:
Aristoteles, Spinoza, Kant, Fichte, Hegel, Hobbes, Locke dan Rousseau ketika
ajaranya banyak digunakan dalam aliran pemikiran hukum alam maupun aliran
pemikiran hukum murni. Pemikiran-pemikiran hukum mereka bersumber pada
dalil-dalil umum tertentu, dan kalau sampai pada rincian seperti dalam filsafat
Hegel, filsafat hukumnya sering menyingkapkan kekurangan pengetahuannya
mengenai hukum positif dan problema-problemanya saja. Di lain pihak semua tokoh
yang terklasifikasi sebagai pemikir hukum modern, mereka adalah ahli hukum yang
sistematis atas pelaksanaan praktis dari tiap cabang istimewa ilmu hukum. Ada
beberapa nama seperti: Pound, Geny, Ehrlich, Kantrowicz, Heck, mereka adalah
rata-rata Professor dalam ilmu hukum perdata. Sedangkan nama seperti: Holmes,
Cardozo, dan Gmelin adalah hakim-hakim yang terkemuka di Amerika.
Dengan
demikian bukan kesalahan jika hendak dibandingkan dengan pemikir hukum di abad
klasik sebelumnya, bahwa era pemikiran hukum modern merupakan pemikir yang
lebih tahu substansi hukum dan segala problematika yang terdapat di dalam
“cangkang” hukum tersebut. Mereka adalah partisipan hukum yang kemudian
berbalik arah seolah-oleh menjadi pengamat, meneliti gejala-gejala dan fakta
sosial, sebagai penyebabnya hukum tidak dapat dipertahankan hanya dalam
imanensi Undang-Undang saja.
Sebagaimana
arus pemikiran hukum, asal muasal teori-teori hukum tidak dapat dilepaskan dari
dua arus yang bergerak dalam dua mainstream yang berbeda yaitu ada yang
mengambil posisi meletakkan hukum sebagai objek pengamatan dan satunya lagi
meletakkan hukum sebagai satu kesatuan dengan person (manusianya).
Lazimnya disebut cara berpikir yang
kedua ini adalah sebagai partisipan hukum.[1]
Lebih
konkret lagi, hukum yang dianggap sebagai objek pengamatan terhadap orang yang
menaruh konsentrasi dalam sudut pandang itu mereka disebut pengamat (observer).
Sedangkan orang-orang yang terlibat dalam telaah “hukum saja” seperti
Pengacara, Notaries, Hakim, Polisi merupakan profesi yang tergolong sebagai
partisipan hukum. Ada lagi satu, sebenarnya tambahan pembagian bagi yang selalu
melahirkan aliran-aliran pemikiran baru sebagai pengembangan hukum yang disebut
sebagai teoritisi hukum.[2]
Sebetulnya,
di Negara Indonesia sudah bertebaran jumlah pemikir hukum yang didominasi
sebagai pengamat (bukan partisipan). Kendati golongan mereka yang lebih senang
berada dalam kelompok sebagai pengamat mendapat kritik keras dari Peter Mahmud
Marzuki.[3]
generasi “pengamat hukum” tetap semakin bertambah. Di berbagai Perguruan Tinggi
lebih didominasi oleh sarjana-sarjana yang bertindak sebagai pengamat.
Mulai
dari skripsi, tesis, disertasi yang menjadi syarat penyelesaian studi, jauh
lebih besar jumlah hasil penelitian yang meletakkan hukum sebagai objek
pengamatan dibandingkan dengan mereka yang berani memilih kelompok peneliti
partisipan (sekedar hukum dogmatik saja). Padahal penelitian hukum dogmatik.[4]
tidak boleh dipandang sebelah mata, sebab diantara hasil penelitiannya tidak
dapat dimungkiri banyak memberikan hukum solutif dalam hal terjadi kekosongan
hukum, benturan norma, dan hukum yang masih samar-samar (kabur).
Oleh
karena itu mencermati dominannya model penelitian sosial yang diterapkan
terhadap berbagai ruang lingkup ilmu hukum, sudah seringkali terjadi
pendangkalan (eror) terminologi dalam telaah ilmu hukum dengan menggunakan
anasir ilmu di luar ilmu hukum. Banyak sekali mahasiswa hingga sudah menyandang
gelar sarjana memandang model penelitian demikian adalah penelitian hukum
empirik. Kalau mau ditelisik lebih dalam makna “hukum empirik” pada
sesungguhnya sebuah kekacauan berpikir yang sama sekali tidak berdasar. Dalam
sui generis-nya tidak ada hukum yang empirik, memang sifatnya sudah menjadi
keniscayaan harus “normatif”. Kalaupun ada yang hendak “menggoyahkan” bangunan
sistem hukum dari kajian eksternal maka yang dapat dikatakan berbasis “empiric”
adalah sudut kajian ekstenal itu saja. Bukan sifat asali hukumnya.
Kiranya
lebih tepat khusus untuk sudut pandang eksternal adalah pendekatan empiric
terhadap hukum.[5]
Artinya ilmu-ilmu sosial yang seringkali dijadikan sebagai alat analisis
terhadap elemen hukum, ilmu-ilmu sosial itulah yang bersifat empirik, karena
selalu mengutamakan fakta dan pengalaman ketika meneropong bangunan-bangunan
hukum saat diberlakukan. Dengan menilai efektivitasnya.[6]
Termasuk respon dari orang-orang yang hendak diatur dalam rupa bangunan sistem
hukum tersebut, penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan empirik akan
memperoleh kesimpulan yang sifatnya deskriptif.
Terdapat
beberapa ilmu-ilmu sosial yang dapat dijadikan sudut pendekatan dalam ilmu
hukum. Bahkan dalam litertur berbahasa Indonesia juga sudah cukup berlimpah.
Diantaranya, ilmu sosial paling banyak digunakan yaitu ilmu sosiologi (hukum),
ilmu antropologi (hukum), ilmu politik (hukum), ilmu ekonomi dan hukum[7]
dan psikologi hukum.[8]
Lebih
lanjut, kita ketahui filsafat hukum menurut Purnadi Purwacaraka dan Soerjono
Soekanto (1979:2) mengatakan “ Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan
nilai- nilai kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai
misalnya : penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman, antara kebendaan
dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan/konservatisme dengan pembaharuan.
Kesulitan
pertama yang banyak dialami dalam memahami hukum yaitu berfikir mengenai hukum
dengan cara yang telah ditentukan dalam ilmu hukum, mengaitkan satu sama lain
sebab dengan sebab lainnya, yang satu dengan hal yang timbul karenanya. Alam
berfikir hukum adalah berfikir khas, dengan karakteristik yang tidak ditemui
dalam cara-cara berfikir yang lain.
Positivisme
hukum atau disebut juga mazhab formalistik, mencoba menjawab masalah-maasalah
hukum melalui sistem-sistem norma, aturan-aturan, bagi aliran ini alam berfikir
hukum adalah berfikir normatif bahkan cenderung legisme. Aliran sosiologis
mengemukakan cara yang bisa dikatakan sangat bertolak belakang dengan cara positivisme
hukum, yaitu mencoba melihat konteks, memfokuskan cara pandang hukum terhadap
pola kelakuan/tingkah laku masyarakat, sehingga cenderung menolak aturan-aturan
formal (yang dibuat oleh lembaga formal seperti DPR, dengan bentuk peraturan
perundang-undangan).
Dalam
filsafat hukum ada beberapa aliran atau mazhab sebagai berikut:, Mazhab Hukum Alam, Mazhab Formalistis, Mazhab
Kebudayaan dan Sejarah, Utilitarianisme, Sociological Jurisprudence, Realisme
Hukum, Critical Legal Studies, Feminisme
Jurisprudence, Semiotika Jurisprudence.
Diantara
aliran atau mazhab hukumn tersebut yang akan dibahas penulis bahas dalam
makalah ini adalah Sociological
Jurisprudence. Aliran sociological jurisprudence disini ialah aliran yang
menghendaki bahwa dalam proses pembentukan pembaharuan hukum harus
memperhatikan kesadaran masyarakat. Memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat. Tokoh mazhab yang mengemukakan aliran ini adalah Eugen
Ehrlich dan Roscoe Pound.
I.
Rumusan Masalah
2.1 Apa yang di maksud dengan aliran atau mazhab
hukum Sociological Jurisprudence?
2.2 Bagaimana dinamisasi aliran sociological
jurisprudence dan pengaruhnya di Indonesia.
II.
Pembahasan
3.1 Apa yang di
maksud dengan aliran atau mazhab hukum
Sosiological Jurisprudence?
Aliran atau
mazhab Sociological Jurispurdence
adalah sebagai salah satu aliran
pemikiran filsafat hukum yang menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya
dengan masyarakat. Tokoh pencetus aliran ini adalah Roscoe Pound, Eugen
Ehrlich, Benjamin Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dkk.
Menurut Roscoe Pound aliran sociological
jurispurdence lebih mengarahkan perhatiannya pada ”kenyataan hukum” daripada
kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya
adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in
books. Namun sociological jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat
antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya
kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan
terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi
hukum. Tegasnya menurut Roscoe Pound “Hukum yang baik haruslah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup di antara
masyarakat”.
Menurut
Lilirasjidi, Sociological Yurisprudence menggunakan pendekatan hukum
kemasyarakatan, sementara sosiologi hukum menggunakan pendekatan dari
masyarakat ke hukum. Menurut Sociological Yurisprudence hukum yang baik
haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam msyarakat. Aliran ini
memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat (living law). Aliran ini timbul sebagai akibat dari proses
dialektika antara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah .[9]
Mengingat
fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan yang ada dalam
masyarakat. Menurut Roscoe Pound ada tiga kepentingan yang harus dilindungi
oleh hukum, yaitu public interest; individual interest; dan interest of
personality. Rincian dari setiap kepentingan tersebut bukan merupakan
daftar yang mutlak tetapi berubah-ubah sesuai perkembangan masyarakat. Jadi,
sangat dipengaruhi oleh waktu dan kondisi masyarakat. Apabila
kepentingan-kepentingan tersebut disusun sebagai susunan yang tidak
berubah-ubah, maka susunan tersebut bukan lagi sebagai social engineering
tetapi merupakan pernyataan politik (manifesto politik).[10]
Tugas utama
hukum adalah rekayasa sosial (law as a tool of social engineering, Roscoe
Pound). Hukum tidak saja dibentuk berdasarkan kepentingan masyarakat tetapi
juga harus ditegakkan sedemikian rupa oleh para yuris sebagai upaya sosial
kontrol dalam arti luas yang pelaksanaannya diorientasikan kepada
perubahan-perubahan yang dikehendaki.[11]
Oleh karena
itu, sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen di luar hukum, maka para penegak
hukum dalam mewujudkan tugas utama hukum harus memahami secara benar logika,
sejarah, adat, istiadat, pedoman prilaku yang benar agar keadilan dapat
ditegakkan. Keputusan hukum yang adil dapat digunakan sebagai sarana untuk
mengembangkan masyarakat. Tugas utama adalah sarana pembaharuan masyarakat
dalam pembangunan.
Peran
Strategis Hakim dalam Perspektif Sociological Jurisprudence. Kehidupan hukum sebagai kontrol sosial
terletak pada praktek pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut. Tugas hakim
dalam menerapkan hukum tidak melulu dipahami sebagai upaya social control yang
bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendisain
penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas yudisial hakim
tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang terhadap peristiwa
konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai sekedar corong
undang-undang (boncha de la loi) tetapi juga sebagai penggerak social
engineering. Para penyelenggara hukum harus memperhatikan aspek fungsional dari
hukum yakni untuk mencapai perubahan, dengan melakukan perubahan hukum selalu
dengan menggunakan segala macam teknik penafsiran (teori hukum fungsional).
2.3 Bagaimana
dinamisasi aliran sociological
jurissprudence dan pengaruhnya di Indonesia
Sebuah pertanyaan pastinya mengemuka, lantas
“sociological jurisprudence” sesungguhnya terletak di sudut pandang mana,
apakah sebagai pengamat ataukah sebagai partisipan? Jawabanya adalah sebuah
kemewahan dan keistimewaan sociological jurisprudence dengan menggabungkan
kedua-duanya sudut pandang tersebut. Sehingga dalam bahasa sederhana
sociological jurisprudence pada intinya mempelajari hukum dan sosial secara
timbal balik. Di sinilah letak perbedaan sosiologi hukum (legal sociology) dan
sociological jurisprudence. Kalau sosiologi hukum hanya memandang hukum dari
satu arah, sementara sociological jurisprudence justru anatara hukum dan sosial
sama-sama dapat saling mempengaruhi (resiprositas).[12]
Hemat
penulis menjadi jawaban atas kelemahan dari aliran positivisme hukum yang
pernah “dipertuhankan” oleh Hans Kelsen, John Austin dan Hart. Bahwa ada
kalanya hukum yang sudah dirancang dengan argumentasi menyatakan demikian
sempurna[13],
tampaknya dalam arus masyarakat dinamik dan begitu komplek, hukum yang
disistematisasi dalam sistem aturan, ada saja perkembangan waktu yang
menyebabkan sistem normanya tidak dapat mewadahi peristiwa-peristiwa hukum yang
terjadi pada saat itu. Demikianlah hukum seringkali distigmatisasi “berjalan
tertatih-tatih di belakang kenyataan” (het rech hintk anchter).
Meskipun sociological jurisprudence menjadi
corak baharu pemikiran hukum dalam setiap literatur filsafat hukum dan teori
hukum, namun ia tetap ditempatkan sebagai bahagian dari aliaran pemikiran
realisme hukum. Sebab mau tidak mau sociological jurisprudence juga
pengembangan lebih lanjut yang berani untuk menerima “kritik membangun” dari
segala pengkajian ilmu-ilmu sosial terhadap ilmu hukum. Bahkan sociological
jurisprudence begitu kuat utang budinya pada aliran pemikiran positivisme
hukumnya Kelsen dan mazhab sejarah hukumnya Carl Von Savigni; hukum sebagai
perkembangan jiwa (volkgeist) oleh sebuah bangsa.[14]
Dalam idealisme hukum baru ada banyak
perhatian yang menempatkan hukum bukan sebagai objek mati, dengan serta merta
tidak dapat mengalami perubahan-perubahan. Adalah Francois Geny yang seringkali
diklasifikasikan sebagai penganut mazhab hukum alam, tetapi jauh hari
sebelumnya telah menyadari sepenuhnya kelemahan-kelemahan dari hukum tertulis.
Geny mengajukan tiga sumber tambahan dalam hukum tertulis itu, diantaranya:
adat kebiasaan; kekuasaan dan tradisi sebagaimana dikembangkan melalui
keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran; dan penelitian ilmiah yang bebas.
Adapun peran dan sumbangsi yang bisa dimainkan oleh penelitian yang bebas
adalah memberi tuntunan kepada hakim untuk memecahkan sistuasi-situasi yuridis,
atas persoalan kepentingan-kepentingan yang betentangan.
Selanjutnya, di Jerman terdapat juga
pengkritik hukum, tat kala hukum dipandang sebagai media tertulis saja
(analytical jurisprudence) yakni Eugen Ehrlich menganjurkan agar mempelajari
ilmu hukum tidaklah melepaskannya dalam mata rantai ilmu sosial pula.
Dalam penelahaan ilmu hukum melalui ilmu-ilmu
sosial, Ehrlich[15]mengemukakan
“link between jurisprudence and the social science were valued by Erlich. The
jurist can and must learn from and the economist and sicail scientisc. All
knowledge must be taken as the province of jurisprudence because the viatl fact
of the living law are the fact of social life in its entirety. There ought,
therefore, to be no bounds to jurisprudence.”
Singkatnya, Erlich menyatakan semua
pengetahuan harus diterima sebagai bidang ilmu hukum sebab fakta yang vital
dari hukum yang hidup adalah fakta-fakta kehidupan sosial secara keseluruhan.
Sehingga tidak ada batas antara ilmu hukum dengan pengetahuan lain.
Terakhir, Roscoe Pound merupakan tokoh
sociological jurisprudence populer di berbagai belahan dunia atas kecermatannya
mereduksi “hukum otonom” ke dalam hukum yang harus mengalami pembaharuan.
Roscoe Pound mengemukakan konsep yang sangat terkenal bahwa “the main problem
to which sociological jurists are addressing them selves today is to enable and
to compel law making, and also interpretation and application of legal rules,
to make more account, and more intelligent account, of the social fact upon
which law must proceed and to which it is to be applied.”
Jadi, Pound memandang bahwa problema utama
hukum dewasa ini menjadi perhatian utama dari para yuris sosiologis adalah
untuk memungkinkan dan untuk mendorong pembuatan hukum, dan juga untuk
menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum, serta untuk membuat lebih
berharganya fakta-fakta sosial di atas mana hukum harus berjalan dan untuk mana
hukum itu diterapkan.[16]
Pengaruh sociological jurisprudence juga
terjadi di Indonesia. Diantaranya tokoh-tokoh yang menjadikan sociological
jurisprudence sebagai sandaran keberlakuan hukum, dimulai oleh Mochtar
Kusumaatmadja, Satjipto Rahardjo, hingga Romli Atmasasmita. Meskipun ketiga
tokoh tersebut tidak secara nyata mengakui teorinya diturunkan dari
sociological jurisprudence tetapi teori-teori mereka yang ditawarkan merupakan
mekanisme dan metode kerja hukum yang ditawarkan identik dalam melihat hubungan
timbal balik anatara hukum dan pranata-pranata sosial menuju terciptanya hukum
dinamik. Sesuai dengan kondisi masyarakat dan hukum diharapkan akan tetap
menciptakan ketertiban dengan mengikuti segala perubahan-perubahan sosial
bersangkutan.
Pengaruh Sociological Jurisprudence di
Indonesia adalah sebagaiberikut: Dampak pemikiran sociological jurisprudence di
Indonesia nampak melalui perkembangan sistem hukum Indonesia, yang dalam setiap
fasenya menggunakan beberapa teori hukum. Teori hukum yang menjadi “saksi” atas
perkembangan hukum di Indonesia, dintaranya teori hukum pembangunan (1970),
teori hukum progresif (1990-an) dan teori hukum integratif (masa sekarang).
Masing-masing teori hukum tersebut merupakan
reduksi dari pemikiran sociological jurisprudence-nya Roscoe Pound. Teori hukum
pembangunan tokohnya adalah Mochtar Kusumaatmadja. Teori hukum progresif adalah
Begawan sosiologi hukum alm. Sadjipto Rahardjo. Sedangkan teori hukum
integratif yang melengkapi kekurangan ke dua teori hukum sebelumnya, dicetuskan
oleh Romli Atmasasmita. Berikut ini uraian singkat, ketiga generasi sociological
jurisprudence tersebut dalam perkembangannya di Indonesia.
Teori hukum pembangunan mulai diperkenalkan
oleh Mochtar Kusumaatmadja; pakar hukum internasional yang terkenal teorinya
dengan mazhab hukum Unpad. Pandangan Kusumaatmadja tentang fungsi dan peranan
hukum dalam pembangunan nasional diletakkan dalam inti ajarannya sebagai
berikut.[17]
Semua masyarakat yang sedang membangun selalu
dicirkan oleh perubahan dan dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa
perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur, perubahan yang teratur menurut
Kusumaatmadja, dapat dibantu oleh perundang-Undangan atau keputusan pengadilan
dan kombinasi keduanya,. Beliau menolak perubahan yang tidak teratur dengan
menggunakan kekerasan semata-mata.
Baik perubahan maupun ketertiban (atau
keteraturan) merupakan tujuan awal dari masyarakt yang sedang membangun, maka
hukum menjadi suatu sarana (bukan alat) yang tidak dapat diabaikan dalam proses
pembangunan. Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban
melalui kepastian hukum dan juga hukum (sebagai kaidah sosial) harus dapat
mengatur (membantu) proses perubahan dalam masyarakat.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai
pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalm masyarakat
itu;
Implementasi fungsi hukum tersebut di atas
hanya dapat diwujudkan jika hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan, akan tetapi
kekuasaan itu sendiri harus berjalan dalam batas rambu-rambu yang ditemukan di
dalam hukum itu. Kendatipun yang menginisiasi gagasan Kusumaatmadja adalah
social engineering-nya Roscoe Pound, namun pandangan Kusumaatmadja tetap
memiliki perbedaan dengan Pound.
Urain Pound tentang konsep hukum dan fungsi
hukum dikemukakan dalam konteks lingkup proses peradilan di Amerika Serikat
yang ketika itu (awal abad ke-20) dengan mempertimbangkan faktor-faktor
nonhukum ke dalam perkembangan hakim dan situasi masyarakat yang telah maju.
Sedangkan Kusumaatmadja sendiri mengemukakan
konsep hukum dan fungsis serta peranan hukum dalam konteks pebangunan hukum di
Indonesia yang tengah mengalami masa transisi dari sistem pemrintahan yang
bersifat tertutup kepada sistem pemerintahan yang terbuka dengan masuknya modal
asing. Sekalipun berbeda, Kusumaatmadja tetap mengakui perubahan masyarakat
dapat dicapi melalui Undang-undang atau putusan pengadilan atau kedua-duanya,
sedangkan Pound sama sekali tidak menaruh perhatian pada Undang-Undang sebagai
unsur penting dalam perubahan masyarakat. Fase kemudian, lahir teori hukum
progresif sang begawan sosiologi hukum Satjipto Rahardjo. Sedikit agak berbeda
pendapatnya dengan Kusumaatmadja yang tidak menaruh hormat pada hukum tertulis.
Hukum tertulis dianggap lebih banyak
digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaan saja.[18]
Oleh karena itu asumsi dasar yang
terbangun dari teori Rahardjo “hukum adalah untuk manusia, maka hukum bukan
untuk dirinya, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar; setiap
kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki,
bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum.”
Pandangan
Satjipto Rahardjo.[19]
memilik makna yang sangat dalam dan kuat pengaruh filsafati kemanusiaan.
Pandangan ini hanya mendapat tempatnya di dalam bekerjanya hukum
(Undang-Undang) yang dijalankan oleh penegakan hukum yang mumpuni, bak dari
sudut filsafat, substansi hukum dan memang struktur kekuasaan kehakiman yang
dianut mendukung ke arah adagium “hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk
hukum.”
Pandangan
teori hukum progresif merupakan suatu penjelajahan atas gagasan yang berintikan
9 (Sembilan) pokok pikiran sebagai berikut[20]. Hukum
menolak taradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan berabagai
paham dengan aliran legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence,
interrresenjurisprudence di Jerman, teori hukum alam dan ciritical legal
studies; Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui
institusi-institusi kenegaraan; Hukum progresif ditujukan untuk melindungi
rakyat menuju kepada ideal hukum; Hukum menolak status quo serta tidak ingin
menjadikan hukum sebagai tekhnologi yang tidak bernurani, melainkan suau
institusi yang bermoral. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan
mengantarkan manusia pada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia
bahagia;
Hukum
proregresif adalah hukum yang prorakyat dan hukum yang prokeadilan; Asumsi
dasar hukum progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya
sendiri, melainkan sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali
ada masalah dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia
yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum; Hukum bukan merupakan
suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada
bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan
penentu;
Hukum
selalu dalam proses untuk terus menjadi. Merujuk pada wujud konkret dalam pembangun
hukum oleh Kusumaatmadja dan teori hukum progresif Satjipto Rahardjo di atas,
terdapat kesamaan dan perbedaan dari kedua ahli hukum tersebut. Persamaannya
yaitu menghendaki agar hukum memiliki peranan jauh ke depan, yaitu memberikan
arah dan perkembangan masyarakat agar tercapai masyarakat yang tertib, adil dan
sejahtera. Bahkan oleh keduanya meletakkan hukum dalam fungsi dan perannya
dengan pendikan hukum.
Sedangkan
perbedaan yang mencolok dari kedua teori hukum tersebut, yakni Kusumaatmadja
menegaskan bahwa kepastian hukum dalm arti keteraturan masih harus
dipertahankan sebagai pintu masuk menuju ke arah kepastian hukum dan keadilan.
Beda halnya Rahardjo justru menyatakan bahwa demu kepentingan manusia, maka
hukum tidak dapat memaksakan ketertiban kepada manusia, sebaliknya hukum yang
harus ditinjau kembali, dan menambahkan bahwa hukum untuk manusia bukan
sebaliknya serta hukum dijalankan dengan nurani.
Terakhir, yang melengkapi konsep hukum di
atas adalah Romli Atmasasmita yang mengkaji lebih awal pula ke dua pakar hukum
tersebut. Romli Atasasmita sengaja memperkenal teori hukum integratif untuk
menyempurnakan sistem hukum yang pernah dipopulerkan oleh Lawrence M. Friedman.[21]
dengan menambahkan satu elemen hukum yakni birokrasi. Berangkat dari konsep
hukum itu pulalah sehingga Romli Atmasasmita tiba pada kesimpulan “jika hukum
menurut Kusumaatmadja merupakan sistem norma (system of norms) dan menurut
Rahardjo[22] hukum
merupakan sistem perilaku (system of behavior), maka Romli Atmasasmita
menambahkan satu lagi; sebagaimana apa yang disebut sistem nilai (system of
value),
Ketiga
sistem hukum tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan yang cocok dalam
menghadapi dan mengantisipasi kemungkinan terburuk abad globalisasi saat ini,
dengan tidak melepaskan diri dari sifat tradisional masyarakat Indonesia yang
masih mengutamakan nilai (value) moral dan sosial.
Jika
diperhatikan secara cermat pada hakikatnya konsentrasi Romli Atmasasmita yakni
ketidakpercayaan terhadap birokrasi yang banyak menggunakan jalan pintas dalam
menggunakan hukum hanya untuk kepentingan dirinya semata. Oleh sebab itu Ia
menganjurkan perubahan atau rekayasa tidak hanya terjadi pada ruang-ruang
sosial tetapi juga harus terjadi perubahan terhadap lemabaga birokrasi kita.
Itulah yang disebutnya sebagai Bureaucratic Social Engineering (BSE). Rekyasa
birokrasi dan rekyasa masyarakat yang dilandaskan pada sistem norma, sistem
perilaku dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai ideologi
bangsa.[23]
seyogianya memiliki kinerja dalam setiap
langkah pemerintahan, seperti pembentukan hukum dan pengambilan kebijakan
belandaskan sistem norma dan logika berupa asas, kaidah, dan kekuatan normatif
dari hukum terwujudkan dalam perubahan perilaku masyarakat dan birokrasi ke
arah cita-cita membangun negara hukum yang demokratis.
Ada
kemiripan model pendekatan dalam pembaharuan hukum yang dianjurkan oleh Romli
Atmasasmita dengan pengembangan sistem aturan oleh Hart[24]
yang membagi fase pembentukan sistem norma dalam hukum primer dan hukum
sekunder. Kesebandingannya sebagai perekat dari pada hukum sekunder oleh Hart
mengutamakan pada aspek pengakuan, sementara menurut Romli Atmsasmita
menitikbertakan pada nilai yang hidup dalam akar filosofis bangsa.
Maka
dengan mengacu pada penganut hukum positivistik, Romli Atmasasmita[25]
mendeskripsikan teori hukum integratif “hukum sebagai sistem norma yang
mengutamakan “norm and logic” (Austin dan Kelsen) kehilangan arti dan makna
dalam kenyataan kehidupan masyarakat jika tidak berhasil diwujudkan dalam
sistem perilaku masyarakat dan birokrasi yang sama-sama taat hukum. Sebaliknya,
hukum yang hanya dipandang sebagai sistem norma dan sistem perilaku saja dan
digunakan ebagai “mesin birokrasi” akan kehilang rohnya jika mengabaikan sistem
nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai puncak nilai kesusilaan dan
kehidupn berbangsa dan bernegara.”
III.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah
dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya maka yang dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
Sociological Jurispurdence sebagai
salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam
kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup di
antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif
dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Roscoe
Pound (1870-1964) merupakan salah satu eksponen dari aliran
ini. Dalam bukunya An introduction to the philosophy of law, Pound menegaskan
bahwa hukum itu bertugas untuk memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan
keamanan yang menurut pengertian yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan
ketertiban hukum.
Dalam aliran Sociological
Jurisprudence hukum menjadi sangat akomodatif dan menyerap ekspektasi masyarakat.
Bagi Sociological Jurisprudence hukum dikonstruksi dari kebutuhan, keinginan,
tuntutan dan harapan dari masyarakat. Jadi yang didahulukan adalah kemanfaatan
dari hukum itu sendiri bagi masyarakat, dengan demikian hukum akan menjadi
hidup. Aliran sangat mengedepankan kesadaran hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Substansi pemikiran dari
sociological jurisprudence adalah salah satu aliran pemikiran dalam ilmu hukum
yang melakukan kritik terhadap tatanan hukum tertulis, agar menyesuaikan dengan
segala kepentingan yang selalu mengalami perubahan. Segala kepentingan tersebut
yang terdiri dari kepentingan negara, kepentingan sosial dan kepentingan
pribadi menjadi “alat” yang diharapkan sebagai aspek pengubah (rekayasa) hukum.
Pengaruh sociological jurisprudence
di Indonesia mampu bertahan dalam setiap fase pemerintahan yang terus mengalami
pergantian. Berawal dari teori hukum pembangunan, teori hukum progresif, hingga
teori hukum integratif. Dua dari tiga teori hukum tersebut, hampir semua
perguruan tinggi hukum di Indonesia mengenalnya, dan banyak mengisi literatur
sosiologi hukum dan filsafat hukum di Indonesia
Daftar Pustaka
Achmad Ali. (2002). “Menguak Tabir Hukum”.
Jakarta: Toko Gunung Agung.
__________. (1998). “Menjelajahi Kajian
Empiris Terhadap Hukum”. Jakarta: Yarsif Watampone.
__________.( 2001). “Keterpurukan Hukum
Indonesia”. Jakarta: Ghalia Indonesia
Anton F. Susanto. (2010). “Dekonstruksi
Hukum Eksplorasi: Teks dan Model Pembacaan”. Yogyakarta: Gentha Publishing.
Bernard Arief Sidharta. (1999). “Struktur
Ilmu Hukum”. Bandung: Mandar Maju.
__________________. (2007). “Mewissen
tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum”.
Bandung: Refika Aditama.
__________________. (2013). “Ilmu Hukum
Indonesia”. Yogyakarta: Genta Publishing.
Curzon. (1979). “Juriprudence”. USA: M
& E Handbook.
Damang. (2012). “Aplikasi Psikologi Hukum
dalam Putusan hak Asuh Anak”. Jurnal Amanna Gappa. Volume 20 Nomor 1, Maret
2012.
Damang Averroes Al-Khawarizmi. (2012). “Memaknai
Perilaku Hukum Pidato SBY”. Harian Tribun Timur: Makassar. 19 Oktober 2012
Fajar Sugianto. (2013).” Economic Approach
to Law”. Jakarta: Kencana.
Friedman, W. (1990). “Teori dan Filsafat
Hukum.” Jakarta: Rajawali Pers
Gerald Turkel. (1996). “Law and Society”.
USA: Universsity of Delaware.
Hadjon, Philiphus M. dan Tatik Sri Djatmiati. (2009).
“Argumentasi Hukum”. Yogyakarta: Gadjah Mada university.
Hans Kelsen. (1982). “Hukum dan logika”.
Bandung: Refika Aditama.
Hart. (2009). “Konsep Hukum”. Bandung:
Nusa Media
Ian Ward. (2014). “Pengantar Teori Hukum
Kritis.” Bandung: Nusa Media
Lawrence Meir Friedman. (1975). “The Legal
System: Social Science Perspective”. New Jersey: Princeton University
Press.
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi. (2001). “Dasar-Dasar
Filsafat Hukum dan Teori Hukum”. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi. (2002). “Pengantar
Filsafat Hukum”. Bandung: Mandar Maju. Hlm, 65.
Mac Guigan, Mark R. (1966). “Jurisprudence
Reading and Cases”. Toronto: University of Toronto Pers.
Mochtar Kusumaatmadja. (2006). “Konsep-Konsep
Hukum dalam Pembangunan”. Bandung: Alumni.
Munir Fuady. (2005). “Filsafat dan Teori
Hukum Postmodern”. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Peter Mahmud Marzuki. (2004). “Penelitian
Hukum”. Jakarta: Rajawali Pers.
Romli Atmasasmita. (2012). “Teori Hukum
Integratif”. Yogyakarta; Genta Publishing.
Roscoe Pound. Jurnal Harvard Law Review. Vol 25
Desember 1912.
____________. (1972). “Pengantar Filsafat
Hukum”. Jakarta: Bharata.
Satjipto Rahardjo. (1979). “Hukum dan
Perubahan Sosial”. Bandung: Alumni.
______________. (2009). “Hukum Progresif.
Sebuah sintesa Hukum Indonesia”. Yogyakarta: Genta Publishing
______________. (2009). “Hukum dan Perilaku”.
Jakarta: Kompas.
Shidarta. (2013). “Hukum Penalaran dan
Penalaran Hukum”. Yogyakarta: Genta Publishing.
[1] Arief
Sidhartha.(2007). “Mewissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum, dan Filsafat Hukum”. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 24 sd. 27.
[2] Philiphus
M. Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati. (2009). “Argumentasi Hukum”.
Yogyakarta: Gadjah Mada university. Hlm. 9.
[3] Peter
Mahmud Marzuki. (2004). “Penelitian Hukum”. Jakarta: Rajawali Pers
[4] Bernard
Arief Sidhartha.( 2013). “Ilmu Hukum Indonesia”. Yogyakarta: Genta
Publishing. Hlm. 56.
[5] Shidarta. (2013). “Hukum Penalaran dan
Penalaran Hukum”. Yogyakarta: Genta Publishing. Hlm. 44.
[6] Gerald Turkel. (1996). “Law and Society”.
USA: Universsity of Delaware. Page 147.
[7] Untuk kajian hukum dan ekonomi
terdapat literatur berbahasa Indonesia. Salah satunya yang ditulis oleh Fajar
Sugianto. 2013. Lihat “Economic Approach to Law”. Jakarta: Kencana.
[8] Kajian psikologi hukum sebagai
salah satu pendekatan, periksa Damang. 2012. Aplikasi Psikologi Hukum dalam
Putusan hak Asuh Anak. Jurnal Amanna Gappa. Volume 20 Nomor 1, Maret 2012
[9] Lili
Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi. (2007). “Dasar-dasar Filsafat dan Teori
Hukum”.Bandung PT. Citra AdityaBakti. Hal 25.
[10] . . Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi.( 2002).
“Pengantar filsafat Hukum”. Bandung: Mandar Maju. Hlm, 65.
[11] Lihat Dewa
Gede Wirasatya (2010) P. Catatan
Perkuliahan Sosiologi Hukum Prof.Sirtha.
[12] . Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi.( 2001). “Dasar-Dasar
Filsafat Hukum dan Teori Hukum”. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm. 67.
[13] Hans Kelsen. (1982). “Hukum
dan logika”. Bandung: Refika Aditama;. Hlm 52
[14] Achmad Ali.
(2002). “Menguak Tabir Hukum”. Jakarta: Toko Gunung Agung. Hlm 274.
[15] Curzon. (1979). “Juriprudence.”
USA: M & E Handbook. Hlm. 167.
[16] Achmad Ali. (1998). “Menjelajahi Kajian
Empiris terhadap Hukum”. Jakarta: Yarsif Watampone. Hlm. 10.
[17] Mochtar Kusumaatmadja. (2006). “Konsep-Konsep
Hukum dalam Pembangunan”. Bandung: Alumni. Hlm 3 sd. 10.
[18] Terdapat kesamaan teori hukum
progresif dengan critical legal study yang selalu mempertanyakan hukum dalam
pengaruh kuasa, bahasa, dan ideologi. Lihat
dalam buku Munir Fuady. (2005). “Filsafat dan Teori Hukum
Postmodern”. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm 125 sd. 172. Bandingkan pula
dengan Ian Ward. 2014. Pengantar Teori Hukum Kritis. Bandung: Nusa Media.
[19] Pada dasarnya ide Satjipto
Rahardjo juga mendapat pengaruh dari Nonet-Zelznik yang membagi tiga tipe
tatanan hukum: hukum represif, hukum otonomius, dan hukum responsive. Lebih
lengkapnya dalam Bernard Arief Sidharta. (1999). “Struktur Ilmu Hukum”.
Bandung: Mandar Maju. Hlm 50 sd. 52.
[20] Satjipto Rahardjo.( 2009). “Hukum
Progresif. Sebuah sintesa Hukum Indonesia”. Yogyakarta: Genta Publishing.
Hlm 1 sd. 3
[21] Berbagai kesalahan berjamaah,
sering terjadi berulang-ulang dengan mengutip pendapat Lawrence M Friedman,
selalu dikatakan elemen hukum terbagi menjadi struktur hukum, substansi hukum.
Padahal jika disandarkan pada terjemahan aslinya structure of legal system;
substance of legal substance. Oleh karena itu terjemahan yang benar berdasarkan
anjuran Achmad Ali adalah cukup mengatakan “struktur dan substansi” jika
mengutip pendapat Friedman tersebut. Lihat
Achmad Ali. (2001).” Keterpurukan Hukum Indonesia”. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Hlm. 1. Bandingkan dengan Lawrence M. Friedman. (1975). “The
Legal System: Social Science Perspective”. New Jersey: Princeton University
Press. Hlm 13.
[22] Satjipto Rahardjo. (2009). “Hukum
dan Perilaku”. Jakarta: Kompas. Hlm. 19
[23] Romli Atmasasmita. (2012).
“Teori Hukum Integratif”. Yogyakarta; Genta Publishing. Hlm. 97
[24] Hart. (2009). “Konsep Hukum”.
Penerjemah M. Khozim. Bandung: Nusa Media
[25] Romli Atmasasmita. Opcit. Hlm.
103.