Filsafat
dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun
secara historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat,
sebaiknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat telah berhasil
mengubah pola pemikiran bangsa Yunani dan ummat manusia dari pandangan
metosentris menjadi logosentris.
Awalnya
bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia beranggapan bahwa semua kejadian di alam
ini dipengaruhi oleh para dewa. Karenanya para dewa harus dihormati dan
sekaligus ditakuti kemudian disembah. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu
bergantung pada dewa diubah menjadi pola pikir yang bergantung pada rasio.
Kejadian alam, seperti gerhana tidak lagi dianggap sebagai kegiatan dewa yang
tertidur, tetapi merupakan kejadian alam yang disebabkan oleh matahari, bulan,
dan bumi berada pada garis yang sejajar, sehingga bayagan-bayagan bulan menimpa
sebagai permukaan bumi.
Perubahan
berpikir dari mitosentris ke logosentris membawa implikasi yang tidak kecil.
Alam dengan segala gejalanya, yang selam ini diketahui kemudian didekati dan
bahkan dieksploitasi. Perubahan yang mendasar adalah ditemukaannya hukum-hukum
alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan perubahan yang terjadi, baik di
alam jagad raya (makrokosmos) maupun alam manusia (mikrokosmos).
Dari
alam jagad raya bermunculan ilmu astronomi, kosmologi, fisika, kimia, dan
sebagainya, sedangkan dari manusia muncul ilmu biologi, psikologi, sosiologi,
dan sebagainya. ilmu-ilmu tersebut kemudian menjadi lebih terspesialisasi dalam
bentuk yang lebih kecil dan sekaligus semakin aplikatif dan terasa manfaatnya.
Pada
perkembangan selanjutnya, Ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang
membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan, dan ukuran yang berbeda antara
disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pada giliranya, cabang ilmu
semakin subur dengan segala variasinya.
Namun
tidak dapat juga dipungkiri bahwa ilmu yang terspesialisasi itu semakin
menambah sekat-sekat antara satu disiplin ilmu dengan dengan disiplin ilmu
lain, sehingga muncul arogansi ilmu, yang satu terhadap yang lainnya. Tidak
hanya sekedar sekat-sekat antara disiplin ilmu dan arogansi ilmu, tetapi yang
terjadi adalah terpisahnya ilmu dengan nilai-nilai luhur ilmu, yaitu untuk
mensejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu menjadi
bencana bagi kehidupan ummat manusia, seperti pemanasan global dan
dehumanisasi.
Perkembangan
ilmu yang sangat cepat tidak saja membuat ilmu semakin jauh dari induknya,
tetapi juga mendorong mundurnya arogansi dan bahkan kompartementalisasi yang
tidak sehat antara satu bidang ilmu dengan yang lain. Ilmu sebagai objek kajian
filsafat, sepatutnya mengikuti alur filsafat, yaitu objek material yang
didekati lewat pendekatan radikal, menyeluruh, dan rasional. Begitu juga sifat
pendekatan spekulatif dalam filsafat sepatutnya merupakan bagian dari ilmu
karena ilmu dilihat pada posisi yang tidak mutlak sehingga masih ada ruang
untuk berspekulasi demi pengembangan ilmu itu sendiri.
Seiring
dengan perkembangan itu, wilayah pengetahuan manusia semakin luas dan bertambah
banyak tetapi juga semakin mengkhusus. Lalu lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan
yang satu per satu mulai memisahkan diri dari filsafat. Kendati berbagai
disiplin ilmu pengetahuan telah memisahkan diri dari filsafat, masalah-masalah
pokok yang dihadapi filsafat tak pernah berkurang. Karena banyaknya masalah
pokok yang harus dibahas dan dipecahkan, filsafat pun dibagi ke dalam
bidang-bidang studi yang sesuai dengan kelompok permasalahan pokok yang
dihadapinya.
Menurut ENSIE (Eerste Nederlandse Systematich Ingerichte
Encyclopaedie.[1]
membagi filsafat ke dalam sepuluh cabang sebagai berikut: a. Filsafat Logika.
b.Epistemologi c. Filsafat Naturalis d. Filsafat Kultural e. Filsafat Sejarah
f. Filsafat Etika g. Filsafat Ilmu h. Filsafat Metafisika i. Filsafat Estetika
j. Filsafat Manusia.
Dari
pembagian cabang filsafat tersebut dapat disimpulkan bahwa Filsafat ilmu
merupakan cabang ilmu filsafat yang sangat berguna untuk menjelaskan apa tujuan
ilmu bagi manusia. Dalam pengertiannya filsafat ilmu merupakan kajian secara
mendalam tentang dasar-dasar ilmu, karena hakekat pandangan filsafat ilmu
terhadap tujuan diciptakan ilmu oleh manusia adalah untuk membantunya mengatasi
masalah dalam kehidupannya.
Sebagai
alat ilmu di yakini dapat mengantarkan manusia menemukan kebenaran dan atas
dasar itu manusia mempergunakannya untuk menjelaskan masalah, mengendalikan,
serta meramalkan. Setiap ilmu hanya mengkaji salah satu dimensi kehidupan
manusia dan dari dimensi itulah lantas ilmu menciptakan metode untuk memahami
dimensi tersebut. Oleh sebab itu, dalam memahami objek itu ilmu menciptakan
sistematika dan metode yang merupakan dua syarat dasar dari suatu ilmu. Metode
siklis, yaitu metode yang diterapkan oleh fisika dengan langkah-langkah yaitu
(1) observasi, (2) induksi, (3) deduksi, (4) eksperimentasi, dan (5) evaluasi
dijadikan standar untuk menentukan keabsahan suatu ilmu.
Berdasarkan
penjelasan ini penulis menilai filsafat ilmu memberi pengaruh terhadap
perkembangan ilmu di dunia khususnya ilmu hukum di Indonesia salah satunya
filsafat ilmu bisa digunakan sebagai bahan dasar pembuat teori hukum untuk
membentuk ilmu hukum tersebut. Dalam hal ini, teori hukum memang sengaja
dirancang untuk lebih bersifat aplikatif dan mampu mmenjawab persoalan keadilan
di tengah-tengah masyarakat.
Filsafat
ilmu bisa menjadi dasar bagi suatu perenungan atau pemikiran secara ketat,
secara mendalam tentang pertimbangan nilai-nilai di balik gejala-gejala hukum
sebagaimana dapat diamati oleh pancaindera manusia mengenai perbuatan-perbuatan
manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Mengingat objek filsafat ilmu adalah
pengetahuan, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat ilmu itupun
antara lain berkaitan dengan manfaat dari pengetahuan itu sendiri.
I.
Rumusan Masalah
2.1 Bagaimana hakekat keilmuan ilmu hukum menurut pandangan
filsafat ilmu..?
2.2 Bagaimana
perkembangan ilmu hukum di Indonesia
menurut filsafat ilmu..?
II.
Pembahasan
3.1 Bagaimana
hakekat keilmuan ilmu hukum menurut
pandangan filsafat ilmu.
Ilmu Hukum dalam
perkembangannya selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik oleh
ilmuwan sosial maupun ilmuwan hukum sendiri. Sudah sejak lama sebuah pertanyaan
timbul dan harus dijawab secara akademis, apakah ilmu hukam itu ilmu. Dari segi
kajian, penelitian ilmu hukum pada dasarnya bukanlah untuk melakukan verifikasi
atau menguji hipotesis sebagaimana penelitian ilmu sosial maupun penelitian
ilmu alamiah.
Dalam penelitian hukum tidak
dikenal istilah data. Perbedaan metode kajian terhadap ilmu hukum pada
dasarnya, beranjak dari sifat dan karakter ilmu hukum itu sendiri. Pandangan
epistemologi bisa merujuk pendapat Philipus M. Hadjon, yang mengemukakan bahwa:
“Ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu
sifatnya yang normatif, praktis, dan preskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan
hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu
hukum menetapkan standar prosedur, rambu-rambu dalam menetapkan aturan.”
(Philipus M. Hadjon).
Ilmu hukum dibagi menjadi tiga lapisan
yaitu dogmatik hukum, teori hukum dan filafat hukum. Ilmu hukum dalam
kenyataannya juga mempunyai dua aspek yaitu aspek praktis dan teoretis. Ilmu
hukum dalam aspek praktis digunakan untuk memecahkan masalah hukum. Dalam
tataran teoretis ilmu hukum digunakan untuk pengembangan ilmu melalui
penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus,
pendekatan komparatif dan pendekatan konseptual.[2]
Pandangan dari aspek ontologi ilmu hukum
obyek kajiannya adalah hukum. Mempelajari hukum adalah memahami kondisi
intrinsik aturan hukum. Sedangkan arti hukum sebagai obyek kajian ilmu hukum
ada beberapa pengertian misalnya Van Kan menyatakan bahwa hukum adalah
ketentuan hidup yang bersifat memaksa yang melindungi kepentingan orang dalam
masyarakat. Rudolf von Jehring menyatakan hukum adalah keseluruhan peraturan
atau ketentuan yang bersifat memaksa yang berlaku dalam suatu negara. E.Utrecht
menyatakan hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengandung perintah dan
larangan yang mengatur tingkah laku atau ketertiban dalam masyarakat dan bagi
yang melanggar akan dikenai tindakan penguasa.
Perkembangan ilmu hukum dari sudut pandang
filsafat ilmu dapat diketahui melalui 3 (tiga) pendekatan keilmuan filsafat
ilmu yaitu sebagai berikut :
Dari aspek aksiologi dapat diuraikan
tentang kegunaan dari ilmu hukum yaitu sebagai berikut:
a.
Mempersiapkan
putusan hukum pada tataran mikro maupun makro;
b.
Menunjukkan apa hukumnya tentang hal tertentu;
c.
Mengeliminasi kontradiksi yang tampak dalam tata hukum; kritik dan
menyarankan amandemen terhadap peraturan dan undang-undang yang ada serta
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru; analsis kritis terhadap
putusan hakim untuk pembinaan yurisprudensi.
Sementara
itu tujuan ilmu hukum adalah antara lain :
a.
Memaparkan
secara sistematis material hukum (produk perundang-undangan, yurisprudensi,
hukum tidak tertulis, dan doktrin);
b.
Menunjukkan apa hukumnya tentang hal tertentu dengan mengacu
aturan hukumyang relevan;
c.
Memberikan
penjelasan historis tentang situasi tatanan hukum yang berlaku;
d.
Memberikan kritik terhadap tatanan hukum, aturan hukum positif
atau putusan hukum berdasarkan doktrin, kebijakan dan politik hukum yang sudah
disepakati dengan mengacu cita hukum, cita negara dan tujuan negara;
e.
Merekomendasikan interpretasi terhadap aturan hukum, jika aturan
hukum itu kabur atau tidak memberikan kepastian; Mengusulkan amandemen terhadap
peraturan perundang-undangan yang ada atau pembentukan undang-undang baru.[3]
2.3 Bagaimana
Perkembangan Ilmu Hukum Menurut Filsafat Ilmu di
Indonesia
Perkembangan
filsafat ilmu dalam pusaran ilmu era globalisasi juga mempengaruhi perkembangan
ilmu hukum di Indonesia. Hukum menjadi patron terdepan dalam mengatur kehidupan
manusia dalam inter waktu yang berbeda-beda. Oleh karena perkembangan
pengetahuan yang semakin cepat maka transormasi hukum di dunia juga mengalami
evolusi.
Berdasarkan hal ini filsafat ilmu memandang
ilmu hukum terbagi menjadi 2 yaitu ilmu hukum yang praktis (practical science)
dan yang teoritis (teoritical science) inilah yang disebut hakikat keilmuan
dari ilmu hukum walaupun tanpa bermaksud untuk menyederhanakan masalah,
maka sesungguhnya dapat dicari jawabnya dari sudut pemilahan ini.
Hukum
adalah tatanan normatif, dan oleh karena itu ilmu yang mempelajari hukum juga
harus berkarakter normatif. Pernyataan demikian tidaklah keliru, namun harus
segera ditambahkan bahwa pandangan demikian itu tidaklah menangkap esensi dari
hukum secara utuh, yang dengan demikian ada kekurangan dalam memahami ilmu
hukum secara utuh pula.
Pengingkaran
terhadap keberadaan sub-sub sistem lain dalam hukum, dan hanya berfokus pada
sistem peraturan sembari melupakan adanya subsistem kelembagaan (legal
structure) dan subsistem budaya (legal culture) menjadikan ilmu hukum menjadi
berat sebelah. Dalam khasanah ilmu hukum dapat dijumpai, mereka yang berada
dalam kubu ilmu hukum normatif telah melahirkan ajaran-ajaran:
Ideenjurisprudenz, Algemeine Rechtsleer; Begriffsjurisprudenz; Analitical
Jurisprudence, selain juga Rechtsdogmatiek.
Sementara
itu dari kubu yang non-normatif dijumpai ajaran ajaran Interessenjurisprudenz,
hukum sebagai kaidah (nilai-nilai) bukannya sekedar aturan formal. Akhirnya
keabsahan sosialitas juga menuntut Freirechtslehre, Socilogical Jurisprudence ilmu hukum untuk memberi penjelasan dan Critical Legal Studies. lmu hukum
normatif yang berbasis peraturan (rechtsdogmatiek), dapatlah disebut
sebagai ilmu hukum praktis.
Bidang penggarapannya hanyalah sebatas pada teks-teks normatif
yang disebut hukum positif. Dengan cara kerja yang serba deduktif, ilmu hukum
ini berusaha mencari kaitan logis antara peraturan dengan fakta yang terjadi.
Kesibukan hanya berputar pada pencarian dan pengkaitan antara asas, doktrin,
norma dan fakta hukum. Ilmu hukum yang berkualitas demikian inilah yang saat
ini mendominasi penguasaan ilmu hukum di Indonesia.
Pada
pendidikan ilmu hukum, kendatipun diberikan pada level perguruan tinggi (Strata
1), namun karena dalih untuk menciptakan tenaga emberional di bidang hukum (hakim,
jaksa, pengacara, polisi,dsb), maka kualitas keilmuan yang diberikan hanyalah sebatas ilmu hukum
praktis yang menekankan pada pembelajaran dan pemberian keterampilan (skill)
tanpa menukik ke dalam asal muasal, landasan filosofis, landasan teleologis
serta relevansi sosial dimana norma hukum itu berada. Sisi lain dari ilmu hukum
juga menampakkan dirinya sebagai ilmu hukum teoritis.
Berbeda
dengan ilmu hukum yang praktis sebagaimana dijelaskan di muka, ilmu hukum
teoritis tidak sekedar memaknai dirinya sebagai ilmu tentang peraturan positif.
Dalam perspektif ilmu hukum teoritis aspek peraturan hanyalah dipakai sebagai
sandaran untuk kemudian dicari penjelasannya, baik yang berkait dengan keabsahan idealitas, normativitas maupun
sosialitas berlakunya. Seberapa jauh norma-norma hukum tersebut dikukuhi oleh
masyarakat dan ember dayaguna bagi kemaslahatan masyarakat yang bersangkutan.
Uraian perihal nilai-nilai dasar dan dasar keabsahan dari hukum ini telah dikupas oleh Gustav Radbruch, sebagaimana dikutip oleh
Satjipto Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum.[4]
III.
Kesimpulan
Pertama hakekat keilmuan ilmu hukum jika
dipandang dari filsafat ilmu dapat diketahui melalui 3 (tiga) pendekatan yang
ada yaitu Ontologi,Epistemologi, dan Aksiologi. Ontologi dalam ilmu hukum
adalah hukum sedangkan epistemologi yaitu untuk memahami hukum bisa dalam
tataran teoretis ilmu hukum pengembangan ilmu melalui
penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus,
pendekatan komparatif dan pendekatan konseptual.
Sedangkan aksiologi ilmu hukum
adalah dapat dilihat kegunaan dari ilmu hukum yaitu sebagai berikut:
a.
Mempersiapkan
putusan hukum pada tataran mikro maupun makro;
b.
Menunjukkan
apa hukumnya tentang hal tertentu;
c.
Mengeliminasi kontradiksi yang tampak dalam
tata hukum; kritik dan menyarankan amandemen terhadap peraturan dan
undang-undang yang ada serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baru; analsis kritis terhadap putusan hakim untuk pembinaan yurisprudensi.
Kedua perkembangan Ilmu Hukum dalam
pandangan filsafat ilmu dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu ilmu hukum
yang praktis (practical science) dan yang teoritis (teoritical science) inilah
yang disebut hakikat keilmuan dari ilmu hukum.
Daftar Pustaka
Amsal Bakhtiar (2004),”Filsafat Ilmu,”
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Arief Sidharta Bernard (2000),”Refleksi
tentang Struktur Ilmu Hukum,”. Bandung : CV. Mandar Maju.
Jujun S Suriasumantri(1998),”Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Popular,” Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Peter Mahmud (2006),”Penelitian Hukum”.
Jakarta. Kencana Prenada Media Group
Satjipto Rahardjo ( 2004), “Ilmu Hukum:
Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,” Surakarta: Muhamadiyah University
Press
Jan Hendrik Rapar (1996),” Pengantar Filsafat,”
Yogyakarta : Pustaka Filsafat.
Wihadi Admojo (1998) “Kamus Bahasa
Indonesia,” Jakarta : Balai Pustaka.
Pemakalah Adalah Muhammad Hadidi SHI Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.