Otokritik Terhadap Produk Undang-Undang Penanganan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia

      


Wacana tentang terorisme mulai berkembang dan menjadi wacana Internasional setelah terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001 yang memakan korban jiwa sebanyak 3.000 orang peristiwa tersebut di klaim oleh Amerika  menjadi tragedi kemanusiaan terbesar pada abad ini. Peristiwa 11 September ini juga mengawali babak baru isu terorisme menjadi isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia yang menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Seolah-olah pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional.[1]

   Aksi Terorisme di Indonesia sepanjang tahun 2000-2009 di Indonesia tercatat telah terjadi  sekitar 22 pengeboman, baik dalam skala kecil maupun skala besar  diantaranya peristiwa Bom Bali yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 yang di lakukan oleh sekolompok orang yang dicap sebagai teroris yang meledakan Bom hingga  memakan korban sebanyak 184 jiwa dan ratusan lainnya luka berat dan luka ringan. Peristiwa ini sempat mengharukan dan menghentakan masyarakat internasional mengingat mayoritas korban pada peristiwa tragedi tersebut bukan warga negara Indonesia namun dari wisatawan mancanegara yang sedang berlibur di pulau bali yang merupakan pulau wisata terkenal di dunia tersebut.
Selanjutnya, pada hari Jum’at pagi, tanggal 17 Juli 2009  juga terjadi peristiwa peledakan Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton di Mega Kuningan yang memakan korban sebanyak  9 orang dan  55 orang luka-luka. Jika kita meruntut beberapa peristiwa pengeboman yang dilakukan sekelompok orang yang di cap sebagai teroris. Peristiwa ledakan Bom pertama di indonesia sebenarnya dimulai pada mas orde lama yaitu di tandai dengan pristiwa ledakan bom yang terjadi di kompleks Perguruan Cikini dalam upaya pembunuhan Presiden Pertama RI, Ir Soekarno, pada tahun 1962 dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya sampai pada bulan Agustus 2001 yaitu Peledakan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. Ledakan yang melukai enam orang korban. Namun semua aksi pemboman di Indonesia sepanjang tahun 1962 sampai dengan Agustus 2001tersebut beritanya hanya menjadi isu dalam negeri. Namun setelah  peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York baru isu terorisme ini menjadi hal yang di besar-besarkan di dunia Internasional.[2]

 Di Indonesia sendiri menanggapai peristiwa  beberapa aksi terorisme diatasnya khususnya peristiwa Bom Bali  pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan dua buah Peraturan Pemerintah  yaitu Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang  Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan tindak pidana terorisme. Dengan dalih bahwa kejadian ini merupakan “hal ikwal kepentingan yang memaksa” dan telah terpenuhi untuk mengeluarkan perpu.
Diterbitkannya Perpu ini dapat dikatakan abnormal recht voor abnormal tijden (hukum darurat untuk kondisi yang darurat), karena dikeluarkan dalam keadaan yang mendesak dan dalam keadaan yang darurat. Dalam keadaan yang mendesak dimana kasus pengeboman ini harus segera dituntaskan, Perpu nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu nomor 2 tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemeritah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom Bali Tanggal 12 Oktober 2002, menjadi sebuah alat yang sangat dibutuhkan untuk menjerat para pelaku teroris ini. Kedua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dibuat berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh ketentuan Pasal 22 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang.

Sehingga sampai sekarang undang-undang yang menangani pidana berat terorisme di Indonesia yang  terdapat dalam undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang  Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan tindak pidana terorisme undang-undang inilah yang menjadi undang-undang yang merupakan payung hukum dan senjata yang digunakan dalam mengatasi permasalahan terorisme di Indonesia.[3] Namun akhir-akhir ini sejak bergulirnya isu perkembangan Islamic State Of Irak dan Syiria (ISIS) seolah memaksa pemerintah untuk mengluarkan Perpu baru khusus untuk menangani perkembangan ISIS di Indonensia mengingat Perpu yang lama tidak cukup kuat dalam menagangi perkembangan ideologi ISIS di Indonesia mengingat produk undang-undang dari Perpu yang sudah ada mempunyai banyak kelemahan dan banyak menuai kritikan para ahli sehingga menuntut adanya perbaikan dari kelemahan-kelemahan yang ada di Perpu tersebut.
Lewat makalah ini nantinya penulis ingin memberikan otoritik kepada pemerintah khususnya para lagislatif sebagai membuat produk undang-undang  penangnan terorisme di Indonesia yang harapannya produk undnag-undang yang di hasilkan akan lebih baik benar-benar di kajih secarah mendalam sehingga dapat menjawab keresahan masyarakat bukan malah sebaliknya memberikan keresahan kepada Masyarakat Indonesia khususnya umat islam Indonesia jangan sampai lewat undang-undang penanganan terorisme dapat menyudutkan ajaran agama islam yang rahmatan ilamin namun sering di klaim bahwa oknum-oknum teroris berasal dari kelompok radikalis  Islam.Maka ini penulis Mengankat judul “Otokritik Terhadap Produk Undang-undang Penanganan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia




1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa itu teroris menurut teori dan undang-undang hukum positif di Indonesia..?
2.      Apa saja otokritik kelemahan-kelemahan produk undang-undang penanganan tindak pidana Terorisme di Indonesia....?
1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa itu Teroris menurut teori dan undang-undang hukum positif di Indonesia
2.      Untuk mengalisis kelemahan produk undang-undang penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia sebagai otokritik terhadap pemerintah.
1.4  Manfaat Penulisan
1.      Sebagai tugas Ujian Tengah Semister (UTS) mata kuliah teori hukum Prodi Magister Ilmu Hukum UMM
2.      Untuk menambah wawasan dalam menganalisis kelemahan-kelemahan produk undang-undang penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia serta sebagai otokritik kepada pemerintah khususnya lembaga legislatif sebagai lembaga pembuat undang-undang.
1.5  Metode Penulisan
Metode penelitian dalam makalah  ini  menggunakan  penelitian    hukum   yuridis   normatif   dengan   data  sekunder  sebagai  data   utama,    yang    diambil    melalui   studi  kepustakaan   dengan  menggunakan bahan  hukum primer, sekunder dan tersier. Pendekatan penelitian digunakan pendekatan   Perundang-undangan  (Statute  Approach)[4] yaitu undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang  Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan tindak pidana terorisme. Metode ini penulis gunakan mempermudah dalam mengkritik produk-produk undang-undang penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia yang akan disajikan dengan menggunakan kalimat yang disusun secara sistematis untuk kemudian diambil suatu kesimpulan

    II.            Kerangka Teori
2.1.Teroris Menurut Teori dan undang-Undang Hukum Positif di Indonesia
               Menurut Konvensi PBB Tahun (1937)[5], Terorisme adalah  segala bentuk tindak kejahatan yang ditunjukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk terror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
               Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme[6] Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat (1), Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
1.      Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6)[7].
2.      Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7)[8].


Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
1.      Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
2.      Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
3.      Menggunakan kekerasan.
4.      Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama
Selanjutnya Menurut A.C Manulang[9], Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme. Menurut Muhammad Mustofa[10]. Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan keputusasaan massal.
Jika kita tinjau dari Istilah TerorismeDari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror (under the terror), berasal dari bahasa latin ”terrere” yang berarti gemetaran dan ”detererre” yang berarti takut. Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik.
 Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang[11]. Polarisasi tersebut terbentuk dikarenakan ada relativitas makna terorisme yang mana menurut Wiliam D Purdue (1989)[12], the use word terorism is one method of delegitimation often use by side that has the military advantage..
Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau Negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan Negara, bagaimanapun lebih diterima dari pada yang dilakukan oleh ” teroris ” yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris.
Meski kemudian muncul istilah State Terorism, namun mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi , korban bisa saja militer atau sipil , pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang. Kebanyakan dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Dapat dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif – motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi , instrumen atau alat untuk mencapai tujuan . Dengan kata lain tidak ada terorisme untuk terorisme, kecuali mungkin karena motif-motif kegilaan.

















 III.            Pembahasan
       3.1 Analisis Kelemahan Produk Undang-undang Penanganan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Sebagai Otokritik Terhadap Pemerintah
1.    Kajian Akademis Terhadap Kelemahan Undang Undang Anti Terorisme
          Terdapat kesan yang kuat bahwa pemerintah lebih mengedepankan pendekatan legal formal dan represif dalam menangani masalah terorisme di tanah air. Indikasi ini diperkuat dengan bersemangatnya pemerintah mengeluarkan undang-undang untuk mengatasi masalah terorisme ini , termasuk usulan untuk mengeluarkan Internal Security Act yang diyakini oleh banyak pihak pasti akan bersifat represif.
          Pada saat akan disahkan Perpu 1 tahun 2002 menjadi UU No. 15 tahun 2003 banyak kecaman yang menyulut pertentangan dan kritik terhadap seputar hak-hak asasi manusia berkenaan dari berbagai hal antara lain Asas Retroakif, waktu penangkapan yang 7 X 24 jam , laporan intelejen dan sebagainya Dalam Revisi UU No. 15 tahun 2003 ada pencantuman beberapa tindak pidana dimana beberapa pasal bukan hanya dirumuskan terlalu luas, tetapi berpotensi melanggar HAM . Hal tersebut terlihat dengan adanya kriminalisasi atau menjadikan perbuatan sebagai tindak pidana pada aktivitas  aktivitas untuk perbuatan sebelum terjadinya tindak pidana terorisme seperti pada Pasal 9 A , yang berbunyi.[13]:
a.       Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, setiap orang dengan sengaja dan melawan hukum memperdagangkan bahan-bahan utama yang berpotensial untuk digunakan sebagai bahan peledak
b.      Apabila bahan-bahan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti digunakan dala tindak pidana terorisme , pelaku dipidana paling lama 15 Tahun.
       Diakui untuk peledak adalah Kewenangan Intelejen tidak menjelaskan jenis bahan-bahan menambah yang dimaksud, padahal produsen pupuk , nelayan kecil-kecilan dan pekerja tambang pun membutuhkan bahan-bahan yag jika dicampur dengan bahan-bahan tertentu dapat menjadi peledak. Bahkan bensin, kain dan botol kosong pun dapat menjadi bahan peledak. Jika ketentuan pasal tersebut disahkan akan terjadi ketidak adilan dan kerancuan dalam penerapannya di lapangan. Untuk itu ada baiknya diperlukan peraturan distribusi bahan-bahan kimia serta badan pengawas yang bertugas mengawasi peredaran bahan kimia yang berpotensi sebagai bahan peledak di pasaran. Dimana hal tersebut tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam pelaksanaannya dan diragukan terealisasi dengan baik. Selain itu menimbulkan kerancuan siapa dapat digolongkan sebagai pembeli yang legal atau illegal berdasarkan dari itikad pembeliannya.
            Pada pasal 26 RUU dinyatakan bahwa laporan intelejen dapat dijadikan sebagai bukti permulaan . Laporan intelejen pada ayat (1a) jika berasal dari instansi lain selain dari Kepolisian RI wajib diautentifikasi oleh Kapolri atau pejabat yang ditunjuk[14]. Namun tidak disebutkan siapa pejabat lain yang ditunjuk itu. Selain itu diakui oleh Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan Mayor Jenderal Sudradjat bahwa memang pasal ini ditambahkan untuk memberikan perluasan kewenangan intelejen untuk memburu dan menangkap pihak-pihak yang berencana melakukan aksi terorisme.
 Laporan intelejen tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti sebagai alat bukti sebagaimana revisi pasal 27 UU Anti Terorisme . Sebelumnya dalam UU No. 15 Tahun 2003, Laporan Intelejen tidak dijadikan sebagai alat bukti ( Primary Evidence ) melainkan sebagai bukti permulaan yang merupakan bukti pendukung ( Supporting Evidence ). Dalam hukum pidana terdapat perbedaan mendasar antara pengertian intelegence evidence dan crime evidence. Crime evidence dapat mencakup intellegence evidence . Tetapi intelegence evidence tidak dapat dianggap sebagai crime evidence karena intelegnce evidence tidak memerlukan sebagai fakta hukum untuk merumuskan perbuatan-perbuatan sebagai indkasi atau dasar adanya tindak pidana.[15]
Hal ini dikarenakan intelegence evidencemerupakan abstraksi data yang seringkali tidak memerlukan pembuktian. Misalnya korban tewas yang dikarenakan bom mobil atau keterlibatan Noordin M Top dan Dr Azhari dalam peledakan Bom Kuningan adalah intelegence evidence. Sedangkan crime evidence merupakan fakta hukum yang konkret sebagai ciri rule of law, dalam perspektif hukum pidana menggunakan laporan intelejen sebagai alat bukti jelas mengabaikan azas praduga tak bersalah  (presumption of innocent) dan tidak dapat diabaikan kemungkinan dilakukannya inkriminasi terhadap para tersangka terorisme.
                Pasal 31 UU juga memasukkan hak-hak penyidik untuk membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos serta melakukan penyadapan pembicaraan. Pasal itu bahkan tidak memberikan batasan terhadap tindakan penyadapan apa saja yang boleh dilakukan oleh penyidik. Penyidik cukup memiliki bukti permulaan yang cukup untuk bisa melakukan itu semua. Pada Pasal 34 RUU dicantumkan bahwa pemeriksaan dapat dilakukan secara jarak jauh tanpa melakukan tatap muka dengan tersangka dengan menggunakan layar monitor[16].
                RUU ini mengijinkan penggunaan teleconferenci sebagai alternatif kehadiran saksi di muka sidang pengadilan. Namun RUU tidak menjelaskan apa prasyarat tehnis untuk membuat suatu kesaksian di pengadilan dengan menggunakan teleconferenci seperti sertifikasi sistem komunikasi dan keamanan ruangan saksi yang diperiksa melaui teleconferenci sehigga keterangan saksi terlepas dari intervensi yang dilakukan oleh penyidik di belakang layar teleconference tersebut.Terorisme memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga pandangan mengenai terorisme seringkali bersifat subjektif.

                Dalam Perpu No. 1 Tahun 2002 sebenarnya terdapat pasal-pasal yang sangat riskan melanggar HAM yaitu Pasal 46 tentang Asas Retroaktif. Kemudian pada Bulan Juli 2004 MK menyatakan bahwa UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme pada peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 tidak memiliki kekuatan yang mengikat.
                Mahkamah Konstitusi (MK) mempertimbangkan Asas Retroaktif adalah asas hukum yang bersifat universal yang hanya dapat diberlakukan ada jenis kejahatan tertentu yang berupa Kejahatan Genosida (crimes of genocide ), kejahatan terhadap kemanusiaan ( crimes of humaninity). kejahatan perang ( war crimes) dan kejahatan agresi (agression). Menurut MK, terorisme merupakan kejahatan biasa yang sangat kejam, maka kejahatan terorisme untuk Bom Bali tidak dapat diberlakukan asas retroaktif. Ini artinya, terorisme bukanlah kejahatan terhadap genosida , kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. UU No. 15 Tahun 2003 tidak dapat diberlakukan Asas Retroaktif karena hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28 i ayat (1) UndangUndang Dasar 1945[17].
                 Hal ini tentunya menimbulkan kontroversi para praktisi hukum di Indonesia karena keputusan MK tersebut hanya memperhatikan Hak Asasi para pelaku Terorisme saja tidak mempertimbangkan akibat dari terorisme itu sendiri termasuk para korban, keluarga korban, masyarakat pada umumnya bahkan akibat terorisme itu akan menyebabkan persepsi negatif bangsa-bangsa dunia terhadap indonesia bahwa indonesia merupakan sarang terorisme dan beranggapan bahwa situasi keamanan indonesia tidak aman. Di lingkup internasional penertian terorisme masih terdapat perdebatan alot.
                Perdebatan tersebut berputar pada apakah terorisme dapat dimasukkan sebagai kejahatan terhadap kemanusian ( crimes againts humanity ) atau kejahatan luar biasa ( extra ordinary crimes ), tetapi bukan sebagai kejahatan kemanusian. Dan ternyata terdapat desakan yang sangat kuat untuk memasukkan kejahatan treaty based crimes related to terorism and drug trafficking sebagai kejahatan kemanusiaan sehingga banyak ahli hukum yang mendukung International Criminal Court ( ICC ) untuk memasukkan kejahatan-kejahatan tersebut dalam yurisdiksinya. International Criminal Court ( ICC ) adalah lembaga prospektif yang seharusnya tidak hanya menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang ditentukan oleh Statuta Roma Tahun 1998[18].
                Dalam hal ini , asas legalitas tetap dipandang sebagai asas fundamental. Namun berkaitan dengan yurisdiksi ICC , asas ini dapat disimpangi bila negara yang bersangkutan telah membuat pernyataan bahwa negara tersebut dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi oleh pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan masa lalu. Bertitik tolak dari pembahasan mengenai yurisdiksi ICC diatas, maka sewajarnyalah bahwa kejahatan terorisme termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena korbannya massal dan menghancurkan kemanusiaan dan peradaban.

Ø  Analisis Sisi Negatif Penangan Terorisme Dari Pendekatan Legal Formal
       Kebijakan yang terlalu bertumpu kepada pendekatan legal formal dan bersifat represif, perlu ditinjau ulang karena bukan saja tidak mampu mengatasi masalah terorisme tetapi justeru dapat meningkatkan tindakan kekerasan semacam itu di masa depan[19]. Pemerintah perlu memikirkan alternatif pendekatan dalam menyelesaikan masalah terorisme di tanah air diluar pendekatan legal formal / represif. Ada beberapa hal efek negatif dapat menyebabkan cara penyelesaian berbasis legal formal/represif itu kurang mampu menyelesaikan masalah terorisme yaitu:[20] 
ü  Pertama Logika dibelakang pendekatan melalui pendekatan melalui mekanisme hukum itu berlawanan dengan logika yang dianut para teroris itu sendiri. Sanksi pidana pada dasarnya untuk mencegah agar sesorang tidak melakukan tindakan tersebut dan atau menghukum mereka yang melakukan tindakan yang dilarang dengan harapan pelaku dan orang lain tidak melakukan hal yang sama kelak dengan cara menerapkan sanksi fisik bagi para pelanggar, mulai yang teringan sampai dengan yang terberat seperti hukuman mati. Tetapi, logika itu berlawanan dengan logika para pelaku teroris yang bertindak melampaui rasa takut untuk melakukannya bahkan mereka rela mati untuk mewujudkan tujuan mereka.
ü  Kedua cara memerangi terorisme yang bersifat legal formal dan represif seperti ini dapat menimbulkan efek balik yang berlawanan dengan tujuan semula untuk memerangi terorisme. Tindakan semacam itu tidak mustahil justeru dapat memicu perlawanan dan radikalisme baru yang lebih hebat , bukan hanya dari kelompok masyarakat yang dituding sebagai pelaku terorisme tetapi menimbulkan reaksi negatif dari kelompokkelompok lainnya. Apalagi tiap penerapan cara penanganan semacam itu seringkali bukannya mengobati dan menyembuhkan luka dan rasa frustasi suatu kelompok dalam masyarakat tetapi cenderung berakibat pada kian mendiskreditkan dan memojokkan mereka . Kolompok masyarakat lain akan memberikan stigma negatif pada kelompok masyarakat Terorisme itu Kejahatan kelompok yang menerima stigma tersebut sehingga kepada pemerintah dan kelompok tersebut akan berdampak melakukan perlawanan c. Penerapan UU yag represif seperti UU anti terorisme dan internal security act dapat membawa implikasi negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya kehidupan masyarakat demokrasi. Jika UU tersebut diberlakukan wewenang aparat Negara akan lebih besar sehingga terbuka peluang untuk disalahgunakan. Ada kemungkinan orang yang dicuriagai sebagai teroris dapat diperiksa dan ditangkap tanpa prosedur hukum yang sah dan benar. Tiap-tiap lawan politik yang berseberangan misalnya dapat dikenakan dengan pasal-pasal ini sehingga memunculkan state terorism yang tentunya akan menimbulkan masalah panjang yang tidak berkesudahan.[21]


Keberhasilan membuat perangkat hukum yang baik belum tentu memberikan dampak positif dalam mewujudkan maksud dan tujuan hukum. Sebagus apappun produk hukum formal yang ada tidak akan ada artinya tanpa disertai penerapan yang baik. Ironisnya, Indonesia dipandang sebagai negara yang pandai membuat perangkat hukum namun masih lemah penerapannya. Hal ini jika dibiarkan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.
2.    Kritik Terhadap Undang-Undang Pemberantasan Terorisme

Peraturan Pemberantasan terorisme yang dibuat dalam keadaan mendesak dan perlu penanganan cepat dalam kasus Bom Bali I, tentu menuai kritik atas beberapa hal masih perlu diperbaiki. Peraturan Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Terorisme yang mana masih menuai kritis, ternyata tahun berikutnya di kukuhkan menjadi Undang-undang, bahkan tidak melalui perbaikan-perbaikan yang berarti.[22]
ü  Asas Retoaktif
Pembuatan Perpu tersebut bisa dikatakan dibuat dalam keadaan yang memaksa, sehingga sejalan dengan prinsif ketatanegaraan abnormal voor abnormal tijden (hukum darurat untuk kondisi yang darurat). Sehingga dibenarkan pula tentang penerapan asas hukum specialis derogate lex generalis (Pasal 103 KUHP). Karenanya, asas retroaktif yang bertentangan dengan prinsif dasar hukum asas legalitas hukum, dimana “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”, yang jelas disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1)KUH Pidana.
Selain itu hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, yang merupakan bunyi dari Undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen pasal 28 huruf I ayat (1) menjadi sebuah ketentuan yang tidak bisa ditawar. Dalam kondisi apapun tidak dapat memberikan pembenaran pemberlakukan aturan perundang-undangan yang berlaku surut.
Menjadi sebuah kecacatan hukum ketika hukum yang lebih bawah secara hirarki hukum mengeyampingkan aturan yang ada di atasnya, Apalagi yang dikesampingkan oleh aturan ini adalah aturan yang paling dasar (UUD 1945), dengan asas Lex Superiori, produk Perpu Tidak boleh bertentangan dengan UUD. Justifikasi terhadap pemberlakuan penyimpangan asas pada Perpu bisa dibenarkan jika produk hukum yang tingkatannya sejajar dengan Perpu tersebut.[23]
Eksistensi asas retroaktif ini dapat dibenarkan dalam keadaan yang hukum ketatanegaraan darurat serta hukum pidana dengan karakteristik yang terbatas, apabila :

1. Apabila Negara dalam keadaan darurat dengan perinsip hukum darurat, karenanya dalam pemberlakukannya temporer dalam lingkup wilayah hukum yang terbatas, tidak permanen;

2. Keberadaan asas ini tidak dalam keadaan merugikan hak tersangka/terdakwa;

3. Keberlakukan hukum ini selalu mengacu pada subtantiel hukum yang tegas yang tidak menimbulkan multi-interpretatif.
        Seperti dalam penanganan hukum pada kasus Bom Bali I ini, terdakwa kasus bom Bali I ini menemukan celah untuk bisa keluar dari jeratan hukum dengan digunakannya asas retroaktif dalam peraturan yang menjeratnya, karena itu pihak Amrozi bin H. Nurhasyim mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi nomor Perkara 013/PUU-1/2003. Tentu hal ini menjadi sebuah celah bagi para terdakwa tindak pidana untuk meloloskan diri dari jeratan hukum.[24]
ü  Perihal Ketentuan Isu Subversif

Perihal ketentuan isu subversif yang menjadi batasan dalam tindak pidana terorisme ini adalah pasal 6 dan pasal 7, dengan bunyi pasal 6 .

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.[25]
Selanjutnya Pasal 7 berbunyi :Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
Bila diperhatikan kata sambung yang digunakan terlalu sering menggunakan kata “atau”, kata atau berarti sebuah pilihan, dan kata atau juga ditempatkan pada rumusan delik “…mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis…”, sehingga seseorang dapat dikategorikan sebagai teroris, karena sengaja menggunakan ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau dengan cara merampas kemerdekaan, meskipun perbuatan tesebut tidak menimbulkan akibat kerusakan dan kehancuran terhadap objek vital. Jadi “…mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis…” bukan menjadi syarat pemidanaan dari delik materiel ini.
            Sebagai contoh orang yang berdemo kemudian berorasi dengan mengacam kekuasaan bisa diterkena oleh Perpu ini. Dan inilah yang dikatakan sebagai Perpu ini mengandung muatan isi subversive. Dan bila ini terjadi jelas dalam membelenggu kekabasan bicara, ketika aturan yang mengatur tentang subversif dicabut tapi kemudian kehadiran Perpu ini seolah menjadi sarana atas isu-isu subversif.
ü  Laporan Intelijen
Dalam pasal 26 ayat (1) tentang dikatakan bahwa untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen yang kemudian ditetapkan oleh Pengadilan Negeri. Ini menegaskan bahwa laporan intelejen bisa berfungsi sebagai bukti pokok (primary evidence).
Laporan intelejen seringkali tidak memiliki dan memerlukan fakta hukum yang jelas untuk merumuskan perbuatan-perbuatan tersebut sebagai dasar adanya indikasi tindak pidana. Sedangkan di Pengadilan untuk merumuskan perbuatan melawan hukumnya harus memiliki fakta hukum yang konkret dan jelas. Dalam intelligence evidence merupakan abstraksi data yang tidak memerlukan pembuktian. Kemudian ketika di Pengadilan, apakah para Hakim sudah bisa menyesuaikan dengan fakta-fakta hukum yang lemah, dan mungkin mengakibatkan objektifitas hukum menjadi sangat diragukan.
ü  Penangkapan dan Proses Penyidikan
Dalam Pasal 28 berbunyi :

            Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.

            Bila dibandingkan dengan Pasal 19 ayat (1) KUHAP berbunyi : “Penangkapan sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari”. Ada perbedaan waktu yang sangat berbeda jauh. Dalam Pasal 28 Perpu ini 7 (tujuh) hari sedangkan dalam KUHAP 1(satu) hari.
            Dari pengalaman empiris saja penangkapan selama 1 (satu) hari saja telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia terhadap tersangka. Apalagi dengan denagn waktu yang lama 7 (tujuh) hari ditambah dengan tekanan-tekanan agar kasus ini cepat terungkap dan selesai dengan cepat untuk segera menuntaskan kasusnya, dan menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia mampu menyelesaikan kasus Bom Bali I dengan cepat dan tuntas.
        Dengan waktu pemeriksaan yang lama, kemudian asas yang diugunakan dalam proses pemeriksaan dalam empirisnya selalu digunakan presumption of guilt, tersangka sengan situasi dan kondisi seperti itu tidak diberikan hak-haknya sebagai tersangka untuk membela diri dan hanya bisa mengiyakan apa-apa yang dituduhkan kepadanya. Dengan demikian hal tersebut mengingkari asas presumption of innocent. Jelas perlakukan yang semena-mena tersangka ini bertentangan dengan HAK Asasi Manusia.[26]
VI. Penutup
Ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, namun kemudian pemerintah menetapkannya menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006, tanpa melalui analisa dan melihat keadaan dan perkembangan hukum yang seharusnya semakin maju, malah sebaliknya. Dengan pemberlakukan undang-undang ini terjadi suatu kemunduran hukum. Dan ini menjadi pekerjaan yang berat bagi kita semua untuk bersama-sama memberikan otokeritiik kepada pemerintah agar produk undang-undang seperti ini dapat kita perbaiki bersama.
A.    Kesimpulan
Ø Terorisme timbul dengan dilatar belakangi berbagai sebab dan motif. Naun patut kita sadari bahwa terorisme bukan merupakan ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama .
Ø Terorisme merupakan strategi , instrumen dan atau alat mencapai tujuan.
Ø Penerapan UU anti terorisme di dalam No 15 Tahun 2003 sangat berpotensi mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para tersangka terorisme dan tidak memberikan efektifitas untuk mengurangi orang untuk bertindak sebagai teroris.
Ø Pemberian wewenang yang terlalu luas bagi aparat untuk memberantas terorisme tanpa disertai tanggungjawab dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan suatu terorisme baru yang dilakukan terhadap negara terhadap warga negaranya atau State Terorisme.
B.     Rekomendasi
Untuk memerangi tindakan terorisme pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang tidak legalis represif terhadap terorisme salah satunya antara lain memikirkan kemungkinan rekonsialisasi dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-masyarakat dan unsur-unsur di dalam masyarakat itu sendiri baik melalui pendekatan Agama maupun Budaya. Karma Patut disadari bahwa terorisme merupakan rangkaian tindakan yang kompleks, maka pada dasarnya penanganan tindak pidana terorisme tidak akan memadai jika hanya mengandalakan undang-undang saja.
 Tampa di dukung oleh kinerja aparat penegak hukum yang professional dalam menegakan peraturan yg ada dan perlu dilakukanya Revisi UU anti terorisme yang harus di sesuai dengan kerangka hukum yang harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan pengawasan perbatasan, keamanan transportasi, bea cukai, keimigrasian, money loundring, basis rekruitmen dan pelatihan ( milisi atau pelatihan militer illegal ), keuangan, bahan peledak, bahan kimia dan persenjataan serta perlindungan terhadap masyarakat sipil. Serta mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum dilakukan secara nondiskriminatif , melindungi dan menghormati HAM.
Daftar Pustaka
A.C Manullang,(2001)“Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim”. Jakarta: Panta Rhei.
Abdul Wahid, dkk., “Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum,” .Bandung :Refika Aditama.
Amir Syamsuddin,(2004)“ Menegakkan Hukum Tanpa Rasa Keadilan”, diambil dari Kompas Cyber Media, edisi 30 Juli 2004.
Colen L Powel (2012)“Sebuah Perjuangan Keras Yang Panjang” dimuat di makalah Upaya Pencegahan Aksi terorisme melalui pendekatan hukum” Artikel di https://ntbonline.wordpress.com/  di akses pasa hari Selasa  tanggal 07 April 2015 Jam 20.21 Wib.
Indriyanto dan Seno Adji, (2001) “Terorisme dan HAM” dalam buku  O.C. Kaligis & Associates Terorisme: Tragedi Umat Manusia,” Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad Mustofa, “Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi”- Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UIvol 2 No 3,12-14.
M. Budi Mulyadi (2009)”Kritik Terhadap Undang-Undang Pemberantasan Terorisme” Artikel dari  https://mbudimulyadi.wordpress.com  di akses hari Selasa tanggal 07 April 2015 Jam 20.00 WIB.
M.Budi Mulyadi (2009),”Kritik-terhadap-undang-undang-pemberantasan-teroris” artikel di ambil di https://mbudimulyadi.wordpress.com. Di akses pada tanggal 09 April 2015. 10.00 Wib.
LoudewijkF. Paulus, ” Terorisme” Artikel diambil dari http://www.buletinlitbang.dephan.go.id di akses pada Selasa tanggal 07 April 2015 jam 22.00 Wib.
Peter Mahmud Marsuki (2005,),” Penelitian Hukum” Jakarta: hal 96.
Soeharto, (2007),”Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Indonesia,” Bandung:  PT. Reifika Aditama.
Warsito, (2006),”Profesionalisme POLRI Dalam Proses Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Keamanan Negara dan Ketertiban Masyarakat (Analisis Kasus Tentang Kejahatan Bom dan Teroris).Tesis uublikasi Program Pascasarjana Universitas Surykancana Cianj




[1] .Colen L Powel “Sebuah Perjuangan Keras Yang Panjang” dimuat di makalah Upaya Pencegahan Aksi terorisme melalui pendekatan hukum di https://ntbonline.wordpress.com/  di akses pasa hari Selasa  tanggal 07 April 2015 Jam 20.21 Wib.

[2] Indriyanto dan Seno Adji, (2001) “Terorisme dan HAM” dalam buku  O.C. Kaligis & Associates Terorisme: Tragedi Umat Manusia, hal.51
[3]. M. Budi Mulyadi (2009) ” Kritik Terhadap Undang-Undang Pemberantasan Terorisme” Artike dari  https://mbudimulyadi.wordpress.com  di akses hari Selasa tanggal 07 April 2015 Jam 20.00 WIB.

[4] Peter Mahmud Marsuki (2005,),” Penelitian Hukum” Jakarta: hal 96.
[5] Loudewijk F. Paulus, ” Terorisme”  diambil dari  http://www.buletinlitbang.dephan.go.id di akses pada Selasa tanggal 07 April 2015 jam 22.00 Wib
[6] Lihat Undang-undang  Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
[7] Ibid. Pasal 6
[8] Ibid. Pasal 7
[9] A.C Manullang,(2001)“Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim”. Jakarta: Panta Rhei, hal. 151.
[10] Muhammad Mustofa, (2002),”Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi”, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III , hal. 30

[11]Lihat “History and causes of terrorism“http://www.wikipedia.org/wiki/terrorism. Diakses  Rabu tanggal 08 April 2015 Jam 09.00 Wib Pagi.
[12] .Lihat di http://www.pemantauperadilan.com. Diakses  Rabu tanggal 08 April 2015 Jam 09.10 Wib Pagi.

[13] Lihat Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana terorisme Op. Cit. Pasal 9
[14] Dr. Indrianto SenoAdjie , SH, MH, Op Cit, Hal 35

[15] Dr. Indrianto SenoAdjie (2012), “Terorisme” Perpu No. 1 Tahun 2002 dalam perspektif hukum pidana, hal 45.
[16] Amir Syamsuddin,(2004)“ Menegakkan Hukum Tanpa Rasa Keadilan”, diambil dari Kompas Cyber Media, edisi 30 Juli 2004
[17]  Amir Syamsuddin ibid hal 11
[18] Ibid hal 12
[19]  Frans Hendra Winata,“ Terorisme itu Kejahatan Luar Biasa” , Lihat Kompas Cyber Mediahttp://www.kompas.com. (11 September 2004), Diakses tanggal 14 juni 2009
[20]  Dafri Agussalim, “ Mencari Cara Memerangi Terorisme”, Kompas Cyber Media, (Kamis 23 Agustus 2003). Di akses tanggal 15 juni 2009.
1.       [21] O.C. Kaligis (2003),” Terorisme: Tragedi Umat Manusia,”, Jakarta: O.C. Kaligis & Associates hlm. 7.

[22] Abdul Wahid, dkk (2004), “Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum,” Refika Aditama, Bandung, hal 12.
[23] Mulia Kartiwi, (2007) “Fenomena Kejahatan Terorisme di Indonesia, Wawasan Tridharma, No. 3 Tahun XX Oktober 2007 hlm. 9.
[24] Indriyanto Seno Adji, “Isu Subversif dalam Perpu Nomor 1 tahun 2002”, Idem. hlm. 58.
        [25] Undang-undang Dasar 1945 ; Idem. Hlm. 59.
[26] . Lihat Tesis Warsito,  (2006) “Propesionalisme POLRI Dalam Proses Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Keamanan Negara dan Ketertiban Masyarakat (Analisis Kasus Tentang Kejahatan Bom dan Teroris),”  Tesis, Program Pascasarjana Universitas Surykancana Cianjur, 2006, hlm. 116
 Catatatan Pemakalah  Adalah  Muhammad Hadidi SHI Mahasiswa Prodi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang