Aliran Sociological Jurisprudence Dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Indonesia

Oleh Muhammad Hadidi 
Kemurnian pemikiran hukum yang dapat dikatakan lebih tahu dan memliliki konsentrasi terhadap pengamatan hukum lebih konkret. Hukum ditempatkan sebagai objek pengamatan merupakan eranya para ahli hukum modern. Era sebelumnya jika dinilai secara ekstrem hanyalah pemikiran cabang utama dari filsafat umum yang mencoba untuk menganalisis hukum sebagai landasan etik dan moral saja.
Hal ini terbukti melalui para pengikut Stoa dan filsafat Skolastik diantaranya: Aristoteles, Spinoza, Kant, Fichte, Hegel, Hobbes, Locke dan Rousseau ketika ajaranya banyak digunakan dalam aliran pemikiran hukum alam maupun aliran pemikiran hukum murni. Pemikiran-pemikiran hukum mereka bersumber pada dalil-dalil umum tertentu, dan kalau sampai pada rincian seperti dalam filsafat Hegel, filsafat hukumnya sering menyingkapkan kekurangan pengetahuannya mengenai hukum positif dan problema-problemanya saja. Di lain pihak semua tokoh yang terklasifikasi sebagai pemikir hukum modern, mereka adalah ahli hukum yang sistematis atas pelaksanaan praktis dari tiap cabang istimewa ilmu hukum. Ada beberapa nama seperti: Pound, Geny, Ehrlich, Kantrowicz, Heck, mereka adalah rata-rata Professor dalam ilmu hukum perdata. Sedangkan nama seperti: Holmes, Cardozo, dan Gmelin adalah hakim-hakim yang terkemuka di Amerika.

Dengan demikian bukan kesalahan jika hendak dibandingkan dengan pemikir hukum di abad klasik sebelumnya, bahwa era pemikiran hukum modern merupakan pemikir yang lebih tahu substansi hukum dan segala problematika yang terdapat di dalam “cangkang” hukum tersebut. Mereka adalah partisipan hukum yang kemudian berbalik arah seolah-oleh menjadi pengamat, meneliti gejala-gejala dan fakta sosial, sebagai penyebabnya hukum tidak dapat dipertahankan hanya dalam imanensi Undang-Undang saja.
Sebagaimana arus pemikiran hukum, asal muasal teori-teori hukum tidak dapat dilepaskan dari dua arus yang bergerak dalam dua mainstream yang berbeda yaitu ada yang mengambil posisi meletakkan hukum sebagai objek pengamatan dan satunya lagi meletakkan hukum sebagai satu kesatuan dengan person (manusianya). Lazimnya  disebut cara berpikir yang kedua ini adalah sebagai partisipan hukum.[1]
Lebih konkret lagi, hukum yang dianggap sebagai objek pengamatan terhadap orang yang menaruh konsentrasi dalam sudut pandang itu mereka disebut pengamat (observer). Sedangkan orang-orang yang terlibat dalam telaah “hukum saja” seperti Pengacara, Notaries, Hakim, Polisi merupakan profesi yang tergolong sebagai partisipan hukum. Ada lagi satu, sebenarnya tambahan pembagian bagi yang selalu melahirkan aliran-aliran pemikiran baru sebagai pengembangan hukum yang disebut sebagai teoritisi hukum.[2]
Sebetulnya, di Negara Indonesia sudah bertebaran jumlah pemikir hukum yang didominasi sebagai pengamat (bukan partisipan). Kendati golongan mereka yang lebih senang berada dalam kelompok sebagai pengamat mendapat kritik keras dari Peter Mahmud Marzuki.[3] generasi “pengamat hukum” tetap semakin bertambah. Di berbagai Perguruan Tinggi lebih didominasi oleh sarjana-sarjana yang bertindak sebagai pengamat.
Mulai dari skripsi, tesis, disertasi yang menjadi syarat penyelesaian studi, jauh lebih besar jumlah hasil penelitian yang meletakkan hukum sebagai objek pengamatan dibandingkan dengan mereka yang berani memilih kelompok peneliti partisipan (sekedar hukum dogmatik saja). Padahal penelitian hukum dogmatik.[4] tidak boleh dipandang sebelah mata, sebab diantara hasil penelitiannya tidak dapat dimungkiri banyak memberikan hukum solutif dalam hal terjadi kekosongan hukum, benturan norma, dan hukum yang masih samar-samar (kabur).
Oleh karena itu mencermati dominannya model penelitian sosial yang diterapkan terhadap berbagai ruang lingkup ilmu hukum, sudah seringkali terjadi pendangkalan (eror) terminologi dalam telaah ilmu hukum dengan menggunakan anasir ilmu di luar ilmu hukum. Banyak sekali mahasiswa hingga sudah menyandang gelar sarjana memandang model penelitian demikian adalah penelitian hukum empirik. Kalau mau ditelisik lebih dalam makna “hukum empirik” pada sesungguhnya sebuah kekacauan berpikir yang sama sekali tidak berdasar. Dalam sui generis-nya tidak ada hukum yang empirik, memang sifatnya sudah menjadi keniscayaan harus “normatif”. Kalaupun ada yang hendak “menggoyahkan” bangunan sistem hukum dari kajian eksternal maka yang dapat dikatakan berbasis “empiric” adalah sudut kajian ekstenal itu saja. Bukan sifat asali hukumnya.
Kiranya lebih tepat khusus untuk sudut pandang eksternal adalah pendekatan empiric terhadap hukum.[5] Artinya ilmu-ilmu sosial yang seringkali dijadikan sebagai alat analisis terhadap elemen hukum, ilmu-ilmu sosial itulah yang bersifat empirik, karena selalu mengutamakan fakta dan pengalaman ketika meneropong bangunan-bangunan hukum saat diberlakukan. Dengan menilai efektivitasnya.[6] Termasuk respon dari orang-orang yang hendak diatur dalam rupa bangunan sistem hukum tersebut, penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan empirik akan memperoleh kesimpulan yang sifatnya deskriptif.
Terdapat beberapa ilmu-ilmu sosial yang dapat dijadikan sudut pendekatan dalam ilmu hukum. Bahkan dalam litertur berbahasa Indonesia juga sudah cukup berlimpah. Diantaranya, ilmu sosial paling banyak digunakan yaitu ilmu sosiologi (hukum), ilmu antropologi (hukum), ilmu politik (hukum), ilmu ekonomi dan hukum[7] dan psikologi hukum.[8]
Lebih lanjut, kita ketahui filsafat hukum menurut Purnadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto (1979:2) mengatakan “ Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai- nilai kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai misalnya : penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan/konservatisme dengan pembaharuan.
Kesulitan pertama yang banyak dialami dalam memahami hukum yaitu berfikir mengenai hukum dengan cara yang telah ditentukan dalam ilmu hukum, mengaitkan satu sama lain sebab dengan sebab lainnya, yang satu dengan hal yang timbul karenanya. Alam berfikir hukum adalah berfikir khas, dengan karakteristik yang tidak ditemui dalam cara-cara berfikir yang lain.
Positivisme hukum atau disebut juga mazhab formalistik, mencoba menjawab masalah-maasalah hukum melalui sistem-sistem norma, aturan-aturan, bagi aliran ini alam berfikir hukum adalah berfikir normatif bahkan cenderung legisme. Aliran sosiologis mengemukakan cara yang bisa dikatakan sangat bertolak belakang dengan cara positivisme hukum, yaitu mencoba melihat konteks, memfokuskan cara pandang hukum terhadap pola kelakuan/tingkah laku masyarakat, sehingga cenderung menolak aturan-aturan formal (yang dibuat oleh lembaga formal seperti DPR, dengan bentuk peraturan perundang-undangan).
Dalam filsafat hukum ada beberapa aliran atau mazhab sebagai berikut:,  Mazhab Hukum Alam, Mazhab Formalistis, Mazhab Kebudayaan dan Sejarah, Utilitarianisme, Sociological Jurisprudence, Realisme Hukum, Critical Legal Studies,  Feminisme Jurisprudence,   Semiotika Jurisprudence.
Diantara aliran atau mazhab hukumn tersebut yang akan dibahas penulis bahas dalam makalah ini  adalah Sociological Jurisprudence. Aliran sociological jurisprudence disini ialah aliran yang menghendaki bahwa dalam proses pembentukan pembaharuan hukum harus memperhatikan kesadaran masyarakat. Memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tokoh mazhab yang mengemukakan aliran ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.
       I.            Rumusan Masalah
2.1     Apa yang di maksud dengan aliran atau mazhab hukum Sociological Jurisprudence?
2.2     Bagaimana dinamisasi aliran sociological jurisprudence dan pengaruhnya di Indonesia.



    II.            Pembahasan
3.1  Apa yang di maksud dengan aliran atau mazhab hukum  Sosiological Jurisprudence?
Aliran atau mazhab  Sociological Jurispurdence adalah  sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum yang menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Tokoh pencetus aliran ini adalah Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dkk.
Menurut  Roscoe Pound aliran sociological jurispurdence lebih mengarahkan perhatiannya pada ”kenyataan hukum” daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books. Namun sociological jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum. Tegasnya menurut Roscoe Pound “Hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup  di antara masyarakat”.
Menurut Lilirasjidi, Sociological Yurisprudence menggunakan pendekatan hukum kemasyarakatan, sementara sosiologi hukum menggunakan pendekatan dari masyarakat ke hukum. Menurut Sociological Yurisprudence hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam msyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Aliran ini timbul sebagai akibat dari proses dialektika antara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah .[9]
Mengingat fungsi utama hukum adalah untuk melindungi kepentingan yang ada dalam masyarakat. Menurut Roscoe Pound ada tiga kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu public interest; individual interest; dan interest of personality. Rincian dari setiap kepentingan tersebut bukan merupakan daftar yang mutlak tetapi berubah-ubah sesuai perkembangan masyarakat. Jadi, sangat dipengaruhi oleh waktu dan kondisi masyarakat. Apabila kepentingan-kepentingan tersebut disusun sebagai susunan yang tidak berubah-ubah, maka susunan tersebut bukan lagi sebagai social engineering tetapi merupakan pernyataan politik (manifesto politik).[10]
Tugas utama hukum adalah rekayasa sosial (law as a tool of social engineering, Roscoe Pound). Hukum tidak saja dibentuk berdasarkan kepentingan masyarakat tetapi juga harus ditegakkan sedemikian rupa oleh para yuris sebagai upaya sosial kontrol dalam arti luas yang pelaksanaannya diorientasikan kepada perubahan-perubahan yang dikehendaki.[11]
Oleh karena itu, sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen di luar hukum, maka para penegak hukum dalam mewujudkan tugas utama hukum harus memahami secara benar logika, sejarah, adat, istiadat, pedoman prilaku yang benar agar keadilan dapat ditegakkan. Keputusan hukum yang adil dapat digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan masyarakat. Tugas utama adalah sarana pembaharuan masyarakat dalam pembangunan.
Peran Strategis Hakim dalam Perspektif Sociological Jurisprudence.  Kehidupan hukum sebagai kontrol sosial terletak pada praktek pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut. Tugas hakim dalam menerapkan hukum tidak melulu dipahami sebagai upaya social control yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendisain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang terhadap peristiwa konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai sekedar corong undang-undang (boncha de la loi) tetapi juga sebagai penggerak social engineering. Para penyelenggara hukum harus memperhatikan aspek fungsional dari hukum yakni untuk mencapai perubahan, dengan melakukan perubahan hukum selalu dengan menggunakan segala macam teknik penafsiran (teori hukum fungsional).

2.3  Bagaimana dinamisasi aliran sociological jurissprudence dan pengaruhnya di Indonesia
Sebuah pertanyaan pastinya mengemuka, lantas “sociological jurisprudence” sesungguhnya terletak di sudut pandang mana, apakah sebagai pengamat ataukah sebagai partisipan? Jawabanya adalah sebuah kemewahan dan keistimewaan sociological jurisprudence dengan menggabungkan kedua-duanya sudut pandang tersebut. Sehingga dalam bahasa sederhana sociological jurisprudence pada intinya mempelajari hukum dan sosial secara timbal balik. Di sinilah letak perbedaan sosiologi hukum (legal sociology) dan sociological jurisprudence. Kalau sosiologi hukum hanya memandang hukum dari satu arah, sementara sociological jurisprudence justru anatara hukum dan sosial sama-sama dapat saling mempengaruhi (resiprositas).[12]
Hemat penulis menjadi jawaban atas kelemahan dari aliran positivisme hukum yang pernah “dipertuhankan” oleh Hans Kelsen, John Austin dan Hart. Bahwa ada kalanya hukum yang sudah dirancang dengan argumentasi menyatakan demikian sempurna[13], tampaknya dalam arus masyarakat dinamik dan begitu komplek, hukum yang disistematisasi dalam sistem aturan, ada saja perkembangan waktu yang menyebabkan sistem normanya tidak dapat mewadahi peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi pada saat itu. Demikianlah hukum seringkali distigmatisasi “berjalan tertatih-tatih di belakang kenyataan” (het rech hintk anchter).
Meskipun sociological jurisprudence menjadi corak baharu pemikiran hukum dalam setiap literatur filsafat hukum dan teori hukum, namun ia tetap ditempatkan sebagai bahagian dari aliaran pemikiran realisme hukum. Sebab mau tidak mau sociological jurisprudence juga pengembangan lebih lanjut yang berani untuk menerima “kritik membangun” dari segala pengkajian ilmu-ilmu sosial terhadap ilmu hukum. Bahkan sociological jurisprudence begitu kuat utang budinya pada aliran pemikiran positivisme hukumnya Kelsen dan mazhab sejarah hukumnya Carl Von Savigni; hukum sebagai perkembangan jiwa (volkgeist) oleh sebuah bangsa.[14]
Dalam idealisme hukum baru ada banyak perhatian yang menempatkan hukum bukan sebagai objek mati, dengan serta merta tidak dapat mengalami perubahan-perubahan. Adalah Francois Geny yang seringkali diklasifikasikan sebagai penganut mazhab hukum alam, tetapi jauh hari sebelumnya telah menyadari sepenuhnya kelemahan-kelemahan dari hukum tertulis. Geny mengajukan tiga sumber tambahan dalam hukum tertulis itu, diantaranya: adat kebiasaan; kekuasaan dan tradisi sebagaimana dikembangkan melalui keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran; dan penelitian ilmiah yang bebas. Adapun peran dan sumbangsi yang bisa dimainkan oleh penelitian yang bebas adalah memberi tuntunan kepada hakim untuk memecahkan sistuasi-situasi yuridis, atas persoalan kepentingan-kepentingan yang betentangan.
Selanjutnya, di Jerman terdapat juga pengkritik hukum, tat kala hukum dipandang sebagai media tertulis saja (analytical jurisprudence) yakni Eugen Ehrlich menganjurkan agar mempelajari ilmu hukum tidaklah melepaskannya dalam mata rantai ilmu sosial pula.

Dalam penelahaan ilmu hukum melalui ilmu-ilmu sosial, Ehrlich[15]mengemukakan “link between jurisprudence and the social science were valued by Erlich. The jurist can and must learn from and the economist and sicail scientisc. All knowledge must be taken as the province of jurisprudence because the viatl fact of the living law are the fact of social life in its entirety. There ought, therefore, to be no bounds to jurisprudence.”
Singkatnya, Erlich menyatakan semua pengetahuan harus diterima sebagai bidang ilmu hukum sebab fakta yang vital dari hukum yang hidup adalah fakta-fakta kehidupan sosial secara keseluruhan. Sehingga tidak ada batas antara ilmu hukum dengan pengetahuan lain.
Terakhir, Roscoe Pound merupakan tokoh sociological jurisprudence populer di berbagai belahan dunia atas kecermatannya mereduksi “hukum otonom” ke dalam hukum yang harus mengalami pembaharuan. Roscoe Pound mengemukakan konsep yang sangat terkenal bahwa “the main problem to which sociological jurists are addressing them selves today is to enable and to compel law making, and also interpretation and application of legal rules, to make more account, and more intelligent account, of the social fact upon which law must proceed and to which it is to be applied.”
Jadi, Pound memandang bahwa problema utama hukum dewasa ini menjadi perhatian utama dari para yuris sosiologis adalah untuk memungkinkan dan untuk mendorong pembuatan hukum, dan juga untuk menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum, serta untuk membuat lebih berharganya fakta-fakta sosial di atas mana hukum harus berjalan dan untuk mana hukum itu diterapkan.[16]
Pengaruh sociological jurisprudence juga terjadi di Indonesia. Diantaranya tokoh-tokoh yang menjadikan sociological jurisprudence sebagai sandaran keberlakuan hukum, dimulai oleh Mochtar Kusumaatmadja, Satjipto Rahardjo, hingga Romli Atmasasmita. Meskipun ketiga tokoh tersebut tidak secara nyata mengakui teorinya diturunkan dari sociological jurisprudence tetapi teori-teori mereka yang ditawarkan merupakan mekanisme dan metode kerja hukum yang ditawarkan identik dalam melihat hubungan timbal balik anatara hukum dan pranata-pranata sosial menuju terciptanya hukum dinamik. Sesuai dengan kondisi masyarakat dan hukum diharapkan akan tetap menciptakan ketertiban dengan mengikuti segala perubahan-perubahan sosial bersangkutan.
Pengaruh Sociological Jurisprudence di Indonesia adalah sebagaiberikut: Dampak pemikiran sociological jurisprudence di Indonesia nampak melalui perkembangan sistem hukum Indonesia, yang dalam setiap fasenya menggunakan beberapa teori hukum. Teori hukum yang menjadi “saksi” atas perkembangan hukum di Indonesia, dintaranya teori hukum pembangunan (1970), teori hukum progresif (1990-an) dan teori hukum integratif (masa sekarang).
Masing-masing teori hukum tersebut merupakan reduksi dari pemikiran sociological jurisprudence-nya Roscoe Pound. Teori hukum pembangunan tokohnya adalah Mochtar Kusumaatmadja. Teori hukum progresif adalah Begawan sosiologi hukum alm. Sadjipto Rahardjo. Sedangkan teori hukum integratif yang melengkapi kekurangan ke dua teori hukum sebelumnya, dicetuskan oleh Romli Atmasasmita. Berikut ini uraian singkat, ketiga generasi sociological jurisprudence tersebut dalam perkembangannya di Indonesia.
Teori hukum pembangunan mulai diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja; pakar hukum internasional yang terkenal teorinya dengan mazhab hukum Unpad. Pandangan Kusumaatmadja tentang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional diletakkan dalam inti ajarannya sebagai berikut.[17]
Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirkan oleh perubahan dan dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur, perubahan yang teratur menurut Kusumaatmadja, dapat dibantu oleh perundang-Undangan atau keputusan pengadilan dan kombinasi keduanya,. Beliau menolak perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata.
Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan awal dari masyarakt yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu sarana (bukan alat) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban melalui kepastian hukum dan juga hukum (sebagai kaidah sosial) harus dapat mengatur (membantu) proses perubahan dalam masyarakat.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalm masyarakat itu;
Implementasi fungsi hukum tersebut di atas hanya dapat diwujudkan jika hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan, akan tetapi kekuasaan itu sendiri harus berjalan dalam batas rambu-rambu yang ditemukan di dalam hukum itu. Kendatipun yang menginisiasi gagasan Kusumaatmadja adalah social engineering-nya Roscoe Pound, namun pandangan Kusumaatmadja tetap memiliki perbedaan dengan Pound.
Urain Pound tentang konsep hukum dan fungsi hukum dikemukakan dalam konteks lingkup proses peradilan di Amerika Serikat yang ketika itu (awal abad ke-20) dengan mempertimbangkan faktor-faktor nonhukum ke dalam perkembangan hakim dan situasi masyarakat yang telah maju.
Sedangkan Kusumaatmadja sendiri mengemukakan konsep hukum dan fungsis serta peranan hukum dalam konteks pebangunan hukum di Indonesia yang tengah mengalami masa transisi dari sistem pemrintahan yang bersifat tertutup kepada sistem pemerintahan yang terbuka dengan masuknya modal asing. Sekalipun berbeda, Kusumaatmadja tetap mengakui perubahan masyarakat dapat dicapi melalui Undang-undang atau putusan pengadilan atau kedua-duanya, sedangkan Pound sama sekali tidak menaruh perhatian pada Undang-Undang sebagai unsur penting dalam perubahan masyarakat. Fase kemudian, lahir teori hukum progresif sang begawan sosiologi hukum Satjipto Rahardjo. Sedikit agak berbeda pendapatnya dengan Kusumaatmadja yang tidak menaruh hormat pada hukum tertulis.


Hukum tertulis dianggap lebih banyak digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaan saja.[18] Oleh karena itu asumsi dasar yang terbangun dari teori Rahardjo “hukum adalah untuk manusia, maka hukum bukan untuk dirinya, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar; setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum.”
Pandangan Satjipto Rahardjo.[19] memilik makna yang sangat dalam dan kuat pengaruh filsafati kemanusiaan. Pandangan ini hanya mendapat tempatnya di dalam bekerjanya hukum (Undang-Undang) yang dijalankan oleh penegakan hukum yang mumpuni, bak dari sudut filsafat, substansi hukum dan memang struktur kekuasaan kehakiman yang dianut mendukung ke arah adagium “hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.”
Pandangan teori hukum progresif merupakan suatu penjelajahan atas gagasan yang berintikan 9 (Sembilan) pokok pikiran sebagai berikut[20]. Hukum menolak taradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan berabagai paham dengan aliran legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interrresenjurisprudence di Jerman, teori hukum alam dan ciritical legal studies; Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan; Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum; Hukum menolak status quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai tekhnologi yang tidak bernurani, melainkan suau institusi yang bermoral. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia pada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia;
Hukum proregresif adalah hukum yang prorakyat dan hukum yang prokeadilan; Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum; Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu;
Hukum selalu dalam proses untuk terus menjadi. Merujuk pada wujud konkret dalam pembangun hukum oleh Kusumaatmadja dan teori hukum progresif Satjipto Rahardjo di atas, terdapat kesamaan dan perbedaan dari kedua ahli hukum tersebut. Persamaannya yaitu menghendaki agar hukum memiliki peranan jauh ke depan, yaitu memberikan arah dan perkembangan masyarakat agar tercapai masyarakat yang tertib, adil dan sejahtera. Bahkan oleh keduanya meletakkan hukum dalam fungsi dan perannya dengan pendikan hukum.
Sedangkan perbedaan yang mencolok dari kedua teori hukum tersebut, yakni Kusumaatmadja menegaskan bahwa kepastian hukum dalm arti keteraturan masih harus dipertahankan sebagai pintu masuk menuju ke arah kepastian hukum dan keadilan. Beda halnya Rahardjo justru menyatakan bahwa demu kepentingan manusia, maka hukum tidak dapat memaksakan ketertiban kepada manusia, sebaliknya hukum yang harus ditinjau kembali, dan menambahkan bahwa hukum untuk manusia bukan sebaliknya serta hukum dijalankan dengan nurani.
Terakhir, yang melengkapi konsep hukum di atas adalah Romli Atmasasmita yang mengkaji lebih awal pula ke dua pakar hukum tersebut. Romli Atasasmita sengaja memperkenal teori hukum integratif untuk menyempurnakan sistem hukum yang pernah dipopulerkan oleh Lawrence M. Friedman.[21] dengan menambahkan satu elemen hukum yakni birokrasi. Berangkat dari konsep hukum itu pulalah sehingga Romli Atmasasmita tiba pada kesimpulan “jika hukum menurut Kusumaatmadja merupakan sistem norma (system of norms) dan menurut Rahardjo[22] hukum merupakan sistem perilaku (system of behavior), maka Romli Atmasasmita menambahkan satu lagi; sebagaimana apa yang disebut sistem nilai (system of value),
Ketiga sistem hukum tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan yang cocok dalam menghadapi dan mengantisipasi kemungkinan terburuk abad globalisasi saat ini, dengan tidak melepaskan diri dari sifat tradisional masyarakat Indonesia yang masih mengutamakan nilai (value) moral dan sosial.
Jika diperhatikan secara cermat pada hakikatnya konsentrasi Romli Atmasasmita yakni ketidakpercayaan terhadap birokrasi yang banyak menggunakan jalan pintas dalam menggunakan hukum hanya untuk kepentingan dirinya semata. Oleh sebab itu Ia menganjurkan perubahan atau rekayasa tidak hanya terjadi pada ruang-ruang sosial tetapi juga harus terjadi perubahan terhadap lemabaga birokrasi kita. Itulah yang disebutnya sebagai Bureaucratic Social Engineering (BSE). Rekyasa birokrasi dan rekyasa masyarakat yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa.[23]
 seyogianya memiliki kinerja dalam setiap langkah pemerintahan, seperti pembentukan hukum dan pengambilan kebijakan belandaskan sistem norma dan logika berupa asas, kaidah, dan kekuatan normatif dari hukum terwujudkan dalam perubahan perilaku masyarakat dan birokrasi ke arah cita-cita membangun negara hukum yang demokratis.
Ada kemiripan model pendekatan dalam pembaharuan hukum yang dianjurkan oleh Romli Atmasasmita dengan pengembangan sistem aturan oleh Hart[24] yang membagi fase pembentukan sistem norma dalam hukum primer dan hukum sekunder. Kesebandingannya sebagai perekat dari pada hukum sekunder oleh Hart mengutamakan pada aspek pengakuan, sementara menurut Romli Atmsasmita menitikbertakan pada nilai yang hidup dalam akar filosofis bangsa.
Maka dengan mengacu pada penganut hukum positivistik, Romli Atmasasmita[25] mendeskripsikan teori hukum integratif “hukum sebagai sistem norma yang mengutamakan “norm and logic” (Austin dan Kelsen) kehilangan arti dan makna dalam kenyataan kehidupan masyarakat jika tidak berhasil diwujudkan dalam sistem perilaku masyarakat dan birokrasi yang sama-sama taat hukum. Sebaliknya, hukum yang hanya dipandang sebagai sistem norma dan sistem perilaku saja dan digunakan ebagai “mesin birokrasi” akan kehilang rohnya jika mengabaikan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai puncak nilai kesusilaan dan kehidupn berbangsa dan bernegara.”
















 III.            Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya maka yang dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup  di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Roscoe Pound  (1870-1964)  merupakan salah satu eksponen dari aliran ini. Dalam bukunya An introduction to the philosophy of law, Pound menegaskan bahwa hukum itu bertugas untuk memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum.
Dalam aliran Sociological Jurisprudence hukum menjadi sangat akomodatif dan menyerap ekspektasi masyarakat. Bagi Sociological Jurisprudence hukum dikonstruksi dari kebutuhan, keinginan, tuntutan dan harapan dari masyarakat. Jadi yang didahulukan adalah kemanfaatan dari hukum itu sendiri bagi masyarakat, dengan demikian hukum akan menjadi hidup. Aliran sangat mengedepankan kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Substansi pemikiran dari sociological jurisprudence adalah salah satu aliran pemikiran dalam ilmu hukum yang melakukan kritik terhadap tatanan hukum tertulis, agar menyesuaikan dengan segala kepentingan yang selalu mengalami perubahan. Segala kepentingan tersebut yang terdiri dari kepentingan negara, kepentingan sosial dan kepentingan pribadi menjadi “alat” yang diharapkan sebagai aspek pengubah (rekayasa) hukum.
Pengaruh sociological jurisprudence di Indonesia mampu bertahan dalam setiap fase pemerintahan yang terus mengalami pergantian. Berawal dari teori hukum pembangunan, teori hukum progresif, hingga teori hukum integratif. Dua dari tiga teori hukum tersebut, hampir semua perguruan tinggi hukum di Indonesia mengenalnya, dan banyak mengisi literatur sosiologi hukum dan filsafat hukum di Indonesia


Daftar Pustaka

Achmad Ali. (2002). “Menguak Tabir Hukum”. Jakarta: Toko Gunung Agung.
__________. (1998). “Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum”. Jakarta: Yarsif Watampone.
__________.( 2001). “Keterpurukan Hukum Indonesia”. Jakarta: Ghalia Indonesia
Anton F. Susanto. (2010). “Dekonstruksi Hukum Eksplorasi: Teks dan Model Pembacaan”. Yogyakarta: Gentha Publishing.
Bernard Arief Sidharta. (1999). “Struktur Ilmu Hukum”. Bandung: Mandar Maju.
__________________. (2007). “Mewissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum”. Bandung: Refika Aditama.
__________________. (2013). “Ilmu Hukum Indonesia”. Yogyakarta: Genta Publishing.
Curzon. (1979). “Juriprudence”. USA: M & E Handbook.
Damang. (2012). “Aplikasi Psikologi Hukum dalam Putusan hak Asuh Anak”. Jurnal Amanna Gappa. Volume 20 Nomor 1, Maret 2012.
Damang Averroes Al-Khawarizmi. (2012). “Memaknai Perilaku Hukum Pidato SBY”. Harian Tribun Timur: Makassar. 19 Oktober 2012
Fajar Sugianto. (2013).” Economic Approach to Law”. Jakarta: Kencana.
Friedman, W. (1990). “Teori dan Filsafat Hukum.” Jakarta: Rajawali Pers
Gerald Turkel. (1996). “Law and Society”. USA: Universsity of Delaware.
Hadjon, Philiphus M. dan Tatik Sri Djatmiati. (2009). “Argumentasi Hukum”. Yogyakarta: Gadjah Mada university.
Hans Kelsen. (1982). “Hukum dan logika”. Bandung: Refika Aditama.
Hart. (2009). “Konsep Hukum”. Bandung: Nusa Media
Ian Ward. (2014). “Pengantar Teori Hukum Kritis.” Bandung: Nusa Media
Lawrence Meir Friedman. (1975). “The Legal System: Social Science Perspective”. New Jersey: Princeton University Press.
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi. (2001). “Dasar-Dasar Filsafat Hukum dan Teori Hukum”. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi. (2002). “Pengantar Filsafat Hukum”. Bandung: Mandar Maju. Hlm, 65.
Mac Guigan, Mark R. (1966). “Jurisprudence Reading and Cases”. Toronto: University of Toronto Pers.
Mochtar Kusumaatmadja. (2006). “Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan”. Bandung: Alumni.
Munir Fuady. (2005). “Filsafat dan Teori Hukum Postmodern”. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Peter Mahmud Marzuki. (2004). “Penelitian Hukum”. Jakarta: Rajawali Pers.
Romli Atmasasmita. (2012). “Teori Hukum Integratif”. Yogyakarta; Genta Publishing.
Roscoe Pound. Jurnal Harvard Law Review. Vol 25 Desember 1912.
____________. (1972). “Pengantar Filsafat Hukum”. Jakarta: Bharata.
Satjipto Rahardjo. (1979). “Hukum dan Perubahan Sosial”. Bandung: Alumni.
______________. (2009). “Hukum Progresif. Sebuah sintesa Hukum Indonesia”. Yogyakarta: Genta Publishing
______________. (2009). “Hukum dan Perilaku”. Jakarta: Kompas.
Shidarta. (2013). “Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum”. Yogyakarta: Genta Publishing.






[1] Arief Sidhartha.(2007). “Mewissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum”. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 24 sd. 27.
[2] Philiphus M. Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati. (2009). “Argumentasi Hukum”. Yogyakarta: Gadjah Mada university. Hlm. 9.
[3] Peter Mahmud Marzuki. (2004). “Penelitian Hukum”. Jakarta: Rajawali Pers
[4] Bernard Arief Sidhartha.( 2013). “Ilmu Hukum Indonesia”. Yogyakarta: Genta Publishing. Hlm. 56.
[5] Shidarta. (2013). “Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum”. Yogyakarta: Genta Publishing. Hlm. 44.
[6] Gerald Turkel. (1996). “Law and Society”. USA: Universsity of Delaware. Page 147.
[7] Untuk kajian hukum dan ekonomi terdapat literatur berbahasa Indonesia. Salah satunya yang ditulis oleh Fajar Sugianto. 2013. Lihat “Economic Approach to Law”. Jakarta: Kencana.
[8] Kajian psikologi hukum sebagai salah satu pendekatan, periksa Damang. 2012. Aplikasi Psikologi Hukum dalam Putusan hak Asuh Anak. Jurnal Amanna Gappa. Volume 20 Nomor 1, Maret 2012

[9] Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi. (2007). “Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum”.Bandung PT. Citra AdityaBakti. Hal 25.
[10] . . Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi.( 2002). “Pengantar filsafat Hukum”. Bandung: Mandar Maju. Hlm, 65.
[11] Lihat Dewa Gede Wirasatya (2010)  P. Catatan Perkuliahan Sosiologi Hukum Prof.Sirtha.

[12] . Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi.( 2001). “Dasar-Dasar Filsafat Hukum dan Teori Hukum”. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm. 67.
[13] Hans Kelsen. (1982). “Hukum dan logika”. Bandung: Refika Aditama;. Hlm 52

[14] Achmad Ali. (2002). “Menguak Tabir Hukum”. Jakarta: Toko Gunung Agung. Hlm 274.
[15] Curzon. (1979). “Juriprudence.” USA: M & E Handbook. Hlm. 167.
[16] Achmad Ali. (1998). “Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum”. Jakarta: Yarsif Watampone. Hlm. 10.
[17] Mochtar Kusumaatmadja. (2006). “Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan”. Bandung: Alumni. Hlm 3 sd. 10.
[18] Terdapat kesamaan teori hukum progresif dengan critical legal study yang selalu mempertanyakan hukum dalam pengaruh kuasa, bahasa, dan ideologi. Lihat  dalam buku Munir Fuady. (2005). “Filsafat dan Teori Hukum Postmodern”. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm 125 sd. 172. Bandingkan pula dengan Ian Ward. 2014. Pengantar Teori Hukum Kritis. Bandung: Nusa Media.
[19] Pada dasarnya ide Satjipto Rahardjo juga mendapat pengaruh dari Nonet-Zelznik yang membagi tiga tipe tatanan hukum: hukum represif, hukum otonomius, dan hukum responsive. Lebih lengkapnya dalam Bernard Arief Sidharta. (1999). “Struktur Ilmu Hukum”. Bandung: Mandar Maju. Hlm 50 sd. 52.
[20] Satjipto Rahardjo.( 2009). “Hukum Progresif. Sebuah sintesa Hukum Indonesia”. Yogyakarta: Genta Publishing. Hlm 1 sd. 3
[21] Berbagai kesalahan berjamaah, sering terjadi berulang-ulang dengan mengutip pendapat Lawrence M Friedman, selalu dikatakan elemen hukum terbagi menjadi struktur hukum, substansi hukum. Padahal jika disandarkan pada terjemahan aslinya structure of legal system; substance of legal substance. Oleh karena itu terjemahan yang benar berdasarkan anjuran Achmad Ali adalah cukup mengatakan “struktur dan substansi” jika mengutip pendapat Friedman tersebut. Lihat  Achmad Ali. (2001).” Keterpurukan Hukum Indonesia”. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm. 1. Bandingkan dengan Lawrence M. Friedman. (1975). “The Legal System: Social Science Perspective”. New Jersey: Princeton University Press. Hlm 13.
[22] Satjipto Rahardjo. (2009). “Hukum dan Perilaku”. Jakarta: Kompas. Hlm. 19
[23] Romli Atmasasmita. (2012). “Teori Hukum Integratif”. Yogyakarta; Genta Publishing. Hlm. 97

[24] Hart. (2009). “Konsep Hukum”. Penerjemah M. Khozim. Bandung: Nusa Media
[25] Romli Atmasasmita. Opcit. Hlm. 103.